Beberapa pria di dalam kandang itu bertatapan, lalu tersenyum dingin. "Kalian nggak akan bisa berurusan dengan orang itu."Jeremy menatap mereka dengan dingin, lalu duduk dengan ekspresi datar. Sambil menjepit sebatang rokok di antara jari-jarinya, dia berucap, "Katakan saja siapa orang itu.""Kami nggak akan mengkhianati majikan kami. Kalau mau, bunuh saja kami." Sekelompok orang itu tampak tidak takut mati.Jeremy mengangkat tangannya. Andy langsung memahami maksudnya. Saat berikutnya, beberapa pengawal Keluarga Adrian masuk dengan membawa berbagai alat penyiksa.Kadang, kematian bukan hal yang paling menakutkan. Yang lebih menakutkan adalah penderitaan dalam hidup. Beberapa orang itu pun mulai merasa takut melihat alat-alat yang kejam itu. Jika alat-alat itu digunakan, mereka pasti akan menyesal telah datang ke dunia ini.Andy mengingatkan, "Sebaiknya kalian cepat mengaku atau kalian akan menderita lebih lama."Para pria itu menggigit bibir, bersikeras untuk tidak membocorkan apa pu
Jeremy mengalihkan pandangannya yang suram kepada Eleanor. Kebetulan, keduanya bertemu pandang.Jeremy memicingkan matanya, lalu memiringkan kepalanya dan bertanya, "Kamu percaya?"Eleanor berdiri diam di tempatnya, lalu beralih menatap para pembunuh itu. "Nggak percaya, tapi yang mereka katakan itu fakta."Orang-orang ini tidak berbohong. Jelas, mereka hanya mengikuti perintah dan tidak mengenal Jeremy, apalagi pernah bertemu dengan Jeremy.Mereka bersikeras mengatakan bahwa Jeremy yang menyewa mereka. Jelas sekali, ini adalah tujuan penjahat itu.Penjahat itu mengirimkan Daniel ke rumah Keluarga Adrian untuk memfitnah Jeremy. Jadi, Eleanor sama sekali tidak terkejut dengan jawaban mereka ini.Jeremy tersenyum dingin, lalu menatap pria itu. "Aku Jeremy.""Apa?" Pembunuh itu terkejut dan tidak percaya.Eleanor mengalihkan pandangannya, tidak lagi menaruh harapan pada para pembunuh ini. Mereka tidak lagi bisa mendapat informasi apa pun.Atasan mereka tidak memberi mereka informasi yang
Mona menggelengkan kepala. Awalnya, orang mengira dia tidak ingin bekerja sama, tetapi dia berkata, "Nggak usah tanya lagi. Aku yang melakukannya. Aku yang membuka pintu dan aku juga yang memasukkan anak itu ke dalam."Tatapan Eleanor terus terpaku pada Mona seraya memperhatikan ekspresi wajahnya. Saat mendengar apa yang dikatakan Mona, napas Eleanor terasa semakin berat sejenak.Jeremy juga mengerutkan alisnya dengan tajam. "Kamu lagi melindungi siapa? Kamu nggak punya alasan untuk melakukannya dan kamu juga nggak mungkin menyelesaikan semua ini sendirian."Mona sedikit membungkukkan tubuhnya. "Tuan, aku punya alasan untuk melakukannya. Aku nggak melindungi siapa pun. Kunci ada di tanganku dan akulah yang memasukkan anak itu. Akulah pelaku dari semua ini. Kalian bisa melaporkanku ke polisi dan menangkapku."Eleanor menatap tajam ke arah Mona dengan aura dingin yang terpancar dari matanya. "Kenapa kamu melakukan itu?"Eleanor tahu bahwa dia bukan dalang utama. Yoana adalah dalang seben
Karena mencari bukti tidak dapat menyelesaikan masalah, Eleanor juga tidak keberatan menggunakan kekerasan. Membalas dendam dengan cara yang sama."Hmm." Suara Charlie terdengar jauh lebih dingin.Meskipun Eleanor hanya meminta beberapa orang, setelah menutup telepon, dia langsung mentransfer sejumlah uang ke rekening Charlie sesuai dengan tarif tentara bayaran.Orang-orang yang dikirim Charlie tentu saja adalah yang terbaik di bawah perintahnya. Setiap kali mereka melaksanakan misi, harganya mencapai puluhan miliar.Namun, beberapa detik kemudian, uang itu dikembalikan. Ketika Eleanor mengirim pesan padanya, seolah-olah kesal ... dia langsung diblokir oleh Charlie!Eleanor terdiam.Ruang Tamu Keluarga AdrianTatapan Jeremy yang tanpa emosi tertuju pada Mona, suaranya dingin seperti es. "Apa yang ingin kamu katakan?""Tuan, apakah Anda jatuh cinta pada Eleanor?"Ekspresi Jeremy semakin dingin. "Sejak kapan urusanku menjadi urusan yang bisa dibahas oleh siapa pun?"Mona segera berkata,
Andy segera melaksanakan perintah itu. Setelah malam yang penuh kekacauan, langit perlahan mulai terang.Di ruang tamu Keluarga Pratama, terdengar suara tawa riang yang memenuhi ruangan.Alicia yang sudah mengetahui apa yang dilakukan Yoana, tidak dapat menahan tawanya. "Benarkah? Anak itu sudah mati?"Yoana bersandar di sofa dengan santai sambil menopang kepalanya dengan tangan dan tersenyum cerah. "Belum, tapi kondisinya nggak jauh berbeda sama mati. Bu, entah kenapa kali ini semuanya berjalan begitu lancar."Alicia tertawa, "Itu karena Tuhan pun nggak tahan melihatnya dan sedang membantumu."Yoana memikirkannya dan setuju. Awalnya, dia berencana menyuruh seseorang mencuri kunci Mona, tetapi tidak disangka Mona sendiri yang membantu membukakan pintu.Ketika para pembunuh itu melaporkan kepadanya, dia bahkan cukup terkejut. Sama sekali tidak menyangka Mona akan membantu secara sukarela. Namun, Yoana tidak ingin terlalu memikirkan hal itu.Bagaimanapun, dia sudah melakukan semuanya den
"Kamu lagi berdoa untuk apa?" Bella tiba-tiba bertanya kepada Yoana dengan mata yang masih terpejam.Tangan Yoana yang terkatup sedikit bergetar. Setelah berpikir sejenak, dia menjawab dengan lembut, "Anak itu sungguh malang. Aku berdoa kepada dewa supaya dia cepat sembuh."Yoana berpikir bahwa dengan berkata seperti itu, Bella akan memuji kebaikan hatinya. Namun, Bella diam selama beberapa detik dan berkata dengan suara tenang, "Tanpa ketulusan, doa itu sia-sia. Pergilah beristirahat."Apakah Bella sedang menyuruhnya pergi? Yoana menggigit bibirnya, merasa bahwa Bella telah mengetahui kebohongannya. Dia tidak berani membantah dan segera pergi tanpa berkomentar.Bella menggelengkan kepalanya perlahan. Dia tahu betul apa yang terjadi antara Yoana dan Eleanor. Pada saat seperti ini, jika Yoana tidak menambah beban masalah bagi Eleanor, itu sudah cukup baik.Apakah dia benar-benar akan berdoa untuk kesembuhan anak Eleanor?Mustahil.Bella bisa menerima beberapa intrik kecil Yoana, tetapi
Yoana terus mundur dengan panik sambil berteriak, "Apa yang kalian lakukan? Siapa kalian? Lepaskan aku! Ah ... tolong!" Dia berteriak ke arah ponselnya yang tergeletak di lantai, "Remy, tolong aku! Tolong aku!""Huh ...." Sebuah suara tawa dingin terdengar, membuat punggung Yoana terasa dingin.Dia menoleh dengan cepat dan melihat seorang pria berpakaian serba hitam bersandar santai di badan mobil. Di jarinya tergantung sebatang rokok, asap putih mengepul, samar-samar menutupi wajahnya yang tampan dan penuh dengan kesan jahat.Melihat wajah yang tidak asing ini, Yoana gemetar ketakutan dan kakinya lemas.Lagi-lagi pria ini ...."Apa yang kamu inginkan? Lepaskan aku! Berani-beraninya kamu menculikku! Aku peringatkan kamu, ini melanggar hukum!""Kamu berani menyewa orang untuk membunuh. Apakah aku lebih buruk darimu?"....Di sisi lain, Jeremy menatap ponsel yang panggilannya telah terputus. Tatapannya langsung menjadi dingin. "Papa, ada apa?" tanya Harry yang duduk di sebelahnya melihat
"Kamu yang menyakiti anakku, 'kan?" tanya Eleanor dengan nada bicara yang tenang sambil menunduk. Dia seperti sedang menanyakan pertanyaan biasa.Namun, justru ketenangan ini yang membuat Yoana ketakutan. Sekujur tubuhnya sampai terasa dingin. Dia lantas menggeleng dengan kuat. "Bukan, bukan aku. Kamu salah orang. Aku serius. Lagian, aku nggak tahu kamu punya anak lain. Benaran bukan aku ...."Yoana tidak mungkin mengakui perbuatannya. Dia sangat ketakutan melihat Eleanor yang seperti malaikat maut yang hendak mengambil nyawanya. Tatapan Eleanor yang tajam itu membuat Yoana seperti merasa ada pisau yang ditodongkan ke lehernya."Eleanor, tolong lepaskan aku. Aku benaran nggak melakukan apa-apa. Remy nggak akan maafin kamu kalau kamu menyakitiku. Keluarga Pratama juga nggak akan mengampunimu. Pertimbangkan baik-baik sebelum bertindak ... ah!"Jleb! Tiba-tiba, Yoana merasakan sakit di pahanya. Dia memelotot dan perlahan-lahan memandang ke bawah. Seketika, dia melihat belati menancap di p
Kehangatan tubuh dan aroma yang familier ....Ekspresi Eleanor pun berubah. Saat bersandar di dada Jeremy dan mendengar detak jantung Jeremy yang kuat, jantungnya juga tanpa sadar makin berdebar."Eleanor, aku akhirnya menemukanmu," kata Jeremy sambil menghela napas. Lengannya yang kuat juga memeluk Eleanor dengan makin erat dan lembut. Berbagai emosi yang sudah lama dipendamnya pun meledak dan membuatnya memeluk Eleanor dengan makin erat lagi, seolah-olah tidak ingin melepaskan Eleanor lagi.Eleanor mengepal tangannya yang disembunyikan di saku mantelnya karena merasa bingung dan tidak tahu harus berbuat apa.Melihat keduanya berpelukan dengan erat, suasana hati Vivi menjadi rumit. Jeremy memang sudah banyak berubah dibandingkan dahulu, tetapi apakah luka yang pernah diberikan Jeremy pada Eleanor bisa dimaafkan begitu saja? Dia hanya bisa menghela napas karena dia tidak tahu dan tidak berhak memutuskan hal ini. Dia mengajak Daniel dan Harry untuk keluar dari ruangan dan menutup pintun
"Remy, kamu mau pergi ke mana lagi?" tanya Bella dengan segera."Menjemput anak-anak," kata Jeremy, lalu langsung pergi.Melihat Jeremy yang pergi dengan terburu-buru, Bella hanya menggelengkan kepala dengan tak berdaya. Ekspresi Jeremy sama sekali bukan seperti orang yang pergi menjemput anak-anak.Pada saat itu, Simon juga perlahan-lahan turun dari lantai atas. Melihat Jeremy yang baru saja kembali kini sudah pergi lagi, dia hanya bisa mendengus. "Nggak ada aturan. Dia mau pergi ke mana lagi?"Bella hanya berkata, "Dia pergi menjemput anak-anak. Ayah, kita makan saja dulu, nggak perlu menunggu mereka."Simon pun tidak mengatakan apa-apa lagi.Jeremy menyuruh sopir untuk segera mengemudikan mobilnya menuju restoran sambil menggenggam ponselnya dengan erat karena dia tiba-tiba merasa ada yang aneh. Dia berpikir apakah mungkin Eleanor sudah kembali? Begitu pemikiran itu muncul, harapannya makin membesar dan jantungnya makin berdebar. Dia sangat penasaran apakah semua yang dipikirkannya
Sasha terkejut melihat ekspresi Jeremy, tetapi tubuhnya secara refleks mendekat saat melihat wajah Jeremy yang tampan dan menawan. "Pak Jeremy, ada apa denganmu? Apa kamu nggak enak badan? Apa kamu perlu bantuanku ....""Menjauh dariku," kata Jeremy dengan nada yang muram serta dingin dan tatapannya tajam seolah-olah hendak membunuh seseorang.Tatapan Jeremy membuat Sasha menghentikan langkahnya dan berdiri di tempat dengan ekspresi bingung. Saat Jeremy mengambil pakaian dan langsung pergi, dia sempat mengejar Jeremy beberapa langkah. Namun, melihat Jeremy yang begitu marah, dia kembali berhenti dan tidak berani mendekat lagi. Hanya saja, dia tidak mengerti apa yang telah dilakukannya sampai Jeremy begitu marah.Jeremy segera pergi dari sana.Melihat Jeremy yang keluar dengan begitu cepat, pemilik klub melihat jam tangannya. Menyadari Sasha masuk hanya puluhan menit saja, dia berpikir Jeremy tidak begitu hebat dan agak lemah. Namun, dia tentu saja hanya berani berpikir begitu dalam hat
Setelah Eleanor keluar, pemilik kelab yang mengetahui kedatangan Jeremy pun datang dan menyiapkan beberapa botol anggur terbaik. Bahkan, dia memilihkan wanita tercantik untuk menemani Jeremy.Wanita itu bernama Sasha. Di depan pintu, pemilik kelab berpesan kepada Sasha untuk melayani Jeremy sebaik mungkin. Kemudian, dia membawanya masuk.Begitu masuk, Sasha langsung terpana melihat pria yang duduk di sofa. Pandangannya tidak bisa dialihkan lagi.Pria ini sangat tampan. Apalagi, dia adalah Jeremy, pewaris Keluarga Adrian, keluarga paling berpengaruh di ibu kota. Dia adalah sosok yang luar biasa.Dengan penuh percaya diri, Sasha melangkah mendekat, menonjolkan tubuhnya yang selama ini selalu dibanggakan. Tanpa ragu, dia bersandar pada Jeremy dan mengeluarkan suara manja, "Pak Jeremy ...."Kepala Jeremy berdenyut sakit. Saat aroma parfum yang menyengat mendekat, dia tidak bisa menahan diri untuk tidak mengernyit.Sasha hanya menatap wajah mabuk itu, sama sekali tidak menyadari betapa terg
Eleanor menemukan ruang VIP tempat Jeremy berada. Dia sempat ragu sejenak di luar sebelum akhirnya mendorong pintu dan masuk.Ruangan itu sunyi dan rapi, tidak seperti yang dia bayangkan. Tidak ada kebisingan atau kekacauan. Matanya menyapu seluruh ruangan sebelum akhirnya tertuju pada sosok pria yang terbaring di sofa.Jeremy bersandar di sofa dengan mata terpejam rapat. Di meja depan, tampak botol-botol kosong berserakan. Bisa dilihat pria ini minum sangat banyak.Jantung Eleanor berdetak semakin cepat saat dia melangkah mendekat. Kakinya tanpa sengaja menendang salah satu botol kosong di lantai, menimbulkan suara kecil yang membuat hatinya menegang. Namun, pria itu tetap tidak bereaksi.Eleanor memperlambat langkahnya, lalu berdiri di samping Jeremy. Dia mengulurkan tangan dan menyentuh lengannya dengan lembut, lalu memanggil dengan pelan, "Jeremy?"Tiba-tiba, pria yang memejamkan mata itu langsung mengangkat tangannya dan mencengkeram pergelangan tangan Eleanor.Matanya yang dingin
"Masuklah." Vivi membuka pintu kursi belakang, memberi isyarat kepada kedua anak kecil untuk masuk.Tiba-tiba, kedua anak itu langsung membeku. Mata besar mereka menatap orang di dalam mobil dengan tidak percaya. Mereka terpaku di tempat, tidak bisa bergerak sedikit pun.Ketika melihat kedua anak itu menatapnya dengan penuh keterkejutan, mata Eleanor langsung memerah. Tanpa ragu, dia turun dari mobil dan langsung memeluk mereka berdua."Anak-anakku, Mama sudah kembali."Kedua anak itu tetap tidak bergerak. Sampai suara lembut Eleanor terdengar di telinga mereka, hingga kehangatan pelukannya menyelimuti mereka, barulah mereka sadar ....Dalam sekejap, mata mereka yang basah. Air mata mulai berlinang di wajah mereka."Mama?" panggil Harry dengan ragu."Mama di sini. Maafkan Mama, Daniel, Harry. Kalian sampai menunggu begitu lama. Mama sudah kembali." Suara Eleanor bergetar saat dia memeluk mereka erat-erat.Akhirnya, kedua anak itu menyadari bahwa ini bukan mimpi. Ibu mereka benar-benar
Keesokan harinya, di bandara.Eleanor tetap memutuskan untuk kembali. Dia tidak bisa begitu saja meninggalkan kedua anaknya begitu saja.Begitu turun dari pesawat, Eleanor sekali lagi menginjakkan kaki di tempat ini. Perasaannya agak sedih.Pada akhirnya, dia tetap kembali.Sebuah Audi putih berhenti di depan Eleanor. Seorang wanita bergegas turun, menatapnya dengan mata membelalak. Seketika, matanya dipenuhi air mata."Eleanor ...." Vivi menatap Eleanor yang berdiri hidup-hidup di depannya, tidak tahu dirinya harus menangis atau tertawa. "Eleanor, ini ... benaran kamu?"Eleanor tersenyum lembut. "Ini aku."Air mata Vivi langsung mengalir deras. Dia berlari dan langsung memeluk Eleanor erat-erat."Eleanor! Kamu ... kamu benaran masih hidup .... Huhu ... kemarin saat kamu meneleponku, kupikir aku sedang mimpi .... Kamu menghilang begitu lama, aku ketakutan setengah mati ...."Vivi menangis dengan emosinal, tubuhnya bahkan gemetar saat memeluk Eleanor. Eleanor membiarkan dirinya dipeluk.
Jeremy pasti akan menemukan Eleanor dan membawanya kembali, sementara Simon juga tidak akan membiarkan keturunan Keluarga Adrian dibawa pergi. Kecuali meninggal, Simon tidak akan berhenti memburu Eleanor.Jelas, ini bukan kehidupan yang Eleanor inginkan. Namun, dia juga tidak mungkin meninggalkan anak-anaknya dan tetap tinggal di sini. Satu-satunya pilihan adalah kembali dengan identitasnya sebagai Eleanor, agar bisa tetap melihat anak-anaknya.Charlie memahami ini dan Eleanor tentu lebih memahaminya.Eleanor mengatupkan bibir, tenggelam dalam pikirannya. Setelah berpikir lama, dia menunduk dan tersenyum pahit. Keluarga Adrian tidak mau melepaskannya, dia juga tidak bisa melepaskan anak-anaknya. Jadi, dia tidak akan bisa memutus hubungan dengan Keluarga Adrian untuk selamanya.Charlie mendongak, tatapan yang dalam menyapu Eleanor. Anak-anak selalu menjadi kecemasan Eleanor, juga menjadi ikatan yang tidak bisa dihapuskan di antara dia dan Jeremy. Sejujurnya, jika Charlie cukup kejam, di
Eleanor berpikir sejenak, lalu mengangguk. Jika dia sudah koma selama lebih dari dua bulan, itu artinya kondisinya pasti sangat buruk di awal. Masuk akal jika Charlie mengirim kedua anaknya ke Keluarga Adrian."Minum obat ini." Arnav datang dengan membawa semangkuk obat.Eleanor mencoba duduk dan Charlie segera membantunya. Dia menerima mangkuk itu. Aroma khas obat herbal langsung menyeruak. Eleanor mengendus perlahan dan segera mengenali komposisinya. Dia agak terkejut. "Ini ramuan penawar racun?""Ya, dua bulan yang lalu kamu diracuni. Obat ini bisa membantu membersihkan sisa racunnya," jelas Arnav."Kamu bilang aku diracuni?""Racunnya sangat bahaya. Tapi, untungnya Charlie ...." Arnav tiba-tiba berhenti bicara karena dia bisa merasakan tatapan Charlie yang langsung mengarah padanya. Dia segera berdeham dan mengganti ucapannya, "Untung saja ilmu medisku luar biasa, jadi aku berhasil menyelamatkanmu."Dengan cerdik, Arnav membanggakan dirinya sendiri dan menelan kata-kata yang hampir