Andy segera melaksanakan perintah itu. Setelah malam yang penuh kekacauan, langit perlahan mulai terang.Di ruang tamu Keluarga Pratama, terdengar suara tawa riang yang memenuhi ruangan.Alicia yang sudah mengetahui apa yang dilakukan Yoana, tidak dapat menahan tawanya. "Benarkah? Anak itu sudah mati?"Yoana bersandar di sofa dengan santai sambil menopang kepalanya dengan tangan dan tersenyum cerah. "Belum, tapi kondisinya nggak jauh berbeda sama mati. Bu, entah kenapa kali ini semuanya berjalan begitu lancar."Alicia tertawa, "Itu karena Tuhan pun nggak tahan melihatnya dan sedang membantumu."Yoana memikirkannya dan setuju. Awalnya, dia berencana menyuruh seseorang mencuri kunci Mona, tetapi tidak disangka Mona sendiri yang membantu membukakan pintu.Ketika para pembunuh itu melaporkan kepadanya, dia bahkan cukup terkejut. Sama sekali tidak menyangka Mona akan membantu secara sukarela. Namun, Yoana tidak ingin terlalu memikirkan hal itu.Bagaimanapun, dia sudah melakukan semuanya den
"Kamu lagi berdoa untuk apa?" Bella tiba-tiba bertanya kepada Yoana dengan mata yang masih terpejam.Tangan Yoana yang terkatup sedikit bergetar. Setelah berpikir sejenak, dia menjawab dengan lembut, "Anak itu sungguh malang. Aku berdoa kepada dewa supaya dia cepat sembuh."Yoana berpikir bahwa dengan berkata seperti itu, Bella akan memuji kebaikan hatinya. Namun, Bella diam selama beberapa detik dan berkata dengan suara tenang, "Tanpa ketulusan, doa itu sia-sia. Pergilah beristirahat."Apakah Bella sedang menyuruhnya pergi? Yoana menggigit bibirnya, merasa bahwa Bella telah mengetahui kebohongannya. Dia tidak berani membantah dan segera pergi tanpa berkomentar.Bella menggelengkan kepalanya perlahan. Dia tahu betul apa yang terjadi antara Yoana dan Eleanor. Pada saat seperti ini, jika Yoana tidak menambah beban masalah bagi Eleanor, itu sudah cukup baik.Apakah dia benar-benar akan berdoa untuk kesembuhan anak Eleanor?Mustahil.Bella bisa menerima beberapa intrik kecil Yoana, tetapi
Yoana terus mundur dengan panik sambil berteriak, "Apa yang kalian lakukan? Siapa kalian? Lepaskan aku! Ah ... tolong!" Dia berteriak ke arah ponselnya yang tergeletak di lantai, "Remy, tolong aku! Tolong aku!""Huh ...." Sebuah suara tawa dingin terdengar, membuat punggung Yoana terasa dingin.Dia menoleh dengan cepat dan melihat seorang pria berpakaian serba hitam bersandar santai di badan mobil. Di jarinya tergantung sebatang rokok, asap putih mengepul, samar-samar menutupi wajahnya yang tampan dan penuh dengan kesan jahat.Melihat wajah yang tidak asing ini, Yoana gemetar ketakutan dan kakinya lemas.Lagi-lagi pria ini ...."Apa yang kamu inginkan? Lepaskan aku! Berani-beraninya kamu menculikku! Aku peringatkan kamu, ini melanggar hukum!""Kamu berani menyewa orang untuk membunuh. Apakah aku lebih buruk darimu?"....Di sisi lain, Jeremy menatap ponsel yang panggilannya telah terputus. Tatapannya langsung menjadi dingin. "Papa, ada apa?" tanya Harry yang duduk di sebelahnya melihat
"Kamu yang menyakiti anakku, 'kan?" tanya Eleanor dengan nada bicara yang tenang sambil menunduk. Dia seperti sedang menanyakan pertanyaan biasa.Namun, justru ketenangan ini yang membuat Yoana ketakutan. Sekujur tubuhnya sampai terasa dingin. Dia lantas menggeleng dengan kuat. "Bukan, bukan aku. Kamu salah orang. Aku serius. Lagian, aku nggak tahu kamu punya anak lain. Benaran bukan aku ...."Yoana tidak mungkin mengakui perbuatannya. Dia sangat ketakutan melihat Eleanor yang seperti malaikat maut yang hendak mengambil nyawanya. Tatapan Eleanor yang tajam itu membuat Yoana seperti merasa ada pisau yang ditodongkan ke lehernya."Eleanor, tolong lepaskan aku. Aku benaran nggak melakukan apa-apa. Remy nggak akan maafin kamu kalau kamu menyakitiku. Keluarga Pratama juga nggak akan mengampunimu. Pertimbangkan baik-baik sebelum bertindak ... ah!"Jleb! Tiba-tiba, Yoana merasakan sakit di pahanya. Dia memelotot dan perlahan-lahan memandang ke bawah. Seketika, dia melihat belati menancap di p
Hidup atau mati, itu sudah tergantung takdir."Eleanor, jangan tinggalkan aku sendiri di sini. Kembali! Cepat! Aku nggak mau mati! Dasar jalang! Kalaupun aku mati, aku nggak akan mengampunimu ....""Jalang, kembali kamu! Kamu dengar aku nggak? Lepaskan aku! Aku Nona Besar Keluarga Pratama, calon istri Jeremy! Kamu berani membiarkanku mati di sini? Keluarga Pratama dan Keluarga Adrian akan membunuhmu ....""Eleanor! Kamu dengar itu?"Yoana meronta-ronta. Semakin dia meronta, darah mengalir semakin deras. Rasa sakit yang dahsyat membuat Yoana hampir kehabisan tenaga. Karena tidak bisa memaki lagi, dia mulai memohon."Tolong ... tolong aku .... Eleanor, aku sudah salah. Tolong lepaskan aku ya? Aku sudah menyadari kesalahanku. Aku nggak mau mati di sini ...."Kini, Yoana sungguh takut. Dia akhirnya memahami seperti apa ketakutan yang sesungguhnya. Jika tidak ada yang menyadari keberadaannya, dia akan mati di sini. Dia masih ingin hidup.Yoana tidak menyangka Eleanor berani melakukan hal se
Jeremy mengepalkan tangannya saat melihat penampilan tragis Yoana. Amarah berkecamuk di dalam hatinya.Apa Eleanor sudah gila? Bagaimana bisa wanita itu berani melakukan hal seperti ini? Tindakannya ini sama saja dengan menggusarkan seluruh Keluarga Pratama. Apa dia tahu konsekuensinya?"Bos, darah terus mengalir. Kondisi Bu Yoana sangat buruk sekarang."Yoana yang duduk di kursi tampak sekarat. Jeremy memejamkan matanya. Untuk sekarang, dia hanya tahu bahwa Yoana tidak boleh mati!Jeremy bergegas menghampiri Yoana, lalu membungkuk untuk mencabut belati itu. Belati yang tidak berani dicabut oleh pengawal itu akhirnya tercabut!Yoana hampir kehilangan kesadarannya. Sekujur tubuhnya mengejang karena kesakitan. Dia menyipitkan matanya menatap Jeremy menggendongnya dan membawanya keluar.Bibir Yoana pucat, tetapi matanya merah. Air mata penuh amarah terus berlinang di wajahnya. Dia menggigit bibirnya dengan kuat, membuatnya terlihat semakin menyedihkan."Remy, apa aku akan mati? Sakit seka
Jeremy menatap wanita di depannya yang ekspresinya terlihat teguh. Terpancar amarah yang tak tertahankan dari tatapannya.Eleanor mengangkat tangannya, lalu melepaskan satu per satu jari Jeremy yang menahannya. Setelah itu, dia mendorongnya dan meneruskan, "Dia punya dendam denganku. Bukannya wajar kalau dia memfitnahku?"Jeremy sangat familier dengan kalimat ini. Ini adalah kalimat yang sering diucapkan oleh Yoana. Setiap kali ada masalah terjadi, Yoana akan melontarkan kalimat ini."Daripada buang-buang waktu di sini, lebih baik kamu cari bukti supaya bisa menangkapku.""Heh." Jeremy terkekeh-kekeh. Bukti? Bukti apa yang diperlukan? Kepercayaan adalah bukti!Amarah Jeremy semakin berkecamuk. Dia menatap wanita yang tidak kenal takut di depannya, lalu menyahut, "Nggak semua hal butuh bukti. Sesuatu yang dipercayai oleh orang adalah bukti yang nggak bisa disangkal."Yoana memiliki Keluarga Pratama sebagai sokongannya. Mereka pasti memercayai perkataan Yoana dan tidak akan mengampuninya
Yoana hanya kehilangan banyak darah dan nyawanya tidak berada dalam bahaya.Patrick dan Alicia datang dengan terburu-buru. Ketika melihat sang putri yang dipenuhi luka, Alicia sontak berteriak histeris dan memeluk Yoana sambil menangis. Dia meraih tangan Yoana dengan gemetaran sambil bertanya, "Yoana, siapa yang melakukan ini padamu?"Tubuh Patrick gemetaran saking kesalnya. Putri kesayangan yang dimanjakannya selama ini malah dicelakai orang lain sampai seperti ini. Dia ingin sekali membunuh pelakunya!"Cepat selidiki apa yang terjadi! Aku mau pelakunya ditangkap! Aku nggak akan mengampuni orang itu begitu saja!" pekik Patrick kepada bawahannya. Dia pasti akan membuat pelakunya mendapatkan balasan berkali-kali lipat.Jeremy yang tiba di depan bangsal tentu mendengar suara Patrick. Langkah kakinya sontak terhenti. Tatapannya seketika menjadi semakin dingin.Putri mereka baik-baik saja, tetapi mereka sudah ingin membunuh pelakunya. Lantas, bagaimana dengan Eleanor yang anaknya sedang kr
Eleanor selalu licik dan penuh tipu muslihat. Yoana mulai curiga bahwa Eleanor sengaja meminta dokter mengatakan hal itu agar mereka lengah."Jangan terlalu banyak berpikir. Fokus saja untuk memulihkan diri," kata Alicia. Namun, karena jari-jarinya yang sangat sakit, dia hanya sempat mengucapkan beberapa kata sebelum buru-buru pergi mencari dokter.Yoana tetap tidak bisa tenang. Matanya memicing dengan tajam. "Ayah, di mana Remy? Kenapa dia tiba-tiba meninggalkan rumah sakit?"Patrick mengerutkan alis. "Aku juga nggak tahu."Yoana merasa ada yang tidak beres dengan kepergian Jeremy dari rumah sakit secara tiba-tiba. Rasa cemas mulai menyelimuti pikirannya.Setelah mempertimbangkan cukup lama ...."Ayah, aku tetap merasa ini nggak benar. Anak itu nggak boleh dibiarkan hidup. Kalau dia nggak mati, semua usaha kita selama ini akan sia-sia," kata Yoana dengan geram."Aku akan utus orang untuk terus awasi. Kita lihat dulu beberapa waktu ke depan sebelum bertindak," jawab Patrick yang tidak
Dengan mata merah dan berkaca-kaca, Eleanor menarik napas dalam-dalam, lalu berdiri dan menatap dokter. "Terima kasih banyak, Dokter."Dokter memberikan beberapa instruksi sebelum hendak pergi, tetapi Eleanor memanggilnya kembali. "Dokter, tunggu sebentar.""Ada yang bisa saya bantu lagi, Bu Eleanor?"Eleanor melirik ke luar ruangan, lalu menurunkan suaranya. "Aku ingin minta bantuan Anda untuk sesuatu ...."Setelah mendengarkan permintaan Eleanor, dokter melihat ke arah luar, lalu mengangguk dan berkata, "Baik, saya mengerti.""Terima kasih banyak.""Ini juga demi keselamatan pasien, sudah seharusnya," jawab dokter.Di luar, Patrick dan Alicia masih enggan pergi. Mendengar kabar bahwa anak Eleanor sadar, wajah mereka berubah suram.Ketika dokter keluar dari kamar, Bella segera mendekat untuk bertanya. Patrick dan Alicia juga memperhatikan dengan saksama."Dokter, bagaimana kondisi anak itu? Kalau dia sudah sadar, apakah berarti dia nggak dalam bahaya lagi?" tanya Bella dengan penuh ke
Dua pengawal Keluarga Adrian segera maju untuk melindungi Eleanor. Namun tiba-tiba, terdengar suara teguran keras dari belakang. "Aku mau lihat siapa yang berani!"Semua orang menoleh ke arah suara itu dan terlihat Bella sedang duduk di kursi roda dengan didorong oleh seorang pelayan.Karena merasa bersalah, Bella tidak datang menjenguk Daniel selama beberapa hari terakhir. Namun hari ini, dia memutuskan untuk datang dan langsung melihat keributan ini."Apa-apaan ini? Ini tempat apa? Rumah sakit! Siapa yang suruh kalian buat keributan di sini?" Bella menatap tajam ke arah kerumunan dan suaranya penuh kemarahan.Sungguh tidak tahu aturan.Tidak ada yang memikirkan tempat ini adalah rumah sakit. Anak di dalam sedang berjuang hidup, tetapi mereka masih punya keberanian untuk membuat keributan di depan kamar.Eleanor akhirnya melepaskan tangan Alicia yang hampir pingsan karena rasa sakit. Alicia terhuyung mundur beberapa langkah sebelum akhirnya ditahan oleh Patrick.Dengan nada penuh amar
"Maaf, Pak Patrick. Bos kami sudah memberi perintah untuk menjaga tempat ini, kami nggak bisa membiarkan Anda masuk," jawab salah satu pengawal dengan nada tegas."Kalau begitu, sampaikan pada Jeremy bahwa aku yang memerintah. Suruh dia datang menemuiku kalau berani. Aku jamin kalian nggak akan mendapat masalah," kata Patrick dengan nada sombong.Wajah pengawal itu menunjukkan sedikit keengganan. "Pak Patrick, bukankah Anda hanya berani datang karena tahu Bos kami lagi nggak di sini? Kalau Pak Jeremy marah, Anda sendiri juga nggak akan aman, apalagi menjamin keselamatan kami."Mereka tidak datang di saat Jeremy berada di sana, tapi langsung muncul begitu dia pergi. Jelas sekali mereka takut pada Jeremy. Pengawal-pengawal itu bukan orang bodoh dan mereka tidak akan termakan oleh ancaman kosong seperti itu.Patrick semakin marah melihat mereka tetap keras kepala. "Kalian mau minggir atau nggak? Kalau nggak, jangan salahkan kami kalau harus bertindak kasar!""Silakan saja, tapi hari ini A
Eleanor berpikir sejenak dan kira-kira bisa menebak siapa yang melakukannya. Jika memang demikian, anggap saja itu ulahnya, dia tidak peduli!Jeremy perlahan mengalihkan pandangannya. "Aku nggak bilang begitu.""Kalau kamu berpikir begitu, itu juga nggak salah," Eleanor mengangguk, mengakui tanpa ragu-ragu.Saat itu, dokter keluar dari ruang perawatan intensif. Eleanor segera berdiri. Dokter mengangguk, memberi isyarat bahwa dia sekarang bisa masuk untuk menemani Daniel.Eleanor tidak mengatakan apa-apa lagi pada Jeremy dan langsung masuk ke kamar.Daniel masih seperti kemarin, mengenakan masker oksigen. Wajah kecilnya pucat, matanya tertutup rapat, seolah-olah tidak ada tanda-tanda kehidupan.Melihat kondisi Daniel seperti itu, Eleanor merasa seluruh kekuatannya lenyap. Dia menarik napas dalam beberapa kali, tetapi rasa sesak di dadanya tidak kunjung hilang.Seperti biasa, Eleanor duduk di samping Daniel dan menggenggam tangannya yang kecil dengan hati-hati. Dia mulai bercerita dengan
Para pelayan yang sebelumnya ketakutan oleh kejadian tadi hanya bisa bersembunyi di sudut ruangan. Ketika mereka sadar dan ingin mengejar, semuanya sudah terlambat.Pintu kamar Yoana dipenuhi orang-orang yang berkumpul untuk menyaksikan pemandangan kacau dan agak menyeramkan di dalam. Banyak di antara mereka mengeluarkan ponsel dan mulai merekam."Astaga, apa yang dilakukan dua orang ini sampai dibalas seperti ini?""Iya, pasti mereka melakukan sesuatu yang buruk. Kalau nggak, siapa yang tega membalas dendam sekejam ini?"Tiara keluar dari kamar dengan penampilan yang sangat berantakan. Orang-orang di sekitar langsung menutup hidung dan menjauh darinya."Astaga, baunya menyengat sekali! Cepat masuk lagi, jangan keluar!""Benar, jangan mengganggu orang lain dengan bau ini."Komentar orang-orang membuat Tiara merasa sangat malu. Dengan wajah merah padam, dia kembali ke kamar dengan penuh rasa malu dan amarah.Namun, kamar itu sendiri sudah dipenuhi bau amis darah yang sangat menyengat, m
"Hah, tunggu saja," kata Glenn sambil menatap dengan sorot mata yang gelap, lalu berjalan ke jendela dan menelepon seseorang.Vivi memandangnya dengan bingung, tidak tahu apa yang dia rencanakan.Setengah jam kemudian.Entah dari mana, mereka berhasil mendapatkan dua jas putih seperti dokter. Dengan masing-masing membawa dua ember putih, mereka tiba di depan kamar Yoana.Vivi memandang benda yang dipegangnya, lalu menoleh ke arah Glenn yang kini telah menyamar dengan sangat rapi. "Kamu yakin nggak akan ada yang mengenalimu?""Apa yang perlu ditakutkan? Aku lagi menjalankan misi kebenaran."Vivi mengangkat ibu jarinya dengan kagum. "Hanya karena kamu bilang itu misi kebenaran, aku resmi jadi temanmu."Glenn menyeringai, "Sama-sama.""Ayo."Mereka berdua mendorong pintu kamar. Yoana sedang bersandar di tempat tidur sambil bermain ponsel. Wajahnya sudah terlihat jauh lebih baik. Luka-lukanya memang menyakitkan, tetapi tidak sampai mengancam nyawa.Keluarga Pratama yang kaya telah menyedia
Eleanor panik. Dia berusaha sekuat tenaga mengejar, tetapi langkahnya tidak cukup cepat untuk menyusul Daniel yang semakin menjauh. "Daniel, jangan pergi! Daniel, kembali! Daniel ...."Daniel menoleh, tersenyum padanya, lalu berbalik dan pergi. Eleanor mencoba mengejarnya, tetapi dia terjatuh dengan keras.Ketika dia mengangkat kepalanya lagi, Daniel sudah menghilang. Sebagai gantinya, Harry muncul di hadapannya. Namun perlahan-lahan, Harry juga mulai menghilang.Air mata menggenang di mata Eleanor. Dengan panik, dia berteriak, "Jangan! Jangan pergi! Daniel! Harry!"Eleanor bangkit dari tanah, tetapi kabut putih tiba-tiba naik dan menutupi penglihatannya. Dia mencari dengan cemas, tetapi dia tidak dapat menemukan satu pun anak-anaknya."Daniel! Harry!" Eleanor tiba-tiba terbangun dari tempat tidurnya. Dia duduk dengan cepat. Tubuhnya penuh keringat dingin, napasnya terengah-engah, dan matanya penuh dengan kepanikan.Segala sesuatu dalam mimpinya terasa begitu nyata, begitu nyata hingga
Yoana menarik napas dalam-dalam karena rasa sakit yang menusuk. Alicia segera mendekat untuk membantunya, "Aduh, sayangku, pelan-pelan, sakit sekali, ya?""Mm ...." Suara Yoana terdengar seperti hampir menangis. Merasakan rasa sakit di tubuhnya, kebenciannya terhadap Eleanor semakin membara. Dia ingin sekali menghancurkan Eleanor hingga tak bersisa.Alicia menepuk punggung Yoana untuk menenangkannya. "Bersabarlah sedikit lagi. Nanti aku dan ayahmu pasti akan menangkap perempuan itu untuk melampiaskan amarahmu."Yoana menahan amarah di dalam hatinya dan mengangguk dengan ekspresi penuh dendam. "Ibu, kita nggak boleh melepaskannya.""Ibu tahu, Sayang. Ibu tahu.""Soal Remy yang akan melakukan tes DNA sama anak itu, kalian harus mengawasi dengan sangat ketat. Nggak boleh ada kesalahan sekecil apa pun dalam hal ini." Yoana menggenggam tangan Alicia dan terus-menerus mengingatkannya."Baik, Ibu tentu tahu. Aku dan ayahmu sudah sangat berhati-hati. Kamu nggak perlu khawatir."Alicia memahami