"Kenapa wajahmu pucat sekali?" Jeremy mengerutkan alisnya, menatap Eleanor dengan tatapan penuh kecurigaan."Nggak apa-apa," jawab Eleanor dengan singkat, meskipun jelas terlihat tidak meyakinkan.Jeremy memandang wajah pucat Eleanor, jelas tidak percaya pada jawaban itu. Dia berdiri dan meraih pergelangan tangannya tanpa ragu dan menariknya mendekat. "Kamu terluka?" tanyanya dengan nada lebih serius.Tubuh Eleanor sedikit bergoyang akibat tarikan itu, tetapi dia segera menepis tangan Jeremy dan menatapnya dengan mata penuh emosi. Tatapan mereka bertemu dan Eleanor tidak bisa menghindari sorot mata Jeremy yang tampak penuh kekhawatiran.Ekspresi itu ... tidak mungkin pura-pura.Rasa dingin di mata Eleanor sedikit mereda, tergantikan oleh keraguan.Kemarin, Jeremy memaksanya menjalani pemeriksaan menyeluruh, tampak sangat peduli pada kondisinya. Sekarang, jika dia benar-benar mengirim orang untuk melukai dirinya seperti ini, rasanya tidak masuk akal.Ditambah lagi, sikap Jeremy saat ini
"Orang yang menculik anak itu menggunakan mobil ini. Daniel ada di dalam mobil ini. Kalau mereka menurunkan anak itu di depan kamera, cuma ada dua kemungkinan: di titik buta kamera selama satu menit, atau di dalam kotak sterofoam ini. Jeremy, apa pun kemungkinannya, anak itu sangat berbahaya sekarang," kata Eleanor dengan cepat.Jeremy menatap Eleanor yang gelisah, matanya semakin gelap. Dengan suara tegas, dia berkata, "Kamu tetap di sini. Aku akan suruh orang mencarinya."Eleanor menatap Jeremy dalam-dalam, lalu berkata dengan tegas, "Suruh mereka ikut denganku."Eleanor tidak akan tenang sampai dia melihat anaknya dengan matanya sendiri.Tanpa menunggu lebih lama lagi, dia langsung berlari keluar. Di tengah jalan, dia bertemu dengan Bella yang tampak terganggu oleh keributan di rumah.Melihat Eleanor, wajah Bella langsung berubah dingin. "Eleanor ...."Namun, Eleanor yang sedang terburu-buru tidak punya waktu untuk meladeninya. Dia langsung melewatinya tanpa berhenti. Melihat diriny
Hati Eleanor seolah-olah dicengkeram oleh tangan besar. Dia berusaha keras mengendalikan napasnya, tetapi saat berdiri, tubuhnya mundur selangkah.Jeremy langsung menatap dengan tajam, lalu segera mengangkat tangan untuk menahan tubuh wanita itu. Saat itu, dia baru merasakan tubuh Eleanor yang gemetaran.Andy berlari masuk dengan panik. "Bos, sudah cari, tapi nggak ketemu. Bu, apa mungkin kamu salah lihat?"Orang-orang dari Keluarga Adrian tidak mungkin berani mengambil tindakan terhadap Eleanor dan anak itu tanpa perintah dari Jeremy. Jelas, ini bukan perbuatan mereka."Nggak, nggak mungkin. Adrian, percayalah padaku. Dia memang di rumah ini. Aku sangat yakin." Eleanor mengangkat tangan dan meraih baju Jeremy. Pupil matanya yang bergetar menunjukkan betapa takutnya Eleanor sekarang.Jeremy mengerutkan alisnya. "Apa semua tempat sudah diperiksa?""Tempat-tempat yang kemungkinan akan dikunjungi sudah dicari, kecuali ruangan yang nggak diperbolehkan untuk masuk."Tatapan Jeremy menjadi s
Eleanor merasa semakin putus asa. Dia tidak tahu lagi harus berkata apa agar mereka percaya bahwa anak itu memang anak Jeremy.Bella menunjuk pintu dengan marah. "Sekarang juga keluar dari sini! Jangan coba-coba buat onar di rumah ini lagi! Nggak ada yang percaya omong kosongmu."Eleanor mengepalkan tangannya, menatap Jeremy lekat-lekat. "Jeremy, setiap kata yang kuucapkan sekarang adalah kebenaran. Daniel dan Harry, mereka adalah anakmu. Mereka adalah darah dagingmu, anak-anak Keluarga Adrian."Eleanor mengulurkan tangan dan menarik keras lengan baju Jeremy. "Kalau terjadi sesuatu pada Daniel hari ini, kamu akan menyesal seumur hidup. Aku mohon padamu, dia ada di rumah ini. Tolong cari dia, cari lagi."Jeremy menunduk menatap lengan bajunya. Kemudian, pandangannya perlahan-lahan naik dan tertuju pada wajah Eleanor.Begitu tatapan mereka bertemu, Jeremy merasakan getaran dingin di hatinya. Saat ini, perasaannya mulai kacau.Tangan itu terus menarik lengan bajunya, seolah-olah ingin men
Keduanya saling bertukar senyum. Mata mereka memancarkan kilauan yang penuh kebencian."Tunggu apa lagi, aku harus pergi ke sana untuk melihat situasi sekarang. Kamu tetap di sini," kata Yoana sambil mengambil tasnya dan berjalan keluar.Saat ini, seluruh Keluarga Adrian telah mengerahkan semua orang untuk mencari Daniel.Harry yang baru kembali dari luar, melihat Eleanor ada di sana. Dia langsung berlari kegirangan, "Mama, kalian lagi apa?"Eleanor merasa sangat senang, tetapi segera menyadari situasinya. "Harry?""Ya, Mama, ada apa? Apa yang kalian cari?"Eleanor menatap Harry dengan mata memerah. Dia menyahut dengan lembut, "Nggak apa-apa, nggak ada masalah."Kata-kata itu entah ditujukan untuk anaknya atau untuk dirinya sendiri."Harry, kamu pergi ke tempat yang lebih aman dulu ya?"Harry melihat semua orang sangat sibuk, seolah-olah ada masalah besar yang terjadi. Dia tidak bisa membantu karena hanya akan mengganggu. Jadi, dia pergi ke ruang tamu dan duduk.Bella melihat semua ora
Bella tersenyum tipis. Suasana hatinya jauh lebih baik. "Kamu benar, memang kamu yang paling baik. Bantu aku duduk di kursi roda, dorong aku ke lantai atas.""Baik, Bibi." Yoana tertawa dingin dalam hati. Mereka tidak akan bisa menemukan anak itu dalam waktu dekat. Kalaupun ketemu, mungkin anak itu sudah tak bernyawa lagi.Anak Eleanor akan meninggal di rumah Keluarga Adrian. Meskipun bisa berpikir rasional dan tahu Jeremy tidak ada hubungannya dengan itu, tetap saja ada luka yang tidak bisa disembuhkan dalam hatinya.Di antara Eleanor dan Jeremy, akan selalu ada jarak yang memisahkan. Mereka tidak mungkin bisa bersama lagi.....Semua orang kembali mencari dengan cermat. Andy mendekati Jeremy dengan ekspresi putus asa. "Bos, nggak ada tanda-tanda Tuan Daniel."Jeremy mengangkat tangannya untuk memijat dahinya. "Apa setiap sudut sudah diperiksa?"Eleanor mengatakan anak itu ada di sini, jadi Jeremy menyuruh orang memblokir setiap pintu keluar di rumah Keluarga Adrian. Tidak akan ada ya
Eleanor berusaha keras menahan Jeremy agar tidak menarik dirinya pergi. "Aku benaran nggak apa-apa.""Kamu terluka."Eleanor mengerutkan alis. "Cuma luka kecil.""Bohong."Jeremy menatapnya dengan tatapan suram yang penuh amarah. Tatapannya terkunci pada wajah yang memucat karena rasa sakit itu.Eleanor menarik napas dalam-dalam, berusaha mengabaikan rasa sakit di tubuhnya. "Yang penting adalah menemukan Daniel, aku nggak apa-apa.""Jangan keras kepala! Anak itu lebih penting dari dirimu?""Ya, anak itu lebih penting dari diriku. Kamu nggak menganggap mereka sebagai anak kandungmu, jadi kamu nggak akan mengerti. Daniel sudah mengalami begitu banyak penderitaan sejak kecil dan sekarang dia masih harus menderita. Bagiku, hal ini sama saja dengan membunuhku."Jeremy menatapnya beberapa saat. Ada kemarahan yang semakin memuncak di matanya. Namun, pada akhirnya dia melepaskan tangannya. "Ya sudah, terserah kamu!"Terserah jika wanita ini ingin mati. Jeremy sudah tidak peduli.Eleanor menaha
Yoana bertanya dengan lantang kepada Eleanor, pura-pura membela Bella. Namun, yang sebenarnya adalah dia takut orang di dalam belum mati. Dia sedang mencoba menunda waktu.Eleanor menarik napas dalam-dalam dan memohon, "Bibi Bella, aku ... minta tolong padamu. Anakku mungkin ada di dalam. Biarkan kami masuk dan melihat ...."Segera setelah ucapan itu dilontarkan, terdengar suara yang samar seperti ketukan lantai dari dalam kamar."Mama," panggil Harry dengan cemas.Hati Eleanor langsung bergetar. Tanpa peduli pada Bella yang menariknya, dia melangkah maju dan menempelkan telinganya ke pintu. Setelah mendengarkan dengan saksama, matanya berbinar-binar. "Jeremy, ada suara, memang ada suara di dalam."Jeremy mengepalkan tangannya. "Buka pintunya.""Nggak boleh!" teriak Bella.Suasana langsung menjadi menegangkan.Andy dan para pelayan terdiam, tidak ada yang berani bersuara. Mereka tidak tahu harus berbuat apa.Jeremy menatap Bella dengan tatapan dingin. Bella gemetaran saking murkanya. "
Andy juga memandang Harry dengan penuh kekaguman. Harry menatap Tora dengan tegas dan berkata, "Tadi kamu bilang transfer itu dari akun anonim. Sekarang keluarkan detail transaksi transfernya."Tora berniat menolak, tetapi seketika merasakan dinginnya moncong pistol yang ditekan ke pelipisnya.Dengan nada dingin, Andy berkata, "Pak Tora, kami sudah sangat menghormati Anda. Kalau Anda terus keras kepala, Anda mungkin nggak akan keluar dari rumah ini hidup-hidup. Pikirkan baik-baik. Lagi pula, kata sandi komputer Anda sudah dibobol. Menemukan catatan transfer itu hanya masalah waktu."Tora tahu mereka tidak main-main. Mereka akan benar-benar melakukannya.Dengan gigi terkatup rapat, dia akhirnya mengalah. Meski dengan sangat enggan, Tora mengeluarkan catatan transaksi dari komputernya.Jeremy melihat ke arah Harry yang masih sibuk dengan komputer. "Bisa temukan identitas pengirimnya?""Ya. Tapi ini butuh sedikit waktu," jawab Harry sambil jari-jarinya terus menari di atas keyboard. Seten
Itu adalah laptop miliknya dan laptop itu disimpan dengan aman di kantornya. Pintu kantor hanya bisa dibuka dengan sidik jarinya, bahkan gergaji listrik pun tidak akan mampu membukanya.Tora menatap Jeremy dengan keterkejutan luar biasa. Jangan-jangan, monster ini menggunakan bahan peledak untuk menghancurkan pintu kantornya? Bukan hanya itu. Kantornya sangat tersembunyi dan anak buahnya tidak akan membiarkan siapa pun dari pihak Jeremy masuk begitu saja.Satu-satunya kemungkinan adalah orang-orang Jeremy menerobos masuk, membantai semua yang menghalangi mereka, menghancurkan pintu kantornya, dan menemukan laptop itu.Tora ternganga, mulutnya terbuka lebar karena terkejut, tetapi terlalu marah untuk mengatakan apa-apa. Tidak heran dia ditahan di sini begitu lama. Ternyata ini semua adalah bagian dari rencana Jeremy!Luar biasa, sungguh luar biasa! Tora hampir meledak karena marah.Namun Jeremy tetap menunjukkan ekspresi tenang yang dingin.Di bawah tatapan Jeremy, Andy membuka laptop i
Eleanor selalu licik dan penuh tipu muslihat. Yoana mulai curiga bahwa Eleanor sengaja meminta dokter mengatakan hal itu agar mereka lengah."Jangan terlalu banyak berpikir. Fokus saja untuk memulihkan diri," kata Alicia. Namun, karena jari-jarinya yang sangat sakit, dia hanya sempat mengucapkan beberapa kata sebelum buru-buru pergi mencari dokter.Yoana tetap tidak bisa tenang. Matanya memicing dengan tajam. "Ayah, di mana Remy? Kenapa dia tiba-tiba meninggalkan rumah sakit?"Patrick mengerutkan alis. "Aku juga nggak tahu."Yoana merasa ada yang tidak beres dengan kepergian Jeremy dari rumah sakit secara tiba-tiba. Rasa cemas mulai menyelimuti pikirannya.Setelah mempertimbangkan cukup lama ...."Ayah, aku tetap merasa ini nggak benar. Anak itu nggak boleh dibiarkan hidup. Kalau dia nggak mati, semua usaha kita selama ini akan sia-sia," kata Yoana dengan geram."Aku akan utus orang untuk terus awasi. Kita lihat dulu beberapa waktu ke depan sebelum bertindak," jawab Patrick yang tidak
Dengan mata merah dan berkaca-kaca, Eleanor menarik napas dalam-dalam, lalu berdiri dan menatap dokter. "Terima kasih banyak, Dokter."Dokter memberikan beberapa instruksi sebelum hendak pergi, tetapi Eleanor memanggilnya kembali. "Dokter, tunggu sebentar.""Ada yang bisa saya bantu lagi, Bu Eleanor?"Eleanor melirik ke luar ruangan, lalu menurunkan suaranya. "Aku ingin minta bantuan Anda untuk sesuatu ...."Setelah mendengarkan permintaan Eleanor, dokter melihat ke arah luar, lalu mengangguk dan berkata, "Baik, saya mengerti.""Terima kasih banyak.""Ini juga demi keselamatan pasien, sudah seharusnya," jawab dokter.Di luar, Patrick dan Alicia masih enggan pergi. Mendengar kabar bahwa anak Eleanor sadar, wajah mereka berubah suram.Ketika dokter keluar dari kamar, Bella segera mendekat untuk bertanya. Patrick dan Alicia juga memperhatikan dengan saksama."Dokter, bagaimana kondisi anak itu? Kalau dia sudah sadar, apakah berarti dia nggak dalam bahaya lagi?" tanya Bella dengan penuh ke
Dua pengawal Keluarga Adrian segera maju untuk melindungi Eleanor. Namun tiba-tiba, terdengar suara teguran keras dari belakang. "Aku mau lihat siapa yang berani!"Semua orang menoleh ke arah suara itu dan terlihat Bella sedang duduk di kursi roda dengan didorong oleh seorang pelayan.Karena merasa bersalah, Bella tidak datang menjenguk Daniel selama beberapa hari terakhir. Namun hari ini, dia memutuskan untuk datang dan langsung melihat keributan ini."Apa-apaan ini? Ini tempat apa? Rumah sakit! Siapa yang suruh kalian buat keributan di sini?" Bella menatap tajam ke arah kerumunan dan suaranya penuh kemarahan.Sungguh tidak tahu aturan.Tidak ada yang memikirkan tempat ini adalah rumah sakit. Anak di dalam sedang berjuang hidup, tetapi mereka masih punya keberanian untuk membuat keributan di depan kamar.Eleanor akhirnya melepaskan tangan Alicia yang hampir pingsan karena rasa sakit. Alicia terhuyung mundur beberapa langkah sebelum akhirnya ditahan oleh Patrick.Dengan nada penuh amar
"Maaf, Pak Patrick. Bos kami sudah memberi perintah untuk menjaga tempat ini, kami nggak bisa membiarkan Anda masuk," jawab salah satu pengawal dengan nada tegas."Kalau begitu, sampaikan pada Jeremy bahwa aku yang memerintah. Suruh dia datang menemuiku kalau berani. Aku jamin kalian nggak akan mendapat masalah," kata Patrick dengan nada sombong.Wajah pengawal itu menunjukkan sedikit keengganan. "Pak Patrick, bukankah Anda hanya berani datang karena tahu Bos kami lagi nggak di sini? Kalau Pak Jeremy marah, Anda sendiri juga nggak akan aman, apalagi menjamin keselamatan kami."Mereka tidak datang di saat Jeremy berada di sana, tapi langsung muncul begitu dia pergi. Jelas sekali mereka takut pada Jeremy. Pengawal-pengawal itu bukan orang bodoh dan mereka tidak akan termakan oleh ancaman kosong seperti itu.Patrick semakin marah melihat mereka tetap keras kepala. "Kalian mau minggir atau nggak? Kalau nggak, jangan salahkan kami kalau harus bertindak kasar!""Silakan saja, tapi hari ini A
Eleanor berpikir sejenak dan kira-kira bisa menebak siapa yang melakukannya. Jika memang demikian, anggap saja itu ulahnya, dia tidak peduli!Jeremy perlahan mengalihkan pandangannya. "Aku nggak bilang begitu.""Kalau kamu berpikir begitu, itu juga nggak salah," Eleanor mengangguk, mengakui tanpa ragu-ragu.Saat itu, dokter keluar dari ruang perawatan intensif. Eleanor segera berdiri. Dokter mengangguk, memberi isyarat bahwa dia sekarang bisa masuk untuk menemani Daniel.Eleanor tidak mengatakan apa-apa lagi pada Jeremy dan langsung masuk ke kamar.Daniel masih seperti kemarin, mengenakan masker oksigen. Wajah kecilnya pucat, matanya tertutup rapat, seolah-olah tidak ada tanda-tanda kehidupan.Melihat kondisi Daniel seperti itu, Eleanor merasa seluruh kekuatannya lenyap. Dia menarik napas dalam beberapa kali, tetapi rasa sesak di dadanya tidak kunjung hilang.Seperti biasa, Eleanor duduk di samping Daniel dan menggenggam tangannya yang kecil dengan hati-hati. Dia mulai bercerita dengan
Para pelayan yang sebelumnya ketakutan oleh kejadian tadi hanya bisa bersembunyi di sudut ruangan. Ketika mereka sadar dan ingin mengejar, semuanya sudah terlambat.Pintu kamar Yoana dipenuhi orang-orang yang berkumpul untuk menyaksikan pemandangan kacau dan agak menyeramkan di dalam. Banyak di antara mereka mengeluarkan ponsel dan mulai merekam."Astaga, apa yang dilakukan dua orang ini sampai dibalas seperti ini?""Iya, pasti mereka melakukan sesuatu yang buruk. Kalau nggak, siapa yang tega membalas dendam sekejam ini?"Tiara keluar dari kamar dengan penampilan yang sangat berantakan. Orang-orang di sekitar langsung menutup hidung dan menjauh darinya."Astaga, baunya menyengat sekali! Cepat masuk lagi, jangan keluar!""Benar, jangan mengganggu orang lain dengan bau ini."Komentar orang-orang membuat Tiara merasa sangat malu. Dengan wajah merah padam, dia kembali ke kamar dengan penuh rasa malu dan amarah.Namun, kamar itu sendiri sudah dipenuhi bau amis darah yang sangat menyengat, m
"Hah, tunggu saja," kata Glenn sambil menatap dengan sorot mata yang gelap, lalu berjalan ke jendela dan menelepon seseorang.Vivi memandangnya dengan bingung, tidak tahu apa yang dia rencanakan.Setengah jam kemudian.Entah dari mana, mereka berhasil mendapatkan dua jas putih seperti dokter. Dengan masing-masing membawa dua ember putih, mereka tiba di depan kamar Yoana.Vivi memandang benda yang dipegangnya, lalu menoleh ke arah Glenn yang kini telah menyamar dengan sangat rapi. "Kamu yakin nggak akan ada yang mengenalimu?""Apa yang perlu ditakutkan? Aku lagi menjalankan misi kebenaran."Vivi mengangkat ibu jarinya dengan kagum. "Hanya karena kamu bilang itu misi kebenaran, aku resmi jadi temanmu."Glenn menyeringai, "Sama-sama.""Ayo."Mereka berdua mendorong pintu kamar. Yoana sedang bersandar di tempat tidur sambil bermain ponsel. Wajahnya sudah terlihat jauh lebih baik. Luka-lukanya memang menyakitkan, tetapi tidak sampai mengancam nyawa.Keluarga Pratama yang kaya telah menyedia