Setelah selesai berbicara, Yoana mendongak dan menghabiskan anggurnya dalam tegukan besar. Ekspresi Jeremy sedikit berubah, tetapi dia tidak menghentikannya."Yoana, sudah cukup. Jangan minum lagi," ucap Bella dengan nada sedikit prihatin.Namun, Yoana tidak mendengarkan. Kali ini, dia menuang segelas penuh anggur untuk dirinya sendiri. Dengan mata berkaca-kaca, dia menatap mereka dengan penuh ketulusan sambil berujar, "Bibi, aku belum selesai bicara. Biarkan aku menyelesaikan ini."Tatapan Yoana beralih kembali ke Jeremy. Dia melanjutkan, "Remy, aku tahu kamu marah padaku. Aku sudah melakukan banyak kesalahan, bahkan berusaha menjebak Eleanor. Tapi, itu semua karena aku terlalu mencintaimu. Aku takut kehilanganmu."Yoana menambahkan, "Remy, aku sadar aku salah. Aku akan berubah. Aku benar-benar akan berubah. Tolong jangan batalkan pertunangan kita ya?""Apa?" Bella hampir berdiri dari tempat duduknya. Dia bertanya, "Batalkan pertunangan? Remy, apa maksudnya?"Ekspresi wajah Jeremy ber
Di saat keraguan meliputi, pintu tiba-tiba terbuka dari dalam. Tarimi keluar sambil membawa sekantong sampah. Ketika melihat pria yang berdiri di depan pintu, dia tampak terkejut sesaat, lalu dengan sengaja menutup pintu.Melihat hal itu, Yoana melangkah maju menahan pintu dan bertanya, "Bibi, Bu Eleanor ada di rumah?""Hari ini dia nggak di rumah. Ada urusan apa kalian mencarinya?" tanya Tarimi.Yoana tersenyum tipis. "Nggak ada urusan penting. Jadi, cuma Bibi sendiri di rumah?"Tarimi mengangguk. "Iya."Baru saja kata-kata itu dilontarkan, suara film animasi terdengar dari dalam rumah yang hening. Sudut bibir Yoana melengkung membentuk senyuman. "Cuma Bibi sendiri, 'kan? Apa Bibi masih suka nonton film animasi?"Wajah Tarimi langsung berubah gugup. Dia buru-buru mencoba menutup pintu sambil berkata, "Nggak, nggak ada suara film animasi. Kamu salah dengar."Melihat ekspresi gugup Tarimi, Yoana semakin merasa puas. Dia menahan pintu dengan tangannya dan berkata, "Oh, begitu? Mungkin ka
Mendengar ucapan itu, keraguan di mata Jeremy sedikit mereda dan dia diam-diam menghela napas lega. Terlepas dari apakah bocah di depannya benar-benar Daniel atau bukan, sudah jelas tuduhan Yoana bahwa Eleanor membawa seorang anak berusia tiga tahun adalah sebuah kebohongan.Kata-kata Daniel sebelumnya telah disesuaikan dengan Harry. Pakaian yang dikenakan Daniel juga telah ditukar dengan milik Harry. Namun, mereka tidak yakin apakah Jeremy akan memercayainya."Papa, kenapa kamu datang ke tempat Mama?" Daniel bertanya balik kepada Jeremy.Jeremy mengernyitkan alis. "Nggak ada alasan tertentu."Tatapan Jeremy berubah dingin seperti sebilah pisau tajam yang diarahkan ke Yoana. "Mana anak yang kamu bicarakan itu?"Yoana merasa tubuhnya merinding saat bertemu dengan tatapan dingin Jeremy. Melihat situasi ini, dia merasa ragu dan mulai curiga apakah dirinya telah salah percaya pada kebohongan yang dibuat oleh Tiara bodoh itu.Anak yang disebut-sebut itu tidak pernah ditemukan, bahkan kali i
Yoana menyunggingkan senyuman tipis. "Tengah malam begini Bu Eleanor nggak pulang ke rumah, malah pergi ke hotel. Apa yang dia lakukan di sana?""Aku nggak tahu soal itu. Dia nggak bilang apa-apa," jawab Tiara dengan nada acuh tak acuh.Senyuman di sudut bibir Yoana semakin sulit disembunyikan. Meskipun dia tidak menemukan anak Eleanor, rencananya tetap berjalan. Malam ini, Eleanor dipastikan tidak akan bisa lolos lagi."Jeremy, Bu Eleanor pergi ke hotel selarut ini. Jangan-jangan ada sesuatu yang terjadi padanya?"Jeremy tidak mengatakan apa-apa, tetapi wajahnya terlihat dingin dan suram. Mata gelapnya penuh dengan ketegasan. Saat itu, telepon dari Andy masuk. "Bos, lokasi ponsel Bu Eleanor ada di Hotel Orchard.""Papa." Daniel melangkah maju. "Mama pasti dalam bahaya. Dia biasanya nggak pernah pergi ke hotel, apalagi nggak menjawab telepon."Yoana yang berdiri di samping, memutar matanya sedikit, lalu berkata, "Siapa tahu Bu Eleanor lagi sibuk." Ucapan Yoana memiliki maksud tersembun
Eleanor sedikit memiringkan kepala dan berkata dengan tenang, "Kusarankan kalian pikir ulang sebelum bertindak.""Hah, kamu cuma seorang wanita, apa yang perlu kami takuti? Serang dia!""Benar, lihat saja bagaimana kami akan mempermainkanmu!"Ketika salah satu preman mencoba menyentuh Eleanor, sebuah senyuman dingin muncul di sudut bibirnya. Begitu tangannya hampir mengenai tubuh Eleanor, Eleanor mengangkat kakinya dan menendang keras ke arah perut preman itu.Preman itu tidak siap dan langsung terlempar ke lantai. Eleanor menatapnya dengan dingin. Dua preman lainnya hanya bisa melongo, menyaksikan Eleanor mengalahkan teman mereka dengan cepat. Mata mereka mulai menunjukkan rasa takut.Wanita ini jelas memiliki kemampuan bela diri.Situasi mulai berbalik. Ketakutan mulai menyelimuti kedua preman itu dan mereka mundur tanpa berani mendekat. Ekspresi Eleanor tetap dingin dan penuh ketenangan, membuat siapa pun yang melihatnya merasa gentar.Tiara yang melihat anak buahnya tidak berguna,
Eleanor langsung mengerutkan kening dan melancarkan serangan ke arah orang yang menangkapnya tanpa ragu.Namun, kecepatan lawan jauh melampaui dirinya. Dalam sekejap, pria itu menghindar dengan mudah, kemudian memutar pergelangan tangannya dan menekan tubuh Eleanor ke dinding.Saat Eleanor mendongak, dia langsung melihat wajah tampan yang penuh kesan santai. Pria itu mengenakan setelan jas hitam, dengan beberapa kancing kemeja bagian dalam yang sengaja dibiarkan terbuka."Charlie?" Eleanor akhirnya menghela napas lega."Sudah kubilang untuk sering berlatih, tapi kamu malah malas-malasan. Di hadapanku saja, kamu nggak bisa melancarkan satu serangan pun. Jangan bilang kamu belajar dariku kalau keluar nanti."Nada bicaranya yang santai terdengar di telinga Eleanor."Jangan bercanda dan lepaskan aku!" Tubuh Eleanor terasa semakin tidak nyaman. Bahkan setelah dia keluar, efek aroma dari kamar itu masih cukup kuat. Tubuhnya mulai terasa panas dan dia bersandar ke dinding untuk menenangkan di
Jeremy berjalan dengan langkah besar menuju hotel dengan wajah suram. Bahkan Yoana yang mengikuti di belakangnya juga tidak berani mengatakan apa-apa. Dalam hati Yoana dipenuhi kegembiraan.Eleanor si wanita menjijikkan itu, akhirnya akan hancur malam ini. Dia tidak percaya Jeremy tidak akan merasa jijik dan membencinya jika melihat Eleanor bersama beberapa pria dalam situasi memalukan.Dengan penuh semangat, Yoana melangkah cepat mengikuti Jeremy masuk ke dalam hotel.Namun, saat mereka masuk, beberapa polisi berseragam juga tampak tergesa-gesa masuk. Setelah menunjukkan identitas mereka kepada staf hotel, para polisi itu segera diarahkan menuju sebuah kamar.Yoana mendengar dengan jelas bahwa kamar yang dituju polisi adalah kamar 406, kamar yang telah dia atur untuk Eleanor, dengan tuduhan melakukan transaksi tidak senonoh. Kegembiraan Yoana semakin memuncak.Dia tidak menyangka Tiara begitu cerdas kali ini dengan melibatkan polisi dan memastikan kehancuran total Eleanor."Jeremy, se
Jeremy tidak memedulikan Yoana sama sekali dan berjalan pergi tanpa menoleh ke belakang.Di tengah langkahnya, Jeremy menerima telepon dari Andy yang melaporkan bahwa Eleanor telah meninggalkan hotel sekitar sepuluh menit yang lalu. Setelah keluar dari hotel, sinyal ponselnya menghilang, kemungkinan karena baterai habis dan ponsel mati.Segera setelah itu, Andy mengirimkan rekaman CCTV hotel ke ponsel Jeremy. Saat Jeremy melihat video itu, hatinya terasa sakit.Dalam rekaman itu, terlihat Eleanor meninggalkan hotel bersama Charlie.Yoana yang masih berdiri di depan kamar hotel, menatap kosong ke arah punggung Jeremy yang pergi tanpa ragu. Tubuhnya terasa kaku. Dia tidak tahu apakah Jeremy terlalu percaya pada Eleanor, atau justru terlalu tidak memercayainya.Namun, itu tidak masalah.Meskipun Jeremy tidak melihat dengan matanya sendiri, dia masih memiliki rencana cadangan. Dia telah meminta Tiara untuk merekam segalanya. Yoana yakin bahwa rekaman video itu akan memberikan dampak yang l
Ketika membayangkan akibatnya, Yoana mengacak-ngacak rambutnya dengan frustrasi. "Ibu, aku takut sekali. Kenapa semuanya jadi begini? Aku mengira semua akan berjalan lancar.""Jangan panik, pasti ada cara. Aku akan segera membicarakannya dengan ayahmu.""Ya, ya. Ibu, cepat pergi."Yoana memaksakan diri untuk tenang. Setelah berpikir dengan saksama, dia bergegas mencari ponselnya di atas ranjang dan menelepon Tiara. "Cepat kemari."Setelah mengakhiri panggilan, Yoana terduduk lemas. Tatapannya dipenuhi ketakutan.Segera, Tiara tiba. "Kak Yoana, kenapa buru-buru memanggilku kemari? Ada apa?"Saat melihat Yoana duduk lemas di lantai, Tiara segera menghampirinya. "Kamu kenapa?"Yoana perlahan-lahan mengalihkan pandangannya ke wajah Tiara. Dia meraih kerah baju Tiara, lalu menariknya untuk mendekat dan bertanya dengan nada tajam, "Tiara, apa kamu akan mengkhianatiku?"Tiara sontak terbelalak. Dia tidak mengerti kenapa Yoana tiba-tiba melontarkan pertanyaan seperti ini. "Kenapa tiba-tiba tan
"Daniel juga anak yang kubesarkan, sudah seharusnya aku menjaganya."Eleanor tersenyum tipis sambil menggigit bibirnya. "Kapan kamu berencana melakukan tes DNA?"Jeremy mengernyit sedikit. Selama dua hari ini, dia terlalu mengkhawatirkan Daniel dan sibuk menyelidiki pelaku sebenarnya sehingga menunda rencana tes DNA."Secepatnya.""Oke." Eleanor mengangguk. "Jangan sampai ada yang tahu."Jeremy tentu memahami maksud Eleanor. "Ya."Untuk pertama kalinya, keduanya membahas hal seperti ini dengan tenang. Mungkin karena tatapan Eleanor yang sangat tulus, Jeremy merasakan perasaan aneh di dalam hati. Tanpa disadarinya, ada harapan kecil di dalam hatinya.Mungkin saja kedua hasil tes DNA sebelumnya memang salah? Apa mungkin kedua anak ini benar-benar anak kandungnya? Jika benar, lantas apa yang sebenarnya terjadi malam itu? Malam itu, yang berbaring di sampingnya jelas-jelas adalah Yoana, sementara Eleanor keluar dari kamar lain.Berbagai pikiran kacau berkelebat di benak Jeremy. Jeremy meng
Andy juga memandang Harry dengan penuh kekaguman. Harry menatap Tora dengan tegas dan berkata, "Tadi kamu bilang transfer itu dari akun anonim. Sekarang keluarkan detail transaksi transfernya."Tora berniat menolak, tetapi seketika merasakan dinginnya moncong pistol yang ditekan ke pelipisnya.Dengan nada dingin, Andy berkata, "Pak Tora, kami sudah sangat menghormati Anda. Kalau Anda terus keras kepala, Anda mungkin nggak akan keluar dari rumah ini hidup-hidup. Pikirkan baik-baik. Lagi pula, kata sandi komputer Anda sudah dibobol. Menemukan catatan transfer itu hanya masalah waktu."Tora tahu mereka tidak main-main. Mereka akan benar-benar melakukannya.Dengan gigi terkatup rapat, dia akhirnya mengalah. Meski dengan sangat enggan, Tora mengeluarkan catatan transaksi dari komputernya.Jeremy melihat ke arah Harry yang masih sibuk dengan komputer. "Bisa temukan identitas pengirimnya?""Ya. Tapi ini butuh sedikit waktu," jawab Harry sambil jari-jarinya terus menari di atas keyboard. Seten
Itu adalah laptop miliknya dan laptop itu disimpan dengan aman di kantornya. Pintu kantor hanya bisa dibuka dengan sidik jarinya, bahkan gergaji listrik pun tidak akan mampu membukanya.Tora menatap Jeremy dengan keterkejutan luar biasa. Jangan-jangan, monster ini menggunakan bahan peledak untuk menghancurkan pintu kantornya? Bukan hanya itu. Kantornya sangat tersembunyi dan anak buahnya tidak akan membiarkan siapa pun dari pihak Jeremy masuk begitu saja.Satu-satunya kemungkinan adalah orang-orang Jeremy menerobos masuk, membantai semua yang menghalangi mereka, menghancurkan pintu kantornya, dan menemukan laptop itu.Tora ternganga, mulutnya terbuka lebar karena terkejut, tetapi terlalu marah untuk mengatakan apa-apa. Tidak heran dia ditahan di sini begitu lama. Ternyata ini semua adalah bagian dari rencana Jeremy!Luar biasa, sungguh luar biasa! Tora hampir meledak karena marah.Namun Jeremy tetap menunjukkan ekspresi tenang yang dingin.Di bawah tatapan Jeremy, Andy membuka laptop i
Eleanor selalu licik dan penuh tipu muslihat. Yoana mulai curiga bahwa Eleanor sengaja meminta dokter mengatakan hal itu agar mereka lengah."Jangan terlalu banyak berpikir. Fokus saja untuk memulihkan diri," kata Alicia. Namun, karena jari-jarinya yang sangat sakit, dia hanya sempat mengucapkan beberapa kata sebelum buru-buru pergi mencari dokter.Yoana tetap tidak bisa tenang. Matanya memicing dengan tajam. "Ayah, di mana Remy? Kenapa dia tiba-tiba meninggalkan rumah sakit?"Patrick mengerutkan alis. "Aku juga nggak tahu."Yoana merasa ada yang tidak beres dengan kepergian Jeremy dari rumah sakit secara tiba-tiba. Rasa cemas mulai menyelimuti pikirannya.Setelah mempertimbangkan cukup lama ...."Ayah, aku tetap merasa ini nggak benar. Anak itu nggak boleh dibiarkan hidup. Kalau dia nggak mati, semua usaha kita selama ini akan sia-sia," kata Yoana dengan geram."Aku akan utus orang untuk terus awasi. Kita lihat dulu beberapa waktu ke depan sebelum bertindak," jawab Patrick yang tidak
Dengan mata merah dan berkaca-kaca, Eleanor menarik napas dalam-dalam, lalu berdiri dan menatap dokter. "Terima kasih banyak, Dokter."Dokter memberikan beberapa instruksi sebelum hendak pergi, tetapi Eleanor memanggilnya kembali. "Dokter, tunggu sebentar.""Ada yang bisa saya bantu lagi, Bu Eleanor?"Eleanor melirik ke luar ruangan, lalu menurunkan suaranya. "Aku ingin minta bantuan Anda untuk sesuatu ...."Setelah mendengarkan permintaan Eleanor, dokter melihat ke arah luar, lalu mengangguk dan berkata, "Baik, saya mengerti.""Terima kasih banyak.""Ini juga demi keselamatan pasien, sudah seharusnya," jawab dokter.Di luar, Patrick dan Alicia masih enggan pergi. Mendengar kabar bahwa anak Eleanor sadar, wajah mereka berubah suram.Ketika dokter keluar dari kamar, Bella segera mendekat untuk bertanya. Patrick dan Alicia juga memperhatikan dengan saksama."Dokter, bagaimana kondisi anak itu? Kalau dia sudah sadar, apakah berarti dia nggak dalam bahaya lagi?" tanya Bella dengan penuh ke
Dua pengawal Keluarga Adrian segera maju untuk melindungi Eleanor. Namun tiba-tiba, terdengar suara teguran keras dari belakang. "Aku mau lihat siapa yang berani!"Semua orang menoleh ke arah suara itu dan terlihat Bella sedang duduk di kursi roda dengan didorong oleh seorang pelayan.Karena merasa bersalah, Bella tidak datang menjenguk Daniel selama beberapa hari terakhir. Namun hari ini, dia memutuskan untuk datang dan langsung melihat keributan ini."Apa-apaan ini? Ini tempat apa? Rumah sakit! Siapa yang suruh kalian buat keributan di sini?" Bella menatap tajam ke arah kerumunan dan suaranya penuh kemarahan.Sungguh tidak tahu aturan.Tidak ada yang memikirkan tempat ini adalah rumah sakit. Anak di dalam sedang berjuang hidup, tetapi mereka masih punya keberanian untuk membuat keributan di depan kamar.Eleanor akhirnya melepaskan tangan Alicia yang hampir pingsan karena rasa sakit. Alicia terhuyung mundur beberapa langkah sebelum akhirnya ditahan oleh Patrick.Dengan nada penuh amar
"Maaf, Pak Patrick. Bos kami sudah memberi perintah untuk menjaga tempat ini, kami nggak bisa membiarkan Anda masuk," jawab salah satu pengawal dengan nada tegas."Kalau begitu, sampaikan pada Jeremy bahwa aku yang memerintah. Suruh dia datang menemuiku kalau berani. Aku jamin kalian nggak akan mendapat masalah," kata Patrick dengan nada sombong.Wajah pengawal itu menunjukkan sedikit keengganan. "Pak Patrick, bukankah Anda hanya berani datang karena tahu Bos kami lagi nggak di sini? Kalau Pak Jeremy marah, Anda sendiri juga nggak akan aman, apalagi menjamin keselamatan kami."Mereka tidak datang di saat Jeremy berada di sana, tapi langsung muncul begitu dia pergi. Jelas sekali mereka takut pada Jeremy. Pengawal-pengawal itu bukan orang bodoh dan mereka tidak akan termakan oleh ancaman kosong seperti itu.Patrick semakin marah melihat mereka tetap keras kepala. "Kalian mau minggir atau nggak? Kalau nggak, jangan salahkan kami kalau harus bertindak kasar!""Silakan saja, tapi hari ini A
Eleanor berpikir sejenak dan kira-kira bisa menebak siapa yang melakukannya. Jika memang demikian, anggap saja itu ulahnya, dia tidak peduli!Jeremy perlahan mengalihkan pandangannya. "Aku nggak bilang begitu.""Kalau kamu berpikir begitu, itu juga nggak salah," Eleanor mengangguk, mengakui tanpa ragu-ragu.Saat itu, dokter keluar dari ruang perawatan intensif. Eleanor segera berdiri. Dokter mengangguk, memberi isyarat bahwa dia sekarang bisa masuk untuk menemani Daniel.Eleanor tidak mengatakan apa-apa lagi pada Jeremy dan langsung masuk ke kamar.Daniel masih seperti kemarin, mengenakan masker oksigen. Wajah kecilnya pucat, matanya tertutup rapat, seolah-olah tidak ada tanda-tanda kehidupan.Melihat kondisi Daniel seperti itu, Eleanor merasa seluruh kekuatannya lenyap. Dia menarik napas dalam beberapa kali, tetapi rasa sesak di dadanya tidak kunjung hilang.Seperti biasa, Eleanor duduk di samping Daniel dan menggenggam tangannya yang kecil dengan hati-hati. Dia mulai bercerita dengan