Saat ini, Jeremy seperti menyadari sesuatu. Dia mendongak dan memandang Eleanor.Eleanor termangu, lalu berbalik untuk kembali. Namun, dia merasa tindakannya ini terlalu aneh. Dia lantas menghentikan langkahnya dengan paksa.Andy dan Harry yang berdiri di samping tentu melihatnya. Mereka tanpa sadar menggaruk kepala masing-masing.Eleanor merasa ada tatapan dingin yang dilontarkan kepadanya. Tubuhnya tak kuasa merinding. Jeremy menatap Eleanor dengan tatapan suram. Ternyata wanita ini masih bisa berinisiatif menemuinya? Heh. Jangan kira dia akan berbicara dengan Eleanor hanya karena Eleanor mencarinya.Setelah berpikir begitu, Jeremy mengangkat tangannya untuk merapikan jas mahalnya. Di sisi lain, Eleanor berdiri di tempatnya dengan ragu. Tangannya terkepal dengan erat.Insiden malam itu segera muncul di otaknya. Dia tidak bisa melupakannya sampai sekarang. Makanya, dia tidak bisa mengobrol dengan Jeremy seolah-olah tidak ada masalah yang terjadi.Selain itu, tatapan Jeremy begitu ding
"Aku serius. Kalau aku bohong, kamu jadi anjing." Harry menunjukkan senyuman yang sangat tulus.Jeremy menatap ekspresi Harry yang berseri-seri. Dia menyunggingkan bibirnya sedikit. "Kalau kamu bohong, kamu jadi anjing?""Nggak mau." Harry tidak mau jadi anjing.Jeremy meliriknya. "Dasar kamu ini." Dia tahu Eleanor tidak mungkin berbicara sebanyak itu."Papa, kamu sudah senang?"Jeremy menyingkirkan senyumannya. Dengan ekspresi datar, dia menyahut, "Nggak."Harry lantas menggembungkan pipinya. Susah sekali membujuk ayahnya ini. "Ya sudah, kamu lanjut marah saja."Meskipun Jeremy membantah, ekspresi di wajahnya menunjukkan semuanya dengan jelas. Jeremy tidak marah lagi. Andy bisa merasakan perubahan pada suasana di dalam mobil.Andy sungguh tidak menyangka bosnya ini begitu mudah untuk dibujuk. Hanya dengan beberapa kalimat dari Eleanor, suasana hati bosnya membaik. Ini sungguh di luar nalar.....Setelah sampai di rumah Keluarga Adrian, Harry mengikuti di belakang Jeremy. Ketika hendak
Tiara membungkukkan badannya, wajahnya terlihat suram.Mood Yoana memang sedang jelek, terutama dua hari ini. Dia benar-benar seperti orang yang salah makan obat. Tiara harus sangat berhati-hati jika bicara dengannya. Jika salah sedikit saja, Yoana bisa langsung meledak."Mungkin dia terlalu hati-hati .... Kamu juga tau dia licik sekali. Kasih aku waktu lagi ya?""Waktu?" Yoana mengernyit. "Jeremy saja sudah mau batalin pernikahan kami gara-gara Eleanor si jalang itu. Kalau aku kasih kamu waktu, siapa yang kasih aku waktu?"Tiara terkejut. Jeremy mau membatalkan pernikahannya dengan Yoana? Pantas saja, beberapa hari ini Yoana marah-marah terus. Ternyata ini penyebabnya.Tiara maju selangkah. "Pasti Eleanor yang merayu Pak Jeremy.""Kamu kira aku nggak tahu?" Yoana menatap dengan galak. Hatinya diliputi kebencian dan dendam. Eleanor. Sebenarnya apa yang membuat Jeremy begitu terobsesi pada Yoana? Sial!Yoana tidak akan membiarkan pernikahannya dengan Jeremy batal. Posisi Nyonya Keluarga
Di rumah Keluarga Haningrat.Malam itu, Eleanor kembali ke rumah untuk makan malam. Jovita terlihat sangat bahagia. Dia bahkan memasak hampir semua hidangan favorit Eleanor."Eleanor, duduklah di sini," ujar Jovita sambil menepuk kursi di sebelahnya. Dia mengisyaratkan agar Eleanor duduk di sampingnya.Eleanor sebenarnya tidak memiliki perasaan apa pun terhadap rumah ini. Ketika duduk di meja makan sambil memandang berbagai hidangan lezat di depannya, dia sama sekali tidak berselera makan. Namun karena Jovita selama ini memperlakukannya dengan sangat baik, Eleanor merasa tidak pantas menolak undangan tersebut sebagai seorang cucu. Setelah duduk, dia menyadari ada pertukaran pandangan samar antara Tiara dan Felicia."Hari ini, Eleanor jarang-jarang pulang. Nenekmu pasti sangat senang," ujar Felicia sambil tersenyum palsu. Dia melanjutkan dengan ramah, "Eleanor, kalau ada waktu sering-seringlah pulang. Bagaimanapun, ini rumahmu juga."Jari Eleanor bergerak pelan di sekitar sumpitnya. Su
Eleanor menghabiskan seluruh mangkuk sup yang diberikan kepadanya. Setelah meletakkan mangkuk kosong di atas meja, dia mengangkat pandangannya dan menangkap kilauan kegembiraan di mata Tiara."Eleanor, temani Nenek duduk di ruang tamu ya," ujar Jovita dengan lembut."Oke," jawab Eleanor tanpa ragu. Dia mendorong kursi roda neneknya menuju ruang tamu.Tiara dan Felicia saling bertukar pandang penuh arti. Tatapan bahagia mereka sulit untuk disembunyikan.Setelah mengobrol sebentar dengan Jovita, Eleanor mulai merasa pusing. Dia coba mengatur napas sambil menggeleng, tetapi rasa kantuk mulai menyerang.Melihat Eleanor seperti akan tertidur, Jovita bertanya dengan cemas, "Eleanor, kamu kenapa?"Eleanor mengusap pelipisnya seraya menjawab, "Tiba-tiba rasanya pusing dan sangat ngantuk.""Apa kamu kurang istirahat? Kalau begitu, jangan pulang malam ini. Nenek akan suruh orang menyiapkan kamar untukmu," ujar Jovita dengan penuh kekhawatiran.Eleanor menekan rasa pusingnya, lalu membalas, "Ngga
Akan tetapi, dari sisi Eleanor tidak ada yang menjawab. Harry pun mulai cemas dan mondar-mandir sambil menggaruk kepala. Dia terus mengulangi, "Apa yang harus kulakukan?"Harry tidak bisa hanya duduk diam menunggu ibunya dicelakai. Dia segera menghubungi Daniel. Panggilannya dijawab hampir seketika.Daniel bertanya, "Harry, ada apa?"Harry bertanya, "Kak, kamu dan Mama lagi di rumah sekarang?""Aku di rumah. Mama pergi ke rumah Keluarga Haningrat untuk makan malam," balas Daniel.Seperti dugaan Harry, Eleanor telah ditipu. Dia teringat pembicaraan wanita jahat tadi tentang hotel dan sebagainya. Hal ini membuatnya makin khawatir."Kak, kamu suruh Mama Vivi datang menjemputmu ...." Harry tiba-tiba berhenti.Ini tidak benar. Wanita jahat itu sebelumnya sudah menugaskan seseorang untuk mengawasi mereka. Siapa tahu kali ini mereka juga melakukannya? Jika ketahuan saat meninggalkan rumah, itu bisa celaka."Harry, kenapa?" tanya Daniel dengan nada lebih serius setelah mendengar nada khawatir
Setelah selesai berbicara, Yoana mendongak dan menghabiskan anggurnya dalam tegukan besar. Ekspresi Jeremy sedikit berubah, tetapi dia tidak menghentikannya."Yoana, sudah cukup. Jangan minum lagi," ucap Bella dengan nada sedikit prihatin.Namun, Yoana tidak mendengarkan. Kali ini, dia menuang segelas penuh anggur untuk dirinya sendiri. Dengan mata berkaca-kaca, dia menatap mereka dengan penuh ketulusan sambil berujar, "Bibi, aku belum selesai bicara. Biarkan aku menyelesaikan ini."Tatapan Yoana beralih kembali ke Jeremy. Dia melanjutkan, "Remy, aku tahu kamu marah padaku. Aku sudah melakukan banyak kesalahan, bahkan berusaha menjebak Eleanor. Tapi, itu semua karena aku terlalu mencintaimu. Aku takut kehilanganmu."Yoana menambahkan, "Remy, aku sadar aku salah. Aku akan berubah. Aku benar-benar akan berubah. Tolong jangan batalkan pertunangan kita ya?""Apa?" Bella hampir berdiri dari tempat duduknya. Dia bertanya, "Batalkan pertunangan? Remy, apa maksudnya?"Ekspresi wajah Jeremy ber
Di saat keraguan meliputi, pintu tiba-tiba terbuka dari dalam. Tarimi keluar sambil membawa sekantong sampah. Ketika melihat pria yang berdiri di depan pintu, dia tampak terkejut sesaat, lalu dengan sengaja menutup pintu.Melihat hal itu, Yoana melangkah maju menahan pintu dan bertanya, "Bibi, Bu Eleanor ada di rumah?""Hari ini dia nggak di rumah. Ada urusan apa kalian mencarinya?" tanya Tarimi.Yoana tersenyum tipis. "Nggak ada urusan penting. Jadi, cuma Bibi sendiri di rumah?"Tarimi mengangguk. "Iya."Baru saja kata-kata itu dilontarkan, suara film animasi terdengar dari dalam rumah yang hening. Sudut bibir Yoana melengkung membentuk senyuman. "Cuma Bibi sendiri, 'kan? Apa Bibi masih suka nonton film animasi?"Wajah Tarimi langsung berubah gugup. Dia buru-buru mencoba menutup pintu sambil berkata, "Nggak, nggak ada suara film animasi. Kamu salah dengar."Melihat ekspresi gugup Tarimi, Yoana semakin merasa puas. Dia menahan pintu dengan tangannya dan berkata, "Oh, begitu? Mungkin ka
Bella menggigit bibirnya dengan agak getir. "Hmm.""Semua ini ditulis oleh Jeremy. Awalnya, dia nggak percaya pada hal-hal seperti ini. Tapi karena kamu, setiap malam saat dia nggak bisa tidur, dia berlutut di depan altar dan berdoa. Totalnya ada 248 halaman, dia melakukannya selama 62 hari berturut-turut."Eleanor menatap buku tebal itu. Setiap halaman ditulis dengan rapi, semuanya adalah tulisan tangan Jeremy. Hatinya sedikit bergetar.Eleanor tidak tahu apakah Jeremy benar-benar percaya pada dewa, tetapi yang jelas, dia menulis ini sambil berdoa, sambil menyesali perbuatannya, sambil menyalahkan diri sendiri, sambil merasakan sakit.Melihat tulisan-tulisan itu, Eleanor bisa membayangkan sosok seorang pria yang menunduk sambil mencatat setiap tulisan dengan penuh ketulusan."Jeremy memang pernah menyakitimu. Selama kamu menghilang, dia hidup dalam penderitaan setiap hari, bahkan gangguan tidurnya semakin parah sampai nggak ada obat yang berkhasiat.""Dia sama sekali nggak bisa tidur.
Eleanor mengernyitkan alisnya. "Nggak ada."Semua barang milik Eleanor sudah disimpan oleh Jovita, tidak ada yang tersisa lagi.Jovita menatap mata Eleanor, seolah-olah ingin memastikan yang dikatakan Eleanor memang benar. "Eleanor, coba pikirkan lagi baik-baik, benaran nggak ada benda lain?""Nggak ada," jawab Eleanor dengan tegas sambil menggelengkan kepala. Semua barang peninggalan ibunya untuknya berada di Keluarga Haningrat karena saat itu dia masih berusia puluhan tahun. Dia yang tidak memiliki persiapan apa pun tidak mungkin bisa melawan kelicikan dari Robert dan Felicia, sehingga semua barang itu tidak pernah sampai ke tangannya.Ekspresi Jovita berubah dan menganggukkan kepalanya, seolah-olah merasa lega."Nenek, kenapa kamu tiba-tiba bertanya seperti ini? Apa ada sesuatu yang penting?" tanya Eleanor.Jovita langsung menggelengkan kepalanya. "Nggak ada apa-apa. Hanya saja tiba-tiba teringat, jadi aku coba bertanya padamu."Eleanor yang cemberut pun menganggukkan kepala dengan
"Di mana Nenek?" Eleanor tidak ingin membuang waktu berbicara dengan Tiara.Meskipun Eleanor tahu Tiara hanyalah alat yang dimanfaatkan oleh Yoana untuk menanggung kesalahannya, Tiara tetap memiliki niat buruk terhadap anak-anaknya dan bersedia dimanfaatkan secara sukarela.Saat ini, Eleanor tidak punya waktu untuk berurusan dengannya. Selama Tiara tidak menimbulkan masalah lagi, Eleanor akan menganggapnya tidak ada.Tiara tertegun sejenak sebelum menunjuk ke lantai atas. "Nenek ada di atas."Eleanor langsung menaiki tangga. Begitu dia pergi, Tiara buru-buru menelepon ayah dan ibunya. "Ayah, Eleanor masih hidup ...!"Eleanor tiba di depan kamar Jovita dan mengetuk pintu dengan pelan. Sesaat kemudian, terdengar suara dari dalam. "Masuk."Eleanor membuka pintu dan melangkah masuk. Jovita yang memakai kacamata rabun tua sedang duduk di kursi malas dekat jendela besar sambil merajut sesuatu. Cahaya matahari menyelimuti tubuhnya, memberikan kesan hangat dan damai.Ketika dia mengangkat kepa
"Kukembalikan kepadamu," ujar Jeremy.Charlie mengangkat alis. "Kamu menyelidikiku?"Jeremy menatapnya dengan tenang. "Aku cuma menebak."Selama dua bulan terakhir, kecurigaan Jeremy terhadap Charlie tidak pernah surut. Dia terus mengawasi Charlie dan akhirnya menemukan sejumlah besar uang yang keluar dari rekeningnya.Empat triliun. Bukan jumlah kecil, cukup untuk membeli sebuah kediaman mewah atau barang berharga lainnya. Anehnya, Charlie hanya mengeluarkan uang tanpa membeli aset apa pun.Lebih mencurigakan lagi, transaksi itu terjadi tepat tiga hari setelah Eleanor menghilang. Ditambah dengan pengakuan Eleanor bahwa dia terkena racun yang sangat langka, Jeremy menyimpulkan bahwa uang itu kemungkinan besar telah digunakan untuk menyelamatkan Eleanor.Jika itu memang untuk Eleanor, Jeremy merasa sudah seharusnya dia kembalikan.Charlie tertawa kecil, meletakkan cek itu di atas meja dengan santai. "Kamu ini siapa? Berani sekali kamu menggantikan dia membayar utangnya?"Jeremy menyahut
Langkah kaki Eleanor terhenti sejenak. Masa dia tidak berani duduk di sofa rumah sendiri?Dengan tenang, dia mendekat dan duduk. Jarak di antara dia dan Jeremy tidak terlalu dekat, tetapi juga tidak jauh, cukup untuk satu orang duduk di antara mereka.Tidak ada yang berbicara. Seolah-olah mereka memang hanya tidak bisa tidur dan duduk untuk menonton film. Namun, nyatanya tidak ada yang benar-benar menonton.Saat film diputar hingga setengah, Jeremy tiba-tiba merasakan beban lembut di bahunya. Hatinya bergetar. Dia menoleh sedikit, dagunya tanpa sengaja menyentuh dahi Eleanor yang tertidur lelap.Perlahan-lahan, dia mengangkat tangannya, setengah merangkul wanita itu. Bibirnya membentuk senyuman tipis.Dia menggendong Eleanor dengan hati-hati, seolah-olah mengangkat barang paling berharga di dunia. Kemudian, dia berbaring di samping Eleanor.Aroma wangi yang samar dari tubuh Eleanor terasa menenangkan, perlahan meredam kegelisahan dalam hati Jeremy. Jeremy menunduk untuk mengecup dahiny
Eleanor memberikan satu set pakaian untuk Vivi, sementara Jeremy sudah membawa anak-anak ke ruang tamu.Lima menit kemudian, mereka semua duduk di ruang tamu, saling bertukar pandang. Vivi melihat Jeremy, lalu Eleanor, kemudian menatap mereka berempat. Di tengah keluarga ini, keberadaannya benar-benar terasa berlebihan.Saat berikutnya, dia teringat kejadian di restoran tadi. Mereka berdua ... mau balikan? Vivi berpikir, merasa lebih baik tidak ikut campur urusan asmara orang lain. Jadi, dia mengambil tasnya dan berdiri. "Aku paham, aku paham."Karena tidak ingin merusak momen, dia langsung bersiap untuk pergi. "Aku datang lagi lain kali."Dalam sekejap, Vivi melesat keluar. Eleanor melihat kepergiannya yang secepat kilat, merasa Vivi sudah sangat mahir dalam seni melarikan diri.Eleanor menatap Jeremy. "Kamu benar-benar mau menginap di sini?""Kalau tidur di luar, aku bisa mati kedinginan. Jadi ...." Jeremy menarik sudut bibirnya. "Kasihanilah aku."Eleanor mengangguk. Dia tidak sekej
Jeremy terdiam sejenak, lalu menghela napas. Akhirnya, dia berkata, "Mobilku rusak."Mobil rusak, artinya dia tidak bisa pulang.Eleanor menatapnya. Pria ini ingin menginap? Jangan mimpi!Berpura-pura tidak mengerti, Eleanor berujar, "Tunggu sebentar."Jeremy tidak tahu maksudnya, sampai dia melihat Eleanor mengambil kunci mobil dan menjelaskan di mana mobilnya diparkir dengan sabar. "Pakai saja, besok suruh orang antar kembali."Jeremy menatap kunci mobil di telapak tangannya, lalu tiba-tiba tersenyum. Wanita ini sengaja!"Tebak gimana aku bisa membawa mereka ke sini?" tanyanya."Hm?" Eleanor berkedip bingung."Aku bilang kalau aku nggak melihatmu, aku akan mati. Kalau aku pulang, apakah orang tua keras kepala itu akan memindahkan rumahnya ke sini malam ini juga?"Eleanor melihat kedua anak yang dipegangnya. Dia tahu betapa keras kepala dan semena-menanya Simon. Pria tua itu memang akan melakukan hal seperti itu.Jadi, maksud Jeremy adalah kalau dia di sini, anak-anak di sini. Kalau d
Simon perlahan-lahan menuruni tangga. "Sudah tengah malam, kalian mau ke mana?""Nggak bisa tidur, jadi mau jalan-jalan sebentar," balas Jeremy dengan tenang sambil menoleh, tanpa tanda-tanda berbohong."Nggak bisa tidur, jadi jalan-jalan?" Simon mengulangi kata-katanya, lalu mendengus dingin. "Jalan-jalan sebentar, lalu ujung-ujungnya pergi menemui Eleanor, 'kan?"Ekspresi Simon penuh dengan ketegasan. Kedua anak itu tinggal di rumah Keluarga Adrian. Selama Eleanor masih hidup, cepat atau lambat dia pasti akan kembali.Melihat perubahan sikap kedua anak itu terhadap Jeremy, Simon pun bisa menebak bahwa Eleanor pasti masih hidup dan sudah kembali. Hal ini membuat tatapan Simon dipenuhi kekhawatiran.Jeremy menggigit bibirnya erat-erat, lalu tiba-tiba berkata dengan nada ringan, "Aku hampir mati.""Apa?" Simon mengernyit tajam."Gangguan tidur. Bastian bilang kalau aku nggak segera mendapat perawatan, aku akan mati." Nada suara Jeremy begitu datar, seolah-olah dia hanya sedang membicara
Jeremy mengusap keningnya, berjalan ke sisi tempat tidur. Dia melihat dua bagian pada selimutnya sedikit menggembung dan terus bergerak seperti ulat.Dia menarik selimut itu. Di bawahnya, terlihat dua bocah kecil yang sedang berbaring di atas tempat tidurnya. Mereka menatapnya dengan senyuman penuh harapan."Papa, akhirnya kamu datang! Malam ini kami tidur bersamamu ya. Cepat naik!"Harry menepuk tempat di sebelahnya, sementara Daniel bergeser ke samping, memberikan ruang yang lebih luas untuk Jeremy.Alis Jeremy berkedut keras. "Kalian sedang merencanakan apa?""Papa 'kan susah tidur malam-malam. Nih, buatmu."Jeremy menatap buku pelajaran yang tiba-tiba diselipkan ke tangannya. Alisnya semakin berkedut. "Buat apa ini?""Baca buku! Aku selalu mengantuk kalau baca buku. Sangat efektif. Coba saja!"Jeremy sungguh kehabisan kata-kata melihat tingkah mereka.Harry masuk ke dalam selimut, lalu menatap Jeremy. "Cepat baca."Jeremy mengusap keningnya dengan pasrah. "Kalau ada sesuatu yang in