Jeremy mengangkat alisnya sedikit dan menoleh ke belakang menatap Eleanor. Eleanor jelas mendengar ucapan Andy barusan dan perasaan gelisah menyergapnya.Jeremy menatap Eleanor dengan dalam, suasana seketika hening. Setelah beberapa detik, Jeremy mendengus dingin. "Ayo temui dia," ucapnya singkat sebelum berbalik dan keluar.Eleanor tahu orang itu pasti Charlie. Dia panik dan buru-buru hendak keluar, tetapi langkahnya langsung terhenti ketika Jeremy tiba-tiba berbalik dan menghalangi jalannya. "Kamu mau ke mana?""Kalau aku nggak keluar, kamu mau berkelahi sama dia?" tanya Eleanor.Jeremy mengangkat alisnya dengan santai. "Kenapa nggak? Dia datang sendiri ke sini cari mati."Eleanor mencibir dingin. "Kalau kalian berkelahi, belum tentu hasilnya dia yang mati."Mata Jeremy menyipit dan menatapnya tajam. "Terus, coba kamu bilang. Kamu berharap siapa yang mati?""Kamu!" jawab Eleanor tanpa ragu sedikit pun.Wajah Jeremy yang awalnya tampak santai langsung berubah dingin dan penuh amarah.
Semua orang serentak menoleh ke arah suara itu. Charlie menyipitkan matanya dengan tajam. Dia melihat Eleanor muncul dengan rambut basah kuyup, air masih menetes dari ujung helainya. Pipi wanita itu memerah entah karena dingin atau malu.Eleanor mengenakan kemeja putih pria yang kebesaran, lengannya digulung hingga sebatas lengan bawah, memperlihatkan kulit lengannya yang putih bersih. Di bawah kemeja itu, dia mengenakan celana panjang yang jelas bukan miliknya. Pemandangan ini membuat siapa pun yang melihatnya berimajinasi liar.Jeremy melangkah cepat mendekati Eleanor. Tatapannya dingin saat menyapu penampilan wanita itu. Dengan satu gerakan, dia meraih lengannya dengan keras. "Siapa yang nyuruh kamu keluar?"Eleanor segera melepaskan cengkeramannya. "Urusan kita berdua nggak seharusnya melibatkan orang lain."Jika dia tidak muncul, kedua pria ini pasti akan bentrok. Jika sampai itu terjadi, pasti akan muncul korban. Tanpa memedulikan ekspresi Jeremy, Eleanor melangkah maju mendekat
Jeremy sedikit mengerutkan keningnya, pandangannya menyapu Eleanor dengan dingin. Dia mengejek, "Kamu pikir aku benar-benar mau menikahinya? Kamu pikir kamu bisa mengancamku dengan itu?""Kalau kamu mau menikah sama dia, lalu kenapa kamu menahanku di sini? Bukankah aku cuma jadi penghalang?" Nada suara Eleanor meninggi.Dia tidak pernah lupa betapa tegasnya Jeremy dulu saat memaksanya menandatangani surat cerai. Jika dia benar-benar ingin bersama Yoana, mengapa dia tidak membiarkan Eleanor pergi sekarang? Eleanor benar-benar tidak mengerti.Sebenarnya, bukan hanya Eleanor yang tidak mengerti, Jeremy sendiri pun tidak tahu kenapa dia tidak mau membiarkan Eleanor pergi. Hanya dengan memikirkan dia bersama pria lain, hatinya langsung terasa sangat tidak nyaman. Rasa gelisah itu hanya akan reda jika Eleanor berada di sisinya.Melihat ekspresi bingung Eleanor, Jeremy tidak ingin memberikan penjelasan. Dia tertawa dingin. "Aku nggak perlu menjelaskan apa pun padamu. Kamu cuma perlu tahu bahw
Eleanor mengerutkan alisnya. Bukan dia yang berpikir kotor, tetapi tatapan Jeremy barusan memang tidak beres. Jeremy mendorong tangan Eleanor menjauh. "Turun. Jangan sampai aku harus memintamu dengan paksa."Setelah berkata demikian, Jeremy langsung turun dari mobil. Eleanor melirik ke luar sejenak, lalu mengikutinya dan turun dari mobil sambil menghela napas dalam hati.Di dalam vila, Yoana yang sudah menunggu sejak lama mendengar suara mobil datang. Dia langsung berlari keluar, tetapi langkahnya melambat begitu melihat Jeremy bersama Eleanor. Senyum di wajah Yoana perlahan memudar, lalu membeku.Eleanor berjalan di belakang Jeremy dan masuk ke dalam vila. Ketika melewati Yoana, tatapan penuh kebencian Yoana seperti ingin menembus tubuhnya.'Sudah kuduga ini akan terjadi,' pikir Eleanor. Yoana pasti berpikir dia membohonginya saat itu, bahwa Eleanor sengaja membuatnya menyinggung Jeremy agar bisa kembali ke sisi pria itu.Yoana berteriak dalam hati, 'Perempuan licik!'Eleanor merasaka
"Kamu!" Yoana menggertakkan giginya dengan marah. "Memangnya apa yang kulakukan sama anakmu?"Eleanor langsung meraih kerah baju Yoana, ekspresinya dingin dan tegas. "Kamu tahu persis apa yang kamu lakukan. Yoana, semua yang kamu perbuat, cepat atau lambat akan kubalas."Yoana berusaha sekuat tenaga melepaskan diri dari cengkeraman Eleanor. "Eleanor, jangan nuduh sembarangan! Aku memang nggak suka Daniel, tapi semua hukuman itu nggak ada hubungannya sama aku!""Nggak ada hubungannya sama kamu? Oke. Ayo kita turun dan tanyakan pada Jeremy. Hukuman itu darinya atau darimu? Ayo pergi!"Yoana panik. Tubuhnya langsung tegang, tangannya dengan cepat mencengkeram meja di sebelahnya untuk menahan diri. Tidak mungkin dia membiarkan Eleanor membawanya untuk berhadapan dengan Jeremy. Kalau Jeremy tahu kebenarannya, dia pasti tamat."Lepaskan aku! Aku nggak mau pergi!" Yoana berusaha melepaskan tangan Eleanor.Eleanor tersenyum sinis. "Takut?"Yoana mengepalkan tangannya dengan keras. Wajahnya yan
Eleanor menerima gaun itu dan langsung menyadari labelnya belum dicopot. Gaun ini masih baru.Apalagi model gaunnya ....Eleanor mengangkat alis sedikit.Dua orang yang kepribadiannya sangat berbeda tentu memiliki selera pakaian yang berbeda pula. Yoana menyukai gaya yang mencolok, sementara Eleanor lebih menyukai model yang sederhana dan konservatif.Namun, pakaian di seluruh lemari ini jelas tidak mencerminkan selera Yoana.Sebaliknya, ini adalah merek favorit Eleanor. Lima tahun lalu, ketika dia masih menyandang status Nyonya Adrian, dia tidak perlu repot memilih pakaian. Setiap musim, koleksi terbaru dari merek ini akan dikirimkan tepat waktu untuknya.Meskipun Jeremy sering mengabaikannya, dia memang tidak pernah menelantarkan Eleanor dari segi materi. Semua yang dia miliki saat itu adalah yang terbaik dan terbaru.Akan tetapi, dia tidak menyangka bahwa kebiasaan ini tampaknya belum berubah. Kalau tidak, tidak mungkin lemari ini dipenuhi dengan pakaian dari merek favoritnya, semua
Meskipun penuh kebencian di dalam hatinya, Yoana masih berusaha berpura-pura seperti tidak ada yang terjadi, menampilkan diri sebagai nyonya yang sebenarnya. Eleanor menatap Yoana. Dalam benaknya, dia seperti melihat dirinya sendiri bertahun-tahun yang lalu.Dulu, dia juga seperti itu. Memainkan peran istri yang anggun dan berwibawa ketika Yoana terus menempel pada Jeremy. Dia tidak berani mengutarakan apa pun karena takut dibenci dan hanya bisa terus membohongi dirinya sendiri bahwa tidak ada yang terjadi antara mereka.Eleanor mengalihkan pandangannya dengan dingin, sudut bibirnya melengkung dengan senyum tipis penuh ejekan. Dia lalu menatap Jeremy. "Aku nggak bawa jarum perak hari ini."Jeremy dengan santai menunjuk ke meja di samping. "Sudah kusiapkan untukmu."Eleanor mengambil bungkusan jarum itu, memeriksa isinya, dan memastikan semuanya baik-baik saja. "Di mana kamu mau menjalani perawatan?"Jeremy berdiri dan menjawab dengan datar, "Ikut aku ke atas."Eleanor membawa perlengka
Eleanor khawatir Jeremy akan mengirim orang untuk mengawasinya akhir-akhir ini, jadi dia memutuskan untuk meminta izin bagi Harry agar sementara waktu tidak masuk sekolah dan tetap tinggal di rumah. Namun, dia sendiri masih harus pergi bekerja seperti biasa.Karena semalam Eleanor hampir tidak tidur, kondisinya hari ini terlihat kurang baik. Sesampainya di kantor, dia langsung meminta asisten untuk membuatkan secangkir kopi.Vivi bergegas masuk ke kantor Eleanor. "Astaga, Eleanor! Kamu benar-benar terlalu profesional. Kenapa kamu datang ke kantor dengan lingkaran hitam sebesar itu di bawah matamu? Apa Jeremy melakukan sesuatu padamu semalam?"Eleanor menyeruput kopinya. "Dia nggak melakukan apa-apa. Aku cuma nggak bisa tidur. Bagaimana denganmu? Maaf semalam aku membuatmu dalam masalah. Apa kamu baik-baik saja?"Vivi menggeleng dan tampak merasa bersalah. "Yang seharusnya minta maaf adalah aku. Aku tidak berhasil kabur dari tangan Jeremy dan akhirnya membuatmu datang untuk menyelamatka
Ketika mendengar ucapan Jeremy, wajah Alicia semakin muram. Dia tidak menyangka Jeremy bisa sekejam ini.Alicia tidak berani berlama-lama lagi di sana. Dia buru-buru pergi ke atap untuk mencari Yoana.Eleanor menoleh melihat wajah dingin Jeremy, lalu mengangkat alis. "Kamu nggak mau pergi lihat? Gimana kalau dia benaran melompat?""Dia nggak akan berani." Suara Jeremy terdengar dingin tanpa sedikit pun rasa peduli.Danuar dan Bastian melirik ke luar, merasa ini adalah momen seru yang tidak boleh dilewatkan.Danuar berkata dengan lantang, "Kalau begitu, biar kami yang pergi lihat. Kalau dia benaran melompat, mungkin kami bisa menghentikannya."Selesai berbicara, kedua pria itu langsung berlari keluar dengan penuh semangat. Eleanor sampai tertegun melihatnya.Saat ini, baik di atap maupun di bawah, sudah dipenuhi orang-orang yang berkerumun. Yoana duduk di atas pagar pembatas, menangis sampai mata dan hidungnya merah.Dia seperti seseorang yang ditinggalkan oleh seluruh dunia, tampak put
Danuar hanya membahas fakta yang kemungkinan besar akan terjadi.Jeremy menggertakkan giginya. Pada saat yang sama, tatapannya semakin dingin. Hanya dengan membayangkan Eleanor akan membawa anak-anaknya dan menjadi istri pria lain, amarah langsung berkecamuk di hati Jeremy."Kak, kalau kamu nggak bertindak sekarang, istrimu akan jadi milik orang lain."Eleanor melihat ketiga pria bertubuh tinggi dan besar itu berdiri di sudut ruangan sambil berbisik-bisik ....Masalahnya adalah ruangan ini sunyi senyap. Jadi, meskipun mereka menurunkan suara, dia tetap bisa mendengar sebagian dari pembicaraan mereka.....Efisiensi Andy dalam bekerja sangat tinggi. Berita tentang pembatalan pernikahan antara Keluarga Adrian dan Keluarga Pratama segera dirilis dan menimbulkan kehebohan besar.Danuar melihat berita terbaru dari Grup Adrian di ponselnya, lalu berseru, "Astaga! Hebat juga kamu, Kak! Kamu bergerak dengan cepat!""Ada apa? Biar kulihat." Bastian mendekat dan mengintip, lalu berkata, "Wah! Yo
Jeremy semakin kesal. Wanita tak berperasaan ini benar-benar tidak tahu cara menunjukkan kepedulian.Eleanor menyunggingkan sudut bibirnya dengan agak pasrah. "Lalu, apa lagi yang bisa kulakukan?"Sebelum Jeremy sempat menjawab, ponsel Eleanor berdering. Dia mengangkatnya, ternyata panggilan dari Harry yang sedang menemani Daniel di rumah sakit."Halo, Harry.""Mama, kamu sudah mau balik?""Ya, Mama di jalan. Ada apa?""Ada dua paman datang menjenguk Kakak.""Dua paman?" Eleanor agak ragu. "Oke, sebentar lagi Mama sampai."Setelah mengakhiri telepon, Eleanor berujar. "Kalau nggak mau beli salep, langsung kembali ke rumah sakit saja. Ada tamu yang menjenguk Daniel. Harus ada orang dewasa di bangsal."Jeremy tidak menanggapi, hanya membelokkan mobil ke arah rumah sakit.Setibanya di bangsal, pintu baru saja dibuka dan Eleanor langsung melihat Danuar serta Bastian."Papa, Mama.""Jeremy, Eleanor."Tatapan Jeremy menyapu dingin ke arah mereka, lalu dia mengangguk ringan."Buset, wajahmu ke
"Ya, aku tahu." Suara Eleanor terdengar dingin.Tatapan Jeremy yang gelap pun tampak agak kesal. "Apa kamu harus bicara denganku dengan nada sedingin ini?"Eleanor tersenyum tipis. Mereka hanyalah dua orang yang terhubung sebagai ibu dan ayah karena anak-anak mereka. Selain itu, tidak ada hubungan lain.Jika bukan karena kedua anak itu, mungkin mereka tidak akan pernah bertemu untuk seumur hidup. Jadi, sudah seharusnya mereka menjaga jarak.Taksi yang dipesan Eleanor sudah berhenti di tepi jalan di depan. Eleanor melirik Jeremy, lalu berkata dengan tenang, "Kita memang nggak punya hubungan apa-apa, wajar kalau menjaga jarak. Taksiku sudah sampai, aku pergi dulu."Jeremy mengerutkan alisnya, melangkah maju untuk mencoba meraih tangan Eleanor. Namun, sebuah ranting pohon yang menggantung menghalangi Eleanor. Eleanor mengangkat tangannya untuk menyingkirkan ranting itu.Plak! Ranting itu memantul kembali dan melewati Eleanor, tetapi juga tepat mengenai wajah Jeremy. Jeremy tersentak dan m
"Lepaskan."Wajah dingin Jeremy tampak suram. Tatapannya gelap, sama sekali tidak memancarkan kehangatan."Nggak, Remy, jangan tinggalkan aku. Aku nggak bisa hidup tanpamu. Aku benaran nggak bisa hidup tanpamu, Remy ....""Pernikahan dibatalkan atau masuk penjara, pilih salah satu."Tubuh Yoana langsung bergetar hebat, tetapi tangannya yang memegang lengan baju Jeremy tetap enggan melepaskannya.Perlahan-lahan, Yoana mendongak menatap Jeremy. Mata yang dipenuhi air mata itu bergetar di bawah cahaya, bibir pucatnya bergetar saat bertanya, "Remy, apa kamu harus sekejam ini padaku?"Balasan yang didapatkan hanyalah tatapan dingin Jeremy. "Siapa yang kejam duluan? Aku sudah berusaha sabar berkali-kali. Yoana, cukup sudah!"Jeremy mengempaskan tangannya dengan marah, membuat tangan Yoana terlepas begitu saja.Yoana tertegun, menyadari bahwa pria ini pada dasarnya adalah orang yang berhati dingin. Semua kebaikan Jeremy dulu hanya karena rasa bersalahnya. Begitu rasa bersalah itu habis, tidak
Jeremy mengerutkan alis, berpikir matang-matang sebelum akhirnya berucap, "Semoga kamu bisa menepati janjimu ini.""Kamu nggak perlu khawatir soal itu."Jeremy tidak ingin melanjutkan pembicaraan dengan Simon. Dia berbalik dan bersiap meninggalkan ruang kerja."Tunggu sebentar," panggil Simon lagi."Ada apa lagi?"Simon menatap Jeremy dengan serius dan bertanya, "Kapan kamu berencana menikahi Yoana?"Mendengar pertanyaan itu, Jeremy hanya bisa tertawa dingin. Dia menoleh ke arah Simon, lalu membalas, "Sudah syukur aku melepaskannya. Menikahinya? Itu nggak akan pernah terjadi."Alis Simon berkerut, ekspresinya serius. "Hal ini sudah diputuskan sebelumnya. Apalagi, dia pernah mengandung anakmu. Masa kamu nggak mau bertanggung jawab?"Jeremy tersenyum sinis lagi, tatapannya semakin dingin. "Kakek, apa yang terjadi malam itu sudah kubayar selama lima tahun ini."Selama lima tahun terakhir, Jeremy terus membantu Keluarga Pratama. Bahkan ketika Keluarga Pratama menghadapi masalah, dia yang t
Simon melirik Jeremy sekilas dan berkata dengan suara rendah, "Jeremy, biarkan mereka pergi.""Nggak bisa.""Biarkan mereka pergi!" Suara rendah Simon kembali terdengar, membuat atmosfer di ruang tamu seketika menjadi sangat dingin.Melihat perselisihan antara kakek dan cucu yang sama-sama dingin ini, ekspresi semua orang di ruang tamu berubah menjadi serius.Jeremy mengerutkan alisnya. "Apa kamu harus ikut campur dalam masalah ini?""Sudah kubilang, kalau kamu nggak bisa menanganinya dengan baik, aku yang akan turun tangan."Jeremy menyipitkan matanya yang suram. "Bukti sudah jelas. Semua orang harus bertanggung jawab atas perbuatannya.""Lalu, gimana dengan wanita ini?" Simon melirik Eleanor dengan tajam.Ekspresi Jeremy tetap tenang. "Dia pantas mendapatkan semua itu. Kalau itu aku, aku juga akan melakukan hal yang sama."Wanita yang dimaksud jelas adalah Yoana.Wajah Simon menjadi semakin suram, tatapan tajamnya tertuju pada Jeremy. Saat melihat Jeremy bersikeras untuk tidak melepa
Bella memijat pelipisnya yang terasa sakit. "Jeremy, ini urusan kalian. Kalian selesaikan sendiri."Bella malas ikut campur lebih jauh dalam masalah ini.Yoana menangis dengan air mata mengalir di seluruh wajahnya. Dia memegang tangan Bella erat-erat, tidak mau melepaskannya."Andy, panggil polisi." Suara dingin Jeremy terdengar, memecah keheningan.Hanya satu kalimat, tetapi cukup untuk membuat tubuh Yoana terasa dingin dari kepala hingga kaki. Apa yang Jeremy katakan? Panggil polisi? Pria ini ingin menyerahkannya ke polisi?"Remy, kamu ingin aku masuk penjara?""Apa ada yang salah?" Tatapan Jeremy semakin dingin, membuat Yoana gemetar ketakutan.Yoana langsung berlutut di lantai, matanya penuh ketakutan. "Kenapa? Remy, kenapa kamu tega padaku? Aku ini calon istrimu! Gimana bisa kamu melakukan ini kepadaku?"Jeremy memandangnya dengan ekspresi dingin dan menyahut, "Lima tahun lalu, aku sudah memperingatkanmu, jangan bermain tipu daya di sekitarku. Kamu nggak dengar itu?"Yoana menangi
Yoana terkejut hingga pupil matanya mengecil. Suaranya tiba-tiba menjadi melengking. "Tiara, kenapa kamu menatapku? Kapan aku pernah menyuruhmu melakukan ini?"Mata Yoana menyipit, penuh ancaman. Tiara menunduk dengan ketakutan.Mata Bella dipenuhi keterkejutan. "Yoana, ini benaran ulahmu?""Bukan, Bibi. Aku nggak melakukannya. Aku sama sekali nggak tahu apa-apa tentang ini. Mana mungkin aku yang melakukannya ...."Eleanor meraih kerah baju Yoana, lalu bertanya dengan tegas, "Apa dia yang menyuruhmu?""Bukan ... bukan ...." Tiara terus menggeleng. Dia tidak berani mengatakan bahwa Yoana adalah dalang sebenarnya, karena Yoana telah memperingatkannya sebelumnya.Jika dia berani membongkar rahasianya, seluruh keluarganya akan hancur dan Tiara tidak akan memiliki apa-apa lagi. Dia takut, sangat takut ...."Bukan dia, bukan. Aku melihat ke arahnya cuma karena ingin minta tolong .... Aku nggak bermaksud lain. Bukan dia ....""Tiara, aku peringatkan kamu untuk berpikir baik-baik sebelum berbi