Meskipun penuh kebencian di dalam hatinya, Yoana masih berusaha berpura-pura seperti tidak ada yang terjadi, menampilkan diri sebagai nyonya yang sebenarnya. Eleanor menatap Yoana. Dalam benaknya, dia seperti melihat dirinya sendiri bertahun-tahun yang lalu.Dulu, dia juga seperti itu. Memainkan peran istri yang anggun dan berwibawa ketika Yoana terus menempel pada Jeremy. Dia tidak berani mengutarakan apa pun karena takut dibenci dan hanya bisa terus membohongi dirinya sendiri bahwa tidak ada yang terjadi antara mereka.Eleanor mengalihkan pandangannya dengan dingin, sudut bibirnya melengkung dengan senyum tipis penuh ejekan. Dia lalu menatap Jeremy. "Aku nggak bawa jarum perak hari ini."Jeremy dengan santai menunjuk ke meja di samping. "Sudah kusiapkan untukmu."Eleanor mengambil bungkusan jarum itu, memeriksa isinya, dan memastikan semuanya baik-baik saja. "Di mana kamu mau menjalani perawatan?"Jeremy berdiri dan menjawab dengan datar, "Ikut aku ke atas."Eleanor membawa perlengka
Eleanor khawatir Jeremy akan mengirim orang untuk mengawasinya akhir-akhir ini, jadi dia memutuskan untuk meminta izin bagi Harry agar sementara waktu tidak masuk sekolah dan tetap tinggal di rumah. Namun, dia sendiri masih harus pergi bekerja seperti biasa.Karena semalam Eleanor hampir tidak tidur, kondisinya hari ini terlihat kurang baik. Sesampainya di kantor, dia langsung meminta asisten untuk membuatkan secangkir kopi.Vivi bergegas masuk ke kantor Eleanor. "Astaga, Eleanor! Kamu benar-benar terlalu profesional. Kenapa kamu datang ke kantor dengan lingkaran hitam sebesar itu di bawah matamu? Apa Jeremy melakukan sesuatu padamu semalam?"Eleanor menyeruput kopinya. "Dia nggak melakukan apa-apa. Aku cuma nggak bisa tidur. Bagaimana denganmu? Maaf semalam aku membuatmu dalam masalah. Apa kamu baik-baik saja?"Vivi menggeleng dan tampak merasa bersalah. "Yang seharusnya minta maaf adalah aku. Aku tidak berhasil kabur dari tangan Jeremy dan akhirnya membuatmu datang untuk menyelamatka
Bella menyesap teh di tangannya dengan tenang, lalu menatap Yoana dan mengangkat alisnya, "Cepat urus.""Baik, Bibi. Aku akan segera temui pengacara!" Yoana bergegas pergi dengan wajah penuh kegembiraan untuk meminta pengacara menyusun ulang perjanjian perceraian.Eleanor baru saja pulang kerja sore itu. Saat mobilnya tiba di depan pintu gerbang kompleks, dia menyadari ada mobil lain yang mengikuti di belakangnya. Eleanor melirik spion, tetapi tidak langsung pulang. Dia memilih untuk mencari tempat parkir dan menghentikan mobilnya.Tak lama kemudian, mobil di belakangnya pun ikut berhenti. Jendela mobil itu diturunkan, memperlihatkan Yoana dengan senyuman penuh kepalsuan di wajahnya. "Eleanor, naiklah ke mobil. Kita perlu bicara."Eleanor menghela napas panjang. Dia benar-benar bingung. Apa yang membuat dirinya begitu berharga sampai Yoana terus-menerus memikirkan dirinya setiap hari? Bukankah perusahaannya sedang dalam keadaan sulit? Setahunya, Yoana sedang sibuk mengurus Tiara, seora
"Apa maksudmu dua triliun?""Jeremy membuatku menandatangani surat perjanjian cerai, yang menyatakan bahwa pembagian harta memberi dua triliun padaku. Tapi, dalam perjanjian ini, aku malah harus pergi tanpa membawa apa-apa." Eleanor menatap kedua orang itu, lalu mengejek, "Ke mana uangnya? Diambil kalian berdua?"Dua triliun!Keduanya saling bertatapan. Yoana tertawa sinis. "Eleanor, kamu gila uang ya?"Bella menimpali dengan nada dingin, "Dua miliar pun nggak akan kami berikan padamu, apalagi dua triliun!"Eleanor langsung berdiri dan berkata dengan tegas, "Kalau begitu, nggak ada lagi yang perlu dibicarakan. Aku bukan orang bodoh. Hakku kalian rampas, sekarang malah mau memaksaku tanda tangan? Jangan terlalu serakah dan memalukan!"Bella tidak bisa menahan amarah dan menghantam meja dengan keras. "Eleanor, berhenti! Dua triliun? Kamu pikir pantas mendapatkannya? Dulu kamu merebut posisi Yoana, bahkan membunuh anaknya. Kami sudah cukup berbaik hati nggak menuntutmu ganti rugi, tapi se
Keduanya ketakutan dan berhenti di tengah jalan. Yoana melihat situasi itu dan langsung kabur dengan cepat. Sementara itu, Bella ditinggalkan sendirian di tengah jalan, berteriak minta tolong, tetapi tidak ada yang menyahut."Yoana ...."Brak!Kursi roda Bella terbalik dan tubuhnya terlempar ke jalan. Yoana yang berusaha menyebrang jalan juga tidak lebih baik. Dia ditabrak mobil yang datang dari belakang dan jatuh tersungkur di tanah.Eleanor yang mendengar suara keras itu menoleh dan melihat Bella dan Yoana tergeletak di jalan Eleanor tersenyum sinis dan terkejut melihat kejadian tersebut.Saat itu juga, ponselnya berdering. Itu Andy yang menelepon. Eleanor mengangkatnya. "Bu Eleanor, Anda di mana? Pak Jeremy bilang akan menjemput Anda."Eleanor memandang pemandangan di depannya, lalu memutuskan untuk kembali. Dia memberi tahu Andy alamatnya, "Cepat datang. Bella dan Yoana baru saja kecelakaan."Suasana di sekitar sangat gaduh, penuh suara klakson mobil. Andy tidak mendengar dengan je
Mendengar perkataan Eleanor, wajah Yoana langsung memerah karena marah.Kerumunan orang di sekelilingnya mulai bergumam. Awalnya mereka masih bersimpati pada Yoana, tetapi setelah mendengar perkataan Yoana tadi, mereka merasa wanita itu benar-benar tidak tahu malu.Jelas-jelas dia sendiri yang menyeberang jalan sembarangan hingga tertabrak mobil, tapi malah menyalahkan orang yang justru mau membantunya.Setelah memaki orang, dia masih berharap orang itu mau membantunya membalut luka? Muka setebal apa dia?"Sudah dewasa tapi nggak tahu kalau nggak boleh sembarangan menyeberang jalan? Apa dia pikir jalan ini milik keluarganya, bisa seenaknya saja?""Iya benar, orang seperti ini hanya membahayakan diri sendiri dan orang lain. Jangan-jangan habis ini malah mau memeras sopirnya.""Aduh, jangan-jangan mereka ini sengaja cari-cari masalah, mau pura-pura jadi korban biar dapat uang?""Jauhi saja orang-orang seperti ini, menakutkan ...."Bella sudah pingsan, jadi semua cercaan tertuju pada Yoan
Eleanor menyadari dirinya sedang digendong oleh Jeremy. Matanya membelalak, dia menatap Jeremy dengan penuh kebingungan. "Kamu lagi ngapain?"Mendengar suara wanita di pelukannya, alis Jeremy berkerut. "Kamu belum mati?"Eleanor hampir tertawa karena saking marahnya. Lucu sekali, dia baru saja berbaik hati menyelamatkan ibu Jeremy, dan kalimat pertama yang keluar dari mulut pria ini adalah "Kamu belum mati?"Eleanor menepuk lengan Jeremy, memberi isyarat agar dia menurunkannya, lalu bertanya dengan suara dingin, "Kamu berharap aku mati?"Jeremy menatap wanita yang tampak sehat dan segar di depannya. Dia kemudian melirik Andy yang juga menatap Eleanor dengan ekspresi bingung dan bertanya dengan terbata-bata, "Bu Eleanor, Anda ... nggak apa-apa?"Mata Eleanor berkilat sebentar, melihat ke arah keduanya, lalu menggeleng. "Aku baik-baik saja!"Jeremy menyipitkan matanya dan menatap Andy dengan tajam. Andy akhirnya berkata lagi sambil menatap Eleanor, "Tapi Bu Eleanor, bukankah Anda bilang
Yoana memandang Jeremy dengan mata bergetar, menahan rasa terhina dan ingin berbicara tetapi tak mampu mengatakannya."Ngomong apa lagi?" Jeremy bertanya dingin, memberi isyarat agar Yoana melanjutkan perkataannya.Yoana menggigit bibirnya dengan penuh rasa sakit dan berlinang air mata. "Awalnya Bibi berpikir dua triliun yang kamu berikan untuk Eleanor dalam perjanjian cerai terlalu banyak, jadi dia ingin bernegosiasi dengannya.""Tapi, Eleanor bilang dia bisa menyerahkan dua triliun itu, asalkan kami berdua berlutut di depannya sambil berteriak sepuluh kali ... 'Aku selingkuh, aku pelakor, kami nggak tahu malu.' Kalau itu dilakukan, dia nggak akan meminta uang itu.""Kemudian, Eleanor bilang kamu harus keluar dari rumah tanpa membawa sepeser pun. Bukankah semua itu keterlaluan? Bibi nggak tahan mendengarnya, makanya dia mengejar Eleanor dan akhirnya terjadi kecelakaan."Setelah mendengar itu, Jeremy mengerutkan alisnya dan menatap Eleanor. "Kamu bilang begitu?""Ya." Eleanor menganggu
Bella menggigit bibirnya dengan agak getir. "Hmm.""Semua ini ditulis oleh Jeremy. Awalnya, dia nggak percaya pada hal-hal seperti ini. Tapi karena kamu, setiap malam saat dia nggak bisa tidur, dia berlutut di depan altar dan berdoa. Totalnya ada 248 halaman, dia melakukannya selama 62 hari berturut-turut."Eleanor menatap buku tebal itu. Setiap halaman ditulis dengan rapi, semuanya adalah tulisan tangan Jeremy. Hatinya sedikit bergetar.Eleanor tidak tahu apakah Jeremy benar-benar percaya pada dewa, tetapi yang jelas, dia menulis ini sambil berdoa, sambil menyesali perbuatannya, sambil menyalahkan diri sendiri, sambil merasakan sakit.Melihat tulisan-tulisan itu, Eleanor bisa membayangkan sosok seorang pria yang menunduk sambil mencatat setiap tulisan dengan penuh ketulusan."Jeremy memang pernah menyakitimu. Selama kamu menghilang, dia hidup dalam penderitaan setiap hari, bahkan gangguan tidurnya semakin parah sampai nggak ada obat yang berkhasiat.""Dia sama sekali nggak bisa tidur.
Eleanor mengernyitkan alisnya. "Nggak ada."Semua barang milik Eleanor sudah disimpan oleh Jovita, tidak ada yang tersisa lagi.Jovita menatap mata Eleanor, seolah-olah ingin memastikan yang dikatakan Eleanor memang benar. "Eleanor, coba pikirkan lagi baik-baik, benaran nggak ada benda lain?""Nggak ada," jawab Eleanor dengan tegas sambil menggelengkan kepala. Semua barang peninggalan ibunya untuknya berada di Keluarga Haningrat karena saat itu dia masih berusia puluhan tahun. Dia yang tidak memiliki persiapan apa pun tidak mungkin bisa melawan kelicikan dari Robert dan Felicia, sehingga semua barang itu tidak pernah sampai ke tangannya.Ekspresi Jovita berubah dan menganggukkan kepalanya, seolah-olah merasa lega."Nenek, kenapa kamu tiba-tiba bertanya seperti ini? Apa ada sesuatu yang penting?" tanya Eleanor.Jovita langsung menggelengkan kepalanya. "Nggak ada apa-apa. Hanya saja tiba-tiba teringat, jadi aku coba bertanya padamu."Eleanor yang cemberut pun menganggukkan kepala dengan
"Di mana Nenek?" Eleanor tidak ingin membuang waktu berbicara dengan Tiara.Meskipun Eleanor tahu Tiara hanyalah alat yang dimanfaatkan oleh Yoana untuk menanggung kesalahannya, Tiara tetap memiliki niat buruk terhadap anak-anaknya dan bersedia dimanfaatkan secara sukarela.Saat ini, Eleanor tidak punya waktu untuk berurusan dengannya. Selama Tiara tidak menimbulkan masalah lagi, Eleanor akan menganggapnya tidak ada.Tiara tertegun sejenak sebelum menunjuk ke lantai atas. "Nenek ada di atas."Eleanor langsung menaiki tangga. Begitu dia pergi, Tiara buru-buru menelepon ayah dan ibunya. "Ayah, Eleanor masih hidup ...!"Eleanor tiba di depan kamar Jovita dan mengetuk pintu dengan pelan. Sesaat kemudian, terdengar suara dari dalam. "Masuk."Eleanor membuka pintu dan melangkah masuk. Jovita yang memakai kacamata rabun tua sedang duduk di kursi malas dekat jendela besar sambil merajut sesuatu. Cahaya matahari menyelimuti tubuhnya, memberikan kesan hangat dan damai.Ketika dia mengangkat kepa
"Kukembalikan kepadamu," ujar Jeremy.Charlie mengangkat alis. "Kamu menyelidikiku?"Jeremy menatapnya dengan tenang. "Aku cuma menebak."Selama dua bulan terakhir, kecurigaan Jeremy terhadap Charlie tidak pernah surut. Dia terus mengawasi Charlie dan akhirnya menemukan sejumlah besar uang yang keluar dari rekeningnya.Empat triliun. Bukan jumlah kecil, cukup untuk membeli sebuah kediaman mewah atau barang berharga lainnya. Anehnya, Charlie hanya mengeluarkan uang tanpa membeli aset apa pun.Lebih mencurigakan lagi, transaksi itu terjadi tepat tiga hari setelah Eleanor menghilang. Ditambah dengan pengakuan Eleanor bahwa dia terkena racun yang sangat langka, Jeremy menyimpulkan bahwa uang itu kemungkinan besar telah digunakan untuk menyelamatkan Eleanor.Jika itu memang untuk Eleanor, Jeremy merasa sudah seharusnya dia kembalikan.Charlie tertawa kecil, meletakkan cek itu di atas meja dengan santai. "Kamu ini siapa? Berani sekali kamu menggantikan dia membayar utangnya?"Jeremy menyahut
Langkah kaki Eleanor terhenti sejenak. Masa dia tidak berani duduk di sofa rumah sendiri?Dengan tenang, dia mendekat dan duduk. Jarak di antara dia dan Jeremy tidak terlalu dekat, tetapi juga tidak jauh, cukup untuk satu orang duduk di antara mereka.Tidak ada yang berbicara. Seolah-olah mereka memang hanya tidak bisa tidur dan duduk untuk menonton film. Namun, nyatanya tidak ada yang benar-benar menonton.Saat film diputar hingga setengah, Jeremy tiba-tiba merasakan beban lembut di bahunya. Hatinya bergetar. Dia menoleh sedikit, dagunya tanpa sengaja menyentuh dahi Eleanor yang tertidur lelap.Perlahan-lahan, dia mengangkat tangannya, setengah merangkul wanita itu. Bibirnya membentuk senyuman tipis.Dia menggendong Eleanor dengan hati-hati, seolah-olah mengangkat barang paling berharga di dunia. Kemudian, dia berbaring di samping Eleanor.Aroma wangi yang samar dari tubuh Eleanor terasa menenangkan, perlahan meredam kegelisahan dalam hati Jeremy. Jeremy menunduk untuk mengecup dahiny
Eleanor memberikan satu set pakaian untuk Vivi, sementara Jeremy sudah membawa anak-anak ke ruang tamu.Lima menit kemudian, mereka semua duduk di ruang tamu, saling bertukar pandang. Vivi melihat Jeremy, lalu Eleanor, kemudian menatap mereka berempat. Di tengah keluarga ini, keberadaannya benar-benar terasa berlebihan.Saat berikutnya, dia teringat kejadian di restoran tadi. Mereka berdua ... mau balikan? Vivi berpikir, merasa lebih baik tidak ikut campur urusan asmara orang lain. Jadi, dia mengambil tasnya dan berdiri. "Aku paham, aku paham."Karena tidak ingin merusak momen, dia langsung bersiap untuk pergi. "Aku datang lagi lain kali."Dalam sekejap, Vivi melesat keluar. Eleanor melihat kepergiannya yang secepat kilat, merasa Vivi sudah sangat mahir dalam seni melarikan diri.Eleanor menatap Jeremy. "Kamu benar-benar mau menginap di sini?""Kalau tidur di luar, aku bisa mati kedinginan. Jadi ...." Jeremy menarik sudut bibirnya. "Kasihanilah aku."Eleanor mengangguk. Dia tidak sekej
Jeremy terdiam sejenak, lalu menghela napas. Akhirnya, dia berkata, "Mobilku rusak."Mobil rusak, artinya dia tidak bisa pulang.Eleanor menatapnya. Pria ini ingin menginap? Jangan mimpi!Berpura-pura tidak mengerti, Eleanor berujar, "Tunggu sebentar."Jeremy tidak tahu maksudnya, sampai dia melihat Eleanor mengambil kunci mobil dan menjelaskan di mana mobilnya diparkir dengan sabar. "Pakai saja, besok suruh orang antar kembali."Jeremy menatap kunci mobil di telapak tangannya, lalu tiba-tiba tersenyum. Wanita ini sengaja!"Tebak gimana aku bisa membawa mereka ke sini?" tanyanya."Hm?" Eleanor berkedip bingung."Aku bilang kalau aku nggak melihatmu, aku akan mati. Kalau aku pulang, apakah orang tua keras kepala itu akan memindahkan rumahnya ke sini malam ini juga?"Eleanor melihat kedua anak yang dipegangnya. Dia tahu betapa keras kepala dan semena-menanya Simon. Pria tua itu memang akan melakukan hal seperti itu.Jadi, maksud Jeremy adalah kalau dia di sini, anak-anak di sini. Kalau d
Simon perlahan-lahan menuruni tangga. "Sudah tengah malam, kalian mau ke mana?""Nggak bisa tidur, jadi mau jalan-jalan sebentar," balas Jeremy dengan tenang sambil menoleh, tanpa tanda-tanda berbohong."Nggak bisa tidur, jadi jalan-jalan?" Simon mengulangi kata-katanya, lalu mendengus dingin. "Jalan-jalan sebentar, lalu ujung-ujungnya pergi menemui Eleanor, 'kan?"Ekspresi Simon penuh dengan ketegasan. Kedua anak itu tinggal di rumah Keluarga Adrian. Selama Eleanor masih hidup, cepat atau lambat dia pasti akan kembali.Melihat perubahan sikap kedua anak itu terhadap Jeremy, Simon pun bisa menebak bahwa Eleanor pasti masih hidup dan sudah kembali. Hal ini membuat tatapan Simon dipenuhi kekhawatiran.Jeremy menggigit bibirnya erat-erat, lalu tiba-tiba berkata dengan nada ringan, "Aku hampir mati.""Apa?" Simon mengernyit tajam."Gangguan tidur. Bastian bilang kalau aku nggak segera mendapat perawatan, aku akan mati." Nada suara Jeremy begitu datar, seolah-olah dia hanya sedang membicara
Jeremy mengusap keningnya, berjalan ke sisi tempat tidur. Dia melihat dua bagian pada selimutnya sedikit menggembung dan terus bergerak seperti ulat.Dia menarik selimut itu. Di bawahnya, terlihat dua bocah kecil yang sedang berbaring di atas tempat tidurnya. Mereka menatapnya dengan senyuman penuh harapan."Papa, akhirnya kamu datang! Malam ini kami tidur bersamamu ya. Cepat naik!"Harry menepuk tempat di sebelahnya, sementara Daniel bergeser ke samping, memberikan ruang yang lebih luas untuk Jeremy.Alis Jeremy berkedut keras. "Kalian sedang merencanakan apa?""Papa 'kan susah tidur malam-malam. Nih, buatmu."Jeremy menatap buku pelajaran yang tiba-tiba diselipkan ke tangannya. Alisnya semakin berkedut. "Buat apa ini?""Baca buku! Aku selalu mengantuk kalau baca buku. Sangat efektif. Coba saja!"Jeremy sungguh kehabisan kata-kata melihat tingkah mereka.Harry masuk ke dalam selimut, lalu menatap Jeremy. "Cepat baca."Jeremy mengusap keningnya dengan pasrah. "Kalau ada sesuatu yang in