Gagal sudah Gala dan Mentari pergi ke kampus hari ini. Rencana mereka akan ikut kelas siang karena pagi ini telat bangun harus diurungkan karena kondisi Mentari yang tidak memungkinkan untuk keluar rumah.Bagian inti Mentari benar-benar sangat sakit sehingga menyulitkannya untuk bergerak apa lagi untuk berjalan.Sangat tidak mungkin rasanya jika Mentari harus memaksakan diri untuk tetap berangkat kuliah.Mentari tidak ingin satu kampus heboh karena melihat cara jalannya yang mengangkang. Gala benar-benar kuat, dia berhasil membuat Mentari tidak bisa berjalan setelah dia gempur habis-habisan semalam."Kalau izin sehari ini aja, nggak akan berpengaruh sama beasiswa kita 'kan Kak?" Tanya Mentari kepada Gala yang tengah menyiapkan sarapan untuk mereka.Keadaan Mentari yang sulit bergerak karena ulahnya membuat Gala harus mengerjakan pekerjaan rumah sendirian, mulai dari memasak, nyuci, nyapu dan pekerjaan ruamh yang lain.Tapi Gala sama sekali tidak mengeluh melakukan semua itu sendirian,
"Aku nggak terima dia bisa hidup bahagia, Bu. Dia harus menderita meskipun enggak hidup bareng kita lagi." Fania melempar apa saja yang ada di hadapannya.Bantal, selimut, sprei, dan semua barang-barang yang terletak di atas ranjang, Fania lempar semua tanpa terkecuali.Rosa mengurut pangkal hidungnya merasa pening dengan kelakuan anak gadisnya in. Sejak ia bangunkan untuk berangkat kuliah tadi Fania mengamuk tidak jelas entah marah kepada siapa."Cerita dulu sama, Ibu. Apa masalahnya? Kalau kamu gini terus, Ibu jadi bingung, Fania." Rosan memunguti barang-barang yang Fania lemparkan.Sejak Mentari pergi dari rumah ini ia harus mengerjakan pekerjaan rumah sendirian, Marwan sama sekali tidak mau memberikannya seorang pembantu, sedangkan Fania adalah anak yang pemalas dan tidak becus mengerjakan pekerjaan rumah."Si gadis bodoh itu udah banyak berubah sekarang, Buk. Aku nggak terima dia lebih unggul dari pada aku," jerit Fania dengan amarah yang meletup-letup."Maksud kamu, Mentari? Mem
Fania melebarkan matanya, apa telinganya tidak salah dengar si Mentari menyebutnya nenek lampir?"Lo bilang gue nenek lampir?" tanya Fania sambil menunjuk dirinya sendiri.Mentari mengangkat sebelah alisnya. "Aku nggak ada bilang kalau yang aku sebut nenek lampir itu kamu." Mentari menjeda kalimatnya sambil menatap Fania dari atas sampai bawah dengan pandangan penuh arti. "Tapi kalau kamu merasa yah ... mau gimana lagi."Arumi mengacungkan kedua jari jempolnya memuji sang sahabat dan mati-matian menahan tawa melihat wajah geram Fania."Itu baru namanya Bestie gue," ucap Arumi begitu kagum."Berani banget lo sekarang, mau lawan gue lo?" tantang Fania dibalas tatapan datar oleh Mentari."Aku sih nggak mau ngelawan siapa-siapa, yah. Tapi kalau orangnya mau jahatin aku, kenapa enggak aku lawan. Aku bukan lagi yang Mentari lemah yang selalu nurut perintah kamu sama orang tua kamu itu." Tekan Mentari.Pancaran mata Mentari berapi-api memancarkan kemarahan yang tak bisa dijabarkan dengan kat
“Aku kesel banget sama Mentari itu, Bu. Masak sekarang dia udah pinter ngelawan sampai bikin aku malu di depan semua anak-anak di kampus.” Fania pulang-pulang sudah dalam keadaan marah-marah melempar tasnya kesembarangan arah.Rosa yang semula asik nonton TV terlonjak kaget mendengar ocehan Fania.“Astaga … Fania, kenapa lagi sama kamu? Pulang-pulang bukannya baca salam malah marah-marah kayak orang kesurupan," ucap Rosa sembari menatap heran sang anak.Fania menghempaskan tubuhnya dengan kasar pada sofa tepat di samping sang ibu.“Mentari Bu … Mentari,” pekik Fania dengan amarah yang menggebu-gebu.“Iya, Mentari kenapa? Kenapa bisa dia bikin kamu malu di depan teman-teman kamu?” tanya Rosa, diusapnya dengan lembut lengan anak kesayangannya.“Kan barusan aku bilang, Bu. Dia bikin aku malu depan anak-anak di kampus.” Fania menghentak-hentakkan kakinya sangat kesal.“Bukannya tadi pagi kamu yang rencananya mau nyerang dia lagi, kenapa sekarang jadi kamu yang pulang-pulang langsung marah
“Mau apa kalian kesini?” Gala melempar pertanyaan sarkas kepada dua tamu tak diundang yang datang ke kontrakan Bu Santi, Gala juga langsung pasang badan di depan Mentari untuk melindungi sang istri dari dua ular beracun yang tidak Gala harapkan kehadirannya. Dari raut wajah Gala yang berubah dingin orang akan langsung bisa menebak bahwa pria itu sangat membenci dua orang yang datang itu. “Saya ke sini untuk mencari anak tidak tau diri itu, sudah dibesarkan bukannya balas budi tapi malah menjelek-jelekkan saya di depan umum.” Mendengar jawaban Rosa, kekehan sinis keluar begitu saja dari bibir Gala. “Makasih yang seperti apa yang Anda minta? Makasih atas ketidak adilan yang selama ini kalian semua perbuat kepada istri saya, iya?” Rosa mengepalkan tangannya, keberadaan Gala sungguh membuat rencananya untuk memberi Mentari pelajaran harus terganggu. “Kamu, laki-laki miskin nggak usah ikut campur, ini bukan urusan kamu.” Rosa menatap nyalang Gala yang kini menyeringai kepadanya.
“HEY, TUNGGU! JANGAN LARI KALIAN!” Para emak-emak yang dipanggil Bu Santi terus mengejar Fania dan dan ibunya sambil membawa sapu, ember, bahkan panci untuk menimpuk kepala ibu dan anak yang sudah membuat gaduh di lingkungan mereka. “Gimana dong, Bu? Kita bisa bonyok di tangan emak-emak sekampung.” Fania terus berlari sesekali menoleh ke belakang di mana ada banyak kaum manusia terkuat di dunia yang diberi julukan emak-emak. “Diam dulu kamu, Fan. Kita salah langkah, ternyata anak nggak tau diri itu banyak pelindungnya di sini.” Rosa membuka kasar pintu mobilnya berbarengan dengan Fania masuk. Tidak ada tempat yang lebih aman bagi mereka untuk berlindung selain di dalam mobil. Rosa melirik ke belakang, wanita itu melotot melihat betapa bar-bar nya para tetangga Mentari. “Sialan, merk lempar mobil kita pakai tanah lumpur, Fan.” Rosa mengepalkan tangannya kuat-kuat. Kini mobilnya telah kotor oleh tanah basah akibat perbuatan emak-emak itu. tidak ingin mobilnya semakin kotor, R
Mentari mengayunkan langkah gontai nya keluar dari rumah, ia melirik Fania yang diantar ke sekolah dengan mobil oleh ayahnya.Menatap uang lima ribu dalam genggamannya, bibir pucat Mentari yang menahan lapar mengeluarkan napas kasar.“Apa ayah mengizinkan hari ini aku ikut nebeng ke sekolah?” Mentari Memandang nanar ayahnya yang tengah memberikan selembar uang lima puluh ribu kepada Fania.Senyum getir lagi-lagi terpatri di bibir Mentari, uang lima puluh ribu jelas sangat berbeda jauh dengan jatah jajannya hari ini yang hanya lima ribu.Di sini yang merupakan anak kandung ayahnya sebenarnya dirinya atau Fania, kenapa ayahnya seolah memperlakukannya bak anak tiri.Hanya terkadang saja Mentari mendapat jatah jajan lima belas ribu, itu pun kalau ibu tirinya tengah berbalik hati.Menatap ayahnya ragu-ragu, Mentari mengayunkan langkah secara perlahan hingga sekarang ia sudah berdiri di samping mobil sang ayah.“Ayah, Tari boleh ikut berangkat sekolah bareng, Ayah?” Mentari meremas tali tas
“Kak Gala kok nggak bisa dihubungi ya, Alzi juga nggak angkat telpon dari aku. Harusnya Kak Gala udah sampai di cafe.”Mentari meremas erat ponsel yang baru saja ia gunakan untuk menghubungi Gala dan Alzi, tapi ponsel keduanya yang sama-sama tidak bisa dihubungi membuat perasaan Mentari semakin cemas.Jika ponsel Gala tidak aktif, Alzi malah tidak menjawab panggilan darinya.“Kemana aja sih mereka?”Dalam rasa gelisah yang melanda, Mentari juga merasa kesal dalam waktu bersamaan.Sudah tiga puluh menit sejak Gala pergi, harusnya suaminya itu sudah sampai di cafe.“Kalau Kak Gala udah sampe kenapa dia nggak ngabarin aku?” Pertanyaan itu lolos dari bibir Mentari.Hati Mentari semakin tak tenang memikirkan keberadaan suaminya, kenapa disaat ia benar-benar butuh kabar seperti ini Gala malah tidak memberinya kabar.“Aku makin nggak tenang kalau gini caranya, aku harus susul Kak Gala sekarang juga.”Tanpa pikir panjang, Mentari langsung menyambar tas selempang kecil yang hanya muat satu han