Di luar sudah gelap. Aku berusaha mengistirahatkan tubuhku tapi tidak bisa. Aku terus berguling ke kanan dan ke kiri. Saat mencoba memejamkan mata, yang muncul justru segala skenario buruk soal Amel. Aku benar-benar tidak tenang. "Amel, di mana kamu, Nak?"Tiba-tiba saja aku kembali teringat tentang Jupri. Ia sudah mengiyakan permintaanku untuk membantu mencari Amel. Barangkali saja malam ini sudah ada kabar. Dan aku juga melupakan janji ketemu malam ink. Hadeh.Segera kuraih ponsel yang ada di atas nakas, lalu kucari nomor Jupri. Begitu ketemu, tanpa menunggu lebih lama, aku langsung meneleponnya. Setelah menunggu selama beberapa detik, akhirnya telepon itu tersambung. "Ya, halo, Ann?" jawab suara di seberang sana. Mendengar suara Jupri sejenak membuatku tenang. Mengetahui ada yang mau membantuku, membuat beban di pundak sedikit menghilang. Aku yakin dengan bantuan Jupri, Amel pasti lebih cepat ketemu. "Malam, Jup. Sorry mengganggu. Maaf aku tidak bisa ketemu dengan kamu malam in
Sebuang ungkapan hati yang sudah lama ingin aku dengarbsejak dulu kini bisa lolos juga dari pria kera ini. Entah mengapa ada gelenyar aneh yang menjalar pada relung hayi terfalam. Terbayang senyum lelkai itu saat kelulusan masa silam."Aaannn, aku lulus dengan nilai terbak!: teriaknya kala itu."Wah, selamat. Mau lanjut ke mana?" tanyaku.Wajah Jupri seketika menunduk sedih, sorot mata yang aku tangkap lelkai itu sedang banyak masalah. Dan aku tidak berani untik bertanya lebih jauh. Cukup kudengar cerita yang mengalir dari bibir tipisnya yang memerah. Lelaki itu sama sekali tidak merokok atau pun candu minuman keras selayaknya pemuda kelas tiga. Jupri adalah lelaki yang lurus-lurus saja.Citra yang positif selallu tersemat pada diri lelaki itu, maka tidak heran jika dia banyak yang naksir. Bahkan guru pun memujanya karena kepibtaran otaknya. Namun, entah bagaimana ceritanya hingga dia menjadi preman. Aku tidak tahu pasti."Ann!" panggil Jupri."Iya, habis ini aku tidur kok." Aku menco
Kepalaku terasa berat. Hari ini, aku masih belum bisa membantu di dapur atau menata roti-roti yang sudah jadi di etalase. Badanku rasanya lemas. Semalam, aku susah tidur. Setiap memejamkan mata, pasti yang muncul langsung wajah Amel. Kata-kata Jupri semalam pun tidak ubahnya seperti bara yang cepat padamnya. "Mbak sudah sarapan?" tanya Andin sambil membawa nampan berisi roti dan segelas susu. Aku pun menggeleng. "Aku tidak bisa sarapan, Din. Makanannya tidak bisa tertelan. Bagaimana bisa aku makan sedangkan Amel di luar sana tidak tahu makan apa?"Andin terlihat menghela napas pelan, lalu menarik kursi di hadapanku. Ia meletakkan nampannya di atas meja lalu memindahkan roti dan susu tepat di depanku. "Mbak, Amel butuh Mbak. Jangan sampai Mbak tumbang sekarang. Ini dimakan, Mbak. Sedikit yang penting ada makanan masuk."Benar kata Andin. Aku harus paksakan makanan ini masuk. Siapa yang mau cari Amel kalau aku nanti masuk rumah sakit? Akhirnya aku raih roti dari Andin lalu memakanny
Di sinilah aku sekarang, warung soto. Pelanggan tampak ramai. Meja-meja terlihat penuh. Untung aku datang tepat waktu, jadi aku bisa mengamankan satu meja untuk aku dan Jupri. "Mau pesan apa, Mbak?" tanya seorang pelayan sambil membawa sebuah catatan kecil. "Oh, pesannya sebentar lagi boleh? Teman saya belum datang," balasku.Pelayan itu mengiyakan kemudian pamit. Aku langsung mengecek ponselku. Tidak ada notifikasi apa pun di sana. "Mana sih si Jupri?" Aku melirik jam yang melingkar di tangan. Sudah lewat lima belas menit dari waktu yang dijanjikan. Sebenarnya bukan masalah serius. Hanya saja, mengingat hilangnya Amel, membuatku jadi mudah khawatir dengan berbagai hal. "Kalau terlambat, seharusnya dia kasih tahu. Apa jangan-jangan ...."Aku menggeleng keras. Apa yang aku pikirkan? Kenapa aku selalu berpikir yang buruk-buruk terus? Saat sedang kebingungan itulah, tiba-tiba pundakku ditepuk dari belakang. Aku langsung terlonjak. "Ann, ini aku, Jupri!" ucap Jupri dengan senyumnya
Akhirnya aku dan Jupri mulai melajukan kendaraan menuju ke jalan antara Madiun dan Nganjuk, kami sengaja lewat jalur bebas. Dengan begitu semoga saja kami bisa menemukan posisi Amel. Setiap yempat berteduk kami sibggahi hibgga akhirnya aku mengajak Jupri untuk singgah sebentar di Waduk Rawa Baning."Kita berhenti dulu di sini, Jup. Sebentar aku tanya dulu pada para penjual di sana semoga mereka ada yang pernah melihat wajah Amel," pamitku pada Jupri.Lelaki itu hanya menganggukkan kepala kemudian tersenyum simpul. Aku berjalan meninggalkan Jupri bersama seorang pemuda bercelana belel dan sedikit lusuh tetapi masih terlihat bersih."Maaf, Bu. Numpang tanya!" kataku pada pemilik warung makan."Iya, Neng, silahkan!""Apakah ibu pernah melihat anak perempuan kecil sedang berjalan sendiri, nah ini fotonya!" ucapku sambil menyodorkan foto teralhir Amel yang aku dapatkan dari Yoga kemarin malam.Ibu pemilik warung tersebut pun mulai menamati wajah Amel, lalu tersenyum masam dan terdengar nap
Setelah bercerita panjang lebar dengan Irene dan beban di pundakku sedikit terangkat, akhirnya aku masuk ke kamarku untuk mengistirahatkan sejenak tubuh lelah ini. Meski pikiranku masih sering kosong karena terbayang Amel, tapi aku merasa sudah cukup kuat dari sebelumnya.Pagi kembali menyapa, hari ini sudah memasuki hari yang ke dua sejak kabar hilangnya Amel dari Frans. Sejak itu pula lelaki itu belum memberi kabar lain yang lebih baik. Aku semakin resah dan galau. Namun, aku harus kuat demi Amel. Hari ini aku harus konsentrasi dulu pada toko, semua urusan Amel sudah aku pasrahkan pada Jupri."Mbak, telepon Mbak dari tadi bunyi, mungkin penting," ucap Andin sambil menyibak pembatas ruangan. Mendengar ucapan Andin, aku segera melepas sarung tangan plastikku kemudian bergegas keluar dari dapur. Bunyi ponselku sudah terdengar bahkan sebelum aku sempat menuju meja kerjaku. Aku terus menebak-nebak siapa gerangan yang meneleponku itu. Mungkinkah kabar terbaru tentang Amel? "Ah, nomor ti
Roti-roti yang bagian atasnya terlihat mengilat, berjajar rapi di etalase. Beberapa sudah berpindah ke nampan-nampan para pengunjung. Antrean di kasir juga terlihat mengular. Aku lumayan kuwalahan melayani para pembeli. Tetapi dengan senyum mereka kulayani dengan ramah."Terima kasih. Selamat datang kembali," ucapku sambil mengulurkan satu kantung roti ke pembeli di depanku. Meski pikiranku kalang kabut, dipenuhi perasaan takut dan khawatir soal anakku, tapi aku bersyukur tokoku ramai sekali hari ini. Aku juga berusaha memasang senyum ramah agar pembeli tidak kapok datang ke mari. Sebuah urusan sepele yang sebenarnya jadi perjuangan berat untukku saat ini. Aku harus tetap semangat ini semua juga demi Amelia dan Yoga. Bersabarlah Annasta, lirihku sendiri untuk menenangkan hatiku. Setiap badai pasti akan berlalu dan cahaya terang yang akan menggantikan. Aku yakin semua pasti ada akhir dan bahagia datang menghampiri."Ada tambahan lagi, Kak?" tanyaku kemudian saat pembeli selanjutnya m
"Jasen? Untuk apa dia ke mari?" gumamku lirih. Jasen Vanderson. Laki-laki itu berhasil menyedot perhatian. Kulit putih kemerahan khas orang Australia, dada bidang dengan tubuh yang menjulang tinggi, belum lagi wajahnya yang tampan dengan hidung mancung yang memesona, membuat semua mata langsung tertuju padanya. Tanpa terkecuali. Aku bahkan bisa melihat beberapa dari mereka tidak berkedip saat menatap Jasen. Laki-laki itu seperti sedang memeragakan busana paling epic dan para pengunjungku ini ibarat kaum kelas atas yang sedang mengincar prestige tanpa peduli seberapa tinggi harga busana itu. Siapa yang bisa menampik pesona Jasen? Rowena saja bahkan sampai tergila-gila meski tahu itu suamiku. "Siapa itu? Ganteng banget seperti bintang film," celetuk salah seorang pengunjung di sebelahku. "Sepertinya bukan. Hanya mirip. Tapi aku akui, dia memang ganteng," jawab wanita di sebelahnya. "Malaikat dari mana yang lupa jalan terus nyasar ke toko roti begini?" celetuk pengunjung lainnya sa