Kulihat Damar membuka kresek hitam yang aku sodorkan padanya, perlahan dibuka dan diambilnya beberapa lembar uang kertas berwarna biru. Aku hanya tersenyum melihat kejujuran yang dilakukan oleh pemuda di hadapanku tersebut."Dam, kok hanya tiga lembar saja?" tanyaku untuk memancing kejujurannya."Tiga lembar uang biru bagiku sudah lebih dari cukup, Mbak. Apalagi saat ini harga BBM naiknya sangat tajam, hingga kadang aku kehabisan stock," balas Damar."Jika seperti itu, ambil lagi satu atau dua lembar, Dam. Hitung sekalian buat bensin kamu keliling besok," kataku.Damaar pun mengambil uang sesuai jumlah yang aku sebutkan, pemuda itu terbilang sangat jujur dalam melakukan tanggung jawabnya sebagai seorang karyawan. Aku sangat beruntung dikelilingi para pekerja yang jujur dan bertangung jawab penuh. Dahlia tersenyum melihat sikap baik Damar, gadis kecil itu kulihat sangat mengagumi Damar."Mas Damar sudah punya motor sendirikah?" tanya Dahlia polos."Kok tiba-tiba tanya seperti itu pada
Akhirnya jualan pagi ku selesai dengan hasil yang memuaskan. Nasi dua kilo habis dan kue basah yang aku sajikan juga ludes. Aku pulang ke rumah dengan senyum puas. Andin ikut membantuku memberesi alat jualanku dipagi hari. Gadis itu terbilang sangat rajin.Sampai rumah kulihat semua karyawan sudah datang dan mulai melakukan produksi roti bluder dan kue bolen pisang. Andin ikut membuat adonan dan sibuk memanggang dengan api sedang. Sedangkan Dahlia kulihat sibuk mengisi gelas kosong para karyawan. Aku tersenyum tetapi juga sedih melihat kondisi Dahlia. Usia anak itu masih dalam usia sekolah."Andin!" panggilku.Andin segera mencuci tangannya hingga bersih. Kemudian meninggalkan adonannya yang hanya menunggu adonan itu mengembang setalah mengembang baru dimasukkan dalam oven besar. Oleh karrna itu kulihat Andin berani meninggalkan adonannya. Senyumku mengembang ketika melihat keputusan Andin. "Ada apa, Mbak?" tanya Andin."Apakah ada baiknya Dahlia kamu daftarkan ke sekolah dasar terd
"Apa yang terjadi dengan Amel, Frans?" tanyaku.Terdengar napas panjang nan halus di telingaku, sepertinya Frans sedang menenangkan hatinya. Hal ini membuatku semakin takut bila terjadi apa-apa dengan kedua anakku tersebut. Frans seakan mengulur waktu agar dia bisa tenang dalam bercerita."Ayolah, Frans!" desakku."Amel beberapa hari ini dilarang untuk sekolah, dia di kurung di dalam rumah oleh rubah betina itu," kata Frans.Gdeerr!!Bagai petir menyambar telingaku, seketika hape yang aku pegang terlempar begitu saja di sofa. Napasku memburu, dadaku terasa sesak. Aku susah untuk bernapas hingga sebuah tangan mungil menyentuh pundakku pelan."Bunda!" Suara itu seketika menyadarkan aku dari hentakan berita Amel yang mampu membuat otakku hilang. Dahlia sejak masuk sekolah menjadi sering memanggilku bunda. Karena panggilan inilah aku tersadar, segera ku peluk tubuh mungilnya."Terima kasih, Sayang!" lirihku diantara sesak napasku."Minumlah dulu, Bunda. Dan ini hapenya!" ucap gadis kecil
"Iya, Sayang. Ayo sekarang waktunya kita istirahat dan makan siang," ajakku pada Dahlia.Dengan senyum riangnya, gadis kecil itu melangkah dengan tangannya menggandeng jemariku. Dahlia adalah gafis kecil yang oenuh semangat, pengaruhnya sangat banyak terhadapku. Entah apa jadinya aku jika tidak ada Dahlia. Gadis kecil itulah yang selama ini selalu membuatku bersemangat dalam memajukan toko kueku. Kini aku sangat bersyukur bisa mengirim sedikit uang untuk kedua anakku di sana. Mereka sudah memiliki buku tabungan sendiri sejak dini. Entah keduanya tahu atau tidak yang penting saat ini aku sudah mulai menyisihkan sedikit uang untuk mereka dewasa kelak."Mbak Ann, ayo segera mengambil nasi dan lauknya! Maaf, Andin masak lalapan hari ini!" kata Andin."Tidak mengapa kok, Ndin. Mbak justru suka menu sambal seperti ini," balasku.Kami bertiga tenggelam dalam makanan yang sudah ada di depan. Kulihat Dahlia sangat lahap memakan menu makanan kesukaannya. Ayam goreng krispy, adalah lauk favorit
Sekarang aku sedang ada di cabang toko kue milikku yang ada di pinggiran kota. Suasana terlihat lumayan senggang, jadi bisa aku manfaatkan untuk istirahat di meja kasir sembari menyapa beberapa pelanggan yang masuk atau pun meninggalkan toko. Di saat seperti ini aku dikejutkan akan dering _handphone_ di saku seraya bergetar.Bergegas aku mengeluarkan ponselku dari saku blazer. Begitu melihat nama yang terteta di layar, senyumku melebar dan segera kujawab telepon itu penuh suka cita."Hallo, Bunda!" seru suara yang aku rindukan selama ini. Senyumku bertambah merekah. "Hallo juga, anak Bunda."Terdengar tawa kecil dari seberang, membuat aku tidak berhenti tersenyum. Tawa itu selalu terngiang di telingaku, apalagi saat rindu. Gadis kecilku, Amelia."Bunda, Amel kangen banget sama Bunda." Gadis kecil itu berkata tulus, aku bisa merasakannya dari lubuk hati terdalam."Bunda juga kangen sama, Amel," jawabku mengutarakan apa yang kurasakan.Sejenak hening, hanya hembusan napas serta gemerus
Ma, Amel masih mau ngobrol sama Bunda." Suara Amel yang memohon menyapu telingaku.Gedebug turut menggiring teriakan Rowena yang marah. Jantungku mencelos, yang kupikirkan sekarang penuh Amel. Tidak akan membayangkan ada tangan menyentuh permukaan kulit anakku dengan kasar."Kamu ngapain sih pake segala nelepon dia?!" tanya Rowena masih menggebu-gebu.Aku menutup mulut sembari mendengar dengan seksama, beruntung panggilan belum ditutup. Jadi aku masih bisa mendengar dengan jelas bagaimana siksaan yang dilakukan oleh Rowena. Gegas aku merekam semua suara melalui ponselku."Biarkan sajalah, Ma. Dia juga ibunya Amel," ujar laki-laki yang suaranya tidak asing. Dia pasti Yoga, Kakak Amel.Suara dengkus yang keras menusuk gendang telingaku. "Terus! Bela saja dia," hentak Rowena.Giliran aku mendengkus, bila saja aku di sana sudah kuapakan wanita itu. Walau begitu aku bersyukur, masih ada Yoga di dekat Amel yang akan selalu menolongnya entah dalam keadaan apa."Ma, balikin hapenya," pinta Am
Rowena terus mengomel, bahkan semakin lantang dalam mengeluarkan kata-kata. Memang tidak kasar bahasanya, tetapi bentakan demi bentakan tidak seharusnya diterima oleh anak kecil seusia Amel."Kamu sama saja seperti mereka, sudah berani ngelawan terus!" tutur Rowena, aku tahu dia yang dimaksud adalah Amel."Sudahlah, Ma. Ini tidak ada artinya. Annasta akan selamanya menjadi ibu kami. Kau, kau hanyalah ibu sambung dan aku tidak sudi menghormatimu selayaknya Annasta. Paham!" Pertengkaran mereka masih berlanjut, sampai aku sama sekali tak mendengar suara apapun dari seberang. Aku merasa sambungan telah terputus secara sepihak. Walau begitu tak kuasa aku mengetahui bagaimana Amel dan Yoga diperlakukan oleh Rowena.Aku menompang dagu, menatap intens handphone yang kuletakan di samping kalkulator mini. Lantas mataku menerawang jauh. Membayangkan perlakuan seorang ibu tiri yang kejam. Rowena. Tiba-tiba sebuah tangan menepuk punggungku pelan, tetapi tidak aku pedulikan. Hingga Andin menggunc
Setelah barusan membeli bahan-bahan persediaan dan mengirim mereka ke gudang toki, aku kembali ke rumah. Tetapi sebelum itu Andin mencegatku, menarik lenganku hingga kami berhadapan.Wajahnya menaruh kekhawatiran terhadapku, namun aku menepis semua kegelisahan dengan senyuman. Tetapi gadis itu tahu akan kesedihan yang terpancar dari sorot mataku. Andin bukan satu atau dua hari bersamaku, dia sudah hampir dua tahun hidup satu atap denganku. Jadi gadis itu begitu paham dengan perubahan yang terjadi padaku."Kenapa, Din?" tanyaku.Dia menggeleng, melepas lenganku sembari menghela napas."Mbk, lagi ada masalah, ya?" tanyanya menatapku lagi."Mbk bisa cerita sama aku, Andin siap dengar cerita sama kasih saran buat, Mbk." Andin terus mendesakku.Aku menggeleng, enggan memberitahu kegalauanku selepas menerima telepon tadi siang. Andin tidak memaksa. Walau aku tahu dia sangat penasaran."Huh ... yaudah deh, Mbk. Andin istirahat dulu. Jaga kesehatan, ya, Mbk!" ucap Andin berbalik badan melangk