"Iya, Sayang. Ayo sekarang waktunya kita istirahat dan makan siang," ajakku pada Dahlia.Dengan senyum riangnya, gadis kecil itu melangkah dengan tangannya menggandeng jemariku. Dahlia adalah gafis kecil yang oenuh semangat, pengaruhnya sangat banyak terhadapku. Entah apa jadinya aku jika tidak ada Dahlia. Gadis kecil itulah yang selama ini selalu membuatku bersemangat dalam memajukan toko kueku. Kini aku sangat bersyukur bisa mengirim sedikit uang untuk kedua anakku di sana. Mereka sudah memiliki buku tabungan sendiri sejak dini. Entah keduanya tahu atau tidak yang penting saat ini aku sudah mulai menyisihkan sedikit uang untuk mereka dewasa kelak."Mbak Ann, ayo segera mengambil nasi dan lauknya! Maaf, Andin masak lalapan hari ini!" kata Andin."Tidak mengapa kok, Ndin. Mbak justru suka menu sambal seperti ini," balasku.Kami bertiga tenggelam dalam makanan yang sudah ada di depan. Kulihat Dahlia sangat lahap memakan menu makanan kesukaannya. Ayam goreng krispy, adalah lauk favorit
Sekarang aku sedang ada di cabang toko kue milikku yang ada di pinggiran kota. Suasana terlihat lumayan senggang, jadi bisa aku manfaatkan untuk istirahat di meja kasir sembari menyapa beberapa pelanggan yang masuk atau pun meninggalkan toko. Di saat seperti ini aku dikejutkan akan dering _handphone_ di saku seraya bergetar.Bergegas aku mengeluarkan ponselku dari saku blazer. Begitu melihat nama yang terteta di layar, senyumku melebar dan segera kujawab telepon itu penuh suka cita."Hallo, Bunda!" seru suara yang aku rindukan selama ini. Senyumku bertambah merekah. "Hallo juga, anak Bunda."Terdengar tawa kecil dari seberang, membuat aku tidak berhenti tersenyum. Tawa itu selalu terngiang di telingaku, apalagi saat rindu. Gadis kecilku, Amelia."Bunda, Amel kangen banget sama Bunda." Gadis kecil itu berkata tulus, aku bisa merasakannya dari lubuk hati terdalam."Bunda juga kangen sama, Amel," jawabku mengutarakan apa yang kurasakan.Sejenak hening, hanya hembusan napas serta gemerus
Ma, Amel masih mau ngobrol sama Bunda." Suara Amel yang memohon menyapu telingaku.Gedebug turut menggiring teriakan Rowena yang marah. Jantungku mencelos, yang kupikirkan sekarang penuh Amel. Tidak akan membayangkan ada tangan menyentuh permukaan kulit anakku dengan kasar."Kamu ngapain sih pake segala nelepon dia?!" tanya Rowena masih menggebu-gebu.Aku menutup mulut sembari mendengar dengan seksama, beruntung panggilan belum ditutup. Jadi aku masih bisa mendengar dengan jelas bagaimana siksaan yang dilakukan oleh Rowena. Gegas aku merekam semua suara melalui ponselku."Biarkan sajalah, Ma. Dia juga ibunya Amel," ujar laki-laki yang suaranya tidak asing. Dia pasti Yoga, Kakak Amel.Suara dengkus yang keras menusuk gendang telingaku. "Terus! Bela saja dia," hentak Rowena.Giliran aku mendengkus, bila saja aku di sana sudah kuapakan wanita itu. Walau begitu aku bersyukur, masih ada Yoga di dekat Amel yang akan selalu menolongnya entah dalam keadaan apa."Ma, balikin hapenya," pinta Am
Rowena terus mengomel, bahkan semakin lantang dalam mengeluarkan kata-kata. Memang tidak kasar bahasanya, tetapi bentakan demi bentakan tidak seharusnya diterima oleh anak kecil seusia Amel."Kamu sama saja seperti mereka, sudah berani ngelawan terus!" tutur Rowena, aku tahu dia yang dimaksud adalah Amel."Sudahlah, Ma. Ini tidak ada artinya. Annasta akan selamanya menjadi ibu kami. Kau, kau hanyalah ibu sambung dan aku tidak sudi menghormatimu selayaknya Annasta. Paham!" Pertengkaran mereka masih berlanjut, sampai aku sama sekali tak mendengar suara apapun dari seberang. Aku merasa sambungan telah terputus secara sepihak. Walau begitu tak kuasa aku mengetahui bagaimana Amel dan Yoga diperlakukan oleh Rowena.Aku menompang dagu, menatap intens handphone yang kuletakan di samping kalkulator mini. Lantas mataku menerawang jauh. Membayangkan perlakuan seorang ibu tiri yang kejam. Rowena. Tiba-tiba sebuah tangan menepuk punggungku pelan, tetapi tidak aku pedulikan. Hingga Andin menggunc
Setelah barusan membeli bahan-bahan persediaan dan mengirim mereka ke gudang toki, aku kembali ke rumah. Tetapi sebelum itu Andin mencegatku, menarik lenganku hingga kami berhadapan.Wajahnya menaruh kekhawatiran terhadapku, namun aku menepis semua kegelisahan dengan senyuman. Tetapi gadis itu tahu akan kesedihan yang terpancar dari sorot mataku. Andin bukan satu atau dua hari bersamaku, dia sudah hampir dua tahun hidup satu atap denganku. Jadi gadis itu begitu paham dengan perubahan yang terjadi padaku."Kenapa, Din?" tanyaku.Dia menggeleng, melepas lenganku sembari menghela napas."Mbk, lagi ada masalah, ya?" tanyanya menatapku lagi."Mbk bisa cerita sama aku, Andin siap dengar cerita sama kasih saran buat, Mbk." Andin terus mendesakku.Aku menggeleng, enggan memberitahu kegalauanku selepas menerima telepon tadi siang. Andin tidak memaksa. Walau aku tahu dia sangat penasaran."Huh ... yaudah deh, Mbk. Andin istirahat dulu. Jaga kesehatan, ya, Mbk!" ucap Andin berbalik badan melangk
Aku sudah memikirkan ini sebelumnya, aku berharap Frans bisa membantuku untuk memantau keadaan Amel dan Yoga di lingkungan Rowena. Apalagi dengan status Frans yang merupakan mantan adik iparku, ditambah Frans adalah dokter Amel dulunya."Iya, ini lebih baik. Aku hubungi Frans saja," lirihku.Kucari handphone sampai berjumpa. Bergegas mengotak-atik untuk mendapatkan kontak Frans, tak lama setelahnya aku meneleponnya."Nada sambung, sibukkah?" tanyaku lirih.Aku pun melangkah kembali ke dapur, duduk di tempat yang sama sembari menunggu. Aku memaklumi jika Frans tidak seperti orang lain bila mendapat panggilan masuk, profesinya yang seorang dokter mewajarkan dia jarang memegang ponsel dan aku sabar menanti jawaban dari seberang."Lama banget," gumamku tidak sabar.Aku menatap sendu handphoneku, Frans tidak menjawab panggilan dariku. Panggilan yang kupinta menutup sendiri karena tak dibalas oleh penerima."Apakah sedang ada pasien ya Si Frans?" tanyaku pada diri sendiri.Dengan kasar kehi
Setelah memastikan bahwa Dahlia masuk kamar kembali, aku pun kembali ke meja makan untuk melanjutkan makan malamku.Hingga pukul sembilan malam aku baru selesai, setelahnya aku langsung masuk ke kamar sembari merebahkan diri. Tidak lupa sebelumnya kucuci piring kotor bekas makanku. Kembali bayangan siksaan Rowena pada Amel.Seketika aku terbangun, beranjak dari ranjang ke nakas. Kuambil tablet obat dan mengeluarkan satu untuk dimasukan ke dalam mulut. Tanpa air aku menelannya, lantas kembali naik ke ranjang dan merebahkan diri."Semoga obat ini bekerja dengan baik hingga membuatku besok segar dan fit," doaku dalam hati.Tak henti aku memandang handphone di atas nakas, namun aku menghela napas karena sampai sekarang Frans tak kunjung meneleponku balik. Lelah aku menunggu, akhirnya tubuhku membuat keputusan untuk tidur. Aku ketiduran. Mungkin juga efek dari obat yang kuminum.Keesokan harinya, aku bersiap ke toko. Kali ini aku tidak jualan nasi pecel di depan gang, Andin melarangku. Ka
Langsung aku menuju tombol dial hijau. "Frans!"Tak lama setelahnya, suara Frans menginstrupsi. Aku lekas membalas dengan terburu-buru seakan masalahku sangatlah mendesak. Suaraku itulah yang membikin Frans turut khawatir seperti halnya respon Andin."Ada apa denganmu, Sayang? Maaf jika aku lama merespon semua panggilan dan chat yang kamu kirim. Aku sedang ada operasi besar. Sekali lagi maaf!" pinta Frans yang tidak lupa dengan kata sayangnya."Hallo, Frans. Maaf ganggu kamu, aku cuma mau minta tolong sebentar sama kamu," tuturku ngos-ngosan, seperti kereta api aku sampai lupa bernapas kala berbicara."Tetapi bisakah kamu panggil aku tanpa kata sayang?" ucapku dengan nada cemberut."Hallo juga. Maaf untuk kata itu aku tidak bisa membuangnya, Mbakku Sayang," tuturnya yang kubalas dengan helaan napas berat."Hai, ada apa, Mbak?" tanya Frans kemudian.Dia tampak panik karenaku, apalagi dari semalam aku meneleponnya. Aku turut mendengar seseorang memanggil Frans yang mana hanya dibalas ka