Aku sangat nelangsa melihat nasib putriku, dia harus berjuang demi kebahagiaan sang ayah. Namun, Ayahnya tidak pernah melihat apa yang sebenarnya terjadi. Dari cerita Yoga aku menarik kesimpulan bahwa wanita rubah itu sangat pandai bersilat lidah, dan memainkan perannya.Tetapi aku juga harus memastikan sendiri seperti apa kelakuan si rubah betina itu. Hingga muncul sebuah ide untuk menghubungi kedua orang tersebut."Bang, bagaimana menurut kamu jika bunda menghubungi ayah dan mama Audre untuk datang ke sini?" Aku meminta pendapat pada pria kecilku.Lama Yoga diam, terlihat dari sinar matanya bahwa anak itu sedang menimbang sesuatu. Dengan menghembuskan napas kasar, akhirnya Yoga buka suara."Jika Bunda kuat melihat kemesraan mereka berdua, Yoga tidak bisa menahannya. Namun, jika Bunda belum siap sebaiknya jangan dihubungi," balas Yoga yang sangat memperhatikan perasaanku."Tetapi ini sudah menyangkut nyawa adik kamu, Bang. Apakah mereka tidak ingin melihat keadaan Amelia?" cecarku."
"Silahkan masuk, Nyonya!" kata Dokter Frans ramah.Aku pun masuk dalam ruangan dokter muda tersebut. Lalu sang dokter berjalan menuju pada sebuah rak dan ditariknya sebuah file. Setelah mendapatkan file tersebut, Dokter Frans pun kembali berjalan mendekat pada meja kerjanya dan duduk di kursi."Begini, Nyonya Ann. Saya hanya ingin menjelaskan beberapa penyakit yang sudah diderita gadis kecil itu sejak empat bulan yang lalu, ketahuilah gadis kecil itu sangag kuat walau tubuhnya sedang digerogiti penyakit berbahaya," ucap Dokter Frans."Sakit berbahaya? Seberapa bahayanya, Dok?" tanyaku."Adik Amel memiliki penyakit mag akut, dengan disertai asam lambung. Anda tentu tahu dua penyakit ini 'kan, Nyonya?" tanya Dokter.Aku hanya menganggul kecil meski tidak begitu paham dengan informasi tersebut. Lalu tiba-tiba pintu terbuka dengan paksa. Muncul seorang pria yang sangat aku kenal, Mas jasen bersama istri."Frans, apa maksud semua ini!" hentak Jasen."Duduk dulu, Mas!" ucap Dokter Frans.Ma
Plak!Sebuah tamparan mendarat dipipiku, seketika aku terhenyak dan melihat sosok itu. Sungguh tidak aku duga bila tangan itu berani melukis lagi wajahku saat aku bukan lagi istrinya."Mas, kau sudah keterlaluan! Keluar kalian dari ruanganku, dan ingat suatu saat nanti keadaan akan membalik padamu!" ancam Frans.Tanpa ragu tangan Frans mengusap bekas gambar tangan Jasen di pipiku dengan kapas yang dibaluri alkohol. Perih dan nyeri aku rasakan pada permukaan pipiku. Frans terlihat sangat telaten merawat lukaku. Mas Jasen yang masih berada dalam ruang pemeriksaan itu menjadi naik darah melihat tangan Frans menyentuh kulitku. Tanpa banyak bicara sebuah bogem meluncur pada rahang kanan Frans. Pemuda itu berhasil menghindar dari bogem tersebut."Apaan kamu itu, Mas?" hentakku pada sang mantan. "Kau masih istri sahku secara hukum, Ann. Mengapa berani sekali kau menyodorkan wajahmu pada pria lain dan didepan mataku? Kau sudah menjadi J4l4ng kah, Hah?!" pungkas Jasen."Tutup mulut ember kam
"Aku ingin kamu datang ke rumah kita yang dulu!" kata Mas Jasen dengan nada kembali dingin."Buat apa, Mas?" tanyaku."Aku ingin kamu desain ulang kamar Amel dengan desain kuda poni berwarna pink," jawabnya."Bukankah Amel tidak suka warna pink? Apalagi kuda poni," balasku.Mas Jasen memijat pelipisnya perlahan sambil menghembuskan napas kasar, mantan lelakiku itu terlihat penuh beban. Lalu kulihat dia mengeluarkan selembar kertas yang dilipatnya kecil agar bisa masuk dalam saku jas yang dikenakan."Seperti ini desainnya, aku percaya padamu, Ann." Tangan kekar dan putih lembut itu membuka lipatan kertas, aku terkejut untuk sesaat melihat gambar kuda poni.Perlahan kuraih kertas itu, dengan teliti ku amati setiap detail gambar kuda poni. Sekilas hampir mirip gambar yang pernah aku miliki dulu, tetapi di mana aku menaruhnya aku pun sedikit lupa. Namun, sama persis dengan milikku yang membedakan hanya ukuran kuda poni dan warnanya."Ini seperti lukisanku saat dulu, Mas. Apa kamu ingat?"
Pagi pun datang menyapa, sinar mentari hangat membangunkan aku dari mimpi. Gegas aku bangun setelah melihat jam menunjukkan pukul enam pagi. Hari yang sangat padat, membuatku bangun kesiangan. Mandi yang biasanya hanya singkat kini harus memakan waktu yang lumayan, saat seperti ini harus ekstra bersih dari biasanya agar tidak tercium aroma amis."Huft, akhirnya selesai juga aku mandi. Kini bersiap agar lebih fress saat nggantor," gumamku.Setelah selesai berdandan, kini aku bersiap untuk sarapan dan berangkat ke kantor. Perjalanan cukup lancar membuat aku tidak terlambat hingga masuk kantor. Semua tampak tergesa melakukan absen sidik jari, absen yang masih lumayan jadul pada jaman sekarang. Namun, itulah kondisi kantor saat ini. Semua karyawan sangat antusias melakukan absen bergilir."Ibu Ann, silahkan duluan!" Anton memberiku ruang untuk melakukan absen lebih dulu."Terima kasih," balasku sesaat setelah aku absen, dengan kaki ringan kutinggalkan mesin absen tersebut dengan segala ke
Hari yang aku tunggu akhirnya sampai juga, aku dan Gendhis siap meninggalkan ruang kerjanya guna menuju rumah lama yang sudah aku tinggalkan satu tahun yang lalu."Siap, Gendhis?" tanyaku."Siap, Mbak Ann. Kita meluncur!" kata Gendhis lalu dia yang hari itu sebagai sopir segera melajukan mobil sedan kecil milik Annasta.Mobil yang dibawa oleh Gendhis pun melaju santai sesuai dengan arahanku, sengaja aku berjalan santai hanya ingin melonggarkan waktu dan menata hati untuk melihat sesuatu yang belum tentu baik dalam penglihatanku. Gendhis yang paham dengan maksudku mengikuti saja sesuai arahan, lalu tangannya memutar lagu sendu untuk menemani perjalananku.Mobil sampai pada gerbang Alana Regency, rumah yang dulu aku tempati. Netraku menatap seorang pria setengah baya yang masih setia menjaga portal gerbang utama."Eeh, Nyonya Ann. Apa kabar?" tanya Pak Dulah saat melihat wajahku."Baik, Pak." Aku hanya menjawab sekedarnya, lalu mobil kembali melaju pelan menyusuri jalan hingga sampai pad
Aku hanya menelan ludah kekecewaan melihat usaha anak kecil itu membawa baki berisi minuman dan sedikit camilan. Hatiku trenyuh, Amelia kecilku tersiksa batin. Lalu bagaimana perlakuan Rowena pada Yoga, sulungku itu. Baru saja aku membatin bagaimana keadaan Yoga, terdengar langkah kaki masuk dalam rumah sambil mengucap salam."Assalamualaikum, Mah!" teriak suara bariton yang masih asli Terdengar balasan lirih dari Rowena, Amel pun segera menyambut kedatangan abangnya dengan senyum merekah. Netra Yoga membulat saat melihatku, tetapi dengan cepat pria kecil itu sudah kembali pada mode dingin. Langkah kaki Yoga mendekat pada Rowena, semua terekam dalam indera penglihatanku. Tangannya meraih tapak tangan Rowena yang terulur lalu menciumnya. Setelahnya Yoga pergi naik ke atas."Abang jangan turun jika tidak perlu, gunakan waktumu untuk belajar hal yang utama. Ingat!" titah Rowena penuh tekanan.Aku terdiam saat mendengar ucapan wanita tersebut, tetapi aku bisa apa. Suaraku tidak ada hak u
Rowena menatap suaminya penuh tanya, wanita itu terlihat sangat perhatian dan penurut bila dihadapan Jasen. 'Mungkin ini yang dicari oleh Jasen, seorang wanita yang cantik, modis dan penurut,' batinku setelah aku tamati semua yang ada pada Rowena.Kulihat Mas Jasen menganggukkan kepala tanda dia menyetujui apa yang diinginkan oleh istri mudanya. Rowena segera menyesap bibir Jasen dihadapan kami semua. Aku seketika memalingkan wajah ke arah lain. Sungguh pasangan yang terlihat romantis bagi orang dewasa tetapi bagi Amel adalah contoh yang tidak baik. Cukup lama Rowena memagut bibir sang suami hingga mengeluarkan lenguh4n lirih membuat Mas Jasen semakin merapatkan tubuhnya. Aku segera berpindah tempat menghadap Amel sekedar untuk menutup inderanya agar tidak melihat adegan dewasa."Buat apa Bunda menghalangi pandangan Amel jika setiap saat mereka selalu mengumbar hal itu didepan Amel saat Bunda tidak ada. Sedangkan saat ini saja, saat sedang ada tamu mereka tidak merasa risih mengumbar