"Silahkan masuk, Nyonya!" kata Dokter Frans ramah.Aku pun masuk dalam ruangan dokter muda tersebut. Lalu sang dokter berjalan menuju pada sebuah rak dan ditariknya sebuah file. Setelah mendapatkan file tersebut, Dokter Frans pun kembali berjalan mendekat pada meja kerjanya dan duduk di kursi."Begini, Nyonya Ann. Saya hanya ingin menjelaskan beberapa penyakit yang sudah diderita gadis kecil itu sejak empat bulan yang lalu, ketahuilah gadis kecil itu sangag kuat walau tubuhnya sedang digerogiti penyakit berbahaya," ucap Dokter Frans."Sakit berbahaya? Seberapa bahayanya, Dok?" tanyaku."Adik Amel memiliki penyakit mag akut, dengan disertai asam lambung. Anda tentu tahu dua penyakit ini 'kan, Nyonya?" tanya Dokter.Aku hanya menganggul kecil meski tidak begitu paham dengan informasi tersebut. Lalu tiba-tiba pintu terbuka dengan paksa. Muncul seorang pria yang sangat aku kenal, Mas jasen bersama istri."Frans, apa maksud semua ini!" hentak Jasen."Duduk dulu, Mas!" ucap Dokter Frans.Ma
Plak!Sebuah tamparan mendarat dipipiku, seketika aku terhenyak dan melihat sosok itu. Sungguh tidak aku duga bila tangan itu berani melukis lagi wajahku saat aku bukan lagi istrinya."Mas, kau sudah keterlaluan! Keluar kalian dari ruanganku, dan ingat suatu saat nanti keadaan akan membalik padamu!" ancam Frans.Tanpa ragu tangan Frans mengusap bekas gambar tangan Jasen di pipiku dengan kapas yang dibaluri alkohol. Perih dan nyeri aku rasakan pada permukaan pipiku. Frans terlihat sangat telaten merawat lukaku. Mas Jasen yang masih berada dalam ruang pemeriksaan itu menjadi naik darah melihat tangan Frans menyentuh kulitku. Tanpa banyak bicara sebuah bogem meluncur pada rahang kanan Frans. Pemuda itu berhasil menghindar dari bogem tersebut."Apaan kamu itu, Mas?" hentakku pada sang mantan. "Kau masih istri sahku secara hukum, Ann. Mengapa berani sekali kau menyodorkan wajahmu pada pria lain dan didepan mataku? Kau sudah menjadi J4l4ng kah, Hah?!" pungkas Jasen."Tutup mulut ember kam
"Aku ingin kamu datang ke rumah kita yang dulu!" kata Mas Jasen dengan nada kembali dingin."Buat apa, Mas?" tanyaku."Aku ingin kamu desain ulang kamar Amel dengan desain kuda poni berwarna pink," jawabnya."Bukankah Amel tidak suka warna pink? Apalagi kuda poni," balasku.Mas Jasen memijat pelipisnya perlahan sambil menghembuskan napas kasar, mantan lelakiku itu terlihat penuh beban. Lalu kulihat dia mengeluarkan selembar kertas yang dilipatnya kecil agar bisa masuk dalam saku jas yang dikenakan."Seperti ini desainnya, aku percaya padamu, Ann." Tangan kekar dan putih lembut itu membuka lipatan kertas, aku terkejut untuk sesaat melihat gambar kuda poni.Perlahan kuraih kertas itu, dengan teliti ku amati setiap detail gambar kuda poni. Sekilas hampir mirip gambar yang pernah aku miliki dulu, tetapi di mana aku menaruhnya aku pun sedikit lupa. Namun, sama persis dengan milikku yang membedakan hanya ukuran kuda poni dan warnanya."Ini seperti lukisanku saat dulu, Mas. Apa kamu ingat?"
Pagi pun datang menyapa, sinar mentari hangat membangunkan aku dari mimpi. Gegas aku bangun setelah melihat jam menunjukkan pukul enam pagi. Hari yang sangat padat, membuatku bangun kesiangan. Mandi yang biasanya hanya singkat kini harus memakan waktu yang lumayan, saat seperti ini harus ekstra bersih dari biasanya agar tidak tercium aroma amis."Huft, akhirnya selesai juga aku mandi. Kini bersiap agar lebih fress saat nggantor," gumamku.Setelah selesai berdandan, kini aku bersiap untuk sarapan dan berangkat ke kantor. Perjalanan cukup lancar membuat aku tidak terlambat hingga masuk kantor. Semua tampak tergesa melakukan absen sidik jari, absen yang masih lumayan jadul pada jaman sekarang. Namun, itulah kondisi kantor saat ini. Semua karyawan sangat antusias melakukan absen bergilir."Ibu Ann, silahkan duluan!" Anton memberiku ruang untuk melakukan absen lebih dulu."Terima kasih," balasku sesaat setelah aku absen, dengan kaki ringan kutinggalkan mesin absen tersebut dengan segala ke
Hari yang aku tunggu akhirnya sampai juga, aku dan Gendhis siap meninggalkan ruang kerjanya guna menuju rumah lama yang sudah aku tinggalkan satu tahun yang lalu."Siap, Gendhis?" tanyaku."Siap, Mbak Ann. Kita meluncur!" kata Gendhis lalu dia yang hari itu sebagai sopir segera melajukan mobil sedan kecil milik Annasta.Mobil yang dibawa oleh Gendhis pun melaju santai sesuai dengan arahanku, sengaja aku berjalan santai hanya ingin melonggarkan waktu dan menata hati untuk melihat sesuatu yang belum tentu baik dalam penglihatanku. Gendhis yang paham dengan maksudku mengikuti saja sesuai arahan, lalu tangannya memutar lagu sendu untuk menemani perjalananku.Mobil sampai pada gerbang Alana Regency, rumah yang dulu aku tempati. Netraku menatap seorang pria setengah baya yang masih setia menjaga portal gerbang utama."Eeh, Nyonya Ann. Apa kabar?" tanya Pak Dulah saat melihat wajahku."Baik, Pak." Aku hanya menjawab sekedarnya, lalu mobil kembali melaju pelan menyusuri jalan hingga sampai pad
Aku hanya menelan ludah kekecewaan melihat usaha anak kecil itu membawa baki berisi minuman dan sedikit camilan. Hatiku trenyuh, Amelia kecilku tersiksa batin. Lalu bagaimana perlakuan Rowena pada Yoga, sulungku itu. Baru saja aku membatin bagaimana keadaan Yoga, terdengar langkah kaki masuk dalam rumah sambil mengucap salam."Assalamualaikum, Mah!" teriak suara bariton yang masih asli Terdengar balasan lirih dari Rowena, Amel pun segera menyambut kedatangan abangnya dengan senyum merekah. Netra Yoga membulat saat melihatku, tetapi dengan cepat pria kecil itu sudah kembali pada mode dingin. Langkah kaki Yoga mendekat pada Rowena, semua terekam dalam indera penglihatanku. Tangannya meraih tapak tangan Rowena yang terulur lalu menciumnya. Setelahnya Yoga pergi naik ke atas."Abang jangan turun jika tidak perlu, gunakan waktumu untuk belajar hal yang utama. Ingat!" titah Rowena penuh tekanan.Aku terdiam saat mendengar ucapan wanita tersebut, tetapi aku bisa apa. Suaraku tidak ada hak u
Rowena menatap suaminya penuh tanya, wanita itu terlihat sangat perhatian dan penurut bila dihadapan Jasen. 'Mungkin ini yang dicari oleh Jasen, seorang wanita yang cantik, modis dan penurut,' batinku setelah aku tamati semua yang ada pada Rowena.Kulihat Mas Jasen menganggukkan kepala tanda dia menyetujui apa yang diinginkan oleh istri mudanya. Rowena segera menyesap bibir Jasen dihadapan kami semua. Aku seketika memalingkan wajah ke arah lain. Sungguh pasangan yang terlihat romantis bagi orang dewasa tetapi bagi Amel adalah contoh yang tidak baik. Cukup lama Rowena memagut bibir sang suami hingga mengeluarkan lenguh4n lirih membuat Mas Jasen semakin merapatkan tubuhnya. Aku segera berpindah tempat menghadap Amel sekedar untuk menutup inderanya agar tidak melihat adegan dewasa."Buat apa Bunda menghalangi pandangan Amel jika setiap saat mereka selalu mengumbar hal itu didepan Amel saat Bunda tidak ada. Sedangkan saat ini saja, saat sedang ada tamu mereka tidak merasa risih mengumbar
"Maafkan Yoga, Bund! Yoga tidak bisa bergerak," ujar Yoga sambil menyodorkan segelas jus jambu."Terima kasih untuk minumnya, Bang Yoga," ucapku."Iya, Bund."Yoga pun pamit untuk undur diri melihat ke kamar Amel, dia harus bisa menggunakan waktu yang ada guna membantu Amel. Yoga terlihat sangat pandai mencuri waktu untuk adiknya. Amel pun juga bisa memahami posisinya selama ada di rumah itu.Aku hanya menyimak semua kejadian yang terlihat secara mata tel4nj4ng. Meski aku ibu kandung mereka tetapi untuk saat ini aku belum memiliki hak kuasa karena harta yang aku punya belum mampu membungkam mulut Mas jasen. Aku bersumpah padamu, Mas. Akan aku ambil apa yang seharusnya aku punya. Lihat saja suatu hari nanti."Kak Ann!" panggil Gendhis."Iya, Dhis!" balasku.Gendhis berjalan mendekat padaku dengan wajah sendu, sangat terlihat jika dia sehabis nangis dan untuk alasan apa aku tidak tahu. Tiba-tiba dia berlari memelukku dengan erat, dan tergugu di pundak hingga hijabku terasa basah."Menga
"Bunda?" Aku langsung terhenyak kala mendengar panggilan Amelia, segera kuanggukkan kepala tanda membenarkan pertanyaannya. Sungguh saat melihat anggukan kepalaku, putriku itu seketika menggeser duduknya menjadi lebih dekat dengan abangnya. Sementara Quinsa sedikit merapat pada palukan Yoga. Kepalanya menelusup pada dada abangnya.Pandangan matanya terlihat ketakutan pada Amelia, aku semakin heran dengan perilaku Quinsa. Beberapa kali kudengar Yoga bersenandung islami untuk menenangkan emosi adik tirinya tersebut. Dahiku langsung mengernyit kala mengenal senandung itu. "Yoga, tolong jelaskan pada bunda, apa yang terjadi dengan adik kamu itu!" desakku."Sini, Sayang. Quinsa ikut kak Amel dulu. Biarkan Abang ngobrol sama Bunda, ya. Ayo!" ajak Amelia lembut.Perlahan pelukan Quinsa mengurai dan mulai mengendur, tatapannya menatap sendu pada Yoga. Begitu ada anggukan dari putraku, barulah Quinsa mau turun dari pangkuan sang abang. Amelia segera melebarkan senyumnya agar adik tirinya mau
Setelah menghabiskan satu roll roti gulung, Quinsa tertidur di sofa. Aku hanya memandang kasian pada anak tersebut. Sedangkan Yoga masih terlelap di pangkuanku. Sangat terlihat jika aura di wajahnya begitu lelah. Kusurai rambutnya yang sedikit panjang, jariku menelusuri setiap lekuk wajah putraku tersebut."Sungguh indah pahatan ini, satu kata untuk mengambarkan seluruhnya. Tampan!" lirihku."Tampan saja tidak akan cukup untuk menatap dunia, Bunda!" kata Yoga dengan mata masih terpejam.Seketika kutarik ujung jariku yang sudah menyusuri hidungnya yang tinggi. Sungguh hampir kesemua permukaan wajahnya menirukan Jasen. Mungkin hanya bentuk hidung dan bibir yang membedakan mereka. "Lalu dengan apa kamu tatap duniamu, Sayang?" tanyaku."Dengan agama dan ilmu, Bunda. Seperti yang selalu Bunda ajarkan pada kami," jawab Yoga sambil mencoba bangkit dan duduk.Mata cokelat terang yang indah itu kini menatapku sendu, aku hanya mampu membalas tatapannya penuh tanya. Kemudian kudengar napas pan
Siluet tubuhnya masih aku ingat, tetapi ini mengapa dia membawa seorang anak perempuan? Mungkinkah dia anaknya dengan Rowena, jika kuhitung usia anak itu saat ini berkisar di usia sepuluh tahun. Apakah itu sosok Quinsa, bayi imut yang dulu sempat aku timang.Oh, Tuhan. Kuatkan hatiku, cobaan apa lagi yang Engkau hadirkan dalam hidupku kali ini. Sekuat apapun hati ini, jika bersangkutan dengan Mas Jasen pasti akan membawa luka. Meskipun terkadang rasa sepi melandaku tetapi jika dia datang bersama dengan yang lain, sakit itu kian terasa. Apakah ini maksud mimpiku beberpa hari yang lalu. Untuk apa Mas Jasen datang lagi dalam hidupku setelah sepuluh tahun tidak berhubungan dan apa maksudnya membawa Quinsa. Kemana Rowena? Berbagai pertanyaan muncul di otak kasarku. Sungguh rasanya aku tidak sanggup Tuhan."Bunda!" sapa lembut suara Quinsa.Naluriku sebagai ibu tidak dapat mengindahkan panggilan itu. Bagiku yang salah bukan anaknya melainkan kedua orang tuanya. Para karyawanku akhirnya pam
Sore semilir angin menerpa wajahku. Bayangan Jupri bersama Halimah masih nyata di pelupuk mata. Entah mengapa hati ini terasa sakit dan kecewa. Apakah aku sempat jatuh hati pada Jupri? Sejak mula semua rasa ini aku tolak. Namun, saat kulihat lelaki itu datang ke toko dengan membawa wanita hamil, hatiku sakit. Aku sendiri juga bingung dengan rasaku ini. Bagaimana bisa aku memupuk rasa yang belum tentu ada pada diri Jupri. Saat itu memang dia tidak ada cerita sedang dekat dengan seorang wanita manapun. Namun, pernah satu kali lelaki itu kelepasan bertanya mode baju syari terbaik dan berapa harganya. Hal ini sempat membuatku penasaran. Mungkin aku harus berusaha menepis segala rasa pada lelaki itu. Sejak kunjungan pertama Jupri dam istri menjadi sering datang dengan alasan Halimah susah makan nasi jadi dia lebih memilih kue basah ataupun roti bolu. "Aku harus segera pupus rasa ini dan lupakan semua. Kamu sudah mendapatkan bidadari yang terbaik, Jupri. Selamat!" batinku saat kulihat se
"Tadi Gibran sudah bilang lho, Nenek. Hanya itu Onty Dahlia," jawab Gibran."Iya, Sayang. Onty kan lama tidak jumpa Adik. Mungkin dia lebih senang menggoda, jadi maafkan Onty nya dong?" kataku pada Gibran sambil kuangkat dia ke pangkuanku.Namun, lelaki kecil menggeleng tanda dia tidak mau memaafkan Dahlia. Aku tersenyum melihat tingkah cucuku itu, dia sangat menggemaskan apalagi jika pipinya menggembung dengan bola mata yang berputar. Pasti bikin semua yang ada di sana ingin mencubit pipinya."Nenek, besok jika onty Dahlia pulang tidak usah dimasakin opor ayam, Ya. Biar tahu rasa!" dengusnya geram.Kulihat sejak tadi Dahlia hanya diam menatap Gibran, wanita muda itu menahan tawanya agar tidak terdengar oleh ponakannya yang lucu itu. Sementara Andin sejak tadi hanya berdiri, kini dia berjalan menuju dapur. Beberapa saat kemudian Andin sudah kembali dengan membawa piring berisi nasi opor ayam. "Ayo turun dari pangkuan nenek, Adik makan dulu!" ajak Andin."Lho Adik belum makan, sini bi
Dahlia dan Amelia terlihat semakin kompak dan solid. Aku sangat bahagia melihat perkembangan mereka berdua. Setelah makan siang aku pun ngobrol dengan keduanya untuk sesaat sebelum aku kembali lagi ke toko. O ya, toko kue ku sekarang sudah maju pesat dan dikenal oleh berbagai kalangan. Bahkan setiap Dahlia pulang, ada saja temannya yang nitip buat oleh-oleh.Sedangkan Amelia, dia terkadang ikut membantu di toko bila sedang senggang. Aku juga sangat bahagia karena sudah di panggil nenek oleh anaknya si Andin. Gadis itu sekarang sudah bukan gadis lagi melainkan sudah menjadi seorang ibu muda dengan anak satu."Bund, si ucrit bagaimana kabarnya?" tanya Dahlia."Jangan bilang ucrit, anak itu punya nama, Lho! Nanti jika Mbak kamu tiba-tiba dengar kamu yang akan kena omelannya," kataku."Hehe, iya ini Mbak Lia parah!" kelakar Amelia.Aku geleng kepala melihat keakraban mereka berdua. Aku dan kedua putriku selalu berbincang akrab seperti ini dalam menunggu waktu untuk memulai aktifitas kemba
Akhirnya aku mendapatkan bis tepat di jam empat sore. Kali ini aku naik bis cepat antar kota jurusan Jogyakarta. Bis yang terkenal dengan kecepatannya melebihi bis yang lain. Bis ini paling banyak peminatnya. Aku pun merasa bahwa pelayanan kondektur bis juga sangat ramah dan sopan.Bis melaju dengan kecepatan rata-rata. Mungkin bila dilihat dari kuar kecepatan bis itu tinggi. Tetapi bagi kami para penumpang terasa nyaman, hal ini terbukti para penumpang bisa tidur dengan lelap termasuk aku. Tanpa tetasa waktu terus berjalan hingga terdengar suara kondektur memberitahukan pada kami bahwa sebentar lagi bis akan memasuki kawasan Madiun."Madiun terakhir, terminal Madiun terakhir." Terdengar wakil kondektur berteriak memberitahukan pada para penumpang agar bersiap-siap. Aku pun segera terbangun dari tidurku. Perjalanan Surabaya - Madiun hanya membutuhkan waktu kurang lebih dua jam dengan bis antar kota."Bunda pulang, Sayang!" batinku.Sungguh aku sangat rindu dengan putriku itu. Hampir
"Andin, apakah kamu masih di sana?" tanyaku.Hening, lambat laun kudengar isak tangis lirih. Mendengar suaranya aku semakin bingung dan resah. Memangnya sedang ada apa hingga membuat Andin sampai terisak. Aku semakin penasaran."Andin, katakan pada Mbak. Apa yang terjadi pada kalian?" tanyaku."Selamat ya, Mbak Ann. Semua sudah selesai hingga sesuai dengan angannya Mbak. Dan satu lagi semua keperluan toko aman dan terkendali, Kok!" balas Andin."Lalu mengenai gaji? Dan apa yang menyebabkan kamu tadi terisak, Lho?" tanyaku beruntun."Nanti lah, tunggu Mbak pulang," balas Andin.Lama aku berbincang dengan Andin. Meski aku berusaha mengorek keterangan mengenai gaji karyawan, Andin tidak mau cerita. Dia masih kekeh menunggu kepulanganku. Karena ini aku menjadi tidak nyaman dan ingin segera pulang. Kemudian aku mendengar suara klakson sebuah mobil yang berhenti. Seketika aku tersadar dan pamit pada Andin menyudahi panggilan."Lagi asyik menelepon siapa lho, Ann?" tanya Irene saat aku sudah
Aku menoleh pada sosok itu, mataku seketika membelalak. Sebuah nama yang aku ingat pada sosok itu, Jupri. Iya dia adalah Jupri. Tetapi siapakah dua sosok itu? "Ibu Ann, maaf bisakah kita mulai sekarang?" "oh, ya. Silahkan, Pak!" jawabku."Ini surat janda dan ini semua yang menyangkut persidangan kemarin, Ibu Ann. Saya mengucapkan terima kasih atas undangan Anda," kata pengacaraku."Saya juga berterim kasih atas bantuan Bapak. Untuk fee sudah saya transfer ke rekening Anda, Pak. Saya terima kasih," kataku sambil menjabat tangan si pengacara.Akhirnya kami melanjutkan makan siang bersama. Saat di sela makan siang kulihat sekeliling mencari sosok yang tadi sempat aku lihat. Rupanya Jupri ada di sudut kanan ruangan ini pada meja nomer lima puluh. Di sana dia sedang bersama seorang Kyai dan seorang gadis yang cantik. "Apakah dia istrinya?" lirihku."Siapa yang Anda maksud, Ibu Ann?" tanya Pengacaraku."Seorang sahabat lama, Pak. Eeh, maaf, silahkan dilanjut!" ucapku.Beberapa saat kemud