57. Kebenaran
***
"Sudah Kafka. Aku sudah kenyang." Ava menyingkirkan tangan Kafka yang ada di hadapannya pelan.
Kafka menghela napas. "Kamu baru makan beberapa suap saja. Kamu itu butuh asupan banyak, Sayang! Buat kamu, dan anak kita." Tangan Kafka mendarat pada perut rata Ava dan membelainya sayang.
Ava hanya diam tanpa kata. Entah apa yang terjadi dalam hidupnya saat ini. Semua ini begitu rumit baginya. "Kamu mikirin apa, sih? Hem?" Telapak tangan Kafka kini membelai rambut Ava dan turun ke pipinya, perempuan itu hanya menggelengkan kepalanya.
Suara pintu terbuka mengalihkan atensi mereka. Desi memasuki ruang rawat Ava dengan senyuman lebar. "Mantu Mama!" Perempuan
Nah loh Kafka ngaku. Btw, emang iya itu anaknya Kafka. Kok Kafka yakin sekali, ya
58. Permintaan Ava *** “Ternyata bayi yang dikandung Ava bukan anakku. Tapi anak Kafka,” ucap Rasya tanpa basa-basi saat ia memeluk Clara dari belakang. Ucapan Rasya tentu saja membuat Clara terkejut. Masih dalam pelukan Rasya, Clara membalikkan tubuhnya menghadap Rasya. “Bagaimana bisa?” Rasya menghela napas dalam. “Entahlah. Yang jelas, tadi Papa memintaku datang untuk membicarakan sesuatu. Sesampainya di sana aku mendengar teriakan Kafka. Aku pikir ada apa, ternyata soal pengakuan itu. Aku mendengarnya sendiri dari mulut Kafka saat ia bicara dengan Papa. Setelahnya aku tidak tahu lagi karena langsung memutuskan pergi dari sana.” Clara mendengarkan baik setiap ucapan Rasya. "Keputusan yang papa kamu ambil benar-benar menghancurkan semua anaknya." Perempuan itu menghela napas dalam. "Aku tidak tahu.
59. Marah *** Selepas Ava memasuki kamar rawat Tuan Yarendra, juga Desi yang berpamitan ke kantin untuk membeli minuman, kedua kakak beradik ini tengah duduk termenung di ruang tunggu depan ruang rawat. Mereka sama-sama terdiam dan bermain dengan pikiran masing-masing. "Kayaknya semua bakal sama saja." Rasya memecah keheningan setelah ia dan Kafka hanya diam di koridor rumah sakit. Kafka yang mendengar menoleh, menatap sang kakak dengan satu alis yang menukik tanda tidak mengerti. "Maksudnya?" Rasya mengembuskan napasnya dalam. "Kayaknya Papa bakal tetep mempertahankan rumah tangga kami," ucapnya lirih yang masih bisa didengar Kafka. Kafka tahu kami yang dimaksud kakaknya pasti sang kakak dan juga Ava. Jujur saja, ia tidak menyukai perkataan itu. Detik selanjutnya pandangan mereka bertemu. "Kau lihat sendiri, kan,
60. Pengadilan *** Semenjak Tuan Yarendra keluar dari rumah sakit beberapa hari lalu, Rasya dan juga Ava tidak pernah lagi tinggal di rumah mereka. Keduanya sama-sama tinggal di rumah keluarga Tuan Yarendra. Hal itu dilakukan karena permintaan Ava beberapa waktu lalu mengenai perceraian. Jangan tanyakan bagaimana bahagianya Kafka saat itu. Ia selalu melayani Ava bak dia adalah suami siaga di mana sang istri tengah hamil. Beberapa kali Desi yang memang marah pada Ava menegur putra bungsunya akan sikap berlebihan itu. Pernah mulut Desi kembali berulah dengan kata-katanya yang sangat menyakiti Ava. "Katanya dia hamil dengan kamu, yang berarti bukan suaminya. Jangan-jangan, itu juga bukan anak kamu melainkan Pria lain." "Mama!" Kafka yang mendengar itu tentu saja marah. Bahkan ia sampai berdiri dan membanting sendok pada tangannya. Jan
61. Pembatalan *** Rasya menjalankan kendaraannya setelah memastikan Ava memasuki lobi apartemen. Ia melirik Clara yang hanya membuang pandangan ke arah luar kaca. Padahal, seingatnya tadi sang kekasih hanya menatap ke depan. "Kamu kenapa tidak membalas ucapan Ava?" tanya Rasya yang memecah keheningan di dalam mobil. Tidak ada jawaban dari Clara membuat pria itu menghela napas dalam. "Seharusnya kamu tidak bersikap demikian, Cla." Tepat setelah ia mengatakan hal demikian, Clara menatapnya cepat. Betapa terkejutnya ia mendapati wajah sang kekasih yang sembab karena air mata. "Kamu pikir, aku setega itu? Kamu pikir, aku tidak merasa bersalah pada Ava? Aku tertekan, Sya. Aku sedih," ucap Clara dengan air mata yang masih mengalir. "Bagaimanapun dia adalah sahabat aku. Karena aku kehidupanny
62. Lamaran *** Kafka menatap apa yang ia siapkan dengan perasaan puas. Semua yang ia lakukan seharian ini, terpampang nyata di hadapannya. Sesuai dengan keinginannya. Perasaan bahagia membuncah seketika dalam hati. Sebentar lagi, sebentar lagi apa yang ia inginkan akan segera terwujud. "Semuanya sudah siap. Tinggal kau membawa Ava datang kemari dan lakukan apa yang mau kau lakukan," ucap Ziqry yang berdiri di samping Kafka. Kafka menepuk pundak temannya itu dengan keras, tidak menghiraukan Ziqry yang meringis kesakitan. Pasalnya, ia terlalu bahagia saat ini. "Terima kasih karena sudah mau membantuku mempersiapkan semua ini." Sedikit ditambah remasan pada bahu pria di sampingnya, bukan menyakiti akan tetapi sebagai penyalur rasa bahagianya saat ini. "Sialan, kau!" Ziqry menepis tangan Kafka. Tidak ada kemarahan, hanya ada tawa dari bibir pria bermat
63. Kecelakaan *** "I can't," ucap Ava. Degupan jantung Kafka terasa semakin kencang. Kekhawatiran menguasainya dirinya, tetapi Kafka masih tetap berusaha untuk tenang. Pria bermata tajam itu tersenyum. "Aku tahu. Kamu tidak bisa. Tidak bisa menolak, bukan?" Terdengar tangis Ava yang menjadi isakan kecil. Perempuan yang ia cintai itu kembali menggelengkan kepalanya. "Maaf, Kaf. Maaf. Aku tidak bisa. Aku tidak bisa menerima kamu." Raut kekecewaan kini terpatri di wajah Kafka. Genggaman tangannya pada tangan putih mulus milik Ava mulai melonggar, pertanda bahwa si empunya mulai melepaskan diri dari jeratannya. Setelahnya ia melihat Ava yang pergi menjauh dari dirinya dengan pandangan kosong. Kafka yang masih terkejut akan jawaban itu hanya bisa mematung, berusaha mencerna bahwa wanita yang ia cintai hanya mengerjai dirinya. *** Ava terus berl
64. Kehilangan *** Kafka merasa tidak sabar melihat brankar yang masih didorong dari ambulance yang ditumpangi menuju rumah sakit. Ia merasa para perawat laki-laki itu terlalu lama melakukannya. Padahal, para perawat itu juga bertindak dengan cekatan ketika ambulance sudah memasuki area Rumah Sakit. Tanggapilah dengan wajar sikap Kafka ini. Perasaan panik yang pria itu rasakan saat ini membuat semuanya terasa salah di matanya. Kafka terus menggenggam erat tangan Ava. Tidak melepaskannya sedetik pun saat barankar berjalan menyusuri lorong panjang rumah sakit. Sebuah ruangan sudah menyambut mereka, Kafka terus melangkah ingin turut masuk bermaksud menemani perempuan yang dicintai. Namun, seorang perawat wanita mencegahnya.
65. Pilu *** Kafka memegang erat tangan Ava yang masih terlelap. Beberapa saat lalu dokter harus menyuntikkan obat penenang untuk perempuan ini Karena di saat pertama kali sadar, Ava menanyakan keberadaan anaknya yang tidak lagi dapat dirasa dalam perutnya. Tentulah kabar yang diberikan dokter membuat Ava mengamuk. Perempuan itu syok tentunya. Merasa tidak terima, kecewa dan marah pada dirinya sendiri hingga ia menyakiti tubuhnya. Kafka semakin merasa tidak berdaya. Merasa semakin tidak berguna saat melihat keadaan Ava. Belum bisa dirinya mewujudkan kebahagiaan yang ia inginkan bersama Ava, semua musibah harus datang menerpa.
96. Ending ***Empat tahun kemudian. "Darren. Om datang!" teriak Rasya ketika memasuki rumah besar Tuan Yarendra. "Lihat nih Om bawa apa?" teriaknya lagi dengan mengangkat tangan kanan di mana sebuah paperbag terlihat di sana. Sedang tangan kirinya senantiasa merangkul pinggang Clara di mana keduanya saling melempar senyum. Pasangan pengantin baru ini berjalan memasuki rumah lebih dalam. "Om, Rasya." Seorang bocah dengan kaus berwarna merah bergambar super hero yang katanya selalu diidolakan. Langkah kaki mungilnya mendekati Rasya. Sontak saja Rasya melepaskan rangkulannya pada Clara, berjongkok dan menyambut kedatangan keponakan tercintanya. "Apa kabar jagoan?" "Baik, Om," jawabnya polos dengan senyuman yang menampilkan deretan gigi mungilnya. Pandangan iris hitam legam itu mengarah
95. Menjadi Orang Tua***Suara tangis mungil memecah keheningan malam di mana semilir angin syahdu di luar ruangan memeluk semesta. Cahaya temaram lampu tidur itu tak mampu lagi menenangkan si pemilik daksa kala suara yang menjadi kebanggaan mereka akhir-akhir ini menyapa indra pendengaran.Iris mata hitam legam juga bola mata hazzle itu mengerjap beberapa kali, berusaha menyadarkan diri akan sebuah alarm merdu dari pangeran kecil yang berada pada box kayu yang terletak tidak jauh dari ranjang keduanya.Kafka bangkit lebih dulu, dengan tangan kanan ia mengucek mata. Tangis semakin keras terdengar, bertepatan dengan Ava yang juga mendudukkan diri ia bangkit dari ranjang, menyalakan lampu lalu mendekati box bayi dan melihat putranya menangis."Oh, Sayang. Anak Papa kenapa menangis?" Ia mengulurkan tangan, memegang dagu little
94. Kembali utuh***Suasana aqiqahan putra pertama Kafka diadakan di rumah keluarga besar Yarendra. Ini semua dikarenakan Desi tidak memperbolehkan Kafka dan Ava pulang ke rumah mereka lebih dulu.Selain Desi yang ingin tinggal bersama cucu pertamanya, ia juga ingin membantu merawat anak Ava. Desi tidak ingin menantunya itu merasa kerepotan karena merawat anak mereka seorang diri. Jika Kafka mengatakan dia ingin menyewa seorang pengasuh bayi, Desi selalu mengatakan, “Dirawat keluarga sendiri lebih baik daripada orang lain.” Apa yang diucapkan Desi dibenarkan oleh Kafka dan Ava.Alhasil, Ava dan Kafka pun menuruti keinginan Desi untuk tinggal. Bagaimanapun, mereka juga tahu bagaimana Desi begitu menginginkan hadirnya seorang cucu sejak dulu."Darren sedang apa, Sayang?" tanya Kafka yang baru saja
93. Welcome Darendra***“Sayang, hati-hati!" teriak Kafka saat melihat Ava langsung membuka pintu mobil dan turun begitu saja. Baru saja mobilnya berhenti di depan rumah orang tua Kafka. Namun Ava sudah membuat ia jantungan dengan tingkahnya yang tidak bisa diam. Kehamilan Ava sudah memasuki usia sembilan bulan. Perkiraan Dokter Ava akan melahirkan sekitar seminggu lagi. Bukannya membatasi ruang geraknya, Ava malah semakin menjadi.Jika Kafka melarangnya, Ava akan selalu menjawab, “Sayang, kata orang dulu, saat kehamilan kita menginjak usia tua, atau mendekati hari kelahiran, kita harus banyak gerak. Biar nanti proses kelahirannya lancar dan mudah. Kalau perlu nih, ya, aku harus mengepel rumah sambil jongkok.” Jangan tanyakan wajah Kafka saat Ava mengatakan Ava harus mengepel lantai dengan berjongkok. Kafka segera tu
92. Kedatangan Ava.***Suara pintu diketuk membuat ia membenahi jasnya. "Masuk," ucapnya tegas.Betapa terkejutnya Kafka ketika melihat wanita tadi yang memasuki ruangannya. Oh tidak. Ia lupa tidak memberi pesan pada Rai mengenai wanita ini yang tidak diinginkan kedatangannya."Selamat siang, Pak Kafka," sapanya dengan senyum yang dibuat manis. Percayalah. Bagi Kafka tetap manis senyum Ava.Wanita itu berjalan ke arah meja Kafka dengan berlenggak-lenggok menampilkan bokong sintalnya. Bukannya tergiur, Kafka malah merasa muak."Selamat siang, Ibu Rachel."Wanita bernama Rachel itu bukannya duduk di kursi yang tersedia, melainkan duduk di meja Kafka tepat di samping pria itu. Telunjuknya bergerak pelan di atas meja. "Bagaimana kalau panggil Rachel saja?"Kafka menarik tangannya dari atas meja k
91. Terima kasih, Sayang. ***Kafka memandang horor ibu-ibu berdaster di depan mobilnya. Ia menatap Rani yang menampakkan raut wajah tidak enak hati padanya. Wanita itu mendekati ibunya."Bu. Bukan. Ini atasannya Rani di kantor," ucapnya pelan namun masih bisa didengarkan Kafka.Bola mata ibu Rani semakin terkejut. "Kamu pacaran sama bos kamu?""Wah. Rani dapat pacar bos besar," ucap ibu-ibu yang lain.Rani menepuk keningnya. Sedangkan Kafka melipat tangan di depan dada merasa tidak perlu meladeni mereka. "Bukan ibu-ibu!" teriak Rani.Ia menunjuk keberadaan Kafka. "Dia bos Rani. Sudah punya istri. Dia datang mau beli rujaknya Mbak Wati. Soalnya istrinya lagi ngidam.""Oalah." Terlihat jelas raut kekecewaan di wajah ibu-ibu itu."Mari, Pak saya antar ke warung Mbak Wati." Kafka mengangguk. Ia b
90. Rujak***Kafka baru saja keluar dari ruang meeting bertepatan dengan ponselnya yang berbunyi. Nama Ava yang tertera membuat pria itu segera menggeser tombol hijau ke atas, ditempelkan benda pipih itu ke telinganya."Ya, Sayang," sapanya. Ia sedikit memberikan senyum hangat pada kolega yang baru saja keluar dari ruang rapat bersama dengan Rasya."Sayang. Aku pengen rujak. yang—""Rujak, ya? Siap. Akan aku belikan sekarang juga. Sabar, ya, Sayang," ucap Kafka. Ia melangkah cepat ke ruangannya. Setiap Ava meminta sesuatu untuk kehamilannya Kafka selalu bersemangat."Tapi—""Tenang, Sayang. Aku akan carikan. Apa pun yang kamu mau akan aku belikan. Bahkan kalau aku harus mencarinya ke ujung dunia, akan aku lakukan untukmu. Sudah dulu, ya. Aku akan mencarinya."Ia memasuki ruangan p
89. Sabar*** "Begini?""Potongannya nggak rapi.""Begini?""Matengnya nggak rata.""Begini?""Bentuknya nggak kayak hati.""Begini?""Kuningnya pecah." "Begini?""Sayang. Bentuknya kurang sempurna." Kafka meremas dan mengacak rambutnya kasar, merasa frustrasi dengan apa yang diinginkan sang istri. Ini ke sekian kali ia mencoba tetapi tidak ada satu pun yang pas dengan yang dikehendaki Ava."Yang bagaimana lagi, Sayang?" tanya Kafka dengan wajah yang menunjukkan kekesalan.Tahu apa yang terjadi pada suaminya, bibir Ava mengerucut. Ia melipat tangan di depan dada sembari membuang muka ke samping. "Tapi memang semuanya tidak ada yang sesuai seleraku," ucapnya cemberut."Ini udah pas, Sayang.""Belum." Tahu apa yang diminta Ava pada Kafka pagi ini sebagai menu sarapannya? Telur cep
88. Permintaan tengah malam.***Waktu menunjukkan pukul setengah satu dini hari. Dua insan tengah berbaring di ranjang ukuran king size pada sebuah kamar. Hanya saja, ada yang membedakan di antara keduanya.Jika salah satu dari mereka tengah terlelap dalam tidur nyenyak, maka salah satu dari mereka masih membuka kelopak matanya dengan lebar. Iris hazzle itu bergerak ke atas, bawah, kanan dan kiri. Memutar beberapa kali. Meneliti setiap apa yang bisa dijangkau pandangan.Baru saja Ava terbangun dari tidur lelap ya. Sesuatu membuat dirinya merasakan rasa ingin yang teramat sangat. Wanita itu menggigit bibir bawah, sesekali melirik keberadaan sang suami yang masih tertidur.Ada keraguan dalam dirinya untuk meminta apa yang diinginkan pada Kafka. Hanya saja, kalau tidak diwujudkan ia merasa gelisah.