51. Kepulangan Ava
***
"Aku suka aromamu, Sayang," ucapnya di sela-sela menghirup aroma pada leher putih wanita itu.
Sebuah usapan halus pada punggung tangan membuat pria itu tahu kalau wanita dalam dekapannya tengah menumpukan tangan mereka yang berada pada perut rata. Bagi Rasya, itu adalah sentuhan sebagai godaan. "Baby," ucapnya dengan suara serak.
Oke. Dia tidak akan membuang waktu lagi. Kini, pria itu mulai bergerak menjalankan aksinya.
"Rasya, kita baru saja melakukannya," ucap wanita itu kala tangan Rasya mulai menangkup dada sintal dengan bibir yang turut menciumi tengkuk juga menggigiti te
52. Kebahagiaan Kafka *** Selepas kepergian Ava, Kafka bangkit dari tempat tidurnya. Wajah yang sebelumnya ia pasang sendu, kini menampakkan sinarnya. Ia menunduk, memandang bukti keperkasaan dirinya yang layu. "Bagaimana, Little Kafka? Kau baru saja memenuhi sangkarmu setelah lama berpuasa. Kau puas sekarang?" tanyanya dengan mimik wajah jenaka. "Ya. Aku tahu kau sangat puas. Aku pun merasakannya." Pria itu melipat tangan di belakang kepala, menyandar pada kepala ranjang dengan wajah penuh dengan senyuman. Lihatlah lebih jelas maka kalian akan mendapati senyum kemenangan di sana. Kafka mulai membayangkan bagaimana kejadian semalam begitu mudah didapatkan. Tanpa ada paksaan untuk Ava. Bahkan perempuan itu seperti sangat menerimanya. "Kapan kita bisa seperti semalam lagi, Sayang?" tanyanya pada diri sendiri. Ah. Ia harus memikirkan cara lain lagi nanti. Kenin
53. Kecurigaan Yarendra *** "Kalian?" Dua orang yang tengah asyik dengan dunianya sendiri itu menoleh saat mendengar suara Ava. Keduanya tersenyum melihat perempuan bermata hazzle itu yang tengah berdiri di depan pintu pembatas antara ruang tengah dan kolam renang. Namun, terselip kelegaan dalam senyuman itu. Kelegaan karena keduanya menyelesaikan adegan panas mereka beberapa menit yang lalu sebelum kedatangan Ava yang bisa saja memergoki mereka. "Sayang, kamu sudah pulang?" Rasya bangkit, ia menghampiri Ava sembari merentangkan tangan bersiap untuk merangkul sang istri. Satu kecupan sayang ia daratkan setelah menggapai tubuh Ava. Drama yang sangat bagus Rasya. "Ya," jawabnya. Ava memejamkan mata sejenak menikmati ciuman sang suami di keningnya. Berulang kali meminta maaf karen
54. Ketahuan *** Sudah hampir satu bulan Clara tinggal di rumah Ava, dan di senggang waktu itu Rasya dan Clara selalu mencuri waktu untuk memuaskan hasrat mereka di belakang Ava. Sungguh perselingkuhan yang nekat. Sejak tiga hari yang lalu Ava merasa kurang enak badan. Ia selalu merasakan pusing di kepalanya. Makan pun kurang berselera. Pekerjaan yang menumpuk mungkin penyebabnya. Pagi ini, seperti biasa mereka akan sarapan bersama. Hanya saja, tidak ada Clara di sana. Pria dengan kemeja biru itu mendudukkan diri pada kursi di meja makan. Pandangannya mengedar. "Clara mana?" Rasya bertanya ketika ia hanya mendapati sang istri di meja makan. "Sudah berangkat. Ada urusan mendadak katanya," jawab Ava lirih. Tangan kirinya sesekali memijit kening mencoba menetralisir rasa pening yang dirasa. Rasya yang mendengar suara
55. Murka *** Menggunakan kacamata baca, Tuan Yarendra tengah memeriksa pekerjaan di ruangannya. Kebetulan kali ini dirinya tidak ke kantor karena sejak kemarin ia selalu merasa kelelahan. Atensinya beralih pada ponsel miliknya yang bergetar pada sudut meja. Melirik sebentar, ia melihat nama yang tertera di layar. Senyumnya mengembang dan segera pria paruh baya itu meraih dan menerima panggilan itu. "Hallo, Sayang." Senyum yang sebelumnya terpatri lebar lenyap seketika. "Ava sakit?" Belum pernah ia mendapatkan kabar sang menantu yang sakit. Saat ia baru saja mendapatkan kabar ini, perasaan Tuan Yarendra menjadi tidak tenang. Satu yang terlintas di pikirannya. Mungkinkah sakitnya parah? Sehingga ia mendapatkan kabar tentang menantunya? "Iya. Nanti papa akan segera ke sana." Setelah
56. Kabar Bahagia *** Kafka tampak gusar, sedari tadi ia berjalan bolak-balik bak sebuah setrikaan. Tatapannya sesekali menatap sebuah ruangan dengan pintu tertutup di hadapannya, dengan sebuah plakat UGD di atasnya. Menampilkan wajah khawatir akan sosok wanita yang saat ini berada di dalam ruangan itu dengan seorang dokter yang tengah memeriksanya. Ya, saat kejadian yang baru saja Ava alami di rumahnya, perempuan itu diketahui pingsan begitu saja. Tanpa kata langsung saja Kafka dan juga papanya membawa Ava ke rumah sakit. Rasya? Jangan harap Yarendra membiarkan dia mendekati Ava setelah apa yang baru saja diperbuat. Yarendra menatap putranya yang terlihat begitu khawatir. Pandangannya mengikuti pergerakan Kafka yang berjalan mondar-mandir. "Kaf, kamu tenang dulu. Duduk sini." "Tidak bisa, Pa. Aku tidak bisa tenang sebelum para dokter itu keluar dan memberita
57. Kebenaran *** "Ayo a." Kafka mengarahkan sendok yang berisikan bubur ke mulut Ava. Sedari tadi ia begitu telaten menyuapi Ava yang susah untuk memasukkan makanan ke dalam perutnya. "Sudah Kafka. Aku sudah kenyang." Ava menyingkirkan tangan Kafka yang ada di hadapannya pelan. Kafka menghela napas. "Kamu baru makan beberapa suap saja. Kamu itu butuh asupan banyak, Sayang! Buat kamu, dan anak kita." Tangan Kafka mendarat pada perut rata Ava dan membelainya sayang. Ava hanya diam tanpa kata. Entah apa yang terjadi dalam hidupnya saat ini. Semua ini begitu rumit baginya. "Kamu mikirin apa, sih? Hem?" Telapak tangan Kafka kini membelai rambut Ava dan turun ke pipinya, perempuan itu hanya menggelengkan kepalanya. Suara pintu terbuka mengalihkan atensi mereka. Desi memasuki ruang rawat Ava dengan senyuman lebar. "Mantu Mama!" Perempuan
58. Permintaan Ava *** “Ternyata bayi yang dikandung Ava bukan anakku. Tapi anak Kafka,” ucap Rasya tanpa basa-basi saat ia memeluk Clara dari belakang. Ucapan Rasya tentu saja membuat Clara terkejut. Masih dalam pelukan Rasya, Clara membalikkan tubuhnya menghadap Rasya. “Bagaimana bisa?” Rasya menghela napas dalam. “Entahlah. Yang jelas, tadi Papa memintaku datang untuk membicarakan sesuatu. Sesampainya di sana aku mendengar teriakan Kafka. Aku pikir ada apa, ternyata soal pengakuan itu. Aku mendengarnya sendiri dari mulut Kafka saat ia bicara dengan Papa. Setelahnya aku tidak tahu lagi karena langsung memutuskan pergi dari sana.” Clara mendengarkan baik setiap ucapan Rasya. "Keputusan yang papa kamu ambil benar-benar menghancurkan semua anaknya." Perempuan itu menghela napas dalam. "Aku tidak tahu.
59. Marah *** Selepas Ava memasuki kamar rawat Tuan Yarendra, juga Desi yang berpamitan ke kantin untuk membeli minuman, kedua kakak beradik ini tengah duduk termenung di ruang tunggu depan ruang rawat. Mereka sama-sama terdiam dan bermain dengan pikiran masing-masing. "Kayaknya semua bakal sama saja." Rasya memecah keheningan setelah ia dan Kafka hanya diam di koridor rumah sakit. Kafka yang mendengar menoleh, menatap sang kakak dengan satu alis yang menukik tanda tidak mengerti. "Maksudnya?" Rasya mengembuskan napasnya dalam. "Kayaknya Papa bakal tetep mempertahankan rumah tangga kami," ucapnya lirih yang masih bisa didengar Kafka. Kafka tahu kami yang dimaksud kakaknya pasti sang kakak dan juga Ava. Jujur saja, ia tidak menyukai perkataan itu. Detik selanjutnya pandangan mereka bertemu. "Kau lihat sendiri, kan,
96. Ending ***Empat tahun kemudian. "Darren. Om datang!" teriak Rasya ketika memasuki rumah besar Tuan Yarendra. "Lihat nih Om bawa apa?" teriaknya lagi dengan mengangkat tangan kanan di mana sebuah paperbag terlihat di sana. Sedang tangan kirinya senantiasa merangkul pinggang Clara di mana keduanya saling melempar senyum. Pasangan pengantin baru ini berjalan memasuki rumah lebih dalam. "Om, Rasya." Seorang bocah dengan kaus berwarna merah bergambar super hero yang katanya selalu diidolakan. Langkah kaki mungilnya mendekati Rasya. Sontak saja Rasya melepaskan rangkulannya pada Clara, berjongkok dan menyambut kedatangan keponakan tercintanya. "Apa kabar jagoan?" "Baik, Om," jawabnya polos dengan senyuman yang menampilkan deretan gigi mungilnya. Pandangan iris hitam legam itu mengarah
95. Menjadi Orang Tua***Suara tangis mungil memecah keheningan malam di mana semilir angin syahdu di luar ruangan memeluk semesta. Cahaya temaram lampu tidur itu tak mampu lagi menenangkan si pemilik daksa kala suara yang menjadi kebanggaan mereka akhir-akhir ini menyapa indra pendengaran.Iris mata hitam legam juga bola mata hazzle itu mengerjap beberapa kali, berusaha menyadarkan diri akan sebuah alarm merdu dari pangeran kecil yang berada pada box kayu yang terletak tidak jauh dari ranjang keduanya.Kafka bangkit lebih dulu, dengan tangan kanan ia mengucek mata. Tangis semakin keras terdengar, bertepatan dengan Ava yang juga mendudukkan diri ia bangkit dari ranjang, menyalakan lampu lalu mendekati box bayi dan melihat putranya menangis."Oh, Sayang. Anak Papa kenapa menangis?" Ia mengulurkan tangan, memegang dagu little
94. Kembali utuh***Suasana aqiqahan putra pertama Kafka diadakan di rumah keluarga besar Yarendra. Ini semua dikarenakan Desi tidak memperbolehkan Kafka dan Ava pulang ke rumah mereka lebih dulu.Selain Desi yang ingin tinggal bersama cucu pertamanya, ia juga ingin membantu merawat anak Ava. Desi tidak ingin menantunya itu merasa kerepotan karena merawat anak mereka seorang diri. Jika Kafka mengatakan dia ingin menyewa seorang pengasuh bayi, Desi selalu mengatakan, “Dirawat keluarga sendiri lebih baik daripada orang lain.” Apa yang diucapkan Desi dibenarkan oleh Kafka dan Ava.Alhasil, Ava dan Kafka pun menuruti keinginan Desi untuk tinggal. Bagaimanapun, mereka juga tahu bagaimana Desi begitu menginginkan hadirnya seorang cucu sejak dulu."Darren sedang apa, Sayang?" tanya Kafka yang baru saja
93. Welcome Darendra***“Sayang, hati-hati!" teriak Kafka saat melihat Ava langsung membuka pintu mobil dan turun begitu saja. Baru saja mobilnya berhenti di depan rumah orang tua Kafka. Namun Ava sudah membuat ia jantungan dengan tingkahnya yang tidak bisa diam. Kehamilan Ava sudah memasuki usia sembilan bulan. Perkiraan Dokter Ava akan melahirkan sekitar seminggu lagi. Bukannya membatasi ruang geraknya, Ava malah semakin menjadi.Jika Kafka melarangnya, Ava akan selalu menjawab, “Sayang, kata orang dulu, saat kehamilan kita menginjak usia tua, atau mendekati hari kelahiran, kita harus banyak gerak. Biar nanti proses kelahirannya lancar dan mudah. Kalau perlu nih, ya, aku harus mengepel rumah sambil jongkok.” Jangan tanyakan wajah Kafka saat Ava mengatakan Ava harus mengepel lantai dengan berjongkok. Kafka segera tu
92. Kedatangan Ava.***Suara pintu diketuk membuat ia membenahi jasnya. "Masuk," ucapnya tegas.Betapa terkejutnya Kafka ketika melihat wanita tadi yang memasuki ruangannya. Oh tidak. Ia lupa tidak memberi pesan pada Rai mengenai wanita ini yang tidak diinginkan kedatangannya."Selamat siang, Pak Kafka," sapanya dengan senyum yang dibuat manis. Percayalah. Bagi Kafka tetap manis senyum Ava.Wanita itu berjalan ke arah meja Kafka dengan berlenggak-lenggok menampilkan bokong sintalnya. Bukannya tergiur, Kafka malah merasa muak."Selamat siang, Ibu Rachel."Wanita bernama Rachel itu bukannya duduk di kursi yang tersedia, melainkan duduk di meja Kafka tepat di samping pria itu. Telunjuknya bergerak pelan di atas meja. "Bagaimana kalau panggil Rachel saja?"Kafka menarik tangannya dari atas meja k
91. Terima kasih, Sayang. ***Kafka memandang horor ibu-ibu berdaster di depan mobilnya. Ia menatap Rani yang menampakkan raut wajah tidak enak hati padanya. Wanita itu mendekati ibunya."Bu. Bukan. Ini atasannya Rani di kantor," ucapnya pelan namun masih bisa didengarkan Kafka.Bola mata ibu Rani semakin terkejut. "Kamu pacaran sama bos kamu?""Wah. Rani dapat pacar bos besar," ucap ibu-ibu yang lain.Rani menepuk keningnya. Sedangkan Kafka melipat tangan di depan dada merasa tidak perlu meladeni mereka. "Bukan ibu-ibu!" teriak Rani.Ia menunjuk keberadaan Kafka. "Dia bos Rani. Sudah punya istri. Dia datang mau beli rujaknya Mbak Wati. Soalnya istrinya lagi ngidam.""Oalah." Terlihat jelas raut kekecewaan di wajah ibu-ibu itu."Mari, Pak saya antar ke warung Mbak Wati." Kafka mengangguk. Ia b
90. Rujak***Kafka baru saja keluar dari ruang meeting bertepatan dengan ponselnya yang berbunyi. Nama Ava yang tertera membuat pria itu segera menggeser tombol hijau ke atas, ditempelkan benda pipih itu ke telinganya."Ya, Sayang," sapanya. Ia sedikit memberikan senyum hangat pada kolega yang baru saja keluar dari ruang rapat bersama dengan Rasya."Sayang. Aku pengen rujak. yang—""Rujak, ya? Siap. Akan aku belikan sekarang juga. Sabar, ya, Sayang," ucap Kafka. Ia melangkah cepat ke ruangannya. Setiap Ava meminta sesuatu untuk kehamilannya Kafka selalu bersemangat."Tapi—""Tenang, Sayang. Aku akan carikan. Apa pun yang kamu mau akan aku belikan. Bahkan kalau aku harus mencarinya ke ujung dunia, akan aku lakukan untukmu. Sudah dulu, ya. Aku akan mencarinya."Ia memasuki ruangan p
89. Sabar*** "Begini?""Potongannya nggak rapi.""Begini?""Matengnya nggak rata.""Begini?""Bentuknya nggak kayak hati.""Begini?""Kuningnya pecah." "Begini?""Sayang. Bentuknya kurang sempurna." Kafka meremas dan mengacak rambutnya kasar, merasa frustrasi dengan apa yang diinginkan sang istri. Ini ke sekian kali ia mencoba tetapi tidak ada satu pun yang pas dengan yang dikehendaki Ava."Yang bagaimana lagi, Sayang?" tanya Kafka dengan wajah yang menunjukkan kekesalan.Tahu apa yang terjadi pada suaminya, bibir Ava mengerucut. Ia melipat tangan di depan dada sembari membuang muka ke samping. "Tapi memang semuanya tidak ada yang sesuai seleraku," ucapnya cemberut."Ini udah pas, Sayang.""Belum." Tahu apa yang diminta Ava pada Kafka pagi ini sebagai menu sarapannya? Telur cep
88. Permintaan tengah malam.***Waktu menunjukkan pukul setengah satu dini hari. Dua insan tengah berbaring di ranjang ukuran king size pada sebuah kamar. Hanya saja, ada yang membedakan di antara keduanya.Jika salah satu dari mereka tengah terlelap dalam tidur nyenyak, maka salah satu dari mereka masih membuka kelopak matanya dengan lebar. Iris hazzle itu bergerak ke atas, bawah, kanan dan kiri. Memutar beberapa kali. Meneliti setiap apa yang bisa dijangkau pandangan.Baru saja Ava terbangun dari tidur lelap ya. Sesuatu membuat dirinya merasakan rasa ingin yang teramat sangat. Wanita itu menggigit bibir bawah, sesekali melirik keberadaan sang suami yang masih tertidur.Ada keraguan dalam dirinya untuk meminta apa yang diinginkan pada Kafka. Hanya saja, kalau tidak diwujudkan ia merasa gelisah.