21. Amarah Rasya
***
Pukul delapan malam, mobil Kafka sudah terparkir di depan rumah Ava. Tanpa ada kata, Ava langsung membuka pintu mobil dan meninggalkan laki-laki yang semalam telah seranjang dengannya begitu saja. Berjalan lurus tanpa menoleh untuk memasuki rumahnya.
Meninggalkan Kafka yang menatapnya tanpa kata, meninggalkan Kafka dengan tatapan bingung.
Sesaat kemudian, senyum menawan terpatri di wajah pria itu. Sesungguhnya, bukannya takut akan sikap Ava, Kafka merasa Ava malah terlihat lucu. Bahkan, ia sangat ingin tertawa jika tidak mengingat tempatnya berada saat ini.
Dengan wajah bahagianya, Kafka menyalakan mesin mobil, menjalankan ke arah jalanan dan bersatu dengan mobil yang lain, mulai meninggalkan pekarangan rumah Ava.
Di sisi lain, Ava menghempaskan tubuhnya di atas ranjang kamar. Menangis tersedu-sedu menyesali semua perbuatannya. Untung saja saat i
22. Kedatangan Kafka *** Cahaya lampu temaram menghiasi tempat gelap ini. Suara dentuman alunan musik yang memekakkan telinga turut meramaikannya. Aroma menyengat dari berbagai merk alkohol menyatu dengan keringat para lautan manusia yang tengah asik meliukkan tubuhnya secara setengah sadar di atas lantai dansa. Bercampur dan berbaur menjadi satu. Tidak peduli tua atau muda, laki-laki atau perempuan, pejabat atau gelandangan, yang ada hanya kesenangan. Seseorang pria menggunakan kemeja dengan kancing bagian atas yang telah terbuka, serta lengan baju yang ditekuk hingga siku tengah turut menikmati pesta malam ini. Dia ... adalah Rasya. Ya, di sinilah pria itu saat ini. Duduk di atas kursi dan bersandar tidak berdaya pada meja bar. Satu tangan memegang gelas berisi cairan berwarna merah kehitaman. Kepala yang hampir menyentuh meja tidak membu
23. Memaksa *** "Hai, Sayang." Sapaan Kafka yang terdengar begitu sensual. Entah kenapa membuat Ava yang mendengar menjadi bergidik takut akan sikap pria di hadapannya. Ia seakan mendapati diri Kafka yang lain saat ini. Belum lagi saat tiba-tiba saja ingatan akan apa yang terjadi beberapa waktu lalu di antara mereka hadir berkelebat begitu saja, semakin membuat wanita itu merasa khawatir. Satu jentikan jari Kafka membuyarkan lamunan Ava akan kejadian beberapa hari lalu. Ditatapnya sang sahabat masa kecil yang saat ini menampilkan senyum smirk di hadapannya. Jangan tanya seberapa gelisahnya Ava saat ini. "Kamu tidak mempersilakan aku untuk masuk?" tanya Kafka. Pasalnya, mereka kini masih berdiri di ambang pintu. Mendengar itu, Ava semakin mengeratkan genggaman pada gagang pintu. Merapatkan tubuhnya pada daun k
24. Pelukan Kafka *** Pembicaraan beberapa waktu lalu di meja makan yang sempat membuat keduanya bersitegang di pagi hari, kini berlanjut membawa pasangan ini ke rumah sakit. Meski Rasya menampakkan wajah datar, Ava tetap menerbitkan senyum lebar. Tepat keesokan hari setelah kejadian itu dialaminya, Rasya tiba-tiba saja datang dan mengatakan kalau suaminya itu menyanggupi apa yang sempat Ava utarakan. Beberapa hari berlalu. Pasangan suami istri ini kembali lagi pada rumah sakit yang sama. Seperti halnya Ava, Rasya pun juga ditangani oleh Dokter Najwa. Selain memang dokter kepercayaannya, ia berpikir agar mudah berkonsultasi dengan apa yang selama ini telah dialami. Duduk berdampingan pada kursi pasien tentu saja membuat denyut jantung Ava berdetak tidak semestinya. Selain karena menunggu hasil dari pemeriksaan, ia masih memikirkan akan sika
25. Pertengkaran *** PLAKK Satu tamparan mendarat sempurna pada pipi Tasya, membuat wajahnya terlempar ke arah samping. Kulit putih itu berubah warna, merah merona bukan karena tersipu, melainkan karena tamparan yang membentuk lima jari. Sosok lemah yang ia punya hanya bisa menangisi apa yang baru saja diterima. Tidak mampu melawan akan sosok kekar dihadapannya yang tengah memandang dirinya penuh amarah. "Apa yang kamu lakukan?" teriak pria dengan kaus hitam bertuliskan Fali itu dengan kemarahan. Dada bidang naik turun menandakan napas yang memburu. "Mau jadi apa kamu?" Tangan terangkat, menunjuk Tasya yang berada di hadapannya. Tasya kembali menatap pria yang berstatus tunangannya, memandang dengan kekecewaan dan mata memerah. Tangan kiri senantiasa memegang pipi yang baru saja mendapatkan ci
26. Nostalgia *** Kafka melirik Ava yang duduk tanpa suara di sampingnya. Bola mata tajam itu sesekali mengalihkan pada jalanan untuk tetap menjaga keselamatan mereka. Jalanan yang lenggang tidak harus membuat pengendara berbuat seenaknya bukan? Lampu berwarna merah terlihat menyala di depan sana, mobil yang dikendarai Kafka berhenti bersama pengendara lainnya. Mengurangi gigi, pria beralis tebal itu mengubah posisi duduk sedikit menghadap pada keberadaan Ava. "Mau diam sampai kapan?" tanya Kafka. Ia sedikit memiringkan kepala agar bisa mengintip wajah Ava. Perempuan yang wajahnya masih sembab itu melirik pria di sampingnya sekilas, tanpa ingin menjawab pertanyaan yang baru saja terlontar untuknya, ia kembali mengfokuskan pandangan ke luar jendela. Kafka menghela napas dalam. K
27. Curhat *** Rasya tidak memedulikan teriakan Ava yang memanggil dirinya. Meski beberapa orang menatap dirinya dengan tatapan tidak suka, ia tetap melanjutkan langkah keluar dari rumah sakit. Berjalan cepat ke arah mobil dan memasukinya lalu menjalankannya. Bersatu dengan banyaknya ribuan pengendara yang merayapi jalanan Surabaya. "Kenapa sih, Ava membahas hal seperti ini? Biasanya juga dia oke oke saja. Kenapa sekarang dia menjadi seperti ini?" gerutunya di dalam mobil. Rasya tetap menjalankan kuda besinya tanpa menghiraukan Ava akan pulang dengan siapa nanti. Baginya saat ini kekesalan pada sang istri membuat dirinya tidak ingin berdekatan terlebih dahulu. Suara deringan ponsel membuat ia melirik ponselnya di atas dasboard. Sebuah nama yang tertera nama sang mama membuat ia
28. Flashback Rasya *** Rasya mengerjapkan mata untuk mempertajam pandangan. Menyesuaikan akan apa yang diihat. Kepalanya terasa sedikit pusing dan berat, membuat ia harus menggeleng beberapa kali untuk Menyandarkan diri. Bangkit perlahan, ia menyandar pada kepala ranjang, menunduk dengan tangan memijit pangkal hidung. Ingatan dirinya yang menenggak minuman berkelebat. Pasti ini diakibatkan semua itu. Rasa nyeri sedikit mereda, ia mendongak dan menelisik ruangan yang bukan miliknya di rumah. Menyibakkan selimut yang menutupi tubuhnya, Rasya bangkit dan memasuki kamar mandi. Sedikit membasuh mukanya, meraih handuk dan membersihkannya. Tidak lama, pria dengan keadaan pakaian yang sedikit kacau itu keluar dari kamar mandi, mengedarkan pandangan untuk menelisik isi kamar yang saat ini ditempati. Bibirnya menyunggingkan senyuman. "Ini kamar club, atau kamar hotel? Lengkap
29. Bimbang *** Tasya mendengar suara pintu di belakangnya menutup. Pasti ini ulah dari kekasihnya. Menarik napas dalam, ia siap menerima segala kemarahan dan tuduhan dari Sean. Setelah itu, ia bear-benar akan mengakhiri ini. Namun, tidak ia duga. Bukan sebuah kemarahan atau bentakan yang didapat, melainkan sebuah pelukan hangat yang melingkupi dirinya. Tasya sempat mematung, terkejut akan perbuatan Sean. Menoleh ke arah kiri dimana dagu sang tunangan bertumpu, ia bertanya dalam hati, "Ada apa Sean seperti ini?" Percayalah. Hal itu bukannya membuat Tasya lega, tetapi malah dirundung kegelisahan. Ia takut ada rencana lain di belakang sikap Sean
96. Ending ***Empat tahun kemudian. "Darren. Om datang!" teriak Rasya ketika memasuki rumah besar Tuan Yarendra. "Lihat nih Om bawa apa?" teriaknya lagi dengan mengangkat tangan kanan di mana sebuah paperbag terlihat di sana. Sedang tangan kirinya senantiasa merangkul pinggang Clara di mana keduanya saling melempar senyum. Pasangan pengantin baru ini berjalan memasuki rumah lebih dalam. "Om, Rasya." Seorang bocah dengan kaus berwarna merah bergambar super hero yang katanya selalu diidolakan. Langkah kaki mungilnya mendekati Rasya. Sontak saja Rasya melepaskan rangkulannya pada Clara, berjongkok dan menyambut kedatangan keponakan tercintanya. "Apa kabar jagoan?" "Baik, Om," jawabnya polos dengan senyuman yang menampilkan deretan gigi mungilnya. Pandangan iris hitam legam itu mengarah
95. Menjadi Orang Tua***Suara tangis mungil memecah keheningan malam di mana semilir angin syahdu di luar ruangan memeluk semesta. Cahaya temaram lampu tidur itu tak mampu lagi menenangkan si pemilik daksa kala suara yang menjadi kebanggaan mereka akhir-akhir ini menyapa indra pendengaran.Iris mata hitam legam juga bola mata hazzle itu mengerjap beberapa kali, berusaha menyadarkan diri akan sebuah alarm merdu dari pangeran kecil yang berada pada box kayu yang terletak tidak jauh dari ranjang keduanya.Kafka bangkit lebih dulu, dengan tangan kanan ia mengucek mata. Tangis semakin keras terdengar, bertepatan dengan Ava yang juga mendudukkan diri ia bangkit dari ranjang, menyalakan lampu lalu mendekati box bayi dan melihat putranya menangis."Oh, Sayang. Anak Papa kenapa menangis?" Ia mengulurkan tangan, memegang dagu little
94. Kembali utuh***Suasana aqiqahan putra pertama Kafka diadakan di rumah keluarga besar Yarendra. Ini semua dikarenakan Desi tidak memperbolehkan Kafka dan Ava pulang ke rumah mereka lebih dulu.Selain Desi yang ingin tinggal bersama cucu pertamanya, ia juga ingin membantu merawat anak Ava. Desi tidak ingin menantunya itu merasa kerepotan karena merawat anak mereka seorang diri. Jika Kafka mengatakan dia ingin menyewa seorang pengasuh bayi, Desi selalu mengatakan, “Dirawat keluarga sendiri lebih baik daripada orang lain.” Apa yang diucapkan Desi dibenarkan oleh Kafka dan Ava.Alhasil, Ava dan Kafka pun menuruti keinginan Desi untuk tinggal. Bagaimanapun, mereka juga tahu bagaimana Desi begitu menginginkan hadirnya seorang cucu sejak dulu."Darren sedang apa, Sayang?" tanya Kafka yang baru saja
93. Welcome Darendra***“Sayang, hati-hati!" teriak Kafka saat melihat Ava langsung membuka pintu mobil dan turun begitu saja. Baru saja mobilnya berhenti di depan rumah orang tua Kafka. Namun Ava sudah membuat ia jantungan dengan tingkahnya yang tidak bisa diam. Kehamilan Ava sudah memasuki usia sembilan bulan. Perkiraan Dokter Ava akan melahirkan sekitar seminggu lagi. Bukannya membatasi ruang geraknya, Ava malah semakin menjadi.Jika Kafka melarangnya, Ava akan selalu menjawab, “Sayang, kata orang dulu, saat kehamilan kita menginjak usia tua, atau mendekati hari kelahiran, kita harus banyak gerak. Biar nanti proses kelahirannya lancar dan mudah. Kalau perlu nih, ya, aku harus mengepel rumah sambil jongkok.” Jangan tanyakan wajah Kafka saat Ava mengatakan Ava harus mengepel lantai dengan berjongkok. Kafka segera tu
92. Kedatangan Ava.***Suara pintu diketuk membuat ia membenahi jasnya. "Masuk," ucapnya tegas.Betapa terkejutnya Kafka ketika melihat wanita tadi yang memasuki ruangannya. Oh tidak. Ia lupa tidak memberi pesan pada Rai mengenai wanita ini yang tidak diinginkan kedatangannya."Selamat siang, Pak Kafka," sapanya dengan senyum yang dibuat manis. Percayalah. Bagi Kafka tetap manis senyum Ava.Wanita itu berjalan ke arah meja Kafka dengan berlenggak-lenggok menampilkan bokong sintalnya. Bukannya tergiur, Kafka malah merasa muak."Selamat siang, Ibu Rachel."Wanita bernama Rachel itu bukannya duduk di kursi yang tersedia, melainkan duduk di meja Kafka tepat di samping pria itu. Telunjuknya bergerak pelan di atas meja. "Bagaimana kalau panggil Rachel saja?"Kafka menarik tangannya dari atas meja k
91. Terima kasih, Sayang. ***Kafka memandang horor ibu-ibu berdaster di depan mobilnya. Ia menatap Rani yang menampakkan raut wajah tidak enak hati padanya. Wanita itu mendekati ibunya."Bu. Bukan. Ini atasannya Rani di kantor," ucapnya pelan namun masih bisa didengarkan Kafka.Bola mata ibu Rani semakin terkejut. "Kamu pacaran sama bos kamu?""Wah. Rani dapat pacar bos besar," ucap ibu-ibu yang lain.Rani menepuk keningnya. Sedangkan Kafka melipat tangan di depan dada merasa tidak perlu meladeni mereka. "Bukan ibu-ibu!" teriak Rani.Ia menunjuk keberadaan Kafka. "Dia bos Rani. Sudah punya istri. Dia datang mau beli rujaknya Mbak Wati. Soalnya istrinya lagi ngidam.""Oalah." Terlihat jelas raut kekecewaan di wajah ibu-ibu itu."Mari, Pak saya antar ke warung Mbak Wati." Kafka mengangguk. Ia b
90. Rujak***Kafka baru saja keluar dari ruang meeting bertepatan dengan ponselnya yang berbunyi. Nama Ava yang tertera membuat pria itu segera menggeser tombol hijau ke atas, ditempelkan benda pipih itu ke telinganya."Ya, Sayang," sapanya. Ia sedikit memberikan senyum hangat pada kolega yang baru saja keluar dari ruang rapat bersama dengan Rasya."Sayang. Aku pengen rujak. yang—""Rujak, ya? Siap. Akan aku belikan sekarang juga. Sabar, ya, Sayang," ucap Kafka. Ia melangkah cepat ke ruangannya. Setiap Ava meminta sesuatu untuk kehamilannya Kafka selalu bersemangat."Tapi—""Tenang, Sayang. Aku akan carikan. Apa pun yang kamu mau akan aku belikan. Bahkan kalau aku harus mencarinya ke ujung dunia, akan aku lakukan untukmu. Sudah dulu, ya. Aku akan mencarinya."Ia memasuki ruangan p
89. Sabar*** "Begini?""Potongannya nggak rapi.""Begini?""Matengnya nggak rata.""Begini?""Bentuknya nggak kayak hati.""Begini?""Kuningnya pecah." "Begini?""Sayang. Bentuknya kurang sempurna." Kafka meremas dan mengacak rambutnya kasar, merasa frustrasi dengan apa yang diinginkan sang istri. Ini ke sekian kali ia mencoba tetapi tidak ada satu pun yang pas dengan yang dikehendaki Ava."Yang bagaimana lagi, Sayang?" tanya Kafka dengan wajah yang menunjukkan kekesalan.Tahu apa yang terjadi pada suaminya, bibir Ava mengerucut. Ia melipat tangan di depan dada sembari membuang muka ke samping. "Tapi memang semuanya tidak ada yang sesuai seleraku," ucapnya cemberut."Ini udah pas, Sayang.""Belum." Tahu apa yang diminta Ava pada Kafka pagi ini sebagai menu sarapannya? Telur cep
88. Permintaan tengah malam.***Waktu menunjukkan pukul setengah satu dini hari. Dua insan tengah berbaring di ranjang ukuran king size pada sebuah kamar. Hanya saja, ada yang membedakan di antara keduanya.Jika salah satu dari mereka tengah terlelap dalam tidur nyenyak, maka salah satu dari mereka masih membuka kelopak matanya dengan lebar. Iris hazzle itu bergerak ke atas, bawah, kanan dan kiri. Memutar beberapa kali. Meneliti setiap apa yang bisa dijangkau pandangan.Baru saja Ava terbangun dari tidur lelap ya. Sesuatu membuat dirinya merasakan rasa ingin yang teramat sangat. Wanita itu menggigit bibir bawah, sesekali melirik keberadaan sang suami yang masih tertidur.Ada keraguan dalam dirinya untuk meminta apa yang diinginkan pada Kafka. Hanya saja, kalau tidak diwujudkan ia merasa gelisah.