Selena menatap Damian untuk beberapa saat. Memperhatikannya merokok dan kemudian mendekat dengan ragu. Dia tahu ini pasti akan terjadi. Yang dia lakukan menurut dan duduk di pangkuan Damian. Kaki Damian yang terbuka saat itu membuat Selena duduk di salah satu kakinya.
“Kau merokok?” tanya Damian, menatapi Selena yang tidak memprotes tentang rokoknya.Selena menganggukkan kepalanya perlahan. “Dulu aku merokok jika aku merasa stres.”Damian mengangkat alisnya, dia terkejut untuk sesaat walau tak menunjukkan ekspresinya. Dia tak menyangka jika Selena dulunya merokok. Dan yang tidak dia ketahui, Selena berhenti merokok sejak ada Axel. Axel yang melarangnya merokok waktu itu.“Tunjukkan!” Damian seolah meragukan jawaban Selena dan memberikan batang rokoknya.Selena menatapnya sesaat dan kemudian hendak mengambilnya dengan jemarinya, namun Damian langsung menjauhkannya. Dia ingin rokok itu tetap berada di tangannya. Dan Selena mendekatkanDamian menatap Selena yang terbaring meringkuk ke kanan. Dia tampak tertidur setelah membersihkan dirinya. Dan Damian menarik selimut untuk menutupi tubuhnya, sambil duduk di sisinya, memperhatikan bahu polos Selena yang dilihat dari belakang saja cukup indah. Punggung tangannya perlahan menyingkirkan beberapa helai rambut yang jatuh ke wajahnya dan menyisipkannya ke belakang telinga dengan jemarinya secara perlahan. Begitu pagi tiba, Selena membuka matanya dan pemandangan pertama yang dia lihat saat bangun tidur adalah tubuh Damian yang polos. Dia sepertinya baru saja mandi dan sedang melihat sesuatu di ponselnya. Wajah Selena memerah dan dia menutup kembali matanya seraya memindahkan tubuhnya untuk menghadap ke arah lain. Dia baru bangun dan jantungnya sudah heboh sendiri. “Kau bangun?” Damian menoleh ke arah Selena saat melihat pergerakan Selena sambil menaruh ponselnya dan menghadap ke arah Selena. “Ya,” jawab Selena seraya membuka kembali
Selena tersungkur ke lantai. Kepalanya membentur lantai cukup keras dan kulit pelipisnya yang tipis mengeluarkan darah setelah dipukul oleh kepalan tangan salah satu pelayan. Yang mana pelayan itu tampak terengah-engah sambil menatap Selena. Di kepalan tangannya, ada cincin yang menyebabkan pelipis Selena terluka setelah dia pukul. Gadis yang tersungkur itu merintih pelan sambil memegangi kepalanya. Dia kemudian mendudukkan dirinya perlahan, kepalanya terasa pusing saat itu. Saat dia duduk dan menahan sakit, para pelayan lainnya mendekat secara bersamaan. Saat itu juga, mereka menendang dan menginjak Selena di waktu yang bersamaan. Mereka sepertinya tidak memikirkan konsekuensi dari tindakan mereka. Namun, sepertinya hari itu mereka akan selamat untuk sementara waktu, hingga luka Selena membaik. Lantaran di hari itu, ada kabar Damian yang tidak akan pulang selama beberapa hari untuk urusan bisnis. Dia akan pergi ke luar negeri untuk melakukan hubungan internasion
Damian tak menjawab pertanyaan Luca. Dia juga memikirkan apa yang sebenarnya dilakukan pada Selena. Mungkin memang itu yang dia inginkan, menahannya, merampas kebebasannya dan menjadikan miliknya seorang. Saat Damian disibukkan dengan pekerjaannya, Selena memandangi kakinya, yang penuh dengan memar. Dan luka bakar di lututnya dia perhatian dengan seksama saat itu. “Sakit...” gumamnya dengan pelan, sambil menyentuh bahunya yang terasa pegal dan linu. Dia memandang cermin lagi, menatapi pantulan dirinya dalam keadaan yang agak mengerikan. Perban yang dia taruh sendiri di pelipisnya, tulang pipinya yang memar dan sudut bibirnya yang dihiasi dengan darah kering. Bahkan saat darah itu masih basah, rasanya menyiksa ketika dia membutuhkan air. “Huek!” Selena menutup mulutnya, saat dirasa ada sesuatu yang naik dari lambungnya. Selena termenung sesaat, yang kemudian matanya melebar karena perasaan mual yang dia alami. Dia berusaha mengingat k
Selena mengurungkan niatnya untuk menuju ke unit kesehatan dan membantu para pelayan lain untuk menyuguhkan makanan ringan di ruang tamu. Di mana terlihat ada beberapa orang yang tak Selena kenali di sana. Setelah itu, dia juga menyiapkan ruang makan saat jam makan siang semakin dekat, para tamu akan makan siang di sana. Begitu tamu duduk di meja makan untuk makan siang, Selena berada di sana untuk melayani juga. Beberapa kali Selena berkontak mata dengan Damian dan keduanya bersikap tak saling mengenal. Benar-benar hanya sebatas budak yang terasing dan tuannya. “Kau harus segera menikah. Mau di umur berapa kau melahirkan seorang penerus?” Seorang pria tua terkekeh pelan sambil menatap ke arah Damian. “Ayah tidak perlu mengkhawatirkan aku. Khawatirkan saja pasangan hidup Ayah,” jawab Damian. Dan pria itu tertawa renyah, seolah menganggap bercanda atas ucapan Damian. Beliau adalah Tuan Hendry, ayah dari Damian. Yang mana kemudian, Hendry menata
“Kau melukai pelayan lain. Tiga orang, bukan begitu?” “Itu tidak benar!” sangkal Selena, dia menatap Damian dengan serius. “Lalu? Bagaimana yang sebenarnya?” Damian menatap Selena, berhasil memancingnya untuk menjelaskan semuanya tanpa perlu bertanya secara langsung seolah dia mengkhawatirkannya atau tahu jika semua laporan yang dia terima salah. “Mereka yang mulai duluan,” jawab Selena, dia memulai menjelaskan apa yang terjadi hari itu. Damian memandangi tubuhnya. Dia tahu betul, jika Selena korbannya. Terlihat dari luka memar yang berada di seluruh tubuhnya. Yang mana selain memar berwarna ungu atau hijau, atau kebiruan, beberapa bercak merah yang dia tinggalkan beberapa hari lalu ternyata masih ada. Dan dia masih ingat di mana saja dia meninggalkannya. “Intinya, mereka memancingku lebih dulu. Membuatku merasa harus membela diriku. Aku tidak tahu apa yang mereka katakan padamu. Tapi, aku hanya melakukan perlawanan secara kata. Aku
Sesosok tangan lembut berpegangan pada pinggiran bak, namun tangannya tergelincir beberapa kali sebelum dia mendapatkannya sebagai pegangan. Gerakan tangannya tak stabil akibat guncangan berlebih. Yang mana itu terjadi pada Selena, saat Damian berusaha mengejar puncaknya. Selena bersandar ke tubuh Damian, sisa-sisa pelepasan membuatnya lemas. Damian menyadari itu dan memperhatikan Selena yang kelihatannya tak punya tenaga. Dan membiarkannya beristirahat sejenak sebelum membawanya keluar dari kamar mandi. Keduanya keluar dari kamar mandi dengan mantel mandi. Damian menggosok rambutnya dengan handuk lain dan mendekati lemarinya, mengambil minyak rambut yang kemudian dia oleskan ke rambutnya. Sepertinya itu yang membuat rambutnya lebat, hitam berkilau. Selena memperhatikan Damian, dia terdiam di walk in closet itu.Sejenak, dia teringat akan Axel. Bagaimana pun, dia tidak bisa melupakan Axel secepat itu walau kelihatannya kadang kali dia memang su
Mungkin satu-satunya yang bersikap baik dan ramah padanya di mansion saat itu hanya satu. Tukang kebun yang ceria dan sepertinya hidup tanpa beban. Dia seolah mengabdi pada Damian dengan tulus, hidup sederhana di pondok kecil yang dibangun di perkebunan. “Siapa namamu?” tanya Selena sambil memakan ubi rebus itu dengan lahap, benar-benar manis. “Aku Xena,” jawabnya sambil tersenyum manis pada Selena. “Xena? Nama kita hampir sama. Selena, Xena!” Selena terlihat ceria karena bertemu seseorang yang mampu membawa suasana hati siapa pun menjadi menyenangkan. “Oh, betul. Aku baru menyadarinya.” Xena tertawa. Keduanya mengobrol sambil memisahkan sampah-sampah itu dengan menyenangkan. Hingga Xena memperhatikan wajah Selena yang dipenuhi keringat padahal apa yang dilakukannya bukan hal berat. Dan dia juga tidak sedang berada di luar mansion, dia masih di dalam. “Kau baik-baik saja?” Xena memperhatikannya dengan prihatin. “A
“Terus lacak markas Axel! Kali ini aku tidak akan berdamai sama sekali.” Damian menatap anak buahnya yang sekarang tampak sedang dikumpulkan dalam suatu ruangan rapat. “Baik!” Mereka menjawab secara serentak dengan tegas. Damian memegangi keningnya. Beberapa saat yang lalu dia terlalu rapuh untuk memikirkan hal seperti ini. Keadaannya menjadi lebih baik, namun hatinya tetap tidak bisa menerima begitu saja yang apa yang telah terjadi beberapa hari silam yang padahal mulai berbenam di pikirannya. Luca mendapatkan panggilan, yang membuat Damian melirik ke arah Luca saat pria itu mengangkat ponselnya yang berdering. “Ada apa? Kau tahu aku sedang—”“Ini darurat. Bisakah kau segera kembali ke mansion bersama Tuan Damian? Ini benar-benar darurat dan menurutku, Tuan Damian harus mengetahui ini.“Luca terdiam sejenak. Dia tak tahu apa yang membuat ini terdengar sangat darurat dan nada bicara dari rekannya di mansion juga membuatnya ik