Selena mengurung dirinya di kamar mandi. Dia berada di bak shower, berjongkok sambil membasahi tubuhnya. Air matanya terus menetes. Pelakunya sudah jelas Damian. Dia tidak pernah menangis sesering ini jika bukan karena Damian. Tekanan yang dia alami, rasa stres dan depresi membuat mentalnya semakin hancur.
Keluar dari kamar mandi, Selena hanya berbaring di kasurnya. Dia memikirkan apa yang biasanya sedang dia lakukan di jam seperti ini. Dia merindukan kebebasannya, walau dia tahu di saat jam seperti ini dia sedang sibuk dan sesekali bergurau dengan teman-teman di tempatnya kerja.Damian sendiri langsung pergi setelah itu. Ada bisnis yang harus tetap berjalan. Dan sepertinya semangatnya kembali setelah dia melakukannya dengan Selena hingga dia benar-benar merasa puas. Tanpa memikirkan bagaimana kondisi Selena.***Axel memandang langit sambil merenungkan semua yang telah dia lakukan. Mengingat fakta tentang Selena yang sekarang bersama Damian m“Tidak, dia tidak mudah didekati. Dia benar-benar selektif memilih orang-orang yang ada di sekitarnya. Termasuk wanita. Dia memang punya banyak wanita sebelumnya, tapi dia tidak berani menyentuh wanita lain begitu saja.” Wanita itu bicara sambil memandangi Damian dari jauh, meneguk minumannya dengan perlahan. Ditatapnya lekat sosok Damian yang sedang asyik mengobrol. “Sepertinya dia memang masih berduka juga. Ah, kehilangan satu saja sudah menyakitinya. Dia kehilangan enam sekaligus. Pasti sangat berat untuknya sampai dia tidak datang di acara lain selama dua minggu ke belakang. Dia ternyata pria yang manis.” “Manis? Oh, aku akui dia memang tampan dan kaya. Hanya saja enam wanita?! Kau pasti bercanda. Sebentar lagi, aku yakin sebentar lagi dia juga akan seperti sebelumnya. Dia akan memiliki banyak wanita di sisinya,” balas yang lainnya. Ketiga wanita itu melihat ke arah Damian lagi. Saat Damian kelihatannya akan meninggalkan pesta yang tenang
Selena makan dengan cukup lahap, walau terlihat siaga dan waspada. Dia cukup takut dan gelisah saat melihat piring makan Damian sudah hampir habis. Diperhatikannya cukup lama bagaimana Damian menghabiskan makanannya, dan Selena tertunduk sambil terus sibuk pada makanannya. Selena melirik Damian yang menaruh alat makannya dan diam. Dia melanjutkan makannya dengan ragu-ragu. Damian tidak memberi tahunya apa dia harus berhenti saat Damian selesai makan atau tidak. Jadi, dia hanya melanjutkan makan dengan canggung. Sementara Luca yang duduk di depan Damian memperhatikan Damian dan Selena. “Apa jadwalku hari ini?” Damian melirik Luca sambil mengancingkan lengan kemejanya. “Anda harus mengecek perusahaan cabang, karena sepertinya ada beberapa kendala. Lalu makan siang bersama dengan klien di sebuah restoran dan di sore hari, ini jadwal Anda berolahraga. Saya bisa menyingkirkan jadwal olahraga—”“Tidak perlu. Badanku mulai terasa sakit karena tidak be
Selena menatap Damian untuk beberapa saat. Memperhatikannya merokok dan kemudian mendekat dengan ragu. Dia tahu ini pasti akan terjadi. Yang dia lakukan menurut dan duduk di pangkuan Damian. Kaki Damian yang terbuka saat itu membuat Selena duduk di salah satu kakinya. “Kau merokok?” tanya Damian, menatapi Selena yang tidak memprotes tentang rokoknya. Selena menganggukkan kepalanya perlahan. “Dulu aku merokok jika aku merasa stres.” Damian mengangkat alisnya, dia terkejut untuk sesaat walau tak menunjukkan ekspresinya. Dia tak menyangka jika Selena dulunya merokok. Dan yang tidak dia ketahui, Selena berhenti merokok sejak ada Axel. Axel yang melarangnya merokok waktu itu. “Tunjukkan!” Damian seolah meragukan jawaban Selena dan memberikan batang rokoknya. Selena menatapnya sesaat dan kemudian hendak mengambilnya dengan jemarinya, namun Damian langsung menjauhkannya. Dia ingin rokok itu tetap berada di tangannya. Dan Selena mendekatkan
Damian menatap Selena yang terbaring meringkuk ke kanan. Dia tampak tertidur setelah membersihkan dirinya. Dan Damian menarik selimut untuk menutupi tubuhnya, sambil duduk di sisinya, memperhatikan bahu polos Selena yang dilihat dari belakang saja cukup indah. Punggung tangannya perlahan menyingkirkan beberapa helai rambut yang jatuh ke wajahnya dan menyisipkannya ke belakang telinga dengan jemarinya secara perlahan. Begitu pagi tiba, Selena membuka matanya dan pemandangan pertama yang dia lihat saat bangun tidur adalah tubuh Damian yang polos. Dia sepertinya baru saja mandi dan sedang melihat sesuatu di ponselnya. Wajah Selena memerah dan dia menutup kembali matanya seraya memindahkan tubuhnya untuk menghadap ke arah lain. Dia baru bangun dan jantungnya sudah heboh sendiri. “Kau bangun?” Damian menoleh ke arah Selena saat melihat pergerakan Selena sambil menaruh ponselnya dan menghadap ke arah Selena. “Ya,” jawab Selena seraya membuka kembali
Selena tersungkur ke lantai. Kepalanya membentur lantai cukup keras dan kulit pelipisnya yang tipis mengeluarkan darah setelah dipukul oleh kepalan tangan salah satu pelayan. Yang mana pelayan itu tampak terengah-engah sambil menatap Selena. Di kepalan tangannya, ada cincin yang menyebabkan pelipis Selena terluka setelah dia pukul. Gadis yang tersungkur itu merintih pelan sambil memegangi kepalanya. Dia kemudian mendudukkan dirinya perlahan, kepalanya terasa pusing saat itu. Saat dia duduk dan menahan sakit, para pelayan lainnya mendekat secara bersamaan. Saat itu juga, mereka menendang dan menginjak Selena di waktu yang bersamaan. Mereka sepertinya tidak memikirkan konsekuensi dari tindakan mereka. Namun, sepertinya hari itu mereka akan selamat untuk sementara waktu, hingga luka Selena membaik. Lantaran di hari itu, ada kabar Damian yang tidak akan pulang selama beberapa hari untuk urusan bisnis. Dia akan pergi ke luar negeri untuk melakukan hubungan internasion
Damian tak menjawab pertanyaan Luca. Dia juga memikirkan apa yang sebenarnya dilakukan pada Selena. Mungkin memang itu yang dia inginkan, menahannya, merampas kebebasannya dan menjadikan miliknya seorang. Saat Damian disibukkan dengan pekerjaannya, Selena memandangi kakinya, yang penuh dengan memar. Dan luka bakar di lututnya dia perhatian dengan seksama saat itu. “Sakit...” gumamnya dengan pelan, sambil menyentuh bahunya yang terasa pegal dan linu. Dia memandang cermin lagi, menatapi pantulan dirinya dalam keadaan yang agak mengerikan. Perban yang dia taruh sendiri di pelipisnya, tulang pipinya yang memar dan sudut bibirnya yang dihiasi dengan darah kering. Bahkan saat darah itu masih basah, rasanya menyiksa ketika dia membutuhkan air. “Huek!” Selena menutup mulutnya, saat dirasa ada sesuatu yang naik dari lambungnya. Selena termenung sesaat, yang kemudian matanya melebar karena perasaan mual yang dia alami. Dia berusaha mengingat k
Selena mengurungkan niatnya untuk menuju ke unit kesehatan dan membantu para pelayan lain untuk menyuguhkan makanan ringan di ruang tamu. Di mana terlihat ada beberapa orang yang tak Selena kenali di sana. Setelah itu, dia juga menyiapkan ruang makan saat jam makan siang semakin dekat, para tamu akan makan siang di sana. Begitu tamu duduk di meja makan untuk makan siang, Selena berada di sana untuk melayani juga. Beberapa kali Selena berkontak mata dengan Damian dan keduanya bersikap tak saling mengenal. Benar-benar hanya sebatas budak yang terasing dan tuannya. “Kau harus segera menikah. Mau di umur berapa kau melahirkan seorang penerus?” Seorang pria tua terkekeh pelan sambil menatap ke arah Damian. “Ayah tidak perlu mengkhawatirkan aku. Khawatirkan saja pasangan hidup Ayah,” jawab Damian. Dan pria itu tertawa renyah, seolah menganggap bercanda atas ucapan Damian. Beliau adalah Tuan Hendry, ayah dari Damian. Yang mana kemudian, Hendry menata
“Kau melukai pelayan lain. Tiga orang, bukan begitu?” “Itu tidak benar!” sangkal Selena, dia menatap Damian dengan serius. “Lalu? Bagaimana yang sebenarnya?” Damian menatap Selena, berhasil memancingnya untuk menjelaskan semuanya tanpa perlu bertanya secara langsung seolah dia mengkhawatirkannya atau tahu jika semua laporan yang dia terima salah. “Mereka yang mulai duluan,” jawab Selena, dia memulai menjelaskan apa yang terjadi hari itu. Damian memandangi tubuhnya. Dia tahu betul, jika Selena korbannya. Terlihat dari luka memar yang berada di seluruh tubuhnya. Yang mana selain memar berwarna ungu atau hijau, atau kebiruan, beberapa bercak merah yang dia tinggalkan beberapa hari lalu ternyata masih ada. Dan dia masih ingat di mana saja dia meninggalkannya. “Intinya, mereka memancingku lebih dulu. Membuatku merasa harus membela diriku. Aku tidak tahu apa yang mereka katakan padamu. Tapi, aku hanya melakukan perlawanan secara kata. Aku
Selena sedang menyiapkan makan malam untuk Damian malam itu. Menggunakan gaun yang menonjolkan perut hamilnya, Selena juga bertelanjang kaki di dapur. Ini sebenarnya pemandangan yang biasa. Namun, Damian merasa ngeri jika melihat Selena aktif melakukan kegiatan.“Kau tahu, bayinya seperti bisa lahir kapan saja dan sialnya itu sangat menggangguku. Bisakah kau diam dan istirahat saja?” tanyanya dengan khawatir. “Aku bosan. Aku sudah terlalu sering memanjakan diriku. Aku ingin tetap produktif. Aku merasa lebih lelah saat aku justru tidak produktif. Pikiran untuk produktif sangat menggangguku.” Damian menghela nafasnya dan mengurut pelan keningnya. Dia benar-benar tidak bisa menghentikan Selena jika memang itu yang Selena inginkan. “Kau ini...”“Mungkin karena ini anakmu, dia menginginkan aku lebih produktif seperti ayahnya. Dia membuatku resah jika diam. Makanya belakangan ini aku jadi sering memasak di dapur dan juga melakukan banyak kegiatan lainnya. Aku yakin anak ini akan jadi ana
“Sebaiknya tidak dihisap, mengerti? Karena itu akan mengundang kontraksi dini. Kau tidak mau itu terjadi, kan?” Dokter langsung menatap Selena, yang menjelaskan tentang air yang berasal dari dadanya. Dokter memperingatkan suaminya agar tidak menghisapnya. Namun, sepertinya itu telah terjadi. Melihat Damian sama sekali tidak menyangkal dan justru hanya diam dengan ekspresi kakunya. Lain dengan Selena yang langsung menyengir mendengar apa yang dikatakan dokter.“Baik, Dokter.” “Kau boleh berbaring di brankar, kita akan memeriksa kondisi bayinya sekarang.” Selena berbaring di brankar dan menatapi layar yang berada tepat di depannya. Dia memperhatikan layar saat dokter mulai menaruh gel dan mengusapkannya di sekitar perutnya, menimbulkan sensasi geli dan dingin yang membuat Selena sempat bergidik sejenak. Terlihat bagaimana bayinya saat ini tengah meringkuk. Dengan USG 3D yang mereka lakukan, mereka sekarang bisa melihat dengan
Selena menatapi perutnya yang semakin besar. Selain perutnya, dia bisa merasakan lengan dan kakinya semakin berisi. Belakangan ini dia memang lebih banyak makan. Selain berusaha memasok nutrisi terbaik untuk calon bayi, keinginan kuat untuk memakan makanan tertentu juga mendorongnya untuk banyak makan. Ditatapnya tubuhnya di cermin. Pipinya yang semakin tembam juga membuatnya semakin cemberut. Dia tidak ingin menyentuh timbangan kecuali diperlukan dan diminta dokter. “Perutku juga gatal,” keluhnya sambil mengusap perutnya dari balik gaun yang dia pakai. Selena belakangan ini juga lebih sering menggunakan gaun yang memang dikhususkan untuk wanita hamil, yang membuatnya merasa sedikit lebih bebas bergerak dan bahannya juga sangat nyaman. Damian yang baru saja menyelesaikan pekerjaannya di ruang kerja akhirnya kembali ke kamar. Dia menatapi pintu kamar yang terbuka, dan melihat Selena yang tengah bercermin di kamarnya. Damian tersenyum saat menge
Sesuai urutan pernikahan dan kehamilan, setelah Arsella, maka Grace yang melahirkan putri pertama mereka juga. Ini membuat Damian tengah menebak-nebak apa gender anak pertamanya bersama dengan Selena. Hingga mereka sempat membuat taruhan juga. “Jika sekarang tengah banyak anak perempuan yang lahir, maka aku yakin anak pertama kita juga perempuan. Baguslah, aku tinggal berdiskusi dengan mereka tentang bagaimana cara membesarkan anak perempuan. Aku yakin dia akan menjadi secantik dirimu,” ucap Damian. “Tapi dari bagaimana aku mengidam, aku jarang mau makanan pedas. Aku lebih tertarik dengan makanan asin, kelihatannya ini anak laki-laki. Mengingat keturunanmu juga sepertinya dominan laki-laki. Kita tidak tahu riwayat keluarga Axel, tapi Luca punya dua saudara perempuan,” jelas Selena. Damian mendesis pelan. Selena benar tentang riwayat keluarga dari pihak laki-laki juga akan mempengaruhi hasil ini.“Ingat pamanmu? Padahal Gallent mempunyai dua ana
Selena menoleh padanya dengan keheranan melihat semangat yang tiba-tiba pada Damian. Damian menutup pintu di belakangnya dan menatap Selena sambil bersandar ke pintu dan menyilangkan tangannya di depan dadanya. Selena keheranan dengan tingkah laku Damian belakangan ini. “Oh, ya... Itu bagus. Kau bisa mengikutinya kalau itu yang kau mau.” Selena mengangguk setuju. Damian menghela nafasnya dan mendekati Selena. Entah kenapa ini malah terasa seperti dia meminta izin Selena dan Selena mengizinkannya dengan mudah. Damian mendekat dan mendekap Selena dari belakang, membuat Selena hanya memegangi lengan Damian yang ada di lehernya. “Aku penasaran ada apa denganmu sebenarnya. Kenapa kau mendadak seperti ini?” tanya Selena. “Aku hanya merasa sepertinya kau akan suka jika aku bisa melakukan hal yang sama dengan apa yang dilakukan Axel. Kau sepertinya sangat bangga dan terharu melihat bagaimana Axel mampu melakukan hal kecil seperti itu,” ucap Damian.
Damian mengobrol dengan Axel serta yang lainnya di ruang tamu. Awalnya, mereka membahas tentang bisnis, namun perlahan obrolan mereka menuju ke arah yang lebih pribadi seperti rumah tangga mereka. Mereka membicarakan tentang istri dan anak-anak mereka bagi yang sudah punya anak. Ini sedikit asyik saat mendengarkan para ayah bicara tentang anak-anak. “Aku sempat berharap aku menikah di usia yang lebih muda lagi. Aku merasa sangat tua dalam pertemuan orang tua anak-anak di sekolah.” Salah satunya terkekeh. “Aku justru sempat berharap agar aku tidak menikah terlalu cepat. Anak laki-lakiku benar-benar sangat nakal. Dia benar-benar mirip aku sewaktu kecil. Dan istriku tidak bisa mengatasinya.”“Ah, ayolah. Dia itu putramu, kau yang seharusnya bisa mengatasinya.”“Aku belum selesai bicara. Aku memang sangat berusaha keras mengatasinya. Aku melakukan berbagai cara, dari yang lembut sampai yang kasar. Sampai dia pernah berteriak kalau aku ayah yang buru
“Jadi, bagaimana rasanya morning sickness? Apakah kau masih berharap kita akan punya banyak anak?” Selena tertawa sambil menatapi Damian yang terbaring di kasurnya itu. Damian hanya memalingkan wajahnya sambil mendengus keras. Kelihatannya dia sangat tersiksa untuk mengalami ini. Dia kemudian hanya tersenyum tipis ke arah Selena yang merawatnya. “Aku rasa dia akan menjadi anak tunggal sepertiku,” balas Damian sambil terkekeh pelan. “Aku juga anak tunggal.” Selena seketika tertawa namun terdiam dengan cepat.Sekarang Damian yang tertawa pelan melihat ekspresi Selena langsung berubah saat menyadari tentang Axel yang adalah kakaknya. Dia bukan anak tunggal dan semua orang tahu itu. “Aku ingin memakan sesuatu yang asin dan pedas,” gumam Selena tiba-tiba. “Apa kau mengidam? Ah, sial. Sepertinya aku tidak bisa memenuhi keinginanmu,” umpat Damian. “Kita bisa menggunakan layanan pesan antar, jadi kau tidak perlu pergi kelu
“Aku benar-benar tidak sabar melihatnya tumbuh besar di perutmu, lalu kita akan melihatnya dengan mata kepala kita sendiri bagaimana dia tumbuh di luar perutmu. Aku sangat menantikannya,” bisik Damian. Selena hanya terkekeh pelan dan bersandar dengan santai ke dada Damian. Damian menikmati rambut Selena yang menggelitik dadanya. Tangannya masih terus mengusap kulit halus Selena. Damian berdeham, dia merasakan sedikit rasa tidak nyaman di tenggorokannya dan juga perutnya. Kemudian, Damian menegakkan punggung Selena agar tidak bersandar lagi padanya dengan halus. Selena mengerutkan alisnya sambil menoleh ke arah Damian yang sekarang bangkit dari tempat duduknya. Itu membuat Selena keheranan saat Damian sudah keluar dari bak lebih dulu. Namun, Damian malah mengejutkan Selena dengan tiba-tiba muntah di wastafel. Selena langsung bangkit juga dan hendak menghampiri Damian. Selena mengambil jubah mandinya memakainya, lalu mengambilkan punya Damian juga. Itu sa
Damian langsung menatap Selena saat menyadari Selena menatapnya. Dia sedikit gelagapan karena terlalu fokus pada gambar bayi mereka. Damian seharusnya lebih memperhatikan sekarang. “Oh, ya. Biji wijen yang lucu,” ucapnya seadanya. Selena dan dokter tertawa. Damian mengerutkan alisnya, tak tahu apa yang lucu dari ucapannya. Meski begitu, dia kemudian hanya menatap keduanya keheranan saja. Setelah mengobrol dan berkonsultasi, mengajukan banyak pertanyaan dan dokter menjawabnya dengan sabar, Selena dan Damian akhirnya keluar dari ruangan itu. Rumah sakit seharusnya menjadi tempat yang sangat aman dari berbagai kejadian berbahaya sebelumnya. Tapi, tanpa Selena sadari, anak buah Damian sudah berjaga-jaga di luar rumah sakit. Mereka semua sudah seperti mengawal presiden yang melakukan kunjungan ke sebuah rumah sakit. Setelah dari rumah sakit, Damian membawa Selena pulang dan menyuruhnya istirahat saat dia sendiri harus melakukan pekerjaann