“Oh, Nona! Apa yang terjadi di sini?!” Ricko memekik dan segera membantu Selena berdiri.
Ricko dengan sengaja sedikit menyingkirkan orang-orang yang berusaha menyentuh Selena itu. Ricko segera membantu Selena berdiri dan menatapi orang yang ditatap Selena dengan penuh kewaspadaan, yang membuat Ricko sadar pria itu adalah orang yang menyerangnya.“Nona, kau baik-baik saja? Dia menyerangmu?” Ricko menatapnya dengan cemas.“Iya, dia tiba-tiba mendekatiku dan menyentuhku. Aku menepisnya dengan kasar karena dia menyentuhku tanpa izin. Namun, dia tidak terima dan malah menarik rambutku,” jawab Selena.Ricko membantu Selena berdiri dan menuntunnya untuk duduk di salah satu kursi. Pria yang menyerang Selena barusan mendekati Ricko dengan sempoyongan.Selena bisa melihat raut wajah Ricko yang biasanya hangat dan murah senyum berubah menjadi gusar dan begitu marah. Ricko berbalik, membelakangi Selena dan menghantam wajah pria yang menyerangnyaDamian menarik tangan Selena, menuju ke lift. Dia tidak melepaskannya meski Selena sudah memintanya. Selena menggerutu di belakangnya, dengan bibirnya yang ditekuk. “Lepaskan aku! Aku mau pulang! Aku tidak akan menginap di sini, aku belum bilang pada kakek dan nenek. Nanti mereka mencariku,” cicit Selena sambil menatapi punggung Damian. “Oh, ayolah. Kau bukan gadis kecil lagi yang akan dicari begitu kau tidak pulang pada waktunya.” Damian membawa Selena memasuki lift dan Selena sempat menahan dirinya di pintu lift, memegangi dinding di sekitarnya. Itu membuat Damian mendesah sambil memutar matanya. Sedetik kemudian, Damian membuat tangan Selena berada di atas kepalanya dan Selena dijepit ke dinding dalam lift. Damian menyeringai melihat ekspresi wajah Selena yang terlihat kaget. Pria itu menekan salah satu tombol angka dan membuat mereka menuju ke lantai yang dituju. Damian tersenyum sambil terus menahan Selena di tangannya, tangan k
Tangan Selena meremas kemeja Damian begitu Damian menahan kepalanya untuk terus berada dalam posisi yang sama. Selena tak memberontak sama sekali, dia menikmatinya sebagaimana Damian menikmatinya juga. Keduanya larut dalam bertautan lidah. Sesekali mata mereka terbuka, bergantian hanya untuk saling menatap wajah satu sama lain. Dan begitu mata mereka akhirnya bertemu di detik yang sama, perlahan mereka saling menarik diri. Nafas mereka memendek untuk sesaat. Rambut Selena berantakan lagi akibat tangan Damian. “Aku merindukanmu,” bisik Damian sambil menatapi Selena dan mengusap rambutnya. “Kupikir aku juga merindukanmu. Aku awalnya tak merasakan apa pun. Tapi aku sangat senang bertemu denganmu.” Selena tersenyum mengakuinya. “Baiklah, sekarang waktunya aku mendapatkanmu. Aku belum menyentuhmu dalam waktu yang lama. Itu sangat menyiksaku,” goda Damian sambil melepaskan kancing kemejanya. Tangan Damian yang satunya tetap mendekap Selena
“Sebenarnya, aku tidak tahu berbedaan kau bercanda atau serius. Kadang semua yang kau lakukan seperti bercanda tapi kau serius. Kadang juga kau seperti serius padahal tengah bercanda. Aku benar-benar tidak bisa membedakannya,” jawab Selena. Damian membuka lutut Selena, dia berada di antara kedua kaki Selena. Damian membuka pengamannya di depan Selena dan menatapi Selena yang kelihatannya meragukan dirinya. “Apa kau tengah meragukanku?” Damian menghentikan gerakannya dan menatapi Selena. Selena meneguk ludahnya, memperhatikan pria yang duduk di antara kakinya itu. Selena menghela nafasnya panjang, hingga perutnya gemetar dan Damian bisa melihat itu. “Aku bukannya meragukanmu, aku hanya...” Damian segera bangkit dan kembali ke tasnya. Entah apa yang dia lakukan kali ini. Selena menoleh ke arah Damian lagi, memperhatikan apa yang dilakukan Damian dari tempatnya berbaring. Damian kembali lagi ke tempatnya, duduk di antara kaki
Damian semula tak memperhatikan Selena yang bangkit dari kasur dan memungut pakaian yang berserakan. Dan saat Selena menggunakan salah satu pakaian itu, Damian sadar jika itu kemejanya, yang berukuran besar di tubuh Selena. Selena mengancingkannya dengan asal. “Bukankah itu milikku?” Damian terkekeh pelan. “Oh, ini sepertinya kemejamu. Aku akan memakainya sebentar, kok. Soalnya aku tidak punya pakaian bersih di sini. Untungnya aku menyimpan pakaian di lokerku.” Damian memperhatikan Selena yang berjalan mendekati buket bunga dengan kaki yang terbuka seperti itu. Sebenarnya pemandangan biasa melihat Selena dengan rok pendek, hanya saja ini berbeda karena kemeja Damian agak tembus pandang dan membuat Damian tergoda untuk menatapi tubuh Selena dari balik kemejanya itu. Apa lagi saat puncak dadanya Selena tercetak jelas di kemejanya. Dia tahu, dia baru saja keseluruhan tubuh Selena tadi malam. Hanya saja, penampilan Selena saat ini menggodanya lagi
Selena merapikan rambutnya sambil berjalan dengan tenang seperti biasanya. Suasana hatinya sedang bagus karena Damian dan bagaimana pria itu mengekspresikan kasih sayangnya pada Selena. “Kau tidak melewati pintu depan?” Renata adalah orang yang sekarang tengah berjaga di bagian administrasi, menatapi Selena yang baru saja melakukan absen sidik jari tak jauh darinya. “Aku menginap di sini malam ini,” jawab Selena sambil terkekeh pelan ke arahnya. “Kau menginap di griya tawang?” tanya Renata sambil melebarkan matanya. “Uh... tidak. Sebenarnya, ada pacarku yang menyempatkan bermalam di sini. Jadi, aku bermalam bersamanya. Ah, aku lupa tentang penthouse. Benar juga, aku seharusnya tidak perlu menyewa kamar dan justru menikmati fasilitas khusus,” gumam Selena sedikit menyesal. “Tunggu, siapa sebenarnya pacarmu?” tanyanya dengan penasaran sambil mengecek tamu yang sudah check-out. Selena hanya mendekatinya dan tersenyum. Selena m
Selena melebarkan matanya saat melihat Yohan yang ada di sana, dia bersama dengan keluarganya sedang bermain golf. Selena tersenyum ke arah seorang wanita muda yang menatapnya. “Jadi, kau adalah cucu keluarga Gallent, ya? Wah, senang rasanya bisa bertemu denganmu! Aku Emma, aku kakaknya Yohan. Yohan sudah bercerita tentangmu sedikit,” sapanya dengan ramah. Selena tersenyum dan menganggukkan kepalanya. Meski dia tampak sedikit bingung kenapa Yohan menceritakan tentang dirinya kepada keluarganya, terutama kakaknya. Itu membuatnya sedikit tersipu karena lebih dikenal oleh orang lain saat ini. “Aku Selena,” ucap Selena tak luput dari senyumnya sama sekali. “Seperti yang Yohan bicarakan, kau tampak cantik dan manis.” Seorang pria tua terkekeh, suara rasanya terdengar seperti uang kertas yang bertebaran di sekitarnya. “Seperti yang Yohan bicarakan?” Selena tak bisa menghilangkan senyumnya, namun jelas dia bingung dengan situasi dan kondisi
Ternyata benar, tentang proyek yang tengah dikerjakan Damian berupa sebuah galeri seni. Dan malam itu, Damian tengah memperkenalkan galeri seni miliknya guna mengundang investor dalam proyeknya tersebut. Diketahui kalau sebenarnya tempat acaranya ada di pinggir kota. Hanya saja, karena terjadi kesalahan dan bentrokan, acaranya dialihkan ke hotel Gallent. “Apa kubilang.” Axel menatap Selena dengan tatapan penuh kemenangan. Selena mendengus, mengetahui kalau dirinya kalah taruhan. Dan dia harus mendiami Damian selama tiga bulan setelah ini karena taruhannya. Dia tak tahu bagaimana jadinya nanti, tapi membayangkan itu membuatnya merinding. Reaksi Damian pasti sangat mengerikan. Gadis itu memperhatikan Damian yang sangat berwibawa di panggung. Cara bicaranya yang sama sekali tidak terpotong membuat Selena terpana. Ini pertama kalinya, Selena menghadiri acara seperti ini. Belum lagi, orang-orang di sekitarnya terlihat sangat luar biasa. Begitu Dami
Selena berkenalan dengan cukup banyak orang dalam satu malam. Dia berkenalan dengan orang-orang penting karena Damian yang mengajaknya berkeliling menemui mereka. Dia jadi dikenal banyak orang juga, sekaligus mengenal banyak orang. Dia mulai memiliki jaringannya. “Mereka menghasilkan perabotan rumah tangga dengan kualitas yang sangat bagus. Kau pasti pernah melihat beberapa label mereka di mansion,” ucap Damian. “Ah, aku memang melihatnya. Semuanya terasa sangat nyaman,” timpal Selena. “Kalian tampak serasi. Apakah kalian belum memikirkan untuk segera menikah?” Pria yang sebelumnya tengah dipuji Damian karena produknya itu terkekeh pelan. “Ah, bukankah aku yang harusnya bertanya demikian. Usia kepala tigamu sudah berjalan setengahnya, bukankah kau yang seharusnya menikah lebih dulu?” balas Damian. Mereka tertawa. Selena memperhatikan bagaimana tawa Damian yang terkesan tenang. Dia juga berusaha untuk menjadi pribadi yang lebih tenang