'Mampus aku!'"Sebenarnya aku memang sudah datang, tapi baru sampai depan. Kita berpapasan di area parkir tapi kamu nggak melihatku," jelas Genta panjang lebar. Terdengar berbelit-belit tapi dia harus memberi alasan sebelum Bening curiga. Bening mengangguk ragu. "Tapi emangnya kaca mobil Mas Galih terlihat dari luar sampai kamu bisa melihat Mbak Janeta." Dia tidak pernah menyadarinya. "Tentu saja. Lain kali aku akan menepati janjiku untuk makan bersama. Aku masuk dulu! Om Junar pasti marah kalau menunggu lama," ucap Genta mengalihkan perhatian. Bening tidak bisa menolak permintaan itu. Dia hanya perlu mengangguk dan mempersilahkan sang tamu untuk datang melapor pada atasannya. Bening sudah mengetahui apa yang akan mereka bicarakan. Tentu saja masalah launching tas kedua. Bening belum membuat sketsa gambar. Satu detailpun belum terpikirkan. Masalah dengan suaminya kemarin sempat membuat dia kesulitan berkonsentrasi. Dengan berbekal tekad kuat, wanita itu akhirnya memulai langkah pe
"Kamu mau apa?" tantang Janeta pada Genta. Dia tidak takut. Selama dia ada di tempat umum, Genta tidak akan bisa melakukan sesuatu yang buruk padanya. "Bersenang-senanglah. Apalagi? Yang memulai permainan kan kamu, Mbak. Aku hanya melanjutkan," tandas Genta. Ruangan yang lebih mirip gudang itu penuh dengan debu. Bau busuk menyengat hidung mereka namun sama sekali tidak membuat Genta terpengaruh. Pria itu memaksa wanita itu untuk membuka pakaiannya, lebih tepatnya menarik paksa hingga bra berwarna merah itu terlihat samar. Andai saja di sana ada lampu penerangan, mungkin Genta bisa melihat bagaimana indahnya milik Janeta itu. "Diam, mbak! Mau sekeras apapun teriak, nggak akan ada gunanya. Lagian di sini gudang. Mana ada yang mau ke tempat begini?" tegas Genta. Dia mengambil kesempatan untuk mengikat kedua tangan Janeta ke belakang, ditariknya kursi kotor di sana. Dengan kasar dia mendudukkan wanita itu di permukaannya. "Sialan! Setidaknya berikan tempat yang bagus!" umpat Janeta.
Genta menegang. Untuk melihat apakah dia masih berpijak pada bumi saja dia tidak yakin. Wanita itu ... tentu saja sudah dia lihat kemarin, tapi kenapa tiba-tiba muncul?"Kamu ... siapa?" tanya Genta setelah menutupi kecemasannya. Dia bersikap spontan dengan tidak mengetahui siapa Janeta.Janeta terkekeh kecil, dia tidak menyangka Genta bisa bersandiwara. Wanita itu tergelitik untuk menyindirnya. "Aku? Oh, kamu nggak kenal aku ya? Tapi kenapa aku merasa pernah mengenal kamu?""Mana mungkin? U-usia kita jauh beda. Lagi pula aku juga baru melihatmu," elak Genta. Janeta lagi-lagi terkikik, "Oh ya? Kalau begitu, kenalkan!" Wanita itu mengulurkan lengannya. Bening menyambut ucapan Janeta dengan pertanyaan memojokkan. "Kenapa mbak bisa ada di sini?"Janeta sampai harus memutar matanya karena dia selalu disela oleh pertanyaan yang tidak enak didengar. "Kamu nggak bisa lihat aku sedang mengenalkan diri?"Bening serta merta melirik Genta yang masih bergeming. Pria itu seakan tidak ingin menan
"Masalah tadi," sergah Genta. Dia mencoba menjelaskan melalui tatapan matanya bahwa mereka tidak punya hubungan apapun. Bening tampaknya percaya dengan penjelasan Genta karena wanita itu hanya mengangguk. "Emangnya kenapa dengan masalah tadi, Pak?""Begini..,""Pak Genta setuju untuk memakaiku sebagai model. Benar begitu kan, Pak?" tanya Janeta pada pria yang sejak tadi diliputi oleh rasa kecemasan. Genta menoleh. Dia sangat yakin saat ini Janeta sedang berusaha untuk mengancamnya. Dia tidak bisa berbuat apa-apa kecuali mengiyakan ucapan Janeta. "Benar."Bening agak terkejut karena Genta bisa berubah pikiran secepat itu. "Kalau begitu aku akan bicara sama mereka untuk melanjutkan pemotretan ini. Sementara mbak Janeta harus pergi ke ruang make up untuk ditouch-up."Janeta mengangguk. Bening lebih dulu kembali ke tempat pemotretan tadi sementara Janeta masih diam di sana. "Aku lihat kamu sangat mencintainya. Jangan coba-coba lagi apa untuk melakukan sesuatu karena aku bisa saja memboc
Bening kelabakan. Dia tidak tahu kenapa dirinya harus pusing dengan berita Genta. Tidak lama setelah Galih menutup teleponnya, Bening segera membuka internet. Laman media sosial yang menyediakan semua berita terkini di belahan dunia manapun tampaknya sedang ramai membicarakan satu nama.Genta, sang pebisnis yang baru saja merambah dunia fashion. Namanya bahkan menjadi trending satu dalam pencarian.Satu web yang khusus membicarakan masalah yang sedang viral di media sosial, entah karena sang pemilik web ingin cepat terkenal atau apa, dia sering membagikan postingan berbau negatif untuk menggaet pembaca. Lalu, semua orang akan dialihkan ke aplikasi lain dengan alih-alih mendapatkan penjelasan secara jelas.Bening membaca judul berwarna bold itu. "Sang pebisnis muda ternyata memiliki masa lalu kelam."Maksudnya apa? Bening tahu siapa Genta, mana mungkin pria itu punya sisi gelap yang tidak dia ketahui. Selama tiga tahun bersama di sekolah menengah atas, pria itu tidak melakukan sesuat
"Kamu pikir keperawanan kamu sangat berharga sampai kamu harus melibatkan orang lain? Kalau kamu berpikir begitu, Kamu salah besar. Kalau bukan karena terpaksa aku nggak akan pernah mau melakukan itu sama kamu," tandas Genta. Mulut kejamnya pasti membuat Janeta sakit hati. Tapi dia tidak peduli. Semua masalah ini merebak karena ulah wanita satu itu. "Kenapa kamu masih bisa pulang ke Indonesia? Harusnya kamu malu. Ngaca! Sekali-kali amati wajah kamu. Dari dulu kamu nggak ada bagus-bagusnya. Hanya bermodalkan keperawanan dan usapan menjijikan kamu," lanjut Genta. Emosinya sudah tidak bisa terkontrol. Lagi pula hubungannya dengan Janeta tidak baik, jadi tidak alasan untuknya bersikap lunak. Alih-alih menggunakan emosi, Janeta justru tersenyum geli. Dia mengangkat bahunya, lalu memiringkan kepalanya. "Kamu yakin dengan ucapan kamu itu? Usapanku menjijikkan? Benarkah? Kalau menjijikkan kenapa kamu datang waktu aku mengirim pesan?"Wanita itu beralih pada pintu rumahnya. Dia menguncinya b
Fitri merasa terpojok karena ucapan Janeta. Dia tetap ingin mempertahankan kesombongannya tapi kenyataannya wanita di depannya, bukan lagi wanita yang dulu dengan mudahnya bisa dia hempaskan dari kehidupan Genta. "Siapa bilang saya mengakui? Saya hanya mengatakan hal yang kamu yakini daripada nantinya kamu sibuk mengumbar aib kamu sendiri."Janeta menyadarkan punggungnya pada kursi besi yang dia duduki, tatapannya penuh ejekan. "Apa Genta sudah cerita pada anda kalau anaknya sudah siap untuk melakukan tes DNA? Harusnya ada senang dong karena sebentar lagi akan bertemu cucu. Bukannya bagus? Bertemu cucu kandung tapi usianya sudah hampir tujuh tahun. Anda tidak perlu repot-repot membeli popok atau menyiapkan susu hangat. Wah, kalau saya hitung dari awal kehamilan saya, harusnya uang segini tidak akan cukup."Janeta menyodorkan kembali amplop putih yang diberikan oleh Fitri padanya. "Haruskah saya menghitung ulang dari awal? Em, kalau saya harus menerima timbal balik atas kebodohan anak
Dilihat dari sudut pandang keterkejutan Genta terhadap nominal sebesar itu, kemungkinan besar pria itu tidak tahu apa yang dilakukan oleh mamanya. "Iya. Lima ratus juta. Kamu tahu?" ulang Galih. Dia memutuskan untuk duduk karena menganggap pembicaraan mereka akan menjadi lebih serius. Genta sempat terkejut karena ulah mamanya tapi dia tidak ingin menunjukkan lebih jauh lagi. "Oh itu? Aku memang menerima uang sebanyak itu kemarin. Kupikir mama memang sedang beruntung karena bisa dapat uang secara cuma-cuma. Harusnya aku sadar sih kalau mama pasti akan berjuang mati-matian untuk mendapatkan uang itu."Genta sedang memutar otak, mencari alasan yang pas. Ucapannya meluber kemana-mana, arahnya juga tidak jelas. Pria itu akhirnya menemuimu satu jawaban yang bisa memuaskan pamannya."Untuk apa uang itu? Bukannya..,""Oh, aku sudah mengambil kontrak kerjasama dengan perusahaan lain.""Kontrak? Perusahaan apa?" tanya Galih penasaran. "Itu ... perusahaan properti. Om. Sekarang kan sedang mus
"Mas, tolong ambilkan popok untuk Daryl. Tumben hari ini sudah ganti tiga kali," ucap Bening sedikit berteriak pada Galih. Bening dan Daryl ada di ruang keluarga sementara Galih sedang sibuk di dapur untuk membuat salad sayur. Melihat postingan seseorang di media sosial membuat lidahnya bergoyang. "Beli kan bisa, Mas. Ngapain kamu repot-repot bikin?" tanya Bening siang tadi ketika suaminya meneleponnya."Nggak. Pokoknya aku mau homemade. Nanti pulang dari kantor aku langsung mampir ke supermarket untuk beli bahan-bahannya. Kamu mau nitip sesuatu? Buah-buahan di kulkas masih banyak?""Masih, Mas. Eh, tapi aku mau anggur ya. Belikan yang manis.""Makannya sambil lihat aku nanti juga manis, Sayang.""Ish, benar-benar.""Tunggu aku ya. Aku nggak lembur kok. Nanti kita makan malam sama-sama," ucap Galih dengan cerianya. "Siap, laksanakan!""Biar saya saja yang ambilkan popok, Tuan," sela asisten rumah tangga mereka. Galih mengiyakan, "Terimakasih, Mbak. Ternyata membuat salad sayur ngga
"Kalau ada yang bilang kado ini kurang mahal, berarti orang itu udah gi—nggak punya pemikiran untuk hemat," keluh Bening sembari menggelengkan kepalanya. Dia hampir saja salah bicara. Mana mungkin dia mengatakan suaminya gila? Yang ada dia diceramahi habis-habisan."Nggak apa-apa, Bening. Sekali-kali. Lagi pula Genta adalah keponakanku dan aku wajib memberikan kado istimewa."Bening mengangkat kunci yang diberi gantungan berbentuk salju itu ke depan wajahnya, "Ini kompleks perumahan atau apartemen, Mas?""Perumahan. Lokasinya nggak jauh dari rumah Tante Fitri jadi biar mereka bisa sering-sering main."Satu-satunya perumahan yang paling dekat dengan rumah Fitri adalah perumahan elite. Bening tahu berapa harganya karena dulu sekali dia pernah ditawari untuk membeli satu unit sebelum tempat itu dibangun. Niat hati Bening dan Genta ingin mengambil salah satu unit yang letaknya paling strategis karena dengan cara itu mereka bisa menabung bersama untuk mendapatkan rumah mereka sendiri. Sa
"Sinta. Suster Sinta," jawab Genta memperkenalkan sang calon istri. Galih terperanjat. Dia pernah mendengar nama itu di suatu moment. Tapi dimana? "Oh, saya ingat sekarang. Anda perawat di rumah sakit waktu itu kan?"Wanita bernama Sinta itu mengangguk sembari tersenyum. "Perkenalkan, saya Sinta, suster yang pernah merawat anda dan Mas Genta."Uluran tangan itu disambut oleh Galih dan Bening. "Duh, sudah manggil Mas," goda Bening. Dia berkedip manis pada Genta.Genta tampaknya salah tingkah. Dia tidak bisa berkata-kata. Hanya saja pandangannya condong ke arah Sinta sejak tadi. Pria itu menunjukkan perasaannya yang sesungguhnya. "Masuk, Sinta! Kita ngobrol bentar sebelum makan malam," ajak Karisma. Dia membawa calon keluarga besar mereka menuju ruangan yang dipenuhi banyak orang. Sinta melupakan sesuatu, dia kembali pada Bening sembari memberikan paper bag lumayan besar. "Untuk baby Daryl. Semoga jadi anak yang selalu dibanggakan oleh orang tuanya. Saya turut senang."Bening menyun
"Gimana kalau Lingga Daryl Putra Galih.""Bagus, Mas. Aku suka.""Nama panggilannya Daryl."°°°Munculnya bayi mungil tampan yang sudah dinantikan banyak orang, tak urung membuat suasana rumah menjadi lebih berwarna. Kediaman rumah Galih tidak pernah sepi karena setiap hari sang nenek pasti akan datang bergantian. Entah itu moment dimana Karisma membawakan seperangkat alat makan yang normalnya digunakan anak usia lima tahun. Belum lagi Tiara yang menggunakan kesempatan emas itu untuk mendandani sang cucu dengan pernak-pernik kerajaan.Bening harus merelakan sang anak dimanja oleh para neneknya. Wanita itu hanya punya kesempatan untuk menggendong sang bayi ketika beranjak tidur."Duh, Daryl sayang, kenapa sih kamu nggak mau tidur sama nenek. Biar mama kamu lebih santai," keluh Karisma. Seharian wanita paruh baya itu sibuk menggendong Daryl sampai mamanya geleng-geleng kepala."Mamanya sudah terlalu santai, Nenek Sayang," jawab Bening seolah Daryl yang menjawab. Dia membawa satu nampan
Dokter wanita itu tersenyum, "Benar, Bu. Usia kandungannya sudah tujuh minggu. Selamat ya, Ibu. Kalau ada keluhan apa-apa bicara pada saya, saya akan meresepkan obatnya."Bening speechless. Dia tidak bisa berkata-kata. Yang dia lakukan hanyalah mengusap perutnya yang bahkan tidak dia ketahui ada keberadaan seorang bayi di dalam sana. Dia merasa tidak pernah mual di pagi hari. Semuanya baik-baik saja. Apa dia tidak normal?"Apa nggak mual nggak apa-apa, Dok?" tanya Bening. "Morning sickness? Tidak masalah, Bu. Semua kehamilan memiliki keluhan sendiri-sendiri. Ada yang mual di pagi hari sampai trimester kedua, ada yang tidak mual sama sekali sampai trimester tiga. Nanti kita pantau dulu apakah ibu mengalami gejala kehamilan yang bagaimana. Ada yang mau ditanyakan lagi, Bu? Kalau tidak saya pamit ke ruang sebelah ya. Masih ada pasien lain yang belum saya tangani.""Apa dokter menghubungi suami saya?" tanya Bening cepat. Pasalnya dia tidak melihat ponselnya ada dimana. Apalagi tas yang d
"Bukan tiba-tiba, Pak. Saya sudah memikirkannya matang-matang. Saya ingin jadi ibu rumah tangga yang baik," ucap Bening dengan senyuman manisnya.Junar merespon dengan kening mengerut, "Kamu yakin?""Yakin, Pak. Saya sudah terlalu lama menjadi wanita karir. Saya mau istirahat dan menikmati hidup saya sebagai istri yang baik. Lagi pula suami saya kaya, Pak. Saya bisa minta uang sama suami saya," canda Bening. Dia sudah memikirkannya matang-matang sejak insiden yang terjadi pada Genta. Hidup itu jika dipikirkan hanyalah sebagai permainan. Kadang naik ke permukaan, kadang turun sampai ke dasar, kadang juga hilang tanpa bekas. Bening hanya tidak ingin melewatkan moment emas kebersamaannya dengan Galih. Junar tidak bisa berbuat banyak. Bening pasti sudah menimbang secara matang keputusannya. "Kamu tahu kan kalau kamu harus cari pengganti dulu sebelum kamu pergi?"Bening mengangguk, "Saya sudah pasang iklan, Pak.""Wah, ternyata kamu bersungguh-sungguh," komentar Junar dengan gelengan kep
Tanpa pikir panjang Bening menarik Genta ke dalam pelukannya. Penampakan wajah Genta mengerikan, bukan seperti Genta yang dia kenal. Pria itu kacau, sangat kacau.Bening tidak tega meninggalkannya sendirian. Dia membawa Genta masuk. Hampir saja kakinya terkena pecahan kaca kalau Genta tidak menahannya."Hati-hati," gumam pria itu tanpa sadar. Bening menahan napasnya ketika melihat ruangan itu amburadul dengan barang-barang berserakan. Entah botol parfum yang pecah atau benda-benda bertebaran tanpa terlihat mana bagian-bagiannya. Semuanya kacau balau. "Duduklah! Aku cari obat merah. Mukamu kenapa jadi begini?" tanya Bening sendu. Ada beberapa goresan melintang yang entah disebabkan karena apa. Genta menahan gerakannya, pria itu justru menenggelamkan kepalanya dalam bahu Bening. "Di sini saja. Jangan kemana-mana."Bening tidak punya pilihan lain selain mengiyakan. Pelukan itu mengerat seiring dengan tangisan tanpa suara Genta. Bening menepuk bahunya, menenangkan meskipun dia tidak y
"MERRY!" Genta berlari menghampiri Merry yang terbaring di bawah meja setelah pria itu melempar reruntuhan almari yang menghantam tubuhnya. Rasa sakitnya bahkan tidak sepadan ketika melihat sang mempelai wanita terkapar dengan darah dimana-mana. Genta bersimpuh di samping Merry, membawa kepala wanita itu ke atas pangkuannya. "Bertahanlah! Aku akan memanggil ambulans."Tatapan sendu Merry masih bisa terekam jelas di mata Genta. Pria itu meraung, mengumpat pada keadaan yang membuat dia tidak bisa menghubungi ambulans. Ya Tuhan, jemarinya tidak bisa bergerak. Tangannya sudah tidak mau berkompromi dengannya. Alhasil pria itu hanya memerintah pada pegawai butik yang masih bisa menyelamatkan diri."TELEPON AMBULANS!"Genta tidak sanggup melihat gaun yang tadinya berwarna putih broken white itu kini telah menjelma menjadi kemerahan. Matanya memanas, seiring dengan sentuhan pelan pada lengannya.Tatapan mata penuh cinta Merry menyapanya. "Ma-af," lirih Merry. Genta belum menjawab apa-apa
"Setelah Merry sempat dilecehkan dulu, dia mengalami trauma. Dia takut ditinggalkan dan tidak mau meninggalkan pria yang sudah serius dengannya. Kami sudah membawanya ke psikiater dan hasilnya sudah jauh lebih baik. Karena itulah aku ingin memberikan kesempatan entah keberapa kalinya pada Merry untuk hidup lebih baik. Tapi ternyata dia sangat mencintai Genta sampai tidak rel melepaskannya," jelas Ajik. Dia menghela napas kasar. Raut wajah cemasnya sudah lebih dari cukup untuk membenarkan ucapannya. Genta terdiam. Dia mencoba memahami alasan Ajik. Biar bagaimanapun adiknya tetap anggota keluarga yang harus dilindungi. Berbeda dengan pamannya yang langsung bicara, menjawab penjelasan Ajik. "Aku turut prihatin tapi semua keputusan tetap pada Genta." Lalu Galih menoleh pada keponakannya."Gimana, Genta? Apa kamu mau menerima Merry? Aku akan berusaha membuat dia berubah. Dia pasti menurut untuk berobat ke psikiater lagi kalau kamu yang meminta," bujuk Ajik. Satu-satunya jalan untuk membu