'Om Galih' desis Bening dalam hati. Makan malam yang baru berlangsung selama lima belas menit itu membuat Bening tersiksa. Bagaimana tidak? Jemari pria itu tidak kunjung mau berhenti menggodanya. Entah itu naik ke paha atau bahkan menyelinap ke balik punggungnya. Padahal di depan mereka pasangan suami istri yang sudah lumayan berumur itu sedang sibuk menjelaskan bagaimana mereka bisa berhasil dalam bisnis perhotelan. Bening tidak pernah tahu bahwasannya suaminya bisa menggodanya begitu. Selama ini Galih tidak pernah berbuat macam-macam padanya. Mencium juga jarang dilakukan. Mungkin gara-gara kesenangan yang tertunda tadi akibat kiriman bunga dari klien di depan mereka itu, membuat suaminya menjadi salah tingkah."Jadi, saya berharap ke depannya kita bisa membuat kerjasama lagi, Pak Galih. Saya berharap besar pada hubungan bisnis kita," ucap pria bernama Erhan yang sangat suka menyentuh kumis tipisnya.Galih tersenyum mengiyakan. "Saya sangat setuju. Apalagi kalau setiap keberhasila
"Bening, maaf ya? Malam ini kita harus pulang," ucap Galih menyesal.Bening tersenyum maklum, "Nggak masalah, Mas. Kondisi mama jauh lebih penting dari pada memikirkan kesenangan kita. Kata dokter tadi gimana? Baik-baik saja kan?""Baik. Darah tingginya yang kumat.""Em, sepertinya mama banyak pikiran, Mas," tukas Bening mengira-ngira."Sepertinya begitu. Entah apa yang mama pikirkan.""Apa mungkin kita, Mas?"Galih berhenti melangkah, dia memeluk pinggang istrinya, "Mana mungkin? Kita sudah sebagai ini, Bening."Bening tersenyum malu, "Kamu benar, Mas.""Ayo, kita jalan lagi! Kita beli beberapa makanan dan buah.""Iya, Mas."°°°"Semua ini gara-gara kalian," sentak Karisma begitu melihat Galih dan Bening datang dengan banyak barang yang baginya tidak penting. Bening sudah menduga bahwa Karisma akan bicara begitu. Galih menenangkan istrinya dengan menggeleng pelan. Dia yang akan bicara pada Mamanya. Kresna menghampiri Bening, mengajaknya bicara empat mata di luar. "Mau kemana kalian
Michelle, entah kenapa begitu sebal melihat Bening. Padahal Bening bukan orang yang bisa dia injak seenaknya. Hinaan yang dia dapatkan karena didepak dari perusahaan Galih yang notabene lebih besar dari perusahaan Junar, membuat dia tertekan. Dia berusaha menyembunyikan rasa malunya. Dia pikir dia bisa hidup dengan bertahan di sana selama satu tahun, tapi kenyataannya dia tidak sanggup. Junar bukan tipe bos yang mudah diajak kerjasama. Justru Galih yang meskipun sering mengomel tapi sifatnya jauh lebih manusiawi. Ketegangan di hatinya semakin meningkat ketika melihat Bening datang ke Perusahaan Junar dengan tampang tidak bersalah. Lebih menyebalkan lagi saat Bening membalas ucapan kasarnya dengan senyum lembutnya. "Maaf, gara-gara saya kamu jadi kesulitan," ucap Bening. Dia sama sekali tidak marah, justru dia senang karena Michelle marah dengannya.Michelle kehabisan kata-kata. Seandainya Bening membalas dengan sama kejamnya, dia bisa dengan mudah menarik rambut wanita itu. "Sia
"BENING!" Teriakan Galih teredam oleh suara pengunjung yang lain yang juga terkejut melihat insiden itu. Bening sempat menutup matanya Sampai akhirnya dia membuka kelopak matanya itu dan mendapati seseorang bertubuh tinggi sedang menatapnya dari atas. Tubuh pria itu mencondong ke arahnya sementara tangan kanannya menggenggam gelas yang bisa saja meluncur ke kepalanya.Uluran tangan pria itu membuat Bening bangkit. Mereka saling diam untuk beberapa saat sebelum akhirnya Galih mengambil alih tangan istrinya."Kamu nggak apa-apa?" tanya Galih cemas. Diperiksanya seluruh tubuh Bening dengan khawatir. "Nggak ada yang luka kan?"Bening menggeleng, dia cukup terkejut tapi sebatas itu. Lalu wanita itu mengalihkan pandangannya pada pria yang menolongnya tadi. "Terimakasih, Genta."Genta berusaha tersenyum tapi dia kesal melihat sikap Galih yang begitu protektif pada Bening. Padahal dia yang menolong mantan kekasihnya itu. "Kenapa Om selambat itu? Gimana kalau terjadi sesuatu pada Bening?" Sem
"Tapi hubunganku dengan Genta bukan mimpi, Mas. Kenapa Mas masih saja cemburu?""Aku juga nggak ingin cemburu tapi kamu yang membuatku selalu cemburu. Kenapa kamu masih ingat dengan kesukaan Genta? Kenapa? Apa nggak ada hal lain yang bisa kamu ingat dariku?" tanya Galih berapi-api. Dia tersulut emosi yang tidak memiliki tujuan. Padahal biasanya dia selalu bisa mengontrol emosinya dan jarang mengungkit masalah Genta. Bening yang sejak tadi duduk kini memilih untuk berdiri, "Aku ingat kamu suka semua makanan, Mas. Kamu juga selalu bersikap manis padaku. Kamu yang lembut, kamu yang terkadang bawel kalau aku melakukan kesalahan. Apa itu masih kurang cukup?""Itu bukan hal spesifik. Orangtua kamu juga akan berbuat begitu kalau kamu melakukan kesalahan," elak Galih."Maksudnya aku memposisikan diri sebagai anak kamu, Mas?""Benar. Kamu belum melihatku sebagai seorang suami. Kamu masih beranggapan aku hanyalah paman dari mantan kekasihmu. Aku hanya orangtua yang kebetulan menyukaimu," tanda
"Kamu yakin mau merambah dunia fashion. Nggak salah?" tanya Erika. Dia mendatangi Genta begitu dia mendengar kabar bahwa Genta ingin bekerja sama dengan perusahaan besar yang dia tahu perusahaan yang menampung mantan kekasihnya.Genta mengangguk, dia meminta Erika untuk duduk di sampingnya. Gedung berlantai dua yang hanya terisi puluhan karyawannya sudah lengang. Semua orang sudah pulang, hanya tinggal dirinya yang sibuk menelan cairan pekat dalam cangkirnya.Erika menyeruput kopi milik Genta tanpa permisi seperti sudah kebiasaan. "Kamu nggak takut bangkrut? Karyawan kamu saja baru beberapa biji tapi sudah berani mengambil resiko?"Genta terkekeh, "Justru karena aku mau berkembang, aku harus bisa memperbesar resiko kerugian. Kamu nggak tahu saja kalau perusahaan Junar sangat mendominasi pusat perbelanjaan. Tas koleksinya mampu bersaing dengan tas brand-brand luar negeri yang harganya puluhan kali lipat dari perusahaan Junar. Kalau aku bisa berhasil melalui kerjasama ini, aku bisa memb
"Bapak sudah melanggar hak asasi pekerja saya," ucap Bening. Dia hanya bercanda berharap sang bos tidak mempermasalahkan kesedihan yang tiba-tiba hinggap di hatinya. Junar mengangkat bahunya, sembari memasukkan tangannya ke dalam saku celananya, dia berucap, "Memangnya saya meminta kamu push up seribu kali? Sudahlah. Saya juga tidak suka mencampuri urusan pegawai saya. Selamat bersedih ria. Tapi sampai rumah, saran saya lupakan saja masalah kantor. Kasihanilah Galih. Pria itu hanya sekali mencintai dan wanita beruntung itu adalah kamu."Bening juga tahu hal itu. Dia juga heran kenapa dia bisa terbawa suasana. Secepat kilat dia menghapus air matanya, lalu menaikkan sudut bibirnya. Tidak ada waktu untuk bersedih.°°°"Kamu harus banyak bersabar," tukas Junar pada seseorang di seberang sana.Galih berdehem, "Ada apa? Peringatan apa ini?""Em, peringatan mengenai istrimu. Aku bukannya mengadukan apa yang aku lihat, hanya saja sebagai teman aku ingin memberikan peringatan agar kamu lebih
"Bukan begitu, Bening. Perkenalkan ini Erika, salah satu rekan bisnis saya. Kali ini saya ingin mendengar pendapatnya," jelas Genta. Dia melirik Erika, "perkenalkan diri kamu."Erika mengulurkan tangannya untuk memberi salam pada Bening. Dengan enggan Bening menerima uluran tangan itu, "Saya Erika. Salam kenal. Saya selalu mendengar nama anda melalui Genta. Senang bisa bertemu dengan anda.""Saya Bening," jawab Bening singkat. Dia duduk dengan setengah kesal, "silahkan duduk, Ibu Erika. Semoga Pak Genta tidak membicarakan yang buruk-buruk mengenai saya."Erika tertawa renyah, sengaja menyombongkan keanggunannya. "Tentu saja tidak. Anda selalu baik di mata Pak Genta. Baginya anda kentut saja terasa indah. Bukan begitu, Pak Genta?"Genta menatap tajam Erika. Kenapa wanita itu membicarakan omong kosong yang memuakkan. "Ibu Erika yang terhormat, bisakah anda menyaring dulu ucapan anda sebelum dikeluarkan? Saya rasa anda cukup pintar untuk menyaring kalimat."Erika bukannya tersinggung, di
"Mas, tolong ambilkan popok untuk Daryl. Tumben hari ini sudah ganti tiga kali," ucap Bening sedikit berteriak pada Galih. Bening dan Daryl ada di ruang keluarga sementara Galih sedang sibuk di dapur untuk membuat salad sayur. Melihat postingan seseorang di media sosial membuat lidahnya bergoyang. "Beli kan bisa, Mas. Ngapain kamu repot-repot bikin?" tanya Bening siang tadi ketika suaminya meneleponnya."Nggak. Pokoknya aku mau homemade. Nanti pulang dari kantor aku langsung mampir ke supermarket untuk beli bahan-bahannya. Kamu mau nitip sesuatu? Buah-buahan di kulkas masih banyak?""Masih, Mas. Eh, tapi aku mau anggur ya. Belikan yang manis.""Makannya sambil lihat aku nanti juga manis, Sayang.""Ish, benar-benar.""Tunggu aku ya. Aku nggak lembur kok. Nanti kita makan malam sama-sama," ucap Galih dengan cerianya. "Siap, laksanakan!""Biar saya saja yang ambilkan popok, Tuan," sela asisten rumah tangga mereka. Galih mengiyakan, "Terimakasih, Mbak. Ternyata membuat salad sayur ngga
"Kalau ada yang bilang kado ini kurang mahal, berarti orang itu udah gi—nggak punya pemikiran untuk hemat," keluh Bening sembari menggelengkan kepalanya. Dia hampir saja salah bicara. Mana mungkin dia mengatakan suaminya gila? Yang ada dia diceramahi habis-habisan."Nggak apa-apa, Bening. Sekali-kali. Lagi pula Genta adalah keponakanku dan aku wajib memberikan kado istimewa."Bening mengangkat kunci yang diberi gantungan berbentuk salju itu ke depan wajahnya, "Ini kompleks perumahan atau apartemen, Mas?""Perumahan. Lokasinya nggak jauh dari rumah Tante Fitri jadi biar mereka bisa sering-sering main."Satu-satunya perumahan yang paling dekat dengan rumah Fitri adalah perumahan elite. Bening tahu berapa harganya karena dulu sekali dia pernah ditawari untuk membeli satu unit sebelum tempat itu dibangun. Niat hati Bening dan Genta ingin mengambil salah satu unit yang letaknya paling strategis karena dengan cara itu mereka bisa menabung bersama untuk mendapatkan rumah mereka sendiri. Sa
"Sinta. Suster Sinta," jawab Genta memperkenalkan sang calon istri. Galih terperanjat. Dia pernah mendengar nama itu di suatu moment. Tapi dimana? "Oh, saya ingat sekarang. Anda perawat di rumah sakit waktu itu kan?"Wanita bernama Sinta itu mengangguk sembari tersenyum. "Perkenalkan, saya Sinta, suster yang pernah merawat anda dan Mas Genta."Uluran tangan itu disambut oleh Galih dan Bening. "Duh, sudah manggil Mas," goda Bening. Dia berkedip manis pada Genta.Genta tampaknya salah tingkah. Dia tidak bisa berkata-kata. Hanya saja pandangannya condong ke arah Sinta sejak tadi. Pria itu menunjukkan perasaannya yang sesungguhnya. "Masuk, Sinta! Kita ngobrol bentar sebelum makan malam," ajak Karisma. Dia membawa calon keluarga besar mereka menuju ruangan yang dipenuhi banyak orang. Sinta melupakan sesuatu, dia kembali pada Bening sembari memberikan paper bag lumayan besar. "Untuk baby Daryl. Semoga jadi anak yang selalu dibanggakan oleh orang tuanya. Saya turut senang."Bening menyun
"Gimana kalau Lingga Daryl Putra Galih.""Bagus, Mas. Aku suka.""Nama panggilannya Daryl."°°°Munculnya bayi mungil tampan yang sudah dinantikan banyak orang, tak urung membuat suasana rumah menjadi lebih berwarna. Kediaman rumah Galih tidak pernah sepi karena setiap hari sang nenek pasti akan datang bergantian. Entah itu moment dimana Karisma membawakan seperangkat alat makan yang normalnya digunakan anak usia lima tahun. Belum lagi Tiara yang menggunakan kesempatan emas itu untuk mendandani sang cucu dengan pernak-pernik kerajaan.Bening harus merelakan sang anak dimanja oleh para neneknya. Wanita itu hanya punya kesempatan untuk menggendong sang bayi ketika beranjak tidur."Duh, Daryl sayang, kenapa sih kamu nggak mau tidur sama nenek. Biar mama kamu lebih santai," keluh Karisma. Seharian wanita paruh baya itu sibuk menggendong Daryl sampai mamanya geleng-geleng kepala."Mamanya sudah terlalu santai, Nenek Sayang," jawab Bening seolah Daryl yang menjawab. Dia membawa satu nampan
Dokter wanita itu tersenyum, "Benar, Bu. Usia kandungannya sudah tujuh minggu. Selamat ya, Ibu. Kalau ada keluhan apa-apa bicara pada saya, saya akan meresepkan obatnya."Bening speechless. Dia tidak bisa berkata-kata. Yang dia lakukan hanyalah mengusap perutnya yang bahkan tidak dia ketahui ada keberadaan seorang bayi di dalam sana. Dia merasa tidak pernah mual di pagi hari. Semuanya baik-baik saja. Apa dia tidak normal?"Apa nggak mual nggak apa-apa, Dok?" tanya Bening. "Morning sickness? Tidak masalah, Bu. Semua kehamilan memiliki keluhan sendiri-sendiri. Ada yang mual di pagi hari sampai trimester kedua, ada yang tidak mual sama sekali sampai trimester tiga. Nanti kita pantau dulu apakah ibu mengalami gejala kehamilan yang bagaimana. Ada yang mau ditanyakan lagi, Bu? Kalau tidak saya pamit ke ruang sebelah ya. Masih ada pasien lain yang belum saya tangani.""Apa dokter menghubungi suami saya?" tanya Bening cepat. Pasalnya dia tidak melihat ponselnya ada dimana. Apalagi tas yang d
"Bukan tiba-tiba, Pak. Saya sudah memikirkannya matang-matang. Saya ingin jadi ibu rumah tangga yang baik," ucap Bening dengan senyuman manisnya.Junar merespon dengan kening mengerut, "Kamu yakin?""Yakin, Pak. Saya sudah terlalu lama menjadi wanita karir. Saya mau istirahat dan menikmati hidup saya sebagai istri yang baik. Lagi pula suami saya kaya, Pak. Saya bisa minta uang sama suami saya," canda Bening. Dia sudah memikirkannya matang-matang sejak insiden yang terjadi pada Genta. Hidup itu jika dipikirkan hanyalah sebagai permainan. Kadang naik ke permukaan, kadang turun sampai ke dasar, kadang juga hilang tanpa bekas. Bening hanya tidak ingin melewatkan moment emas kebersamaannya dengan Galih. Junar tidak bisa berbuat banyak. Bening pasti sudah menimbang secara matang keputusannya. "Kamu tahu kan kalau kamu harus cari pengganti dulu sebelum kamu pergi?"Bening mengangguk, "Saya sudah pasang iklan, Pak.""Wah, ternyata kamu bersungguh-sungguh," komentar Junar dengan gelengan kep
Tanpa pikir panjang Bening menarik Genta ke dalam pelukannya. Penampakan wajah Genta mengerikan, bukan seperti Genta yang dia kenal. Pria itu kacau, sangat kacau.Bening tidak tega meninggalkannya sendirian. Dia membawa Genta masuk. Hampir saja kakinya terkena pecahan kaca kalau Genta tidak menahannya."Hati-hati," gumam pria itu tanpa sadar. Bening menahan napasnya ketika melihat ruangan itu amburadul dengan barang-barang berserakan. Entah botol parfum yang pecah atau benda-benda bertebaran tanpa terlihat mana bagian-bagiannya. Semuanya kacau balau. "Duduklah! Aku cari obat merah. Mukamu kenapa jadi begini?" tanya Bening sendu. Ada beberapa goresan melintang yang entah disebabkan karena apa. Genta menahan gerakannya, pria itu justru menenggelamkan kepalanya dalam bahu Bening. "Di sini saja. Jangan kemana-mana."Bening tidak punya pilihan lain selain mengiyakan. Pelukan itu mengerat seiring dengan tangisan tanpa suara Genta. Bening menepuk bahunya, menenangkan meskipun dia tidak y
"MERRY!" Genta berlari menghampiri Merry yang terbaring di bawah meja setelah pria itu melempar reruntuhan almari yang menghantam tubuhnya. Rasa sakitnya bahkan tidak sepadan ketika melihat sang mempelai wanita terkapar dengan darah dimana-mana. Genta bersimpuh di samping Merry, membawa kepala wanita itu ke atas pangkuannya. "Bertahanlah! Aku akan memanggil ambulans."Tatapan sendu Merry masih bisa terekam jelas di mata Genta. Pria itu meraung, mengumpat pada keadaan yang membuat dia tidak bisa menghubungi ambulans. Ya Tuhan, jemarinya tidak bisa bergerak. Tangannya sudah tidak mau berkompromi dengannya. Alhasil pria itu hanya memerintah pada pegawai butik yang masih bisa menyelamatkan diri."TELEPON AMBULANS!"Genta tidak sanggup melihat gaun yang tadinya berwarna putih broken white itu kini telah menjelma menjadi kemerahan. Matanya memanas, seiring dengan sentuhan pelan pada lengannya.Tatapan mata penuh cinta Merry menyapanya. "Ma-af," lirih Merry. Genta belum menjawab apa-apa
"Setelah Merry sempat dilecehkan dulu, dia mengalami trauma. Dia takut ditinggalkan dan tidak mau meninggalkan pria yang sudah serius dengannya. Kami sudah membawanya ke psikiater dan hasilnya sudah jauh lebih baik. Karena itulah aku ingin memberikan kesempatan entah keberapa kalinya pada Merry untuk hidup lebih baik. Tapi ternyata dia sangat mencintai Genta sampai tidak rel melepaskannya," jelas Ajik. Dia menghela napas kasar. Raut wajah cemasnya sudah lebih dari cukup untuk membenarkan ucapannya. Genta terdiam. Dia mencoba memahami alasan Ajik. Biar bagaimanapun adiknya tetap anggota keluarga yang harus dilindungi. Berbeda dengan pamannya yang langsung bicara, menjawab penjelasan Ajik. "Aku turut prihatin tapi semua keputusan tetap pada Genta." Lalu Galih menoleh pada keponakannya."Gimana, Genta? Apa kamu mau menerima Merry? Aku akan berusaha membuat dia berubah. Dia pasti menurut untuk berobat ke psikiater lagi kalau kamu yang meminta," bujuk Ajik. Satu-satunya jalan untuk membu