Damien datang ke kediaman Dalena tanpa menghubungi wanita itu. Kata-kata sedih yang Cassel katakan tentang Maminya yang sakit, membuat Damien khawatir. Laki-laki itu membuka pintu rumah, dia melihat beberapa mainan milik Cassel yang tertata rapi. Namun di dalam rumah itu tidak ada satu foto pun milik Dalena dan Cassel. "Di mana kamar Dalena?" gumam Damien sebelum dia mendengar suara batuk dari lantai dua. "Di atas?" Singkatnya seraya bergegas naik. Damien mendengar suara batuk-batuk dari dalam kamar, ia membuka pelan pintu kamar tersebut. Nampak Dalena duduk di tepi ranjang menyandarkan kepalanya di tiang kanopi. "Akhhh, dadaku sesak!" Dalena memukuli dadanya. Wanita itu berdiri perlahan dengan napas berat. Kedua kakinya sangat lemas, tubuhnya panas karena demam. "Dalena!" Suara Damie membuat Dalena menatap ke arah pintu dan melihat siapa yang datang. Wanita itu mundur perlahan, namun kalau cepat dengan langkah lebar kaki Damien. Laki-laki itu menyahut satu lengan Dalena dan
"Itu Tayo-nya sudah datang, Raccel!" Cassel memekik antusias menunjuk ke arah bus berwarna biru yang selalu berhenti di depan halte. "Wahhh... Asik! Naik Tayo! Naik Tayo!" seru Raccel lompat-lompat kesenangan. Bus itu akhirnya berhenti di depan mereka. Sopir Bus pun terkejut melihat dua anak kecil berwajah mirip berdiri di depan pintu. "Loh, kalian mau ke mana? Kalian sama siapa?" tanya sang sopir khawatir. "Kita mau ke rumah sakit Ibu Kota Pak, Maminya Cassel dibawa ke rumah sakit. Boleh antarkan ke sana? Cassel nanti kasih uang!" seru Cassel menjelaskan. "Iya. Raccel juga bawa uang, kalau kurang nanti minta ke Daddy!" sahut Raccel. Laki-laki berambut putih itu menoleh pada kondektur yang kini mengangguk. "Ayo naik, hati-hati nak... Awas jatuh," ujar sang kondektur membantu mereka naik. Kedua bocah manis itu duduk di samping sopir. Cassel merasa panas telinganya saat mendengar Raccel yang berkali-kali bersorak kesenangan. Untuk kali pertama dia naik bus. "Bisa diam tidak, k
"Apa yang kalian lakukan? Kenapa pergi dari sekolah, Sayang?" Damien menekuk kedua lututnya menatap dua anak manis yang kini memasang wajah sedih di hadapannya. Ekspresi mereka sangat-sangat mirip. "Cassel mau nyari Mami," jawab Cassel memeluk Damien. "Raccel ikut saja, enak tahu Dad... Tadi kita berdua naik Tayo!" seru Raccel berjinjit-jinjit kesenangan. Damien berdecak pelan, ia merangkul mereka berdua sebelum kembali berdiri dengan tubuh tegap menggandeng tangan mungil si kembar. Pandangannya tertuju pada Heins yang mematung di tempat. Laki-laki itu maju dua langkah. "Cassel... Ayo sama Om," ajak Heins melambaikan tangannya. "Tidak mau, Cassel mau ikut dengan Papi-nya Cassel, Om Ayah!" jawab anak itu menggenggam tangan Damien. "Cassel Sayang..." "Apa hakmu melarang putraku untuk ikut denganku, Dokter Heins?!" seru Damien menatap tajam. Heins begitu terkejut, dia terdiam dengan wajah pucat pasi. "Anak itu juga menjadi tanggung jawabku, Tuan Damien. Mamanya Cassel-" "Ken
Tidak ada percakapan antara Dalena dan Damien. Setelah membicarakan hal tadi, Damien malah melangkah keluar dan akhirnya mereka pulang. Sepanjang perjalanan Dalena dibuat resah oleh Damien. Ia tidak mengerti, kenapa bisa jadi seperti ini. "Berhenti di sini saja, Tuan," pinta Dalena. "Tidak, sampai di rumahmu!" jawab laki-laki itu tegas. "Tuan..." Dalena terdengar merengek, hal itu menggelikan untuk Damien. Semakin dia merengek, semakin Damien bergejolak ingin terus membuat Dalena hidup dalam keresahan. Sampai akhirnya mobil milik Damien berhenti di depan rumah Dalena. Mereka berdua pun turun dari dalam mobil bersamaan. "Tuan... Tuan ikut saya masuk?" tanya Dalena menatap Damien lagi. "Heem," jawab laki-laki itu. Dalena mendengkus pelan. 'Ya Tuhan... Bagaimana ini? Bagaimana kalau Damien bertemu dengan Cassel? Mati aku!' batin Dalena berteriak menangis. Pintu rumah dibuka oleh wanita pemilik tempat tersebut, namun ruangan yang sepi dan senyap menyambut Dalena. Tidak ada teria
"Kalian dari mana saja? Lizi, kenapa kau membawa Cassel pergi malam-malam?" Dalena mengomeli pengasuh anaknya tersebut dan gadis itu hanya tertunduk diam. Pandangan Dalena tertuju pada plastik besar berisi makanan dan mainan, juga peralatan sekolah untuk Cassel. Untuk kesekian kalinya Cassel dibelikan banyak makanan hingga lemari es penuh, dan mainan yang menumpuk banyak. "Ini... Mainan dan semua ini dari mana?" tanya Dalena menatap putranya. "Kak Lizi belikan, Mami," jawab Cassel. Dalena kembali menatap Lizi. "Liz, Ayahmu di London sakit. Kenapa kau setiap hari malah mentraktir Cassel seperti ini?! Uang dari mana sebayak ini, Liz?" "Anu... Saya punya tabungan pribadi." Lizi menjawabnya dengan wajah takut. Decakan kecil terdengar dari bibir Dalena. "Jangan sekali-kali lagi memanjakan Cassel dengan uangmu. Jangan mengajaknya pergi malam-malam, mengerti!" Gadis itu mengangguk, barulah Dalena mendekati Cassel dan menggendong putranya. Anak itu memeluk leher Dalena seraya membaw
"Ayo Dad! Come on...!" Raccel menarik jemari Damien dan mengajaknya cepat-cepat ke area taman. Di sana terdengar musik lagu anak-anak yang ramai dengan tarian para maskot taman. Ada badut kelinci, kucing, dan banyak lagi. "Raccel gendong Daddy saja, okay?" Damien menatap putrinya. "No! Raccel mau jalan sendiri!" tolak anak itu. "Nanti kau bisa hilang, Princess. Taman sangat ramai hari ini!" seru Damien menatap lekat-lekat wajah Raccel. Anak itu tetap keras kepala dan malah berlari meninggalkan Daddy-nya. Damien menghela napasnya panjang mengejar Raccel, juga Sabrina yang ikut mengejar mereka berdua. Raccel tersenyum bahagia dengan momen ini, dia melihat para maskot yang menari-nari, memberikan hadiah, dan banyak sekali anak-anak kecil berkumpul di sana. "Daddy, lihat itu! Lihat... Badut kelincinya pakai kaos kaki!" seru Raccel tertawa terpingkal-pingkal. Damien ikut tersenyum, ia menekuk kedua lututnya dan memeluk Raccel dari belakang, guna melindunginya. "Huhh... Panas! Ken
Kedua mata Dalena bergetar menatap laki-laki itu. Ia melangkah menekan kuat rasa takutnya kini mendekati Damien. Sorot mata laki-laki itu begitu lekat dan tajam padanya, lalu berpindah pada Cassel yang tertidur dalam pelukan Delana saat ini. Dalena mendekapnya dengan sangat-sangat erat. "Tu-Tuan Damien sedang apa di sini?" tanya Dalena menatapnya takut. Laki-laki itu tetap menatap Cassel. "Anak ini putramu?" Damien malah balik memberikan pertanyaan lain. Lidah Dalena terasa kelu, wanita itu mau tidak mau dia menganggukkan kepalanya. "Iya. Ini putra saya," jawab Dalena berusaha menutupi wajah Cassel. Namun Damien mendekat dan menarik dengan mudah jaket yang menutupi wajah anak itu. Laki-laki tampan itu tersenyum begitu jelas, sebelum ia menatap Dalena lagi. "Anak yang tampan, Dalena," ucapnya memuji. Dalena mengangguk pasrah. Detak jantungnya kali ini benar-benar berdegup tak karuan, syukurlah Damien tidak mengenali identitas asli Cassel, meskipun mereka mengenal, itulah yan
"Mami jangan pulang ya, kalau Mami pulang nanti Raccel nangis!" Raccel, anak itu memeluk lengan Dalena dengan erat. Ia menahan Dalena di ranjang untuk terus tertidur dengannya. "Iya Sayang, Mami tidak ke mana-mana kok. Mami akan tidur di sini sama Raccel. Janji!" Dalena mengusap pipi gembil Raccel dan mengecupnya. "Saaayang Mami!" seru anak itu memeluk erat tubuh Dalena. Dalena menyanyikan lagu pengantar tidur untuk Raccel. Tak sampai sepuluh menit anak itu sudah terlelap dengan nyaman. Barulah Dalena menyelimutinya dengan hangat, ia bangkit perlahan-lahan, memberikan kecupan di wajah sang putri dan gegas beranjak pergi. "Jam berapa ini?" gumam Dalena menengok jam dinding yang sudah menunjukkan pukul sepuluh malam. "Huhhh... Cassel pasti sudah tidur." Langkah Dalena menuju ke lantai satu, ia memelankan tiap langkahnya saat melihat Damien duduk di sofa ruang tamu. Laki-laki itu sibuk dengan laptopnya. Seperti yang Dalena tahu, Damien itu sangat sibuk. "Permisi Tuan, Raccel sud
Sejak pagi hingga sore hari, di kediaman Keluarga Escalante sangat sibuk. Mereka menyiapkan pesta keluarga untuk malam ini. Hingga siang berganti malam, rumah megah berlantai dua itu nampak dihiasi dengan meriah lampu-lampu di luar rumah, maupun di dalam rumah. Dalena tersenyum melihat anak-anaknya berkumpul bersama. "Baru kali ini acara akhir tahun menjadi sangat meriah, iya kan, Sayang?" Dalena menoleh pada sang suami yang berdiri di sampingnya."Iya. Mungkin itu semua karena kita bisa melihat anak-anak kita, menantu kita, cucu kita berkumpul bersama. Sangat membahagiakan, Sayang." Damien merangkul pundak Dalena memperhatikan pemandangan ruangan di dalam rumah yang sudah dihias dengan indah oleh Cassel dan Nicholas sejak siang tadi. Sampai tiba-tiba saja, Elsa dan Gissele muncul dari arah lantai dua. Di sana nampak Gissele cemberut dan bersedekap dengan wajah kesalnya. "Ada apa, Sayang? Sini..." Damien melambaikan tangannya pada Gissele. Dalena juga ikut melambaikan tangannya
Salju turun cukup tebal kemarin, dan siang ini Cassel mengajak anak istrinya untuk pergi membelikan beberapa makanan, dan juga hadiah. Mereka akan menghabiskan beberapa hari di musim dingin bersama dengan keluarga Cassel. Mereka bertiga datang ke sebuah pusat perbelanjaan. Di sana, Gissele sibuk memilih mainan, camilan, dan hiasan-hiasan yang menarik perhatiannya. "Sayang, jangan mengambil gantungan banyak-banyak, nanti mau ditaruh di mana lagi?" Elsa merebut beberapa boneka gantung yang Gissele ambil. "Gissele mau itu, Ma!" seru bocah itu menunjuk ke sebuah lonceng-lonceng kecil. "Astaga ... untuk apa, Sayang?" Elsa mengusap wajahnya. "Sana, Gissele sama Papa saja. Minta gendong Papa." Anak itu cemberut. Kalau sudah bersama Papanya, dia tidak akan diturunkan dari stroller. Namun, meskipun dengan wajah protes, Gissele pun patuh dengan Elsa dan anak itu mendekati Cassel, meminta gendong dan meminta didudukkan di atas stroller miliknya. "Sudah ... Gissele duduk di sana saja, se
"Mommy dan Daddy ingin kalian menginap di sini. Kapan kalian bisa? Daddy ingin membuat party bersama kalian juga..." Suara di balik panggilan itu adalah suara Dalena yang kini bertanya pada Elsa dan Cassel. Setelah hampir tiga mingguan Cassel dan Elsa tidak datang ke kediaman orang tuanya karena sibuk. "Mungkin besok malam kita akan ke sana Mom, besok kan sudah mulai libur akhir tahun," jawab Cassel tersenyum."Iya. Janji ya, Nak ... Mommy sudah sangat kangen dengan Cucu cantik Mommy," ujar wanita itu. Cassel beranjak dari duduknya, laki-laki itu melangkah masuk ke dalam kamar. Dia menunjukkan kamera ponselnya ke arah Gissele yang kini tengah mengacau pekerjaan Elsa. Karena Elsa mempunyai banyak pesanan hingga menyentuh hampir seribu bouquet selama musim dingin ini, dia pun membawa beberapa bunga dan membentuknya di rumah. "Sayang, dicari Oma, katanya Oma kangen," ujar Cassel menyerahkan ponselnya pada Gissele.Anak cantik dengan rambut pirang cerah itu langsung melebarkan kedua
Pagi setelah menginap di tempat orang tua Cassel, esok harinya Elsa nampak sibuk di rumah. Gadis itu kini tampak bergelut dengan beberapa pekerjaan rumah, termasuk membuat banyak kue yang akan ia antarkan ke panti asuhan seperti biasa. "Mama buat kue banyak sekali? Mau dibawa ke panti, ya?" tanya Gissele yang kini membantu Mamanya memasukkan beberapa kue dalam sebuah box. "Iya Sayang. Tapi Gissele tidak usah ikut, ya ... Gissele di rumah saja dengan Tante Raccel dan Oma," ujar Elsa menatap putrinya. Dan dengan patuh Raccel menyetujui hal itu. Bukan tanpa alasan Raccel melarang putri kecilnya untuk ikut, melainkan sejak awal, pengurus panti meminta Elsa untuk tidak sering-sering lagi membawa Gissele ke panti, mereka takut Gissele ingat masa dulu dan tidak mau pulang lagi ke rumah. Anak perempuan itu mengangguk patuh, namun dia cemberut, seolah-olah dia memang tidak setuju dengan apa yang Mamanya pinta padanya. "Mama, hari ini Gissele mau pergi beli sepatu baru kata Papa," ujar an
Setelah kondisi Elsa kembali sehat, Cassel pun memutuskan untuk mengajak istrinya pergi jalan-jalan bersamanya dan putri mereka.Setelah puas menemani Gissele bermain di taman dan game zone, mereka bertiga kini pergi ke rumah orang tua Cassel. Kedatangan mereka disambut dengan sangat hangat, terlebih lagi di sana ada Raccel dan anak kembarnya. "Wahh, Cucu Oma akhirnya ke sini juga!" seru Dalena mengendong Gissele dan mengecup pipi gembul anak itu. "Gissele...!" Suara Raccel membuat Gissele menoleh, anak perempuan dengan dress merah muda itu langsung berlari ke arah Raccel di ruang tengah. Sementara Elsa, gadis itu meletakkan paper bag berisi makanan di atas meja, dan Cassel juga berjalan ke dapur mengambil minuman dingin. "Raccel di sini sejak kapan, Mom? Nicho ke mana?" tanya Cassel menatap sang Mama. "Nicholas sedang ada urusan kantor dengan Daddy, mereka ke luar kota, Sayang. Raccel memang sekarang Mommy minta untuk pindah ke sini, merawat Lovia dan Livia sendirian itu sangat
"Dokter Cassel, apakah ada jadwal yang lain lagi hari ini?" Cassel menoleh ke belakang saat rekannya bertanya, begitu Cassel keluar dari ruangan operasi. Cassel menggelengkan kepalanya. "Tidak dok. Aku akan pulang cepat hari ini karena istriku sedang sakit," jawab Cassel sembari tersenyum. "Oh begitu, baiklah..." Tanpa menjawab apapun lagi, Cassel segera bergegas keluar dari dalam ruangan itu dan ia berjalan ke arah ruangannya sendiri.Laki-laki dengan jas putih itu membuka ruangan pribadinya. Di sana, Cassel langsung meraih ponsel miliknya dan ia melihat apakah dirinya mendapatkan pesan dari Elsa atau tidak?Cassel menghela napasnya panjang dan tersenyum. Baru saja dia ingin melihat pesan, Elsa sudah memberikan kabar lebih dulu padanya."Hemm, tumben sekali dia memintaku membawakan makanan? Biasanya juga selalu menolak," gumam Cassel. Segera Cassel menghubungi Elsa. "Halo Sayang, kau ingin menitip makanan apa, hem?" tanya laki-laki itu. "Bukan aku. Tapi Gissele, dia ingin mela
Tak biasanya Gissele bangun saat hari masih petang. Anak kecil perempuan dengan rambut cokelat terang itu, sudah bermain di karpet tebal di bawah ranjang. Ocehannya yang sedang asik mengajak bonekanya berbincang itu membuat Cassel terbangun dari tidurnya tiba-tiba. Cassel yang memeluk Elsa pun sontak melepaskannya dan ia menoleh ke samping. "Loh, Gissele!" pekiknya lirih. "Papa ... Gissele di sini, Pa!" seru anak perempuan itu mengacungkan tangannya. Cassel menyergah napasnya pelan mengetahui putri kecilnya berada di bawah sana. Segera Cassel menyibak selimutnya dan berjalan mendekati Gissele yang duduk memegang mainannya. "Sayang, kenapa di sini? Ini masih petang, Gissele tidak mengantuk, hem?" tanya Cassel mengusap pucuk kepala putri kecilnya. Anak itu hanya diam dan menggelengkan kepalanya. Sebelum akhirnya Gissele merangkak mengambil botol susu miliknya dan menyerahkan pada Cassel."Apa Sayang?" tanya Cassel menatap sang putri."Buatkan susu, Pa. Gissele mau minum susu," u
Elsa dan Cassel menuhi permintaan Luna untuk datang ke sebuah rumah makan mewah di sebuah hotel berbintang malam ini. Tentunya Elsa membawa Gissele yang kini tidak mau berjalan kaki, setelah punya stroller baru, dia ingin memamerkan stroller miliknya pada semua orang. Termasuk pada Nenek dan Kakeknya.Mereka bertiga pun kini baru saja masuk ke dalam restoran tersebut. "Emmm ... di mana, Ma?" tanya Gissele menoleh ke kanan dan ke kiri dalam kereta kecilnya. "Gissele Sayang!" pekik Luna melambaikan tangannya ke arah Elsa dan Cassel. Mereka pun menoleh. "Oh, ternyata di sana!" seru Elsa terkekeh.Segera Cassel mendorong stroller milik Gissele dan mereka berjalan mendekati meja di mana kedua orang tua Elsa berada. Luna dan suaminya pun berada di sana."Ya ampun, Cucu Nenek lucu sekali," seru Vania mengangkat tubuh mungil Gissele dari atas stroller."Naik kereta baru, Sayang? Punya kereta warnanya merah muda, bagus sekali..." Teddy ikut gembira dengan kedatangan Gissele. Elsa bersala
Elsa mengantarkan makan siang yang ia siapkan untuk Cassel siang ini. Bersama dengan Gissele, mereka berdua berjalan masuk ke dalam rumah sakit. Semua rekan-rekan Cassel menyapa Elsa dengan ramahnya, karena mereka semua tahu siapa Elsa sebenarnya, yang tak lain adalah istri dari calon direktur rumah sakit. "Selamat siang Nyonya Elsa," sapa salah satu rekan kerja suaminya, dia adalah Dokter Agnes. "Selamat siang, Dokter Agnes ... emm, apa suami saya masih ada jadwal operasi?" tanya Elsa bertanya pada wanita si depannya itu. "Oh, sepertinya sudah selesai. Saya melihat beliau tadi berada di ruangannya," jawab Agnes. "Baiklah, kalau begitu saya permisi dulu..." "Iya Nyonya, silakan..."Elsa pun bergegas kembali mendorong stroller di mana Gissele duduk di dalam tempat itu sambil meminum susunya di dalam botol. Mereka berdua berjalan menuju ke arah ruangan kerja Cassel. Di sana, Elsa mengetuk pintu ruangan tersebut. Pintu itu tidak sepenuhnya ditutup. Hingga Cassel yang sedang beris