Gedung bercat putih dengan dekorasi nuansa biru langit ini menjadi saksi Mas Abi telah mengucapkan akad nikah untukku. Janji suci mengarungi bahtera rumah tangga yang bahagia telah priaku ikrarkan di hadapan semua tamu yang hadir.Aku menoleh pada pemilik hati ini, senyumnya yang manis membuatku candu. Pria paling gigih dan paling baik yang pernah kukenal kini telah menjadi suamiku. Ada sesuatu yang hangat, menjalari hati ketika untuk pertama kalinya Mas Abi menggenggam tangan ini erat. Kemudian, mengusap-usap dengan penuh sayang.“Apa kamu tahu bagaimana perasaanku saat ini, Sa?” bisiknya di telinga. Aku menoleh ke arahnya, membuat mata kami kembali bersirobok, pun hidung Mas Abi menempel di pipi. Membuat pipiku bersemu merah serta tubuh ini bagaikan disengat aliran listrik.Ini bukan pertama kalinya bagiku jatuh cinta kepada seorang pria yang bergelar suami. Akan tetapi, kenapa bersama Mas Abi terasa lebih indah dan membuatku melayang? Apa karena pernikahan kami berbeda?Saat menika
Kubuka mata di saat waktu sudah menunjukkan jam empat dini hari. Aku tersenyum saat Mas Abi semakin mengeratkan dekapannya di pinggang.Aku tidak menyangka, kini setiap hariku selalu dipenuhi dengan kebahagiaan yang diberikan Mas Abi. Ia memang suami dan ayah yang terbaik. Meski suamiku belum pernah menikah sebelumnya, tetapi ia benar-benar dewasa ketika menangani segala masalah rumah tangga di antara kami. Selalu mengalah di saat terjadi perdebatan. Namun, tegas ketika aku atau anak-anak melakukan hal yang keliru.Kupandangi wajah seseorang yang telah membuatku dimabuk cinta. Hari-hariku selama lima bulan ini terasa amat menyenangkan. Aku merona mengingat kejadian semalam ketika aku menyampaikan kabar kehamilanku terhadap Mas Abi.“Mas, aku kepengen rujak mangga muda, dong,” pintaku kepada Mas Abi tadi malam ketika baru saja berbaring di kasur yang sama.Mendengar permintaanku, Mas Abi memandang heran dengan alis mengernyit s
“Untuk apa wanita tak tahu malu seperti dia ada di sini?” teriak seorang wanita yang sangat kukenal mengarahkan telunjuknya tepat di depan wajahku.“Jaga mulutmu Nindy. Dia kekasih Papi.”“Apa! Papi, dia mantan istri Mas Danang, mana mungkin dia jadi kekasih Papi?” Nindy terlihat kalap. Sedangkan aku, menunggu pembelaan dari Mas Azzam. “Papi tidak peduli dengan masa lalu Kartika, dia akan tetap menjadi calon istri Papi dan ibu sambungmu. Lagi pula, kami saling mencintai. Mau dia mantan istri Danang, Papi tidak peduli. Memangnya ada yang salah dengan hubungan kami?” ucap Mas Azzam dengan keyakinan.Aku tersenyum dan menatapnya dengan penuh cinta. Begitu pun sebaliknya, calon suami matangku itu membalas dengan tatapan mesra, seolah memberikan pengertian kalau dia pasti akan tetap mempertahankanku meski tanpa restu putrinya.“Aku tidak akan merestui hubungan kalian,” jawab Nindy terdengar ketus sambil melirikku benci.Apa-apaan dia? Lihat saja nanti pelakor, papimu akan tetap menjadikank
Bab 2. “Kamu suka?” tanya Mas Azzam saat dia menunjukkan setiap sudut rumah miliknya ini. Kami berdua sekarang tengah berdiri di salah satu balkon kamar yang dia tempati.“Bagus, indah dan pastinya ... mewah. Apa aku layak tinggal di rumah sebesar ini? Mas kan tahu, aku ini hanya seorang pelayan warung makan dan penjual gorengan pinggir jalan. Bukan seperti wanita-wanita kelas atas yang terbiasanya tampil glamor dan berkelas. Mas pikirkan lagi untuk menjadikanku istri,” gumamku lirih. Sejujurnya, hati kecilku memang merasa tak layak untuk menjadi istri seorang pria sempurna seperti Mas Azzam. Meski usianya sudah hampir kepala lima, tetapi dia masih tampan dan terlihat bugar. Jika sepintas, orang pasti berpikirnya kekasihku ini masih berusia tiga puluhan ke atas.Dia bisa mendapatkan wanita kaya yang jauh lebih segalanya dariku. Bahkan, mustahil tak ada yang mau dengannya. Anak SMA sekali pun pasti akan bersedia untuk menjadi kekasih Mas Azzam.“Kenapa bicara seperti itu? Mas sudah b
Mas Azzam meraih tanganku yang kemudian dia genggam menuju lift. Menekan lantai satu sebagai tujuan. Aku masih diam mengingat-ingat kata-kata Nindy yang terus terngiang-ngiang di kepala. Hati ini masih bergejolak menahan amarah yang belum juga mereda untuk wanita l*knut itu. “Jangan pedulikan ucapan mereka. Mas tahu kamu bukan wanita seperti itu,” ujar Mas Azzam mengelus lenganku dengan lembut. Aku hanya memalingkan muka ke arah lain tak menjawab ucapannya.“Masih marah? Mas minta maaf atas nama Nindy. Mas janji ini takkan pernah terulang lagi,” paparnya mengambil hatiku kembali.Sampai pintu lift terbuka pun, aku tak bersuara. Mas Azzam membawaku ke ruang makan dan menyuruh untuk duduk di sampingnya. Kembali, ayah tiga anak ini mencoba menarik simpatiku lagi. Dia menggeser kursi yang hendak kududuki dan mempersilakanku dengan romantis. Ah, pria ini memang selalu saja bersikap manis. Meski selalu dingin dan tegas di depan orang lain, tetapi dia selalu saja memperlakukanku dengan han
“Mau cincin yang mana?” tanya calon suamiku yang tampan ini.“Mas Azzam aja yang pilih. Aku ngeri lihat harganya,” bisikku ketika salah satu karyawan toko perhiasan ini memandang kami. Kemudian, Mas Azzam mengangguk meski sambil tersenyum geli melihat ke arahku. Entahlah apa yang ada di dalam pikirannya.Kekasihku itu melihat-lihat cincin yang ada di etalase kaca. Lalu, memanggil karyawan yang tak jauh darinya.“Mbak. Tolong keluarkan cincin model terbaru yang ada di toko ini. Untuk calon istriku. Kalau bisa, yang couple tapi untuk prianya jangan pakai emas, tapi berbahan perak,” pintanya. Seorang pelayan wanita itu mengangguk dan mengeluarkan beberapa model cincin yang bentuknya terlihat elegan dan sederhana bermata satu berlian yang berkilau. Juga, cincin berbahan perak yang memang sengaja dibuat tak banyak karena biasanya yang pesan hanya untuk pengantin pria muslim. Ya, dalam Islam memang dilarang memakai perhiasan berbahan emas untuk para pria. Makanya, toko ini menyediakannya m
Bab 5. Flashback “Neng Tika katanya butuh kerjaan sampingan?” tanya Teh Nining salah satu pelanggan gorenganku. Aku sengaja mengantar pesanan miliknya karena cukup banyak. Wanita penyuka daster tersebut memang beberapa kali memesan bermacam aneka gorengan untuk acara pengajian dan camilan ibu-ibu PKK.Seorang bidan yang rumahnya tak jauh dari kontrakan milikku ini, memang tahu kondisiku yang sedang membutuhkan lebih banyak penghasilan tambahan.“Iya, Teh. Saya memang sedang butuh kerjaan tambahan di hari libur. Kebetulan saya libur Kamis atau Jumat saja,” jawabku.Teh Nining langsung semringah. Dengan semangat menggebu empat lima dia bercerita kalau ada lowongan pekerjaan untukku.“Teteh ada kenalan, dia butuh orang yang bisa cuci gosok dan membersihkan rumahnya yang sering kosong seminggu sekali. Kebetulan tuh cocok banget sama yang kamu cari,” papar Teh Nining.Mataku berbinar mendengar kabar lowongan pekerjaan yang Bu bidan ini tawarkan. Betul katanya, ini memang cocok dengan yan
“Mas Robi, apa Mas Azzam ada di dalam?” tanyaku ketika baru saja sampai di kantor Mas Azzam. Karena orang-orang telah mengetahui siapa aku, para karyawan menyambut dengan membungkukkan badan setiap kali berpapasan denganku.Ah begini rasanya menjadi calon istri pemilik perusahaan besar. Belum sah saja mereka terlihat segan, apalagi sudah menjadi istri Mas Azzam. “Ada Nyonya. Tuan sudah dari tadi menunggu anda.”Robi memang seperti itu, dia selalu bersikap formal padaku seolah berbicara dengan atasan. Padahal, umurnya lebih tua dariku lima tahun.Aku mengangguk dan tersenyum lebar, kembali melangkah dengan anggun agar tak mempermalukan Mas Azzam. Ya, para karyawan di sini tak tahu latar belakangku sebenarnya. Entah bagaimana kalau mereka tahu jika aku berasal dari keluarga yang sederhana dan dari kampung, pun bekerja hanya sebagai penjual gorengan dan pelayan warung makan, pasti semuanya akan meremehkan dan menggunjingku.Aku mengikuti Robi menuju ruang kerja calon suami matangku. Kem
Bab 40.“Mas ... aku haus,” ujarku lirih saat kesadaranku telah kembali. Kali ini, aku sudah berada di ranjang rumah sakit. Mendengar suaraku Mas Azzam langsung tersentak.“Ya Allah, Sayang. Akhirnya kamu sadar juga.”Suamiku ini sontak memeluk tubuh ini hingga tak sadar mengenai lenganku yang sempat terluka, dan aku masih ingat karena perbuatan siapa.“Aww ... sakit, Mas,” ujarku sambil meringis.“Maaf. Mas terlalu bahagia saat kamu siuman. Kamu bener-bener bikin Mas ini jantungan tahu. Bisa-bisanya kamu membahayakan keselamatan dirimu seperti tadi!” sembur suamiku ini dengan tatapan tajam.Dia meraih botol air putih di atas nakas, lalu membuka tutup dan memasukkan sedotan ke dalamnya. Setelah itu, ia arahkan benda tersebut ke arahku, lalu aku minum beberapa tegukan demi melegakan tenggorokan yang mengering.“Tapi, kalau aku tak nekat seperti tadi, Nindy bakalan celaka. Aku enggak mau Mas juga bakalan sedih karena Nindy terluka,” ujarku. Mas Azzam memandangku dengan intens. Entah a
Bab 39.“Apa kata Boby?” tanya Nindy. Aku menggeleng lalu berkata, “ Tidak apa-apa, Nin. Dia cuma bilang belum menemukan Danang,” ujarku tanpa menceritakan yang sebenarnya. Aku tak ingin, Nindy yang belum terlalu pulih harus terbebani karena masalah ini. Aku hanya berharap, polisi segera selesai melakukan penyelidikan dan penyidikan agar secepatnya pelaku ditetapkan sebagai tersangka dan ditahan. Tak lama, Riri dan Mas Azzam akhirnya datang juga. Kutahu, suamiku pasti baru pulang dari perusahaan dan sekalian menjemput Riri, itu yang dia katakan tadi di pesan yang dirinya kirim.Aku menyambut kedatangan Riri dan Mas Azzam. Riri mencium tangan dan kedua pipiku, lalu beralih ke ranjang kakaknya untuk melepas rindu. Meski pun hubungan mereka sempat merenggang sebelumnya, tetapi bagaimana pun mereka memiliki hubungan saudara. Pasti, akan sama-sama merasakan sedih jika salah satunya terkena masalah atau musibah. Itu pun yang terjadi antara Riri dan Nindy sekarang.Sedangkan Mas Azzam, di
Bab 38. “Maafkan aku ....” ujar Nindy dengan lirih.Aku masih mematung di tempat, begitu tak percaya dengan apa yang baru saja kudengar. Nindy meminta maaf? Apa pendengaranku tak salah?Jari Nindy yang meremas pergelangan tangan ini membuatku sontak tersadar dari lamunan.“Apa kamu mau memaafkan aku? Aku tahu, aku sudah salah menilaimu selama ini. Bahkan, aku sudah berbuat dzolim kepadamu hanya untuk merebut serta mendapatkan Mas Danang kembali. Tapi, apa yang kudapat sekarang? A-aku ... kehilangan segalanya ...,” ujarnya dengan begitu pilu. Terdapat luka di setiap kata-kata Nindy yang terucap.Kualihkan pandangan agar kami saling menatap satu sama lain. Supaya bisa menyelami perasaan putri suamiku tersebut lewat mata. Konon, jika ingin melihat ketulusan dari seseorang, yang pertama tak bisa berbohong ialah mata. Dari anggota tubuh yang bening tersebut, dapat menjelaskan beribu perasaan yang terpendam, termasuk kebohongan.Namun, aku sama sekali tak melihat keburukan apa pun dari N
Bab 37.“Ada apa, Bob?” cecarku. “Kak Nindy masuk rumah sakit. Ditubuhnya penuh luka lebam dan cekikan. Kata seseorang yang menolongnya, Kakak sudah tak sadarkan diri di teras rumah yang sepi karena syok,” papar Boby hingga membuatku membulatkan mata.“Terus? Gimana keadaan dia sekarang?” tanyaku kembali.“Kak Nindy harus dirawat karena ada sendi di bagian lengan dan tulang bahunya yang bergeser. Dan yang paling parah dari semua itu, dia mengalami keguguran,” terangnya semakin membuatku terkejut luar biasa.Kuputuskan untuk ikut bersama Boby untuk melihat kondisi Nindy. Sebelumnya, kuminta Riri untuk diam di rumah saja. Saat di perjalanan, aku mengabari Mas Azzam tentang kondisi putri sulungnya tersebut. Suamiku begitu terkejut, dia terdengar marah ketika mendapat penjelasan dariku. Katanya, setelah pulang dari kantor polisi nanti, Mas Azzam akan menyusul ke rumah sakit di mana Nindy dirawat.Aku dan Boby bergegas mencari kamar berapa Nindy berada. Kemudian, menghubungi wanita yang
Bab 36.“Maaf saya tidak bisa memenuhi tuntutan anda. Saya menolak menikahi putri kalian sampai kapan pun,” tekan Mas Azzam. Wajah suamiku ini telah merah padam penuh dengan amarah dengan rahang yang mulai membesi. “Lho, tidak bisa. Anda jangan membuat saya murka, ya. Saya tidak mau tahu, anda harus bertanggung jawab terhadap putri saya! Enak saja! Sudah berani tidur dengannya tapi tak mau menikahi dia!” ujar orang yang mengaku sebagai Papa dari Marta.“Tuan Hendrik. Perlu saya tekankan sekali lagi. Kalau saya sama sekali tak pernah melakukan apa pun terhadap putri anda. Dan video yang tersebar, itu semua hanya fitnah. Ingat! Hanya fitnah. Putri anda memang mengarang semuanya dan berakting dengan sempurna. Maaf. Apa kalian berdua tak tahu kalau Marta berhubungan badan dengan pria lain? Bahkan, bukan hanya satu saja. Itu hanya salah satunya karena ingin menjebakku,” papar Mas Azzam.Mendengar hinaan yang terlontar dari suamiku, Ibu dari Marta langsung berdiri dan menggebrak meja di ha
Bab 35.“Bi. Di mana si Kartika?”Terdengar suara teriakan Nindy dari ruang keluarga. Saat ini, aku tengah menyiram tanaman serta bunga koleksi suamiku di taman belakang rumah.Namun begitu, aku masih dapat mendengar suara putri sulung Mas Azzam dari sini. Bagaimana tidak, teriakkan Nindy begitu menggema saat dia mencariku dan sepertinya sedang tersulut amarah. Ada apa dengan Nindy?Beberapa menit kemudian, muncullah Bi Sukma dan Nindy di belakangnya. Dia merangsek maju dan melayangkan tamparan ke pipiku tanpa Tedeng aling-aling hingga terasa perih dan sedikit kebas.“Hei ... kau ini apa-apaan? Main tampar orang sembarangan!” teriakku dengan mata yang melotot.Aku syok juga tak terima dengan perlakuan kasar Nindy, tetapi sekaligus penasaran kenapa wanita ini datang-datang langsung melayangkan hadiah ke pipiku.“Berani kamu menggoda suamiku hah? Apa kau masih belum cukup punya suami seperti papiku? Apa kau benar-benar belum move on dari Mas Danang sampai -sampai berani menggodanya!” pe
Bab 34. [“Gimana? Kamu sudah lihat video yang tersebar? Sudah percaya kalau suamimu itu tak sebaik yang kamu kira? Lebih bagus aku ke mana-mana.”]Sebuah pesan masuk dari nomor yang tak dikenal kemarin. Siapa lagi kalau bukan dari Mas Danang. Dia benar-benar berusaha membuat rumah tanggaku hancur dengan hasutannya. Ada apa dengannya? Kenapa dia begitu gigih membuatku menyerah dengan Mas Azzam?[“Suamiku itu mertuamu juga. Papinya Nindy, istri tercintamu. Apa kamu lupa?”] balasku dengan kesal.[“Justru karena dia mertuaku. Jadi, aku bisa tahu belang laki-laki tua bangka itu.”]Kembali satu pesan balasan dari mantan suamiku masuk. Membaca kalimatnya saja membuatku semakin geram. [“Sebenarnya apa maumu, hah? Jangan kau pikir aku bisa terpengaruh dengan omonganmu yang ngawur itu. Aku percaya dengan kesetiaan suamiku. Dia bukan pria kurang ajar sepertimu!”]Hilang sudah kesabaranku untuk Mas Danang. Lalu, beberapa menit kemudian, notifikasi kembali berbunyi. Sebuah link dari situs yang a
Aku mengerjap, mencoba menormalkan pandangan yang sempat mengabur, menghirup dalam-dalam aroma obat yang menguar di setiap penjuru ruangan bercat putih ini. Perlahan, kesadaranku kembali. Terdapat jarum infus yang sudah terpasang di tangan sebelah kiriku. “Sayang. Kamu sudah sadar. Alhamdulillah,” pekik suara yang sangat kukenal, siapa lagi kalau bukan suamiku.“Iya, Pi. Akhirnya, Mami sadar juga. Pingsannya lama banget,” seru Riri. Gadis itu seketika mendekat ketika mendengar papinya mengatakan aku telah sadar.Mas Azzam kemudian menggenggam tangan kananku, tetapi segera kutepis. Bayangan rekaman CCTV dan foto mesra itu sekelebat kembali muncul, hingga membuat dadaku kembali sesak.“Ri. Bisa panggilkan dokter? Katakan, Mami Tika sudah sadar,” perintah suamiku, kemudian dibalas anggukan oleh putrinya. Tak lama, Riri keluar dari ruangan ini, meninggalkan aku dan Mas Azzam berdua.“Soal video itu ....” Mas Azzam kemudian menghela napas, sedangkan aku menoleh mencoba menatap ekspresi
Bab 32.“Mas, apa aku hamil, ya? Makanya, Mas Azzam yang ngidamnya?”“Hah? Maksudnya?”Mas Azzam membuka mulutnya sambil menganga. Dia bahkan hampir saja menjatuhkan botol parfum ditangannya. Apa-apaan reaksi Mas Azzam ini? Apa dia tak ingin aku mengandung anaknya?“Mas ini kenapa sih kok reaksinya gitu amat. Apa Mas enggak mau punya anak dari aku?” tanyaku dengan bibir cemberut serta mata yang mulai memanas.“Bukan gitu, Sayang. Mas hanya kaget. Mana ada sih suami yang istrinya kalau bener hamil enggak seneng. Beneran kamu hamil?” tanya suamiku meyakinkan.“Au ah ....” Aku merajuk, masih kesal dengan reaksi Mas Azzam yang menyebalkan.“Tapi sepertinya memang hamil. Kamu lebih sensitif sekarang. Gampang ngambek, cemburu dan lebih berisi sepertinya,” goda suamiku sambil menjawil daguku. Apa benar aku memang hamil? Namun, yang Mas Azzam katakan memang benar. Akhir-akhir ini aku memang lebih sensitif. Suasana hatiku sering berubah-ubah juga. Terkadang, aku manja, suatu waktu juga mudah