“Sa, aku hanya ingin mengungkapkan perasaan yang selama ini dipendam. Aku sungguh mencintaimu. Maukah kamu menikah denganku?”Mataku membulat tak menyangka dengan pernyataan Mas Abi barusan. Apa yang harus kukatakan? Haruskah aku menerimanya?**“Ma-maaf, Mas. Untuk saat ini aku belum kepikiran memiliki suami kembali. Yang aku lakukan sekarang hanya ingin fokus menata hati dan mengurus anak-anak,” jawabku. Mas Abi tersenyum serta mengangguk.“Aku mengerti, Sa. Tapi, bisakah kamu memberiku kesempatan untuk mengambil hatimu? Membuktikan cinta ini yang besar dan tulus. Jujur, Sa. Baru pertama kalinya aku memiliki perasaan pada seorang wanita. Saat awal bertemu denganmu beberapa tahun silam. Bayanganmu selalu berputar di benakku. Akan tetapi aku sadar kalau statusmu masih bersuami. Makanya setelah perpisahanmu ini, maukah memberiku satu kali saja kesempatan?” Ada harapan besar yang kulihat di manik mata Mas Abi. Aku bimbang antara mengabulkannya atau tidak. Namun, melihat kebaikannya sel
Sejak kejadian di pantai sore itu. Aku selalu merasa gugup dan malu di depan Mas Abi. Namun, seminggu tak bertemu dengannya, selama Mas Abi di Jakarta membuatku merasakan kehilangan. Serasa ada sesuatu yang hampa ketika tak berjumpa dengan dia. Mungkinkah aku sudah terjerat dengan pesonanya? Apakah aku sudah mulai menerima kehadiran Mas Abi?Aku tak tahu apakah ini baik atau tidak karena baru beberapa bulan saja perpisahanku dengan Mas Dirga, perasaanku ini mulai tumbuh nama Mas Abi di dalamnya. Aku tak menyangka, secepat ini kah dia telah menghapus cintaku untuk Mas Dirga? Malam Minggu ini Mas Abi datang kembali. Kami bertemu di Rumah Makan seperti biasa. Dia membawakan berbagai macam oleh-oleh untuk kami. Terutama aku dan anak-anak.“Mas, kenapa banyak sekali yang dibawa? Sebaiknya Mas Abi jangan seperti ini. Aku enggak enak selalu membuat Mas Abi repot.”“Tidak, Sa. Aku enggak ada sedikitpun merasa direpotkan. Bahkan aku senang bisa membawakan sesuatu untuk semuanya. Kebetulan mem
POV Dirga.Perceraianku dengan Alisa tujuh bulan yang lalu benar-benar membuatku terpuruk. Bodoh! Aku memang bodoh telah mengikuti amarah waktu itu. Andaikan saat itu mendengar segala penjelasannya mungkin kali ini dia masih menjadi istriku. Kami masih bisa berkumpul bersama. Meski kutahu Alisa memang menginginkan perpisahan sebelumnya. Akan tetapi tuduhanku terhadapnya membuat dia pasti sangat membenciku sekarang ini.Bagaimana kalau aku datang di hadapannya? Apakah dia akan bersedia kembali lagi padaku dan hidup bersama kembali? Sudikah dia untuk memaafkan segala kesalahanku dahulu?Sekarang aku tahu, Alisa tak bersalah sedikit pun. Bahkan dia dijebak dan difitnah. Anita lah yang merencanakan semuanya. Dia ingin membuatku membenci wanita yang kucintai serta menceraikannya, dan itu berhasil. Kemarin malam, saat aku baru pulang dari kantor tengah malam. Aku ldikejutkan dengan kehadiran Anita di dalam kamar. Bagaimana mungkin dia bisa masuk ke rumah ini? Sedangkan wanita itu tak memil
Aku tak menyangka Mas Dirga datang menemuiku ke Aceh. Sebenarnya dalam benak ini terus bertanya-tanya, mau apa dia datang kemari?Apa maksudnya meminta maaf padaku? Bukankah selama ini Mas Dirga berpikir aku sudah mengkhianatinya? Lalu ... kenapa dia datang kembali dan memohon maaf?Saat Mas Dirga memeluk tadi, jujur ... aku sudah tak merasakan lagi apa pun kepadanya. Mungkinkah Mas Abi sudah berhasil menghapus nama mantan suamiku itu di hati ini? Secepat inikah?Setelah membuat teh hangat untuk Mas Abi, tak sengaja kudengar percakapan antara dua orang pria di ruang tamu itu. Kudengar Mas Abi mengatakan bahwa aku ini calon istrinya. Seulas senyum terbit di bibirku ketika mendengarnya. Sebegitu cinta kah dia sehingga takut sekali kehilanganku?Ada rasa menggelitik di dalam hati ketika tak sengaja mendengarnya. Kulihat ketegangan antara kedua pria itu semakin terasa. Aku tak ingin sampai mereka bertengkar di sini.Aku cepat-cepat masuk ke ruang tamu serta menyuguhkan minuman ini untuk M
Sejak tadi siang aku terus saja memikirkan siapa sebenarnya orang yang sudah mengirimkan kotak itu? Saat kutanyakan pada Mas Abi, dia tak tahu menahu. Bahkan malah bertanya kembali.Yang paling membuatku merasa aneh itu kata-kata di dalamnya. Siapa sesungguhnya orang yang memberikan surat pernyataan cintanya? Apakah ada pria lain yang diam-diam menyimpan rasa padaku?Ah, memikirkannya membuatku pusing sekali. Kupikir mungkin itu hanya orang iseng. Aku yang sedang melamun di sudut kamar dekat jendela dikejutkan dengan rangkulan anak-anak. Mereka mendekapku sambil berceloteh riang.“Ma, besok Papa mau ke sini lagi. Kita mau diajak jalan-jalan. Mama mau ikut enggak?” tanya Azzura.“Hemh ...? Mama enggak bisa, Sayang. Besok Mama mau kerja. Kalian ingat bapak-bapak yang tadi siang ke Rumah Makan?” Anak-anak mengangguk dengan ekspresi lucu.“Bapak tadi pesan makanan banyak banget buat acara ulang tahun anaknya besok. Mereka kan lagi liburan di pantai,” jelasku mencoba membuat mereka mengerti
Kucoba menormalkan detak jantungku yang sedang tak berirama. Sejak turun dari mobil tadi Ami selalu menyemangatiku sambil mengaitkan tangan kami sama lain. Memberikan kekuatan agar aku lebih tenang.“Percaya deh mereka pasti setuju,” bisik Ami untuk ke sekian kalinya. Sedangkan Mas Abi berjalan di depanku menuntun kami sambil menunjukkan arah meja tempat orang tuanya berada.Kulihat dia tersenyum ke arah mereka. Sepasang orang tua yang sedang menikmati teh di tangannya masing-masing.Saat kami sudah sampai. Mas Abi dan orang tuanya saling berpelukan satu sama lain. Aku dan Ami mengucapkan salam dan mencium tangan mama Mas Abi, sedangkan untuk papanya kami menangkupkan tangan di dada.“Kenalkan Ma, Pa, ini Alisa wanita yang sudah Abi ceritakan. Sedangkan ini temannya, Ami. Sengaja kami mengajaknya sebab enggak mungkin semobil berdua saja.”Aku dan Ami tersenyum sambil mengangguk sopan. Selanjutnya kami sama-sama duduk setelah dipersilahkan. Mas Abi memanggil pelayan, memesan makanan u
“Bu ... bu-kannya anda sepupu Mas Dirga? Mau apa anda ke sini? Kenapa mengikutiku? Dengar, ya! Aku dan Mas Dirga sudah tak memiliki hubungan apa pun. Jadi, kalau mau membalaskan dendam jangan kepadaku,” ucapku dengan nada bergetar.Aku mundur beberapa langkah dari pria di hadapanku. Mendengar ucapan yang terlontar barusan serta reaksiku yang ketakutan, dia terlihat terkejut.“Itukah yang kamu pikirkan padaku, Sa? Ah ... ya, pasti Dirga lah yang sudah mengatakan hal aneh padamu tentangku!” sangkalnya dengan suara yang hampir meninggi.“Maaf itu ....” Aku sama terkejutnya dengan dia. Bahkan kakiku gemetar merasa takut terhadap laki-laki yang ada di hadapanku ini. Aku mundur beberapa langkah ke belakang untuk menghindar.“Sebegitu takutnya kah kamu padaku, Sa. Padahal selama ini aku selalu mengagumimu dari sejak lama.”Mataku terbelalak mendengar perkataannya. Sebenarnya mau apa pria ini? Apa maksudnya mengatakan hal barusan?“Ma-maksud anda apa?” Kupandang wajahnya dengan mata menyipit.
Gedung bercat putih dengan dekorasi nuansa biru langit ini menjadi saksi Mas Abi telah mengucapkan akad nikah untukku. Janji suci mengarungi bahtera rumah tangga yang bahagia telah priaku ikrarkan di hadapan semua tamu yang hadir.Aku menoleh pada pemilik hati ini, senyumnya yang manis membuatku candu. Pria paling gigih dan paling baik yang pernah kukenal kini telah menjadi suamiku. Ada sesuatu yang hangat, menjalari hati ketika untuk pertama kalinya Mas Abi menggenggam tangan ini erat. Kemudian, mengusap-usap dengan penuh sayang.“Apa kamu tahu bagaimana perasaanku saat ini, Sa?” bisiknya di telinga. Aku menoleh ke arahnya, membuat mata kami kembali bersirobok, pun hidung Mas Abi menempel di pipi. Membuat pipiku bersemu merah serta tubuh ini bagaikan disengat aliran listrik.Ini bukan pertama kalinya bagiku jatuh cinta kepada seorang pria yang bergelar suami. Akan tetapi, kenapa bersama Mas Abi terasa lebih indah dan membuatku melayang? Apa karena pernikahan kami berbeda?Saat menika
Bab 40.“Mas ... aku haus,” ujarku lirih saat kesadaranku telah kembali. Kali ini, aku sudah berada di ranjang rumah sakit. Mendengar suaraku Mas Azzam langsung tersentak.“Ya Allah, Sayang. Akhirnya kamu sadar juga.”Suamiku ini sontak memeluk tubuh ini hingga tak sadar mengenai lenganku yang sempat terluka, dan aku masih ingat karena perbuatan siapa.“Aww ... sakit, Mas,” ujarku sambil meringis.“Maaf. Mas terlalu bahagia saat kamu siuman. Kamu bener-bener bikin Mas ini jantungan tahu. Bisa-bisanya kamu membahayakan keselamatan dirimu seperti tadi!” sembur suamiku ini dengan tatapan tajam.Dia meraih botol air putih di atas nakas, lalu membuka tutup dan memasukkan sedotan ke dalamnya. Setelah itu, ia arahkan benda tersebut ke arahku, lalu aku minum beberapa tegukan demi melegakan tenggorokan yang mengering.“Tapi, kalau aku tak nekat seperti tadi, Nindy bakalan celaka. Aku enggak mau Mas juga bakalan sedih karena Nindy terluka,” ujarku. Mas Azzam memandangku dengan intens. Entah a
Bab 39.“Apa kata Boby?” tanya Nindy. Aku menggeleng lalu berkata, “ Tidak apa-apa, Nin. Dia cuma bilang belum menemukan Danang,” ujarku tanpa menceritakan yang sebenarnya. Aku tak ingin, Nindy yang belum terlalu pulih harus terbebani karena masalah ini. Aku hanya berharap, polisi segera selesai melakukan penyelidikan dan penyidikan agar secepatnya pelaku ditetapkan sebagai tersangka dan ditahan. Tak lama, Riri dan Mas Azzam akhirnya datang juga. Kutahu, suamiku pasti baru pulang dari perusahaan dan sekalian menjemput Riri, itu yang dia katakan tadi di pesan yang dirinya kirim.Aku menyambut kedatangan Riri dan Mas Azzam. Riri mencium tangan dan kedua pipiku, lalu beralih ke ranjang kakaknya untuk melepas rindu. Meski pun hubungan mereka sempat merenggang sebelumnya, tetapi bagaimana pun mereka memiliki hubungan saudara. Pasti, akan sama-sama merasakan sedih jika salah satunya terkena masalah atau musibah. Itu pun yang terjadi antara Riri dan Nindy sekarang.Sedangkan Mas Azzam, di
Bab 38. “Maafkan aku ....” ujar Nindy dengan lirih.Aku masih mematung di tempat, begitu tak percaya dengan apa yang baru saja kudengar. Nindy meminta maaf? Apa pendengaranku tak salah?Jari Nindy yang meremas pergelangan tangan ini membuatku sontak tersadar dari lamunan.“Apa kamu mau memaafkan aku? Aku tahu, aku sudah salah menilaimu selama ini. Bahkan, aku sudah berbuat dzolim kepadamu hanya untuk merebut serta mendapatkan Mas Danang kembali. Tapi, apa yang kudapat sekarang? A-aku ... kehilangan segalanya ...,” ujarnya dengan begitu pilu. Terdapat luka di setiap kata-kata Nindy yang terucap.Kualihkan pandangan agar kami saling menatap satu sama lain. Supaya bisa menyelami perasaan putri suamiku tersebut lewat mata. Konon, jika ingin melihat ketulusan dari seseorang, yang pertama tak bisa berbohong ialah mata. Dari anggota tubuh yang bening tersebut, dapat menjelaskan beribu perasaan yang terpendam, termasuk kebohongan.Namun, aku sama sekali tak melihat keburukan apa pun dari N
Bab 37.“Ada apa, Bob?” cecarku. “Kak Nindy masuk rumah sakit. Ditubuhnya penuh luka lebam dan cekikan. Kata seseorang yang menolongnya, Kakak sudah tak sadarkan diri di teras rumah yang sepi karena syok,” papar Boby hingga membuatku membulatkan mata.“Terus? Gimana keadaan dia sekarang?” tanyaku kembali.“Kak Nindy harus dirawat karena ada sendi di bagian lengan dan tulang bahunya yang bergeser. Dan yang paling parah dari semua itu, dia mengalami keguguran,” terangnya semakin membuatku terkejut luar biasa.Kuputuskan untuk ikut bersama Boby untuk melihat kondisi Nindy. Sebelumnya, kuminta Riri untuk diam di rumah saja. Saat di perjalanan, aku mengabari Mas Azzam tentang kondisi putri sulungnya tersebut. Suamiku begitu terkejut, dia terdengar marah ketika mendapat penjelasan dariku. Katanya, setelah pulang dari kantor polisi nanti, Mas Azzam akan menyusul ke rumah sakit di mana Nindy dirawat.Aku dan Boby bergegas mencari kamar berapa Nindy berada. Kemudian, menghubungi wanita yang
Bab 36.“Maaf saya tidak bisa memenuhi tuntutan anda. Saya menolak menikahi putri kalian sampai kapan pun,” tekan Mas Azzam. Wajah suamiku ini telah merah padam penuh dengan amarah dengan rahang yang mulai membesi. “Lho, tidak bisa. Anda jangan membuat saya murka, ya. Saya tidak mau tahu, anda harus bertanggung jawab terhadap putri saya! Enak saja! Sudah berani tidur dengannya tapi tak mau menikahi dia!” ujar orang yang mengaku sebagai Papa dari Marta.“Tuan Hendrik. Perlu saya tekankan sekali lagi. Kalau saya sama sekali tak pernah melakukan apa pun terhadap putri anda. Dan video yang tersebar, itu semua hanya fitnah. Ingat! Hanya fitnah. Putri anda memang mengarang semuanya dan berakting dengan sempurna. Maaf. Apa kalian berdua tak tahu kalau Marta berhubungan badan dengan pria lain? Bahkan, bukan hanya satu saja. Itu hanya salah satunya karena ingin menjebakku,” papar Mas Azzam.Mendengar hinaan yang terlontar dari suamiku, Ibu dari Marta langsung berdiri dan menggebrak meja di ha
Bab 35.“Bi. Di mana si Kartika?”Terdengar suara teriakan Nindy dari ruang keluarga. Saat ini, aku tengah menyiram tanaman serta bunga koleksi suamiku di taman belakang rumah.Namun begitu, aku masih dapat mendengar suara putri sulung Mas Azzam dari sini. Bagaimana tidak, teriakkan Nindy begitu menggema saat dia mencariku dan sepertinya sedang tersulut amarah. Ada apa dengan Nindy?Beberapa menit kemudian, muncullah Bi Sukma dan Nindy di belakangnya. Dia merangsek maju dan melayangkan tamparan ke pipiku tanpa Tedeng aling-aling hingga terasa perih dan sedikit kebas.“Hei ... kau ini apa-apaan? Main tampar orang sembarangan!” teriakku dengan mata yang melotot.Aku syok juga tak terima dengan perlakuan kasar Nindy, tetapi sekaligus penasaran kenapa wanita ini datang-datang langsung melayangkan hadiah ke pipiku.“Berani kamu menggoda suamiku hah? Apa kau masih belum cukup punya suami seperti papiku? Apa kau benar-benar belum move on dari Mas Danang sampai -sampai berani menggodanya!” pe
Bab 34. [“Gimana? Kamu sudah lihat video yang tersebar? Sudah percaya kalau suamimu itu tak sebaik yang kamu kira? Lebih bagus aku ke mana-mana.”]Sebuah pesan masuk dari nomor yang tak dikenal kemarin. Siapa lagi kalau bukan dari Mas Danang. Dia benar-benar berusaha membuat rumah tanggaku hancur dengan hasutannya. Ada apa dengannya? Kenapa dia begitu gigih membuatku menyerah dengan Mas Azzam?[“Suamiku itu mertuamu juga. Papinya Nindy, istri tercintamu. Apa kamu lupa?”] balasku dengan kesal.[“Justru karena dia mertuaku. Jadi, aku bisa tahu belang laki-laki tua bangka itu.”]Kembali satu pesan balasan dari mantan suamiku masuk. Membaca kalimatnya saja membuatku semakin geram. [“Sebenarnya apa maumu, hah? Jangan kau pikir aku bisa terpengaruh dengan omonganmu yang ngawur itu. Aku percaya dengan kesetiaan suamiku. Dia bukan pria kurang ajar sepertimu!”]Hilang sudah kesabaranku untuk Mas Danang. Lalu, beberapa menit kemudian, notifikasi kembali berbunyi. Sebuah link dari situs yang a
Aku mengerjap, mencoba menormalkan pandangan yang sempat mengabur, menghirup dalam-dalam aroma obat yang menguar di setiap penjuru ruangan bercat putih ini. Perlahan, kesadaranku kembali. Terdapat jarum infus yang sudah terpasang di tangan sebelah kiriku. “Sayang. Kamu sudah sadar. Alhamdulillah,” pekik suara yang sangat kukenal, siapa lagi kalau bukan suamiku.“Iya, Pi. Akhirnya, Mami sadar juga. Pingsannya lama banget,” seru Riri. Gadis itu seketika mendekat ketika mendengar papinya mengatakan aku telah sadar.Mas Azzam kemudian menggenggam tangan kananku, tetapi segera kutepis. Bayangan rekaman CCTV dan foto mesra itu sekelebat kembali muncul, hingga membuat dadaku kembali sesak.“Ri. Bisa panggilkan dokter? Katakan, Mami Tika sudah sadar,” perintah suamiku, kemudian dibalas anggukan oleh putrinya. Tak lama, Riri keluar dari ruangan ini, meninggalkan aku dan Mas Azzam berdua.“Soal video itu ....” Mas Azzam kemudian menghela napas, sedangkan aku menoleh mencoba menatap ekspresi
Bab 32.“Mas, apa aku hamil, ya? Makanya, Mas Azzam yang ngidamnya?”“Hah? Maksudnya?”Mas Azzam membuka mulutnya sambil menganga. Dia bahkan hampir saja menjatuhkan botol parfum ditangannya. Apa-apaan reaksi Mas Azzam ini? Apa dia tak ingin aku mengandung anaknya?“Mas ini kenapa sih kok reaksinya gitu amat. Apa Mas enggak mau punya anak dari aku?” tanyaku dengan bibir cemberut serta mata yang mulai memanas.“Bukan gitu, Sayang. Mas hanya kaget. Mana ada sih suami yang istrinya kalau bener hamil enggak seneng. Beneran kamu hamil?” tanya suamiku meyakinkan.“Au ah ....” Aku merajuk, masih kesal dengan reaksi Mas Azzam yang menyebalkan.“Tapi sepertinya memang hamil. Kamu lebih sensitif sekarang. Gampang ngambek, cemburu dan lebih berisi sepertinya,” goda suamiku sambil menjawil daguku. Apa benar aku memang hamil? Namun, yang Mas Azzam katakan memang benar. Akhir-akhir ini aku memang lebih sensitif. Suasana hatiku sering berubah-ubah juga. Terkadang, aku manja, suatu waktu juga mudah