Desy berjalan masuk ke dalam butik, diikuti oleh Melani dan Namira. Sementara Aldo berjalan paling akhir dengan menggendong Nafisa. Desy menatap takjub pada interior butik yang serba putih. Butik ini terlihat jauh lebih mewah dari butik sebelumnya. "Melani, kamu beruntung sekali mempunyai suami yang rela memberikan segalanya untukmu," gumamnya. "Apa kalian menyukai butuk ini?" Tiba-tiba suara bariton terdengar dari belakang. Semuanya menoleh dan melihat Deon baru saja memasuki butik. Dia mengambil alih tugas Aldo menggendong Nafisa. Nafisa terbangun saat mendengar suara Deon. Dia mengucek-ngucek mata melihat sekeliling. "Papa! Lagi di mana kita?" tanyanya ingin tahu. "Kamu sudah bangun, Nafisa?" Deon hendak menurunkan Nafisa, tetapi Nafisa memegang erat pundak Deon. Dia masih ingin berada di gendongan papa sambungnya itu. "Kita sedang berada di butik milik mamamu. Apa kamu menyukainya?" Deon menatap lekat Nafisa. Nafisa mengedarkan pandangan ke sekeliling, lalu menganggukkan kepa
"Sudah sudah, jangan memaksa istriku, dia pasti malu. Aku meminta Aldo membawa kalian ke sini untuk memberikan kejutan ini untuk Melani. Kalian boleh melihat-lihat sebelum butik ini resmi dibuka," ujar Deon mengalihkan pembicaraan. Dia melirik Melani dan tersenyum geli saat melihat wajah istrinya itu telah bersemu merah. "Kamu harus pulih dan sehat dulu sebelum kembali bekerja mengurus butik ini. Aku tau kamu pasti masih trauma setelah kejadian kebakaran malam itu. Tenang saja, kali ini aku tidak akan membiarkan kebakaran itu terjadi lagi. Aku akan memberikan pengawalan dan pengawasan yang maksimal di butik ini. Kamu juga tidak perlu bekerja terlalu keras. Aku telah menyewa beberapa pelayan untuk membantu pekerjaanmu." Deon berkata panjang lebar. "Baiklah, aku sudah mengatakan semua yang harus aku katakan. Aku harus kembali bekerja lagi. Silakan kalian nikmati waktu kalian di sini. Aldo akan menunggu kalian di depan. Panggil dia jika kalian ingin pulang." Deon berpamitan pada Melani,
"Melani? Aku tidak menyangka, kamu sudah besar dan secantik ini." Nenek tua berjalan pelan mendekati Melani. Dia menatap Melani dengan mata berkaca-kaca. Mengusap lembut pipi Melani. Melani mengerutkan kening. Dia tidak mengerti apa yang dilakukan nenek tua itu. Nenek tua itu seperti memperlakukan dia sebagai cucunya. "Nenek? Bukankah Anda nenek yang sedang mencari cucu itu? Anda datang ke acara lelang beberapa hari yang lalu dan bercerita jika cucu Anda pernah hilang beberapa tahun silam," ujar Melani terbata-bata. Dia menatap iba pada nenek tua yang rambutnya telah memutih itu. Entah kenapa dia bisa merasakan kesedihan si nenek karena kehilangan cucu kesayangannya. Nenek tua itu menoleh ke arah Namira. "Namira, tolong jelaskan semuanya kepada cucuku," ujarnya tegas. "Nenek mengenal ibuku?" Melani bertanya bingung. "Apa Nenek sudah menemukan cucu Nenek?" Dia bertanya penuh harap. Dalam hatinya berdoa agar nenek itu segera menemukan cucunya agar mereka kembali berkumpul layaknya ke
Saat Melani masih berbicara serius dengan Nenek Karmila dan Namira, diam-diam Desy berjalan menjauhi mereka dan menghampiri Aldo. "Sungguh ternyata keluarga kaya tidak seindah seperti di pikiranku. Mereka mempunyai masalah yang sangat rumit. Lebih rumit dari masalah orang biasa. Aku jadi bersyukur karena tidak dilahirkan dari keluarga kaya," gumam Desy sambil melirik Melani yang masih berbincang dengan ibu dan neneknya. "Kamu yakin? Beberapa menit yang lalu kamu terus memuji keberuntungan Nyonya Melani karena menikah dengan pria kaya. Kukira kamu juga menginginkan nasib yang sama seperti sahabatmu itu," ujar Aldo. Dia menatap dingin Desy. "Aku memuji bukan berarti menginginkan nasib yang sama. Aku hanya senang karena sahabatku itu akhirnya bahagia. Apa kamu tahu? Setiap hari aku mencemaskan Melani sejak mendapat kabar jika dia bercerai dengan suaminya yang dulu. Dia pasti sangat sedih karena suaminya berselingkuh dengan adiknya sendiri," oceh Desy. "Kenapa kamu mencemaskannya? Mesk
Nenek Karmila menghembuskan napas berat. “Baiklah, jika itu maumu. Nenek akan merahasiakan identitasmu sebagai cucu keluarga Atmajaya untuk sementara. Tapi, izinkan Nenek mengunjungimu sewaktu-waktu,” ucapnya pada akhirnya. Dia memutuskan untuk mengalah sementara. “Baiklah, kamu harus beristirahat. Bagaimana jika Nenek mengantarkanmu pulang?” ujar Nenek Karmila. “Sekalian, aku ingin tahu di mana tempat tinggalmu saat ini” lanjutnya. Melani menatap Namira, meminta persetujuan. Namira menganggukkan kepala tanda setuju. “Pulanglah bersama nenekmu. Ibu akan meminta Nak Aldo untuk mengantar Ibu.” Namira mengusap lembut kepala Nafisa. “Kamu baik-baiklah bersama mamamu ya, Nafisa. Nenek pamit pulang dulu.” Setelah berpamitan, Namira melangkah ke luar butik lebih dulu. Dia mengedarkan pandangan ke sekeliling, mencari keberadaan Aldo dan Desy, tetapi kedua orang itu tidak kelihatan juga batang hidungnya. Di mana mereka? Namira menghembuskan napas berat. Di seberang jalan, Aldo sedang berla
Desy dan Namira berada di dalam mobil yang disopiri oleh Aldo. Mereka dalam perjalanan menuju rumah Deon. "Maaf, aku harus memastikan Nyonya Melani aman sampai rumah sebelum mengantar kalian pulang," ucap Aldo penuh penyesalan. Dia melajukan mobil dengan kecepatan tinggi. "Tidak masalah! Aku juga ingin memastikan sahabatku baik-baik saja," ujar Desy santai. Dia menikmati berlama-lama di dalam mobil bersama Aldo. "Ibu juga," sahut Namira. Entah mengapa tiba-tiba dia mengkhawatirkan Melani. "Sejak peristiwa kebakaran di butik kemarin malam, aku merasa khawatir. Jangan-jangan, seseorang sengaja ingin mencelakai Melani?" "Ibu tenang saja. Doakan saja semoga tidak terjadi sesuatu kepada Melani dan juga Nafisa," bujuk Desy seraya mengusap-usap pundak Namira. "Bu Namira, apa Ibu benar-benar yakin jika nenek tua tadi adalah orang yang sama yang menitipkan Nyonya Melani pada Anda beberapa tahun silam?" tanya Aldo ingin memastikan. Namira terlihat sedang berpikir keras. Dia menggelengkan k
Melani berjalan mondar-mandir di dapur. Sesekali, dia mengintip Nenek Karmila yang masih duduk di meja makan. “Makanlah, Nek. Sepertinya suamiku masih lama pulangnya. Sebaiknya Nenek makan dulu sebelum makanannya dingin,” bujuk Melani karena Nenek Karmila belum mau makan. “Tidak usah. Aku menunggu suamimu saja. Nanti kita bisa makan bersama,” ujar Nenek Karmila bersikukuh. “Tapi bukannya Nenek sudah lapar dari tadi?” Melani duduk di kursi makan, mengambil nasi dan lauk pauk dan meletakkannya di piring Nenek Karmila. “Ayo kita makan dulu, Nek. Nanti setelah suamiku pulang, kita bisa makan lagi,” bujuk Melani khawatir neneknya kelaparan. “Tidak mau, aku menunggu suamimu pulang saja. Cepat telepon dia biar cepat pulang. Katakan aku menunggunya,” ujar Nenek Karmila tidak sabar. Melani kembali berjalan mondar-mandir di dapur sambil memegang ponsel. Ragu-ragu dia memencet nomor ponsel Deon. Di ruangan meeting, Deon yang melihat nama Melani di layar ponselnya langsung tersenyum senang.
"Apa kamu sedang mempermainkan cucuku? Kalian sudah menikah, bagaimana bisa kamu belum memperkenalkan cucuku pada kedua orangtuamu?" Nenek Karmila menatap Deon penuh amarah. "Maafkan aku, Nek. Orangtuaku berada di luar negeri untuk mengurus bisnis. Mereka belum sempat pulang ke Indonesia. Meski begitu, mereka telah memberi restu atas pernikahan kami. Nenek tenang saja, aku janji secepatnya akan mempertemukan kalian," bujuk Deon pada Nenek Karmila. "Baiklah, aku akan menunggu janjimu itu. Sebelum kamu menepati janjimu, aku akan membawa Melani dan Nafisa pulang ke rumahku." Nenek Karmila berdiri dan menarik lengan Melani. "Ayo, ikut pulang bersama Nenek, Melani." Melani menatap Deon meminta persetujuan. Deon mengambil napas berat, lalu menghembuskannya kembali. Terpaksa dia menganggukkan kepala. "Melani dan Nafisa akan tinggal bersamaku, sampai kamu memperkenalkan kami pada kedua orangtuamu," ucap Nenek Karmila tegas. Dia menggandeng Melani dan Nafisa ke luar rumah Deon. Di depan, s
“Kamu ada waktu dalam minggu-minggu ini, Sayang? Aku ingin pergi berdua denganmu. Sejak pernikahan kita, aku belum sempat mengajakmu berbulan madu.” Deon menyempatkan menelepon Melani di sela-sela kesibukannya bekerja.Di seberang telepon, Melani sibuk mempelajari berkas-berkas perusahaan. “Maafkan aku, Sayang. Kamu tahu akhir-akhir ini aku sangat sibuk. Aku harus mengurus butik dan juga mengurus perusahaan Ayah.” Melani berkata dengan penuh penyesalan.“Tapi kamu mempunyai banyak karyawan. Kamu bisa mendelegasikan semua pekerjaanmu pada mereka,” bujuk Deon. Dia sangat berharap bisa menikmati waktu berdua dengan istrinya.“Lain kali saja ya? Kamu tahu, aku baru saja membuat kebijakan baru untuk perusahaan ayahku. Aku membuat mereka menutup Jay Bar dan menghentikan produksi minuman beralkohol. Karena kebijakanku itu, perusahaan mengalami penurunan laba yang signifikan. Aku harus memperbaiki semua ini, Sayang.”“Apa? Apa yang kamu lakukan, Melani?” Tiba-tiba Nenek Karmila masuk ke ruang
Melani tampak sangat cantik mengenakan pakaian pengantin warna putih. Pesta pernikahan kali ini diadakan di Ballroom Hotel Alvarendra. Jika biasanya para pengantin akan menyewa gedung pernikahan selama dua atau empat jam saja, rencananya mereka akan memakai ballroom itu seharian penuh, dari pagi hingga malam hari.Banyak sekali tamu undangan yang menghadiri acara pesta pernikahan itu, mulai dari rakyat biasa hingga para pejabat dan rekan kerja Deon. Bahkan, para tamu undangan yang datang dari luar kota bisa menginap di hotel setempat dengan gratis.Tiba saat acara lempar bunga, para pasangan maupun para jomlo berebut buket bunga yang dilempar pengantin.Buket bunga yang dilempar Melani jatuh ke tangan Aldo dan Desy secara serempak. Mereka berdua berebut buket bunga itu dan tidak ada yang mau mengalah.“Kenapa kalian harus berebutan seperti anak kecil? Bukankah kalian akan menikah pada hari yang sama?” sindir Vina yang tia-tiba datang dengan gaun merahnya yang indah. Dia berhasil mereb
“Syarat lagi? Apa itu?” Deon bertanya pada mamanya. Dia akan melakukan apa pun, asalkan kedua orangtuanya mau merestui hubungan pernikahan dia dan Melani.“Papa dan Mama tidak hadir di pesta pernikahan kalian dulu. Jadi, Mama mau kalian mengadakan pesta pernikahan lagi. Kali ini harus meriah. Aku mau seluruh teman Mama dan rekan bisnismu diundang di pesta itu.” Mama Deon berkata panjang lebar.Deon dan Melani saling berpandangan. Mereka mengangguk pasti. Keduanya tersenyum bahagia setelah mendapatkan restu dari kedua orangtua Deon. Rasanya, satu beban yang mengganjal di hati mereka telah terbebas dan lepas.“Sekarang, kita tinggal meminta restu pada ayahmu, Melani,” gumam Deon. Melani mengangguk setuju.“Deon, Mela, bolehkah kami meminta bantuan kalian?” ujar Papa Deon memohon. “Aku ingin bertemu dengan Brian Atmajaya, ayah Melani. Bisakah kalian membawaku ke sana?” lanjutnya.Deon dan kedua orangtuanya pergi untuk menjenguk Brian Atmajaya di Lapas. Sementara, Melani akan menyusul set
“Apa kamu tidak bercanda, Deon? Mela, istrimu?” Mama dan Pap Deon bertanya serempak. Mereka saling berpandangan untuk sejenak. Tidak percaya dengan pengakuan Deon barusan.“Kamu pasti berbohong, Deon! Kamu berbohong agar kami merestui hubungan kalian. Sejak kapan kamu mulai berani berbohong?” Papa Deon menatap tajam anaknya.“Aku setuju! Aku juga menyangsikan ucapanmu, Deon. Mana mungkin Mela adalah istrimu? Jelas-jelas mereka adalah orang yang berbeda. Istrimu berasal dari keluarga kaya raya, sedangkan Mela hanya gadis sederhana yang berasal dari kelas menengah. Mereka sangat berbeda, Deon.” Mama Melani menyangkal.“Pa, Ma, tapi Mela benar-benar telah menjadi istriku istriku. Mela dan Melani adalah orang yang sama. Nama lengkapnya Melani Atmajaya, saat di sekolah dulu, teman-teman kami memanggilnya Mela.” Deon menjelaskan panjang lebar. Dia menghentikan kalimatnya sejenak untuk mengambil napas, kemudian kembali me
“Bagaimana Anda akan mengeluarkan Brian Atmajaya dari penjara?” Aldo bertanya pada Deon. “Apa itu tidak menyalahi aturan hukum yang berlaku?” lanjutnya.“Itu bukan hal yang sulit.” Deon tersenyum miring. “Kamu tahu, hukum di negara kita bisa dibeli dengan uang dan kekuasaan. Sebenarnya aku tidak ingin membeli hukum, tapi jika itu demi kebaikan, kenapa tidak? Lagi pula aku bukan membela orang yang salah. Bukankah Brian Atmajaya tidak bersalah? Dia hanya dijebak,” ujarnya panjang lebar.“Lalu, apakah menurut Anda Brian Atmajaya akan menepati janjinya? Apa dia berani mengambil tindakan menutup Jay Bar dan menghentikan produksi minuman beralkohol di perusahaannya, sementara tindakan itu mendapatkan pertentangan dari banyak pihak?” Aldo bertanya penasaran. Dia khawatir Brian Atmajaya akan mengingkari janjinya.“Jangan khawatir, Aldo. Aku tidak peduli dengan langkah apa yang akan diambil ayah mertuaku s
Maaf semuanya, dua bab terakhir yang berjudul Direktur Baru dan Ayah Mertua terbalik karena kesalahan teknis saat posting. Seharusnya baca bab Ayah Mertua lebih dulu baru kemudian baca bab Direktur Baru. Sekali lagi mohon maaf ya. Akan segera diperbaiki.Oh ya, kalian juga bisa membaca karya aku lainnya di Good Novel yang berjudul "Dicerai Setelah Malam Pertama" (Nama pena Norasetyana), hanya 40 bab yaFollow juga sosmed-ku juga yaF* Norasetya (Mommykhaa)I* NuurahmaaSelamat malam. Selamat berakhir pekan. Semoga cerita-ceritaku ini bisa menghibur bagi kalian. Semoga kita semua dilancarkan rejekinya dan diberi kesehatan, aamiin.Menjadi Janda Tajir Melintir akan segera tamat di bab 130-an. Selamat membaca. Ikuti terus ceritaku ya.
“Ayah tenang saja. Aku akan mengusahakan Ayah agar segera keluar dari penjara ini,” ujar Deon pasti. “Ayah tidak akan mengingkari janji, ‘kan? Ayah akan menutup Jay Bar dan menghentikan produksi minuman beralkohol?” Dia bertanya memastikan. Brian hendak mengangguk pasti, tapi Nenek Karmila memelototinya. “Itu tidak akan terjadi. Apa kamu pikir aku tidak tahu, mengapa kamu meminta kami menutup Jay Bar dan menghentikan produksi minuman beralkohol di perusahaan kami?” Nenek Karmila menghentikan kalimatnya sejenak. “Itu karena perusahaan kalian sedang merencanakan untuk membangun bidang usaha yang sama. Kalian ingin menyingkirkan pesaing berat yang akan mengganggu penjualan perusahaan kalian,” lanjutnya. Deon hendak membela diri, tetapi tiba-tiba dua orang sipir datang menghampiri mereka. “Waktu jenguk sudah habis. Sekarang, sebaiknya kalian pulang. Kami akan mengantar narapidana kembali ke tahanan.” Mereka menangkap kedua tangan Brian dan membawanya masuk ke sel tahanan. Sementara itu
“Siapa kalian?” Brian Atmajaya bicara dengan terbata-bata. Dia terus menatap dua orang laki-laki di depannya. Laki-laki yang berusia jauh lebih muda darinya. “Apakah kalian datang ke sini untuk membahas pekerjaan? Pasti orang perusahaan yang menyuruh kalian menemuiku. Pulanglah! Aku tidak ingin membahas pekerjaan selama di sini,” ujarnya seraya memalingkan muka. “Kami tidak ingin membahas pekerjaan, Pak. Kami ke sini karena ingin membantu Anda keluar dari tempat ini,” ujar Deon meyakinkan. Dia tidak mengungkapkan identitas dia yang sebenarnya kepada laki-laki yang mengenakan baju tahanan. “Sungguh?” Brian melebarkan mata tidak percaya. Dia tertawa keras. “Bagaimana kamu bisa membebaskan aku dari sini? Sementara keluargaku yang kaya saja tidak bisa melakukannya?” Dia turus tertawa sambil menggeleng-gelengkan kepala. “Aku tahu, Anda masih harus menjalani masa tahanan selama tiga tahun. Aku mau membantu Anda untuk mengurangi masa tahanan Anda. Bukankah lebih baik jika Anda lebih cepat
“Papa janji akan menjemput Mama dan Nafisa secepatnya, ‘kan?” Nafisa memelas. “Jangan sampai Papa Johan yang menjemput kami lebih dulu,” ujarnya dengan melengkungkan bibir ke bawah.“Papa Johan?” Deon mengerutkan keningnya. “Kenapa Papa Johan menjemput kalian? Itu tidak mungkin terjadi.” Dia tersenyum dan menggeleng-gelengkan kepala. Dia pikir, Nafisa hanya bercanda.“Papa Johan menginap di sini kemarin malam,” ujar Nafisa polos.“Apa? Papa Johan menginap di sini? Kamu, Mama, dan Papa Johan tidur di kamar ini bertiga?” Deon melebarkan mata. Tiba-tiba terasa panas di dadanya.Nafisa menggelengkan kepala. “Hanya Nafisa dan Papa Johan. Mama tidur di kamar Nenek.” Nafisa menjelaskan. Dia sama sekali tidak menyadari jika papa sambungnya itu mulai cemburu.“Kenapa nenekmu dan mamamu mengizinkan Papa Johan menginap di sini?” Deon meminta penjelasan. Dia masih belum bisa menerima kenyataan jika mantan suami Melani bisa tinggal d rumah ini dan bertemu Melani, sementara dia tidak bisa. Bagaim