Hai, mohon maaf jika terkadang Author lama updatenya ya. Ikuti media sosal Author di facebook "Halona Halona". Kamu juga bisa mengikuti facbook Author yang lain, "Norasetya (Mommykhaa)". Di sana Author akan bagi info penting dan Up cerita judul lain yang juga seru tentunya. Thanks readerkuuu....
"Serius? Melani tidak lagi tinggal sama suaminya?" Evan membuka mata lebar. Dia terlihat begitu antusias. "Apa mereka pisah ranjang?" tanyanya penasaran. "Hus! Jangan ngomong gitu. Mereka cuma tinggal terpisah untuk sementara." Desy menjelaskan singkat. "Tapi kenapa?" Evan mengerutkan kening. Dia kembali masuk ke dalam kamar Desy, lalu mengambil kursi dan duduk terbalik di atasnya, bersiap mendengarkan penjelasan dari Desy. "Apa mereka bertengkar? Atau terjadi sesuatu? Bisa kamu menjelaskan semuanya pada Kakak?" tanyanya tidak sabar. "Lebih baik Kakak tidak usah ikut campur. Kakak tau, 'kan, bagaimana kekuatan seorang Deon Alvarendra? Dia bisa membuat perusahaan Kakak porak-poranda. Apa Kakak tidak kapok?" Desy masuk ke kamar mandi, berharap Evan berhenti bertanya lagi. Namira sudah sampai di rumah dengan selamat. Saat dia masuk ke dalam rumah, Bonita telah menyambutnya dengan bersedekap tangan. "Dari mana saja, Bu? Tidak ada makanan sejak tadi. Perutku sangat lapar," keluh Bonit
"Aku sangat penasaran. Bagaimana keluarga Kak Melani? Aku yakin mereka berasal dari keluarga miskin di pinggiran kota." Bonita berbicara sendiri saat Namira pergi ke dapur untuk memasak. Dia berjalan masuk ke dalam kamar, lalu membuka laci meja dan menemukan sebuah undangan di sana. Bonita membaca undangan itu sambil tersenyum menyeringai. Sebuah undangan pernikahannya dengan Johan. Dia meletakkan undangan itu kembali ke dalam laci, lalu menyalakan ponsel dan menelepon seseorang. "Kak Johan. Besok, sepulang dari kantor, kamu harus menemaniku ke suatu tempat. Aku harus mengantarkan undangan pernikahan kita pada seseorang," ujar Bonita memohon. "Bisakah kamu pergi sendiri, Bonita? Bukankah kamu bilang bisa mengantar undangan-undangan itu sendiri?" elak Johan. Bagi Johan, rebahan sepulang kerja lebih menarik dari pada harus berlelah-lelah menemani Bonita mengantar undangan. "Kali ini Kak Johan harus ikut! Kita akan mengundang tamu penting," ujar Bonita agak memaksa. Johan mengerutkan
Deon terbangun di sebuah kamar kecil yang sederhana, berbeda drastis dengan kamar dia sebelumnya. Dia bergegas bangkit dari tempat tidur dan membuka jendela kamar. Jendela kamar Deon, tepat berhadapan dengan kamar Melani.Bersamaan saat Deon membuka jendela kamar, di kamar yang bersebelahan dengan kamar Deon, Evan pun melakukan hal yang sama. Evan membuka jendela kamar, lalu mengamati rumah besar milik Nenek Karmila.Melani baru saja terbangun dari tidurnya saat seorang pelayan membukakan jendela kamar untuknya. Cahaya matahari pagi yang masuk ke kamar Melani membangunkan tidur lelap Melani dan Nafisa.“Nyonya Karmila menunggu kalian di bawah untuk sarapan pagi, Nona,” ucap pelayan seraya mengangguk hormat pada Melani.“Baiklah! Kamu boleh turun ke bawah dulu. Aku dan anakku akan bersiap-siap dan segera menyusul pergi ke bawah,” ujar Melani tegas. Dia segera bangkit dari tidurnya dan merapikan tempat tidur.“Kapan kita pulang ke rumah, Ma? Aku mau pulang ke rumah Papa Deon,” rengek N
“Ayahmu tidak ada di foto itu, Melani. Dulu, ayahmu sangat sibuk hingga tidak sempat kumpul bersama kami sekeluarga.” Nenek Karmila menjelaskan.Melani melengkungkan bibir ke bawah. Lagi-lagi dia harus menelan kecewa. Padahal, sudah lama sekali dia ingin melihat ayahnya.“Jangan bersedih. Makanlah yang banyak. Lihatlah, Nafisa akan ikut sedih jika melihatmu sedih.” Nenek Karmila memberi petuah.“Selesai sarapan nanti, cepatlah bersiap-siap, sopir akan mengantar kita ke butik setelah mengantar Nafisa ke sekolah,” ujar Nenek Karmila pada Nafisa dan Melani.Di penginapan seberang rumah Nenek Karmila, Deon sedang bersiap-siap. Dia berjalan mengelilingi kamarnya yang sempit sambil membawa handuk dan peralatan mandi. “Di mana kamar mandinya?” ujarnya sambil mengedarkan pandangan ke sekeliling ruangan.Deon tidak sendirian di ruangan itu. Karena tidak terbiasa di lingkungan asing, dia meminta Aldo menemaninya.Aldo sendiri sudah bangun satu jam sebelum Deon bangun, dia sudah selesai mandi da
“Le-lelaki psikopat? Maksud Anda?” Aldo tidak mengerti apa yang dibicarakan Deon.“Kamu tidak tahu? Lelaki psikopat itu juga menginap di sini. Aku bertemu dengannya tadi saat ke kamar mandi.” Aldo menjelaskan. “Dia pasti sengaja menginap di sini untuk menemui istriku,” ujarnya seraya mendengkus kesal. Aku tidak mau tahu, kamu harus bisa membuat lelaki psikopat itu meninggalkan penginapan ini,” titahnya tegas pada Aldo.“Tapi siapa saja bisa menginap di penginapan ini, Tuan. Kita bukan pemilik penginapan. Tidak da alasan untuk mengusir orang lain dari penginapan ini jika pemilik penginapan sudah memberi izin.” Aldo berkata panjang lebar.“Kalau begitu, aku akan membelinya,” ujar Deon santai.“Apa?” Aldo melebarkan mata tidak percaya. “Apa aku tidak salah dengar?” lanjutnya. Biasanya, Deon tidak sembarangan memilih properti untuk dibeli. Penginapan kecil yang sudah tua ini bahkan sama sekali tidak mempunyai nilai jual. Aldo sendiri tidak tertarik untuk membelinya.“Apa ada yang salah de
“Selamat ya, Aldo. Sepertinya tahun ini kamu akan mengucapkan selamat tinggal pada gelar jomlo.” Deon mengulurkan tangannya pada Aldo saat Nenek Karmila baru saja masuk ke dalam rumah.Aldo melebarkan mata, lalu memutar bola mata malas. “Maksud Anda, Tuan? Ini tidak mungkin karena Nenek Karmila terus menatapku, ‘kan?” tanyanya tanpa basa-basi.Deon tertawa geli. “Aku tidak menyangka, kamu menjadi selera nenek-nenek, Aldo. Sebentar lagi kamu akan menjadi kakek mertuaku,” candanya.“Itu tidak mungkin.” Aldo menggeleng-gelengkan kepala dan tertawa. Dia bergegas melepaskan kumis dan jenggot palsunya. “Ini semua karena kumis dan jenggot palsu ini. Seharusnya Anda tidak meminta saya memakainya, Tuan.” Keduanya tertawa bersama.Aldo kembali memasang kumis dan jenggot palsunya saat dia melihat sebuah mobil keluar dari halaman rumah Nenek Karmila. Melani dan Nafisa juga ada di dalam mobil itu.“Cepat ambil mobil, Aldo. Kita berangkat ke kantor sekarang,” titah Deon bersemangat. Melani akan ber
“Jangan bilang yang Kakak maksud adalah Aldo?” Desy bertanya pada Evan. “Apa benar Aldo juga menginap di penginapan ini?” Dia merasa bersemangat saat membahas tentang Aldo.“Siapa lagi kalau bukan dia? Otak mesum yang pecundang itu,” Evan menjawab tanpa menoleh ke arah Desy. Dia masih asyik melahap nasi goreng buatan Desy.“Kakak! Jangan sebut dia pecundang. Dia akan menjadi adik ipar Kakak. Kalian harus akur,” protes Desy.“Kenapa aku tidak boleh memanggilnya pecundang? Sampai sekarang dia belum menghubungi Kakak untuk meminta restu,” ujar Evan.“Jadi Kakak akan merestui kami?” Desy berteriak girang.“Siapa bilang? Aku hanya akan merestuinya jika dia berusaha keras dan berhasil meluluhkan hatiku.” Evan menjawab asal.“Kenapa hati Kakak seperti batu? Kakak harus sedikit melunakkan hati Kakak. Aldo adalah laki-laki yang baik dan berkualitas. Kakak akan menyesal jika melewatkan dia,” rengek Desy. Dia menangkupkan kedua tangan di depan dada, memohon kepada Evan.“Terserah kamu,” ujar Eva
Deon duduk di ruang kerjanya yang menghadap ke jendela besar. Dari jendela itu dia bisa melihat butik Melani dengan jelas. Dia terus menunggu, tetapi Melani tidak kunjung datang ke butik itu.Deon mengambil ponsel yang dia letakkan di atas meja, menelepon seseorang. “Savira, apa hari ini Melani tidak datang ke butik?” tanyanya pada orang kepercayaan yang bertugas menjadi asisten pribadi untuk membantu Melani mengelola butik.“Tadi Nyonya Melani izin berangkat agak siang, Tuan. Sepertinya ada urusan penting yang membuatnya datang terlambat ke butik,” jawab Savira.“Urusan penting? Urusan penting apa itu?” Deon bertanya penasaran.“Saya juga tidak tahu, Tuan. Nyonya Melani tidak mengatakannya,” ujar Savira. “Nyonya Melani hanya meminta izin dan menitipkan butik kepadaku,” lanjutnya menjelaskan.“Baiklah. Lakukan pekerjaanmu dengan baik. Aku akan menghubungimu lagi nanti,” ucap Deon tegas, lalu menutup telepon.Deon mengetuk-ngetukkan jemarinya di atas meja. Dia sedang berpikir keras. Se
“Kamu ada waktu dalam minggu-minggu ini, Sayang? Aku ingin pergi berdua denganmu. Sejak pernikahan kita, aku belum sempat mengajakmu berbulan madu.” Deon menyempatkan menelepon Melani di sela-sela kesibukannya bekerja.Di seberang telepon, Melani sibuk mempelajari berkas-berkas perusahaan. “Maafkan aku, Sayang. Kamu tahu akhir-akhir ini aku sangat sibuk. Aku harus mengurus butik dan juga mengurus perusahaan Ayah.” Melani berkata dengan penuh penyesalan.“Tapi kamu mempunyai banyak karyawan. Kamu bisa mendelegasikan semua pekerjaanmu pada mereka,” bujuk Deon. Dia sangat berharap bisa menikmati waktu berdua dengan istrinya.“Lain kali saja ya? Kamu tahu, aku baru saja membuat kebijakan baru untuk perusahaan ayahku. Aku membuat mereka menutup Jay Bar dan menghentikan produksi minuman beralkohol. Karena kebijakanku itu, perusahaan mengalami penurunan laba yang signifikan. Aku harus memperbaiki semua ini, Sayang.”“Apa? Apa yang kamu lakukan, Melani?” Tiba-tiba Nenek Karmila masuk ke ruang
Melani tampak sangat cantik mengenakan pakaian pengantin warna putih. Pesta pernikahan kali ini diadakan di Ballroom Hotel Alvarendra. Jika biasanya para pengantin akan menyewa gedung pernikahan selama dua atau empat jam saja, rencananya mereka akan memakai ballroom itu seharian penuh, dari pagi hingga malam hari.Banyak sekali tamu undangan yang menghadiri acara pesta pernikahan itu, mulai dari rakyat biasa hingga para pejabat dan rekan kerja Deon. Bahkan, para tamu undangan yang datang dari luar kota bisa menginap di hotel setempat dengan gratis.Tiba saat acara lempar bunga, para pasangan maupun para jomlo berebut buket bunga yang dilempar pengantin.Buket bunga yang dilempar Melani jatuh ke tangan Aldo dan Desy secara serempak. Mereka berdua berebut buket bunga itu dan tidak ada yang mau mengalah.“Kenapa kalian harus berebutan seperti anak kecil? Bukankah kalian akan menikah pada hari yang sama?” sindir Vina yang tia-tiba datang dengan gaun merahnya yang indah. Dia berhasil mereb
“Syarat lagi? Apa itu?” Deon bertanya pada mamanya. Dia akan melakukan apa pun, asalkan kedua orangtuanya mau merestui hubungan pernikahan dia dan Melani.“Papa dan Mama tidak hadir di pesta pernikahan kalian dulu. Jadi, Mama mau kalian mengadakan pesta pernikahan lagi. Kali ini harus meriah. Aku mau seluruh teman Mama dan rekan bisnismu diundang di pesta itu.” Mama Deon berkata panjang lebar.Deon dan Melani saling berpandangan. Mereka mengangguk pasti. Keduanya tersenyum bahagia setelah mendapatkan restu dari kedua orangtua Deon. Rasanya, satu beban yang mengganjal di hati mereka telah terbebas dan lepas.“Sekarang, kita tinggal meminta restu pada ayahmu, Melani,” gumam Deon. Melani mengangguk setuju.“Deon, Mela, bolehkah kami meminta bantuan kalian?” ujar Papa Deon memohon. “Aku ingin bertemu dengan Brian Atmajaya, ayah Melani. Bisakah kalian membawaku ke sana?” lanjutnya.Deon dan kedua orangtuanya pergi untuk menjenguk Brian Atmajaya di Lapas. Sementara, Melani akan menyusul set
“Apa kamu tidak bercanda, Deon? Mela, istrimu?” Mama dan Pap Deon bertanya serempak. Mereka saling berpandangan untuk sejenak. Tidak percaya dengan pengakuan Deon barusan.“Kamu pasti berbohong, Deon! Kamu berbohong agar kami merestui hubungan kalian. Sejak kapan kamu mulai berani berbohong?” Papa Deon menatap tajam anaknya.“Aku setuju! Aku juga menyangsikan ucapanmu, Deon. Mana mungkin Mela adalah istrimu? Jelas-jelas mereka adalah orang yang berbeda. Istrimu berasal dari keluarga kaya raya, sedangkan Mela hanya gadis sederhana yang berasal dari kelas menengah. Mereka sangat berbeda, Deon.” Mama Melani menyangkal.“Pa, Ma, tapi Mela benar-benar telah menjadi istriku istriku. Mela dan Melani adalah orang yang sama. Nama lengkapnya Melani Atmajaya, saat di sekolah dulu, teman-teman kami memanggilnya Mela.” Deon menjelaskan panjang lebar. Dia menghentikan kalimatnya sejenak untuk mengambil napas, kemudian kembali me
“Bagaimana Anda akan mengeluarkan Brian Atmajaya dari penjara?” Aldo bertanya pada Deon. “Apa itu tidak menyalahi aturan hukum yang berlaku?” lanjutnya.“Itu bukan hal yang sulit.” Deon tersenyum miring. “Kamu tahu, hukum di negara kita bisa dibeli dengan uang dan kekuasaan. Sebenarnya aku tidak ingin membeli hukum, tapi jika itu demi kebaikan, kenapa tidak? Lagi pula aku bukan membela orang yang salah. Bukankah Brian Atmajaya tidak bersalah? Dia hanya dijebak,” ujarnya panjang lebar.“Lalu, apakah menurut Anda Brian Atmajaya akan menepati janjinya? Apa dia berani mengambil tindakan menutup Jay Bar dan menghentikan produksi minuman beralkohol di perusahaannya, sementara tindakan itu mendapatkan pertentangan dari banyak pihak?” Aldo bertanya penasaran. Dia khawatir Brian Atmajaya akan mengingkari janjinya.“Jangan khawatir, Aldo. Aku tidak peduli dengan langkah apa yang akan diambil ayah mertuaku s
Maaf semuanya, dua bab terakhir yang berjudul Direktur Baru dan Ayah Mertua terbalik karena kesalahan teknis saat posting. Seharusnya baca bab Ayah Mertua lebih dulu baru kemudian baca bab Direktur Baru. Sekali lagi mohon maaf ya. Akan segera diperbaiki.Oh ya, kalian juga bisa membaca karya aku lainnya di Good Novel yang berjudul "Dicerai Setelah Malam Pertama" (Nama pena Norasetyana), hanya 40 bab yaFollow juga sosmed-ku juga yaF* Norasetya (Mommykhaa)I* NuurahmaaSelamat malam. Selamat berakhir pekan. Semoga cerita-ceritaku ini bisa menghibur bagi kalian. Semoga kita semua dilancarkan rejekinya dan diberi kesehatan, aamiin.Menjadi Janda Tajir Melintir akan segera tamat di bab 130-an. Selamat membaca. Ikuti terus ceritaku ya.
“Ayah tenang saja. Aku akan mengusahakan Ayah agar segera keluar dari penjara ini,” ujar Deon pasti. “Ayah tidak akan mengingkari janji, ‘kan? Ayah akan menutup Jay Bar dan menghentikan produksi minuman beralkohol?” Dia bertanya memastikan. Brian hendak mengangguk pasti, tapi Nenek Karmila memelototinya. “Itu tidak akan terjadi. Apa kamu pikir aku tidak tahu, mengapa kamu meminta kami menutup Jay Bar dan menghentikan produksi minuman beralkohol di perusahaan kami?” Nenek Karmila menghentikan kalimatnya sejenak. “Itu karena perusahaan kalian sedang merencanakan untuk membangun bidang usaha yang sama. Kalian ingin menyingkirkan pesaing berat yang akan mengganggu penjualan perusahaan kalian,” lanjutnya. Deon hendak membela diri, tetapi tiba-tiba dua orang sipir datang menghampiri mereka. “Waktu jenguk sudah habis. Sekarang, sebaiknya kalian pulang. Kami akan mengantar narapidana kembali ke tahanan.” Mereka menangkap kedua tangan Brian dan membawanya masuk ke sel tahanan. Sementara itu
“Siapa kalian?” Brian Atmajaya bicara dengan terbata-bata. Dia terus menatap dua orang laki-laki di depannya. Laki-laki yang berusia jauh lebih muda darinya. “Apakah kalian datang ke sini untuk membahas pekerjaan? Pasti orang perusahaan yang menyuruh kalian menemuiku. Pulanglah! Aku tidak ingin membahas pekerjaan selama di sini,” ujarnya seraya memalingkan muka. “Kami tidak ingin membahas pekerjaan, Pak. Kami ke sini karena ingin membantu Anda keluar dari tempat ini,” ujar Deon meyakinkan. Dia tidak mengungkapkan identitas dia yang sebenarnya kepada laki-laki yang mengenakan baju tahanan. “Sungguh?” Brian melebarkan mata tidak percaya. Dia tertawa keras. “Bagaimana kamu bisa membebaskan aku dari sini? Sementara keluargaku yang kaya saja tidak bisa melakukannya?” Dia turus tertawa sambil menggeleng-gelengkan kepala. “Aku tahu, Anda masih harus menjalani masa tahanan selama tiga tahun. Aku mau membantu Anda untuk mengurangi masa tahanan Anda. Bukankah lebih baik jika Anda lebih cepat
“Papa janji akan menjemput Mama dan Nafisa secepatnya, ‘kan?” Nafisa memelas. “Jangan sampai Papa Johan yang menjemput kami lebih dulu,” ujarnya dengan melengkungkan bibir ke bawah.“Papa Johan?” Deon mengerutkan keningnya. “Kenapa Papa Johan menjemput kalian? Itu tidak mungkin terjadi.” Dia tersenyum dan menggeleng-gelengkan kepala. Dia pikir, Nafisa hanya bercanda.“Papa Johan menginap di sini kemarin malam,” ujar Nafisa polos.“Apa? Papa Johan menginap di sini? Kamu, Mama, dan Papa Johan tidur di kamar ini bertiga?” Deon melebarkan mata. Tiba-tiba terasa panas di dadanya.Nafisa menggelengkan kepala. “Hanya Nafisa dan Papa Johan. Mama tidur di kamar Nenek.” Nafisa menjelaskan. Dia sama sekali tidak menyadari jika papa sambungnya itu mulai cemburu.“Kenapa nenekmu dan mamamu mengizinkan Papa Johan menginap di sini?” Deon meminta penjelasan. Dia masih belum bisa menerima kenyataan jika mantan suami Melani bisa tinggal d rumah ini dan bertemu Melani, sementara dia tidak bisa. Bagaim