Hari demi hari berganti dengan begitu cepat. Secepat angin menerbangkan debu. Tanpa terasa usia kandungan Amelie genap sembilan bulan. Semakin sempurna wujud bayi yang dia kandung. Benitto sebagai pemilik kedai memberikan cuti keada Amelie sembari menunggu hari persalinan tiba. Namun Amelie selalu menolak, dengan alasan bosan jika tidak mengerjakan apa pun dan hanya berdiam diri di rumah. Gadis itu memilih untuk tetap bekerja walau pun Benitto mengatakan bahwa gaji Amelie akan tetap utuh jika dia mengambil cuti. Namun sekali lagi, Amelie tetap menolak. Malam itu semua pekerja kedai Demiurge sedang berkemas membersihkan segala peralatan makan dan juga lantai. Semua itu berlangsung seperti malam-malam sebelumnya. Sampai saat mata mereka tertuju pada seorang wanita yang berjalan terseok-seok.Amelie berjalan susah payah dengan kedua tangan berpegangan pada bangku-bangku yang ada di sekeliling. Keringat bercucuran di dahinya. Gadis itu tampak meringis kesakitan, nyaris menangis."Ameli
Gideon memutuskan untuk masuk ke dalam ruang perawatan dimana Amelie berbaring saat ini. Gadis itu terlihat pasrah dengan kesakitan yang menyiksanya, yang berhasil menyeretnya dalam situasi ketidak berdayaannya saat ini.Terlihat jelas rasa sakit yang Amelie rasakan dari rintihan dan ringisan yang begitu alami, tanpa dibuat-buat. Keringat yang bercucuran di wajah dan sekujur tubuh gadis itu semakin membuat ngilu hati pria yang selalu menatapnya dengan kagum. Di persalinan pasien-pasien yang Gideon tangani selama ini, selalu ada sosok pria yang mendampingi perempuannya berjuang melahirkan buah cinta mereka. Apa yang disaksikan Gideon malam ini membuatnya merutuki pria yang sudah manghamili Amelie. "Bertahanlah, Amelie. Kau akan segera bertemu buah hatimu." Gideon menepuk bahu Amelie dan menatapnya penuh perhatian. Bermaksud memberi semangat dan penghiburan kepada wanita yang sedang mempertaruhkan nyawa demi seorang bayi. "Ini sakit sekali .... rasanya aku ingin ... mati," rintih Amel
Siang itu langit Auckland berselimut awan. Tidak terik, namun tidak pula mendung. Fenomena alam yang seolah mentertawakan ketidak pastian yang Jonathan rasakan. Burung parkit yang beterbangan hilir mudik seolah menari di atas kegalauan Jonathan.Jonathan sedang berdiri di halaman depan rumahnya dengan kedua mata menatap menerawang pada langit. Kedua tangan pria itu tersimpan dalam saku celana. Tanpa terasa setengah tahun sudah berlalu tanpa satu pun kabar datang dari Amelie.Pertanyaan yang sama selalu muncul setiap hari, setiap minggu, dan juga setiap pergantian bulan. Dalam setiap bertambahnya bulan, Jonathan selalu menanyakan kepada dirinya sendiri, masihkah Amelie mempertahankan buah cinta mereka berdua, dan mencari tahu seperti apa tahap perkembangan janin di setiap bertambahnya bulan. Menurut hitungannya, seharusnya Amelie sudah melahirkan di bulan ini. Jonathan menarik nafas panjang saat mengingat kemungkinan buruk yang dapat Amelie lakukan. Mungkin saja gadis itu memilih untu
Dua bulan telah berlalu setelah Amelie melahirkan. Jatah cuti yang Benitto berikan sudah habis. Kini ibu satu anak tersebut memulai kembali aktivitas kerjanya di kedai Demiurge. Perbedaan yang ada di wajah Amelie mulai terlihat saat petama kembali masuk kerja; kantung matanya terlihat bengkak dan dia sering menguap. Sudah bisa ditebak kalau dia kurang tidur. Sungguh, mengurus seorang bayi adalah hal yang melelahkan. Kendati demikian, semua ibu pasti senang bisa merawat bayi yang mereka lahirkan.Amelie lebih sering melirik ke arah jam dinding setiap kali dia selesai dengan satu pekerjaan. Hal tersebut sangat disadari oleh semua rekan kerjannya. Sesekali mereka saling berbisik melihat tingkah Amelie.Waktu terasa lambat berjalan saat dia bekerja, meninggalkan sang buah hati dan memercayakannya kepada Marie dan Louise. Ada perasaan rindu ingin segera pulang untuk menemui Axel. Meski dia tidak lupa untuk pumping asi untuk memenuhi kebutuhan asi putranya saat dia sedang bekerja. "Apa ad
Malam itu terasa sangat singkat bagi Amelie. Belum puas ibu muda itu melepas rindu dengan sang buah hati, namun fajar sudah tiba menggantikan malam. Entah apa yang sebenarnya terjadi kepada dirinya, sehingga dia merasa begitu sedih saat terbangun dari tidur. Sebuah kecupan ia daratkan di pipi bayi mungil yang masih terlelap di dalam box bayi. Amelie mengusap lembut pipi Axel dengan perasaan merana. Seakan-akan mereka akan berpisah dalam waktu yang lama. Karena memang begitulah realita yang dia rasakan. Meninggalkan Axel untuk bekerja dari pagi sampai malam, serasa berpisah dengan pria kecil itu selama satu minggu. Seorang ibu tidak akan mudah meninggalkan anaknya, walau pun dia menitipkan anaknya kepada orang yang sangat dia percaya sekali pun. Sekali pun orang tersebut adalah ayah dari bayi tersebut. Sama halnya dengan apa yang Amelie rasakan. Pikiran Amelie selalu dihantui bayang-bayang Axel yang sedang berada di rumah setiap kali dia berada di tempat kerja."Aku berangkat." ucap
"Hati-hati di jalan, Sayang. Aku menantikanmu untuk kembali." ucap Elena yang baru saja merapikan kerah kemeja putih yang Jonathan kenakan.Tanpa mengucap sepatah kata dan mengucap salam perpisahan kepada istrinya, Jonathan masuk ke dalam mobil berwarna hitam metalic miliknya. Mengemudikan mobil tersebut untuk segera beranjak dari pekarangan rumah.Theresia tersenyum bahagia melihat Elena yang selalu memperlihatkan sosok istri siaga bagi putranya. Wanita paruh baya itu berharap Jonathan benar-benar sudah melupakan Amelie. "Mari kita masuk, Elena." ajak Theresia keada menantunya untuk segera masuk ke dalam rumah.Pagi itu suasana ruang bersantai cukup sepi. Hanya ada Elena dan Theresia di dalam ruangan itu. Masing-masing dari mereka kembali memusatkan prhatiannya pada katalog prodak aksesoris dengan brand mewah yang sangat terkenal. "Bu, lihat tas ini," Elena memprlihatkan buku katalog tersebut kepada Theresia. Jemarinya menunjuk sebuah tas Hermes Birkin berwarna cokelat seharga 300.
Pagi itu Katie sedang berjalan membawa baki, hendak menaiki tangga menuju kamar Jonathan. Panggilan Theresia yang menyeru namanya membuatnya menghentikan langkah. Gadis pelayan itu segera menoleh ke arah sumber suara, dan seorang wanita paruh baya berjalan menuju ke arahnya."Kau tidak lupa, bukan, dengan apa yang aku perintahkan?" tanya Theresia sembari mengecek isi baki yang Katie bawa. Roti panggang, daging domba, dan tak lupa jus buah bit sudah ada di dalam baki tersebut. "Sama sekali tidak, Nyonya." jawab Katie dengan sopan. Wanita itu mengangguk dan menampilkan bibir yang berbentuk garis lurus. "Bagus! Segera datangi menantuku. Aku pikir dia begitu kelelahan sampai tidak memiliki tenanga untuk sekedar turun mengambil sarapannya." pinta Theresia yang kembali menggoyang-goyangkan kipas lipat ke depan lehernya."Baik, Nyonya." Katie langsung berjalan ke atas memenuhi pinta sang majikan. Meski sebenarnya dia enggan, mengingat waktu lalu Elena menyuruhnya mengompres bagian tubuh
Malam itu, keluarga Hayes sedang mengadakan acara jamuan makan malam rutin yang selalu dilakukan satu kali dalam setahun. Reputasi seorang Edmund Hayes sebagai pemilik perusahaan raksasa di kota tersebut, menjadikan semua orang-orang penting di Auckland segan. Mereka selalu datang memenuhi undangan dari sang CEO dari H&E group tersebut.Sementara itu, suasana rumah yang ramai menjadi peluang bagi sang menantu wanita di rumah tersebut sebagai ajang balas dendam. Paksaan Theresia yang meminta Elena rutin mengkonsumsi jus buah bit yang sangat tidak wanita itu sukai, justru berujung petaka bagi nyonya besar itu. Malam itu, Elena berdandan sangat cantik, berbalut gaun warna hitam ketat yang sangat minim. Sementara rambut panjangnya dengan sengaja ia sanggul, untuk menegaskan bentuk wajah oval dan juga leher jenjangnya agar terlihat seksi.Wanita itu sedang memoleskan lipstik berwarna merah terang di bibirnya yang sedikit tebal. Dari meja riasnya, Jonathan sedang berdiri tepat di belakang