"Apa kau sudah siap?"
Naomi mengangguk. "Ya, aku siap."Tepat di hari yang telah ditentukan. Arion menjemput Naomi untuk pergi ke kantor catatan sipil bersama-sama. Selama beberapa saat Arion sempat terhipnotis oleh penampilan Naomi yang tidak biasa.Calon istrinya itu terlihat cantik dalam balutan gaun pengantin yang sederhana. Dia pun mencuri pandang untuk berlama-lama menatap Naomi. Setelah itu dia pun tersadar, langsung membuang pikirannya tentang Naomi, dan fokus pada tujuan mereka hari ini."Kedua mempelai silakan berciuman," ucap hakim yang menikahkan mereka setelah mereka dinyatakan sah sebagai sepasang suami istri.Awalnya Arion terlihat ragu-ragu. Tapi setelah itu dia menghampiri Naomi, lalu mendekatkan wajahnya di depan wajah Naomi. Pelan-pelan dia mulai mencium bibir istrinya. Hanya sebentar. Arion menarik kepalanya menjauh.Diam-diam Naomi menyentuh bibirnya. Ciuman singkat dari Arion masih terasa sangat jelas di bibirnya. Jantungnya pun berpacu dengan kencang sampai sekarang. Tapi dia berusaha menutupinya, dan bersikap seperti tidak terjadi sesuatu di antara mereka."Tidak ada pesta perayaan. Kita langsung pulang setelah dari sini."Naomi memaksakan sebuah senyum manis untuk menutupi perasaannya yang sebenarnya setelah mendengar kata-kata Arion. Kelopak matanya memanas. Dia menoleh sebentar, mengusap bulir bening di ujung matanya. Sungguh tragis. Seharusnya dia bisa berbahagia di hari pernikahannya, tapi yang terjadi justru sebaliknya.Pengantin baru itu masuk ke dalam mobil Arion. Arion sempat berbicara dengan sopir pribadinya selama beberapa saat sebelum duduk tenang di jok belakang. Tapi mereka saling duduk berjauhan. Bukan seperti sepasang suami istri yang sedang dimabuk asmara."Mulai sekarang kau tidak perlu bekerja denganku." Suara Arion terdengar sangat tegas."Baiklah kalau itu maumu," sahut Naomi sambil meremas gaunnya. Dia berusaha mengatur emosinya yang memenuhi dadanya dan membuat napasnya sedikit sesak.Mereka kembali terdiam. Sibuk dengan pikiran masing-masing. Naomi memilih melihat ke luar jendela. Matahari di awal musim panas bersinar cukup terik dan membuat matanya sedikit silau."Apakah ibumu akan menyambut kedatangan kita?" Naomi mencoba memecahkan keheningan yang membelenggu mereka sejak tadi."Apa kau berharap ibuku datang menyambutmu sebagai menantunya?" balas Arion yang bertanya. Nada suaranya terdengar sangat ketus.Mendengar balasan Arion, hati Naomi seakan diiris-iris semakin dalam. Kata-kata Arion membuat dia bertambah terluka.Naomi menyesal bertanya seperti itu setelah beberapa saat kemudian."Tentu saja aku berharap demikian karena sekarang aku sudah menjadi menantunya," jawab Naomi akhirnya. Dia memberanikan diri menoleh ke samping, dan menatap Arion lekat-lekat."Tapi kau juga harus ingat bahwa dia tidak pernah setuju menjadikanmu sebagai menantunya."Kata-kata Arion tepat menusuk ulu hati Naomi. Sangat menyakitkan. Dia seolah tertampar dan tersadar bahwa sebagai istri pura-pura Arion, dia tidak boleh berharap terlalu banyak.Selama sisa perjalanan mereka tidak mengobrol lagi. Arion terpaku pada iPad yang dia bawa. Sedangkan Naomi, dia kembali menatap ke luar jendela."Ini adalah kamarmu."Arion membuka pintu sebuah kamar, menunjukkannya pada Naomi. Kamar itu tidak terlalu luas, tapi terlihat sangat nyaman. Arion memutuskan mereka harus tidur secara terpisah."Terima kasih. Aku menyukainya," tukas Naomi dengan senyum lebar."Setelah kau selesai menata barangmu, kita akan makan malam," ucap Arion, lalu meninggalkan Naomi sendirian.Tidak banyak barang yang Naomi bawa. Dia hanya membawa sebuah tas berukuran sedang berisi baju-bajunya. Selebihnya dia membawa beberapa buku dari penulis favoritnya. Tidak ada yang istimewa, seperti kepribadiannya yang sederhana.Sebuah gaun linen sederhana polos berwarna hijau daun dengan tali di pundak menjadi pilihan Naomi setelah dia melepas gaun pengantinnya. Gaun itu begitu pas melekat di tubuhnya yang langsing. Dia bergegas ke ruang makan, lalu tubuhnya terpaku selama beberapa detik saat melihat Arion telah menunggunya.Malam ini Arion terlihat sangat tampan. Arion sangat berbeda dari sebelumnya. Melihat itu membuat Naomi bergidik. Dia menelan ludahnya, membasahi tenggorokannya yang kering.Arion menatap Naomi lekat-lekat. Mata hijaunya memindai sosok Naomi dari ujung rambut hingga ujung kaki. Jantungnya berdesir, dan dadanya terasa nyeri. Naomi mampu menghipnotisnya selama beberapa detik."Kau kedinginan?" Suara Arion terdengar berat dan serak.Naomi sama sekali tidak kedinginan. Dia menggeleng, memaksakan diri tertawa. "Tidak. Aku sedikit gelisah karena harus tinggal di tempat yang baru.""Kau harus membiasakan diri karena kau akan tinggal di sini selama enam bulan ke depan." Arion membalas malas-malasan.Naomi menarik kursi di seberang Arion. Kepalanya menunduk, dia tidak berani memandang Arion lagi. Untuk menutupi rasa gugupnya, Naomi mulai menyantap makan malamnya tanpa suara. Lalu dia teringat sesuatu yang membuatnya sedikit terganggu."Kalau aku tidak bekerja lagi sebagai asistenmu, apa yang harus aku lakukan selanjutnya? Aku tidak mungkin hanya berdiam diri di rumah sepanjang hari tanpa melakukan apa pun."Raut wajah Arion berubah seketika usai mendengar ucapan Naomi. Dia meletakkan sendoknya di atas piring, lalu menatap Naomi. Sebelumnya dia tidak pernah berpikir Naomi akan menanyakan hal itu."Saat kau bosan, kau bisa berbelanja atau jalan-jalan ke mana," timpal Arion ringan. Apa lagi yang disukai seorang wanita bila tidak berbelanja atau jalan-jalan? Tentunya Naomi juga seperti itu."Aku lebih suka bila kau memberiku pekerjaan." Naomi mengaduk-aduk makanannya. Selera makannya langsung menguap begitu dia mendengar kata-kata Arion."Aku akan memikirkannya." Arion mengatakan itu untuk membuat Naomi terdiam.Mereka sama-sama terdiam setelah itu. Arion diam-diam melirik Naomi sebentar. Istrinya tidak melanjutkan menyantap makanannya dan terlihat lesu. Dia menduga Naomi bersikap seperti itu untuk mencari perhatiannya. Tapi dia memilih untuk tidak peduli.Tidak lama kemudian Naomi memberi tahu Arion bahwa dia ingin kembali ke kamarnya. Dia meninggalkan ruang makan dengan langkah terburu-buru. Rasanya dia ingin segera bersembunyi agar tidak berlama-lama berduaan dengan Arion.***Waktu pun berjalan sangat cepat. Pada akhirnya Naomi mampu bertahan hingga sekarang tanpa melakukan pekerjaan apa pun. Untuk mengusir rasa bosan, dia memilih pergi ke luar rumah. Dia akan mengunjungi perpustakaan selama berjam-jam, dan pulang ke rumah saat menjelang malam.Hari ini Naomi baru saja sampai di rumah saat dia mendengar bel pintunya berbunyi beberapa kali. Dia langsung membuka pintu dan membeku selama beberapa saat setelah melihat ibu mertuanya berdiri di depan pintu, tapi ibu mertuanya tidak sendirian. Naomi melihat seorang wanita cantik mendampingi ibu mertuanya dan memperlihatkan raut wajah tidak suka pada Naomi."Apa Arion ada di rumah?" tanya Ellena, lalu melongok ke dalam, mencari Arion."Sebentar lagi dia pulang," jawab Naomi. Dia pun menyuruh kedua orang tamunya masuk ke dalam rumahnya."Aku tidak ingin menunggu Arion pulang. Kedatanganku ke sini tidak berhubungan dengan dia," ucap Ellena setelah dia duduk di depan Naomi.Naomi menatap penuh waspada pada Ellena. Tingkah Ellena sedikit mencurigakan, terlebih karena dia mengajak wanita lain ke sini. Naomi memilih diam, dan menunggu."Aku akan memperkenalkan kalian berdua." Ellena menatap Naomi sebentar, lalu dia menoleh ke arah wanita di sampingnya. "Naomi, ini adalah Catlya, mantan tunangan Arion. Tapi dia akan segera menggantikan posisimu menjadi istri Arion."Deg. Jantung Naomi berdetak kencang. Kata-kata Ellena benar-benar membuat dia merasa sangat terpukul. Kabar ini begitu tiba-tiba tanpa pemberitahuan dari Arion sebelumnya."Arion tidak berkata apa-apa," sergah Naomi sambil memaksakan senyuman."Arion tidak memberi tahumu karena ini memang keputusan dariku. Tapi itu bukan masalah besar," ucap Ellena sinis. Dia lalu menyodorkan selembar map pada Naomi. "Kau bisa menandatangani surat gugatan perceraian ini. Maka kau bisa pergi dari kehidupan anakku selamanya.""Aku tidak akan menandatangani surat itu bila Arion tidak memintaku melakukannya.""Aku sangat mengenal Arion. Dia pasti akan melupakanmu begitu kau menghilang dari sini," tukas Ellena sinis. "Kau tidak perlu mengkhawatirkan Arion karena setelah ini ada Catlya yang akan menemaninya."Ellena menoleh ke samping lagi. Lalu dia meraih tangan Catlya, menggenggam tangan wanita itu erat. Ellena menatap Catlya penuh penghargaan.Mata Naomi menangkap momen itu penuh dengan rasa iri. Sepertinya dia tidak memiliki kesempatan yang sama untuk bisa dekat dengan Ellena. Mungkin dia memang harus rela berpisah dengan Arion karena dia tidak memiliki harapan sama sekali.Sekuat tenaga Naomi menahan air matanya agar tidak tumpah. Tangannya bergetar saat membubuhkan tanda tangannya di atas kertas itu. Dia lalu menyerahkannya pada Ellena kembali."Sebaiknya kau segera berkemas karena kau tidak memiliki urusan lagi dengan Arion." Begitu ucap Ellena sebelum meninggalkan rumah Arion.Satu jam berselang. Naomi telah mengemas semua barangnya. Dia mengedarkan pandangannya, memeriksa ke seluruh ruangan kalau-kalau ada sesuatu yang tertinggal. Lalu dia terlonjak kaget saat pintu kamarnya terdorong terbuka dengan kasar.Arion menatap Naomi dengan mata menyala. Raut wajahnya terlihat sangat menyeramkan. Pelan-pelan dia menghampiri Naomi, lalu dia berhenti dengan jarak satu langkah dengan Naomi."Berani-beraninya kau menandatangani surat ini." Arion berkata pelan dengan nada dingin sambil melempar sebuah map ke hadapan Naomi.Tangan Naomi terkepal erat. Matanya melirik map itu yang terjatuh di samping kakinya. Dia menatap pedih. Meskipun dia tidak membukanya, dia mengetahui isi di dalamnya."Itu adalah jalan terbaik untuk kita. Setelah ini kau bebas kembali pada mantan tunanganmu itu. Tidak ada lagi yang bisa menghalangi kalian."Kemudian Naomi meraih tasnya. Dia mendorong tubuh Arion agar tidak menghalangi jalannya. Naomi mengayun langkah panjang meninggalkan penthouse Arion dengan berurai air mata.Naomi memutuskan untuk meninggalkan kota New York lalu pindah ke Seattle untuk menjauh dari Arion. Naomi ingin membuka lembaran baru di sana. Meskipun hatinya sangat terluka, Naomi mencoba tetap tegar menghadapi hidupnya sekarang.***Satu bulan kemudian.Naomi mengerjapkan matanya beberapa kali. Rasanya berat sekali untuknya membuka matanya lebar-lebar. Dia juga mengernyitkan keningnya, mencoba berpikir di mana dia sekarang. Sepertinya dia tidak sendirian, tapi dia tidak tahu tepatnya dia berada .Aroma desinfektan yang tajam menyengat menusuk hidung Naomi. Dia mengerang kesakitan. Lalu dia bisa menyadari tempat di mana kini dia berbaring. Di mana lagi kalau bukan di ranjang rumah sakit."Kau sudah sadar." Terdengar suara seorang wanita dengan nada lembut tepat di samping tubuh Naomi.Akhirnya Naomi berhasil membuka matanya. Dia bersitatap dengan seorang wanita paruh baya berpakaian perawat. Perawat itu tersenyum ramah padanya."Kenapa aku ada di sini?" tanya Naomi kebingungan."Seseorang menemukanmu pingsan di jalan," jawab perawat itu. "Aku akan memanggil dokter yang memeriksamu. Dia yang akan menjelaskan padamu."Tidak lama berselang seorang laki-laki yang rambutnya telah memutih datang menemui Naomi. Dokter itu memeriksa Naomi sebentar. Laki-laki itu menatap Naomi dengan sorot teduh menenangkan."Kau mengalami dehidrasi dan kekurangan gizi. Itu lah yang membuat tubuhmu lemah, lalu jatuh pingsan di jalan," terang dokter itu. "Kondisimu saat ini tidak baik untuk pertumbuhan janin di dalam perutmu."Mata Naomi langsung membelalak lebar. Dia pasti salah mendengar. Dokter itu tidak mungkin mengatakan hal yang tidak masuk akal."Janin, Dok?""Melihat reaksimu seperti itu, aku bisa menyimpulkan kalau kau tidak tahu bahwa saat ini kau tengah mengandung.""Anda pasti salah, Dokter."Naomi menegakkan punggungnya, lalu menatap dokter itu dengan sorot mata yang sayu. Dokter itu pasti telah salah melakukan pemeriksaan padanya. Dia tidak mungkin hamil."Aku tidak mungkin salah," tukas laki-laki itu. "Kita bisa melakukan pemeriksaan ulang untuk meyakinkanmu bahwa saat ini ada makhluk kecil yang tengah bersemayam di dalam perutmu."Kata-kata dokter sudah cukup kuat untuk meyakinkan Naomi bahwa dia memang tengah mengandung. Saat ini ada bayi Arion yang hidup bergantung padanya. Secara otomatis tangan Naomi mengelus perutnya dengan lembut. Tanpa Naomi sadari air matanya jatuh menitik tepat mengenai tangannya. Ada rasa haru, bahagia, dan sedih bercampur jadi satu. Dia tidak bisa menggambarkannya dengan jelas. Lalu, samar-samar tersungging senyum tipis di bibirnya."Aku akan memberimu multivitamin dan obat penambah darah," ucap dokter itu berhasil menarik Naomi dari lamunannya. "Aku harap kau bisa menjaga kesehatanmu dengan baik. Juga, makan-maka
"Jenna Laura James." Naomi mengulang menyebut nama itu sambil mengernyitkan dahinya."Kenapa? Apa ada yang salah dengan namaku?" tanya Jenna heran.Naomi menggeleng pelan seraya mengulas senyum manis. "Tidak ada. Aku seperti mengenali nama itu, tapi tidak tahu siapa pemiliknya.""Mungkin namaku yang pasaran," gumam Jenna kemudian. "Ngomong-ngomong kau sudah lama tinggal di sini?"Naomi menggeleng. "Belum lama. Sekitar satu bulan. Kenapa?""Tidak apa-apa. Aku hanya ingin tahu kondisi gedung ini, apakah aman atau tidak. Aku baru pertama kali ini tinggal sendirian di tempat asing," ucap Jenna dengan tatapan menerawang.Seolah mengerti perasaan Jenna, Naomi mengulas senyum menenangkan. "Kau tidak perlu khawatir. Meskipun harga sewa di sini relatif murah, kondisi di sekitar sangat aman," balas Naomi, lalu dia melanjutkan,"Aku tidak ingin mengganggumu lebih lama lagi. Sampai jumpa." Naomi mengangguk sebentar, lalu memutar tubuhnya dan berjalan menuju flatnya sendiri. Naomi menutup pintu di
"Kau hamil?"Mulut Jenna menganga lebar. Kedua matanya mengedip beberapa kali. Lalu dia mengulas senyum kikuk."Ya, aku hamil," jawab Naomi pendek. Raut wajah Jenna berubah seketika. Dia merasa bersalah karena membuat Naomi terganggu oleh kedatangannya. "Maafkan aku. Aku tidak bermaksud membuatmu tidak nyaman. Aku hanya ...."Naomi merentangkan tangannya dan menggoyangkan pergelangan tangannya beberapa kali. "Jangan bilang begitu. Kau tidak mengetahui keadaanku yang sebenarnya."Jenna menarik napas lega. "Berapa bulan usia kandunganmu?" tanya dia penasaran, lalu dia menutup mulutnya karena telah bersikap melampaui batas."Sekitar dua bulan." Naomi berkata pelan. Suaranya hampir tidak terdengar di telinga Jenna. Lalu dia duduk di sofa. Kakinya terasa lemah dan tidak sanggup menopang tubuhnya.Jenna mengedarkan pandangannya. Dia mencoba mencari-cari. Tapi dia tidak menemukan apa-apa. Di seluruh ruangan flat Naomi, kecuali kamar, Jenna tidak menemukan bingkai foto potret seorang laki-l
"Jenna ...."Jenna menoleh perlahan. Ibunya kini berada satu langkah di belakangnya. Dari sorot matanya yang tajam, Jenna menetahui ibunya benar-benar marah kali ini."Ikut aku sekarang."Tangan Jenna ditarik dengan kasar. Dia tidak sempat mengelak. Tubuhnya hampir jatuh ke lantai bila tangannya yang satu tidak memegang pinggiran meja."Aku tidak akan pergi ke mana-mana," ucap Jenna pelan tapi tegas. Dia lalu menatap ibunya lekak-lekat. Sama sekali tidak tampak rasa takut di wajahnya."Apa kau akan terus menentangku, lalu tetap memilih bersamanya?"Jenna bangkit berdiri. Dia menatap ibunya lekak-lekat. Lalu dia mendekatkan wajahnya dengan gaya menantang."Bukankah aku sudah bilang sebelumnya? Aku akan tetap memilih bersama Carl, apa pun keadaannya."Tanpa menunggu lama Jenna menarik tangan Carl, lalu mengajak kekasihnya pergi dari sana. Lalu dia menggenggam tangan Carl erat, seolah enggan melepaskannya pergi. Mereka terus berjalan dan tidak melihat ke belakang.Mereka kini tengah bera
"Aku ingin kau mengawasi Jenna sementara waktu."Arion melihat ibunya mendorong adik bungsunya ke arahnya. Sudah berbulan-bulan dia tidak bertemu Jenna setelah adiknya itu kabur dari rumah karena ibunya tidak menyetujui Jenna menjalin kasih dengan salah satu anggota band tidak terkenal. Sekarang Jenna terlihat sangat tertekan oleh perlakuan ibunya yang tidak manusiawi."Dia bukan anak kecil lagi. Untuk apa aku mengawasinya." Arion berkata acuh dan dingin. "Arion ...." Ellena berteriak. Suaranya melengking tinggi, dan membuat setiap telinga yang mendengar suaranya berdengung nyeri."Apa kau akan selalu ikut campur dalam hidup anak-anakmu?" Arion membalas dengan sengit. Pekerjaannya masih banyak. Dia juga memiliki masalah sendiri. Tapi ibunya seolah tidak mau mengerti keadaannya."Aku tidak akan ikut campur lagi dalam hidup kalian kalau kalian bisa memilih pasangan yang tepat," sergah Ellena sambil menekan keningnya yang nyeri.Arion memandang Jenna. Sejak tadi adiknya itu hanya diam d
"Catlya...."Arion mengerutkan keningnya. Dia tidak mengerti dengan pertanyaan Jenna. Kenapa tiba-tiba Jenna bertanya tentang Catlya?"Bukankah dia tunanganmu," balas Jenna. "Aku pernah mendengar tentang dia dari Daren," pungkasnya."Kami sudah lama tidak berhubungan," ucap Arion pelan. Jenna langsung menutup mulutnya. Bicaranya sudah melewati batas. Tidak seharusnya dia membahas Catlya lagi. Dia melihat perubahan wajah Arion yang mendadak menjadi kaku. Arion pasti telah melupakan wanita itu. Bodohnya dia, dia justru menyebut nama itu tanpa mengetahui hubungan mereka sebenarnya."Aku minta maaf." "Tidak perlu meminta maaf," timpal Arion. Dia lalu mendorong pintu kamar itu, memberi jalan pada Jenna untuk masuk ke dalam sana.Tiba-tiba kepala Arion terasa pening. Masuk ke kamar ini lagi setelah sekian lama membuat dia terngiang-ngiang akan keberadaan Naomi di sini. Sekarang Naomi entah berada di mana, dia belum bisa menemukan mantan istrinya itu."Kamar ini terlihat sangat nyaman," uca
"Benarkah Arion akan hadir di sana?" Catlya membulatkan matanya lebar-lebar. "Tentu saja. Aku mendapatkan informasi yang valid dari asisten pribadinya," jawab Clara.Catlya memukul roda kemudi dengan raut wajah berseri-seri. Dia mengulas senyum lebar. Kabar yang baru saja disampaikan oleh Clara benar-benar di luar dugaan. Akhirnya kesempatan untuknya datang juga. Dia tidak akan menyia-nyiakan kesempatan bertemu dengan Arion nanti."Terima kasih. Aku akan memanfaatkannya dengan baik."Setelah itu Catlya mematikan ponselnya. Senyum lebar masih tersungging di bibirnya. Hatinya berbunga-bunga. Catlya merasa seperti mendapatkan sebuah undian lotere. "Arion .... Kali ini kau harus takluk di tanganku," ucap Catlya penuh tekad. Dia lalu menginjak pedal gas. Mobilnya langsung melaju kencang membelah jalanan yang sepi.***Pada hari yang ditentukan. Catlya menunggu gilirannya melenggang di catwalk. Malam ini penampilannya sungguh memukau. Dia memakai gaun malam dengan potongan rendah yang ber
"Aku tidak mau." Catlya menggeleng-gelengkan kepalanya. Tentu saja dia tidak akan menuruti perintah Arion begitu saja. Susah payah dia masuk ke dalam mobil ini. Lalu Arion mengusirnya dengan enteng seolah dia memiliki penyakit yang menular."Keluar sekarang." Arion berkata dingin dengan sorot mata yang tajam. Ucapannya mampu membuat Catlya membeku seketika."Kenapa kau memperlakukan aku seperti ini?" tanya Catlya dengan tatapan nanar.Arion mengulas senyum sinis. Wanita di sampingnya ini memang pandai berakting. Sejak dulu Catlya selalu bermain sebagai seorang korban yang teraniaya. Tapi dia tidak bodoh seperti sebelumnya. Dia tidak akan mudah terperdaya lalu takluk di tangan Catlya."Kau hanya mendapatkan apa yang kau perbuat." Arion lalu memberi isyarat pada sopir pribadinya melalui kaca spion. "Cepat singkirkan dia dari hadapanku."Sopir itu langsung turun mengikuti perintah Arion. Dia membuka pintu mobil di sisi Catlya duduk. Tangannya memegang tangan Catlya, lalu menariknya kel
"Bekas operasi usus buntu." Naomi menjawab pendek, lalu memalingkan wajahnya. Dia ingin menghindari tatapan Arion yang menyelidik. Dalam hati dia berharap Arion tidak mendesaknya dengan pertanyaan yang sulit dia jawab. Sepertinya Arion puas dengan jawaban Naomi karena setelah itu dia mulai mencium bibir wanita itu lagi. Kesenangannya sempat tertunda. Dan dia ingin melanjutkannya hingga mereka lupa diri. Mula-mula Naomi enggan membalas ciuman Arion. Tapi setelah Arion mendesaknya berkali-kali, akhirnya dia menyerah. Dia pun membuka dirinya untuk menerima Arion seutuhnya. Keduanya bercinta, bercumbu dengan penuh gairah membara. Mereka seolah baru bertemu, dan lupa akan masa lalu yang telah lewat. Tidak ada kata-kata yang keluar. Tapi dari sorot mata yang saling bersinggungan, mereka seolah memahami kebutuhan alami yang sekian lama terpendam dalam jiwa. "Seharusnya dulu kita tidak bercerai," bisik Arion penuh penyesalan sambil membelai lengan Naomi. Naomi berguling menjauh se
"Lepaskan aku, Arion."Naomi menggeliat, menggerakkan tubuhnya agar bisa terlepas dari pangkuan Arion. Jantungnya berdetak kencang seiring dengan kedekatan antara dia dan Arion. Lebih-lebih saat Arion menciumnya tadi. Meskipun hanya sapuan ringan di bibirnya, Arion mampu menyulut percikan api di tubuhnya."Apa kau tidak menyukainya?"Arion membelai pipi Naomi lembut, lalu jari telunjuknya berhenti di bibir ranum itu. Rasa yang pernah dia kecap dulu belum berubah. Masih manis dan menggiurkan."Jauhkan tanganmu dariku. Biarkan aku kembali ke kursiku," pinta Naomi dengan tatapan penuh harap.Keelan menyunggingkan senyum masam. "Kalau aku menuruti permintaanmu, maka perjalan ini akan terasa sangat membosankan," ucapnya dengan nada diseret-seret. Salah satu tangannya semakin mempererat pelukannya di pinggang Naomi. Sedangkan tangannya yang lain mulai membelai leher jenjang Naomi, lalu turun pelan-pelan dan berhenti tepat di tengah celah dada Naomi yang membusung sempurna."Hentikan, Arion!
"Apa yang terjadi?" Jenna menatap bingung pada Naomi yang baru saja sampai di flat. Naomi terlihat sangat mencurigakan dengan napas tersengal-sengal seolah habis dikejar oleh penjahat. Tanpa membalas sapaannya, Naomi langsung mencari keberadaan Jayden dan menggendong bayinya dengan erat. "Bisakah kau memberi tahuku apa yang sedang terjadi padamu?" tanya Jenna sekali lagi, lalu menyentuh tangan Naomi. Naomi terlonjak kaget. Tubuhnya membeku selama beberapa detik. Setelah kesadarannya kembali, dia membaringkan Jayden di atas tempat tidurnya. Bayi itu masih terlelap dan tidak merasa terganggu dengan pelukan ibunya yang cukup erat. Hari ini sungguh terasa berat. Naomi menutupi wajahnya dengan kedua telapak tangannya, lalu dia menjatuhkan dirinya di atas sofa. Deru napasnya kini mulai berkurang setelah dia berhasil mengontrol emosinya. "Kau pasti tidak menyangka siapa yang aku temui hari ini," bisik Naomi. Suaranya sedikit bergetar. "Siapa dia?" "Aku bertemu Arion. Aku beke
Senyum Naomi langsung sirna. Bibirnya terkatup rapat. Kepalanya mendadak pening. Rasanya dia mau pingsan."Naomi ...." Arion memanggil nama itu pelan. Tubuhnya mematung. Sama sekali dia tidak menyangka bisa bertemu dengan Naomi lagi setelah perpisahan mereka yang pahit. Tapi dia mampu menguasai emosinya dengan baik, tidak menunjukkannya pada Naomi. "Apa yang kau lakukan di sini?"Sekali dua kali Naomi meneguk ludahnya. Tangannya meremas erat ujung roknya. Pertemuan ini sangat mengejutkan, dan membuatnya seperti orang bodoh yang tidak mampu berpikir jernih."Aku ada sedikit urusan. Lebih tepatnya aku sedang menunggu calon bosku," tukas Naomi setelah berhasil menguasai emosinya, meskipun rasa gugup masih melingkupi dirinya. "Jangan bilang kalau kau adalah ...." Kata-kata Naomi menggantung di udara setelah dia menarik benang merah atas pertemuan tidak sengaja ini. Sungguh sulit dipercaya. Seharusnya dia mencari tahu informasi tentang calon bosnya terlebih dahulu sebelum menyambar tawara
"Ada banyak masalah yang aku hadapi saat itu. Tapi sekarang aku tidak ingin membicarakannya."Naomi bersandar di sofa, lalu menatap ke arah lain. Raut wajahnya terlihat sangat keruh. Hatinya seolah diiris-iris saat kembali teringat akan kejadian di masa silam."Apa yang pernah Arion lakukan padamu?"Jenna mendekati Naomi, dan menyentuh tangan Naomi. Naomi terkesiap, langsung membuat Jenna mundur ke belakang. Mata Jenna memindai wajah Naomi, mencoba mencari tahu rahasia yang disembunyikan oleh sahabatnya itu."Aku - pernah bercerita padamu." Naomi menjawab dengan terbata-bata, lalu menepis tangan Jenna sedikit kasar."Tapi aku merasa sepertinya kau masih memiliki satu rahasia yang belum kau ceritakan padaku." Jenna sengaja memancing Naomi. "Kami berdua tidak benar-benar menikah. Arion memilihku sebagai istrinya karena saat itu dia tidak memiliki wanita lain yang bisa dia nikahi," terang Naomi dengan mata berkaca-kaca. "Saat itu kami terpaksa melakukan pernikahan kontrak karena desakan
"Arion .... siapa dia?" gumam Jenna terlihat bingung karena belum pernah bertemu dengan wanita yang tengah berdiri di hadapannya. Arion menarik Jenna ke belakang tubuhnya. Matanya tajam menatap Catlya. Wanita itu sama sekali tidak pernah berubah, tetap menyebalkan dan selalu berbuat seenaknya. Anehnya dulu dia begitu memuja wanita itu, sebelum kedua matanya terbuka lebar dan menyadari Catlya hanya memanfaatkan dirinya. "Catlya ...." panggil Arion dengan nada suaranya yang kaku, lalu dia melanjutkan, "Perkenalkan, ini adalah Jenna. Adik kandungku." Kata-kata Arion berhasil membuat Catlya membuka mulutnya lebar. Dia lalu mendengus kesal karena telah bersikap gegabah dan memalukan. Dia menduga Arion pasti tengah menertawakan kebodohannya ini. "Ah ... adikmu." Catlya manggut-manggut dengan senyum pura-pura setelah berhasil menguasai dirinya. Selama ini dia pandai berakting, rasanya tidak sulit bila dia harus melakukannya sekarang. "Kau tidak pernah bercerita tentang adikmu ini." "Seb
"Jenna ...."Jenna melihat Arion berjalan ke arahnya dengan langkah panjang. Tubuhnya berubah kaku selama beberapa saat. Ekor matanya sempat melihat Naomi buru-buru menghilang dari balik punggungnya. Pikirnya, Naomi pasti berusaha menghindari pertemuan dengan Arion."Arion ...."Arion langsung memeluk tubuh adiknya erat. Rasanya sudah lama sekali dia tidak bertemu dengan adiknya, dan dia telah menantikan pertemuannya kembali dengan Jenna. Dalam hati dia mengucap syukur bahwa perjumpaan mereka beberapa waktu yang lalu mengubah hubungan keduanya yang semula dingin menjadi semakin hangat."Sebuah kejutan yang sama sekali tidak pernah aku sangka," celetuk Jenna tanpa bisa menutupi rasa terkejutnya akan kemunculan Arion di depannya."Kebetulan aku ada urusan di sekitar sini, jadi aku memutuskan untuk melihatmu sebentar," balas Arion. "Apa kau berencana untuk pergi?" Arion menatap ke arah belakang Jenna, lalu dia mengarahkan matanya pada adiknya lagi.Jenna menggeleng cepat. "Tidak ...." tu
"Apa hubunganmu sebenarnya dengan Arion?"Jenna mengulang pertanyaannya karena Naomi tidak kunjung menjawab. Dia menatap Naomi lekat-lekat, menuntut penjelasan. Pelan-pelan dia menghampiri Naomi.Naomi menelan ludahnya yang terasa pahit, membasahi tenggorokannya yang kering. Tangannya menggenggam selimut erat. Dia belum siap menerima konfrontasi dari Jenna. Tidak di saat ini dan suasana seperti ini."Apa mungkin Arion adalah mantan suami yang pernah kau ceritakan dulu?"Seolah terdesak dan tidak ada jalan keluar untuk berlari, akhirnya Naomi mengangguk. Bibirnya sedikit terbuka. Tapi dia tidak berkata sepatah kata pun. Air matanya mengalir deras tanpa bisa dia kendalikan. Seharusnya dia berbahagia atas kelahiran putranya. Yang terjadi justru sebaliknya.Jenna langsung memeluk tubuh Naomi. Sama sekali dia tidak menyangka Naomi akan menangis seperti itu. Mungkin selama ini Naomi memendam kesedihan yang sangat mendalam, dan baru sekarang Naomi mendapatkan kesempatan untuk menumpahkannya.
"Mari kita menikah."Carl mengulang kata-katanya karena sejak tadi Jenna hanya diam mematung di depannya. Dia menatap wajah Jenna yang tanpa ekspresi. Mungkin kekasihnya itu masih terkejut dengan pemberitahuan yang baru saja dia sampaikan."Jenna ...."Jenna mengerjapkan matanya. Panggilan Carl menariknya ke dunia nyata. Beberapa saat yang lalu jiwanya pergi entah ke mana. "Maafkan aku. Apa kau bilang tadi? Menikah? Bukankah kau tidak ingin menikah denganku?" Nada suara Jenna terdengar sangat pahit. Sorot matanya juga terlihat terluka.Carl segera merentangkan tangannya dan menggoyangkannya beberapa kali. Sikapnya tempo hari memang telah menimbulkan kesalahpahaman di antara mereka. Jenna benar-benar terluka atas kejadian itu."Bukan begitu maksudku. Aku merasa saat itu bukan waktu yang tepat bagi kita untuk membicarakan tentang pernikahan," elak Carl panik."Apa maksudmu sebenarnya?" Jenna memicingkan matanya, menatap Carl dengan curiga.Carl menatap ke belakang pundak Jenna. Hanya a