"Dua puluh juta dollar," guman Naomi pelan.
Kemudian Naomi berjalan mundur. Mendadak tubuhnya menggigil kedinginan. Kedua tangannya secara otomatis bersedekap di depan dadanya."Bukan jumlah yang kecil," sahut Arion."Aku tidak mungkin menerimanya." Naomi menggelengkan kepalanya cepat."Itu sepadan dengan kontrak yang kau tanda tangani." Arion menatap wajah Naomi lurus. Semburat warna pucat tercetak jelas di wajah Naomi. "Duduk lah. Kau akan jatuh pingsan bila berdiri terus."Naomi menuruti perintah Arion. Dia menjatuhkan tubuhnya di atas sofa tidak jauh dari Arion. Kedua tangannya saling bertautan dan berada di pangkuan."Kau bisa mencari wanita lain yang mau menikah denganmu," ucap Naomi setelah berhasil menguasai dirinya."Aku hanya menginginkanmu. Tidak ada yang lain," tegas Arion dengan suara berat. Sorot matanya yang tajam langsung mengarah pada Naomi dan tepat mengenai jantung wanita itu.Bukannya merasa tersanjung karena Arion memilihnya sebagai istri, Naomi justru merasa bersedih. Dia tidak mungkin bahagia menerima pinangan Arion bila ternyata dia hanya menjadi istri boneka. Sejujurnya, Naomi berharap Arion menikahinya dengan niat yang tulus dan sungguh-sungguh mencintainya. Tapi itu hanya ada di dalam angan-angannya. Sampai kapan pun cintanya akan selalu bertepuk sebelah tangan."Apa kau mendengarku?"Pertanyaan Arion berhasil membawa Naomi kembali ke dunia nyata. Tenggorokannya tercekat. Dia tergagap sebentar, lalu menatap Arion lurus. Dia melihat laki-laki itu telah menyiapkan sebuah bolpoin untuknya."Maafkan aku. Bisa kau ulangi lagi ucapanmu tadi?" pinta Naomi."Kita akan menikah selama enam bulan. Bila salah satu diantara kita melanggar perjanjian ini, maka dia harus membayar uang ganti rugi sebesar dua kali lipat," jelas Arion sambil menekan kata-kata terakhirnya."Hanya enam bulan. Tidak lebih dari itu," tegas Naomi."Ya .... Satu lagi. Kau akan mendapatkan semua fasilitas mewah selama menjadi istriku." Arion menambahkan. Dengan begitu Naomi tidak akan menolak tawarannya.Tanpa berpikir lebih lama lagi Naomi langsung mengambil bolpoin di atas meja. Dalam gerakan cepat, Naomi menandatangani surat kontrak itu. Dia menatap lembaran kertas itu cukup lama sebelum mendorongnya ke arah Arion."Siapkan dirimu. Kita akan menikah minggu depan."Arion beranjak dari sofa, lalu meninggalkan flat Naomi dengan senyum lebar. Satu masalahnya kini telah selesai. Mulai sekarang ibunya tidak akan mengganggu dia lagi.***Beberapa hari kemudian."Kau yakin ingin membeli gaun itu?"Arion menyipitkan matanya saat melihat Naomi mengambil sebuah gaun pengantin berwarna putih dan berpotongan sederhana di salah satu butik tidak terkenal yang Naomi pernah kunjungi. Semula dia mengira Naomi akan memilih gaun pengantin yang mewah hasil rancangan desainer. Ternyata dia salah.Sebenarnya Arion bisa saja memanggil perwakilan dari butik langganannya untuk datang ke penthousenya secara pribadi. Tapi Naomi langsung menolak usulnya itu. Naomi merasa tidak terbiasa diperlakukan seperti itu."Apa ada yang salah dengan gaun ini?" Balas Naomi yang bertanya sambil memeriksa gaun pengantin itu. "Kita hanya menikah di kantor catatan sipil," gerutu Naomi. Menurutnya tidak masalah bila dia memakai gaun itu."Tidak ada. Kau bisa memakai apa pun yang kau suka," timpal Arion, lalu dia buru-buru berjalan menuju meja kasir.Tidak lama berselang mereka keluar dari butik itu. Arion melirik sebentar pada Naomi. Wanita itu sama sekali tidak memperlihatkan raut bahagia di wajahnya. Mendapati kenyataan itu membuat dia merasa heran.Mereka langsung masuk ke dalam mobil. Naomi memilih untuk diam saat dalam perjalanan pulang. Tidak ada yang berhasil menarik minatnya."Kita akan mengunjungi ibuku. Aku harap kau bisa bersikap dengan baik saat bertemu dengan dia," ujar Arion tiba-tiba setelah mereka terdiam cukup lama."Baiklah kalau itu maumu. Apa ada lagi?" Naomi menoleh pada Arion, lalu dia menghadap ke arah jalan kembali."Sebisa mungkin, berusaha lah tetap diam bila ibu tidak bertanya."Naomi mengangguk cepat. "Aku akan mengunci mulutku rapat." Dia membuat gerakan menutup mulutnya dengan jari telunjuk dan ibu jarinya.Kemudian salah satu tangan Arion merogoh saku jasnya, lalu mengeluarkan sebuah kotak kecil dan mengulurkannya pada Naomi. "Pakai lah cincin itu."Naomi membuka tutup kotak itu, lalu kedua matanya membelalak lebar. Sebuah cincin bertahtakan berlian yang berkilau sempurna membuat dia tidak mampu berkata selama beberapa saat. Naomi menggeleng perlahan."Aku tidak terlalu menyukainya. Aku tidak mau memakainya," ucap Naomi. Dia langsung menutup kembali kotak itu.Arion membanting setir mobilnya ke pinggir jalan. Dia meraih kotak itu dengan kasar. Tangannya meraih cincin itu, lalu menjejalkannya di jari manis Naomi. Setelah itu dia kembali melanjutkan perjalanan.Suasana kembali hening. Arion memusatkan perhatiannya pada jalan. Sedangkan Naomi, dia memilih melihat ke luar jendela.Mobil Arion berhenti di halaman depan rumah bergaya Mediterania itu. Arion turun lebih dahulu, lalu menunggu Naomi di samping mobilnya. Dia sempat melihat wajah tegang Naomi saat wanita itu menghampiri dirinya, tapi dia pura-pura tidak melihatnya."Kami datang untuk memberi tahumu bahwa kami akan menikah besok lusa," ucap Arion setelah Ellena menyuruh mereka masuk ke dalam rumah.Tubuh Ellena langsung mematung. Dia tidak pernah menyangka Arion bersungguh-sungguh dengan ucapannya beberapa hari yang lalu. Padahal sebelumnya dia berharap Arion tidak jadi menikahi wanita itu. Entah kenapa dia tidak menyukai Naomi sejak awal mereka bertemu. Seolah dia mendapatkan petunjuk bahwa Naomi bukan pilihan terbaik untuk Arion."Apa kalian sudah makan malam? Kalau belum aku akan meminta koki membuatkan makanan untuk kita," balas Ellena sengaja mengalihkan pembicaraan.Tanpa menunggu jawaban dari tamunya, Ellena bergegas meninggalkan mereka untuk pergi menemui koki rumahnya. Dia memberi perintah pada laki-laki berusia empat puluh tahun itu untuk membuatkan makanan sederhana yang bisa siap dalam waktu singkat. Menurutnya, dia tidak perlu menjamu Naomi dengan makanan mewahnya yang terlalu berharga."Bagaimana dengan orang tuamu Naomi? Apakah mereka masih ada?" selidik Ellena setelah mereka selesai makan malam, dan tengah menikmati puding coklat.Naomi tidak langsung menjawab. Raut wajahnya menegang dan pundaknya kaku. Samar-samar dia terlihat seperti sedang mengatur kata-kata yang ingin dia ucapkan. Lalu dia menatap Arion, dan berdeham sebentar."Mereka sudah tiada," jawab Naomi dengan nada diseret-seret. "Ibuku meninggal ketika usiaku baru dua tahun. Aku berusia sepuluh tahun saat ayah masuk penjara setelah membunuh rekan kerjanya. Lima tahun kemudian dia meninggal di sana."Ellena tersedak minuman yang baru saja dia teguk usai mendengar penuturan Naomi. Matanya melotot menatap Naomi. Lalu dia ganti memandang Arion dengan sorot mata yang merah menyala.Kemudian Ellena tertawa terbahak-bahak. Dengan lirikan matanya dia memberi isyarat pada Arion agar mengikutinya masuk ke ruang kerjanya. Tanpa kata, Ellena sengaja membiarkan Naomi menunggu mereka di ruang makan sendirian."Aku minta kau membatalkan rencana pernikahanmu. Wanita seperti itu tidak pantas untukmu, untuk keluarga kita." Ellena mondar-mandir di depan Arion sambil memegang keningnya."Tidak bisa." Arion menjawab dengan nada dingin. "Aku hanya menginginkan dia sebagai istriku.""Arion ....""Jangan berteriak padaku," tukas Arion sengit. "Aku rasa tidak ada lagi yang perlu aku dengar darimu."Arion memutar tubuhnya. Dia mengayun langkah panjang meninggalkan ibunya. Saat sampai di ruang tamu, dia langsung menarik tangan Naomi dan mengajak Naomi meninggalkan rumah ibunya."Kenapa kau tidak pernah bercerita padaku tentang kondisi orang tuamu?" cerca Arion setelah mereka dalam perjalanan pulang tidak lama berselang."Kau tidak pernah bertanya. Jadi tidak ada perlunya aku membicarakan tentang itu. Aku yakin kau tidak akan tertarik dengan ceritaku." Naomi membalas dengan sedikit kasar.Naomi lalu terdiam dan merenung.Setelah mereka sampai sejauh ini, kenapa Arion mempermasalahkan tentang keluarganya? Naomi benar-benar tidak habis pikir."Benarkah ibumu sudah lama meninggal? Juga ayahmu adalah seorang pembunuh?""Ibuku meninggalkanku ketika aku berusia dua tahun, dan pergi dengan selingkuhannya. Sedangkan ayahku, dia membunuh rekan kerjanya karena terbelit hutang yang banyak." Suara Naomi terdengar pahir. Naomi lalu menyunggingkan senyum terpaksa."Sial." Arion memukul roda kemudi mobilnya berkali-kali. Dia tidak pernah menyangka Naomi menyembunyikan semua fakta itu darinya."Aku rasa sebaiknya kau membatalkan rencana pernikahan kita.""Aku tidak akan melakukannya." Arion menatap Naomi tajam, lalu melanjutkan ucapannya. "Kita tetap menikah bagaimana pun latar belakang keluargamu.""Meskipun pernikahan kita hanya sementara, aku yakin fakta tentang keluargaku akan memberikan citra buruk bagimu, perusahaanmu, juga bisnismu," ucap Naomi dengan suara berat. "Apa itu tidak menjadi masalah untukmu?" Naomi menoleh ke samping, lalu menatap Arion lekat-lekat."Biarkan aku yang mengurusnya." Arion membalas ucapan Naomi dengan nada dingin.Bibir Naomi langsung mengatup seketika. Dia tidak berani mengajukan protes pada Arion. Mereka sudah menandatangani kontrak perjanjian pernikahan. Jadi mereka harus tetap meneruskan rencana mereka, atau membatalkannya sesuai kesepakatan. Tapi kelihatannya Arion tidak berani mundur, dan memilih untuk terus maju."Tapi aku ...." Kata-kata Naomi menggantung di udara.Arion mendekati Naomi, lalu mencekal tangan wanita itu kuat. "Apa kau meremehkan aku?""Apa kau sudah siap?"Naomi mengangguk. "Ya, aku siap."Tepat di hari yang telah ditentukan. Arion menjemput Naomi untuk pergi ke kantor catatan sipil bersama-sama. Selama beberapa saat Arion sempat terhipnotis oleh penampilan Naomi yang tidak biasa.Calon istrinya itu terlihat cantik dalam balutan gaun pengantin yang sederhana. Dia pun mencuri pandang untuk berlama-lama menatap Naomi. Setelah itu dia pun tersadar, langsung membuang pikirannya tentang Naomi, dan fokus pada tujuan mereka hari ini."Kedua mempelai silakan berciuman," ucap hakim yang menikahkan mereka setelah mereka dinyatakan sah sebagai sepasang suami istri.Awalnya Arion terlihat ragu-ragu. Tapi setelah itu dia menghampiri Naomi, lalu mendekatkan wajahnya di depan wajah Naomi. Pelan-pelan dia mulai mencium bibir istrinya. Hanya sebentar. Arion menarik kepalanya menjauh.Diam-diam Naomi menyentuh bibirnya. Ciuman singkat dari Arion masih terasa sangat jelas di bibirnya. Jantungnya pun berpacu dengan kencang sampai seka
"Anda pasti salah, Dokter."Naomi menegakkan punggungnya, lalu menatap dokter itu dengan sorot mata yang sayu. Dokter itu pasti telah salah melakukan pemeriksaan padanya. Dia tidak mungkin hamil."Aku tidak mungkin salah," tukas laki-laki itu. "Kita bisa melakukan pemeriksaan ulang untuk meyakinkanmu bahwa saat ini ada makhluk kecil yang tengah bersemayam di dalam perutmu."Kata-kata dokter sudah cukup kuat untuk meyakinkan Naomi bahwa dia memang tengah mengandung. Saat ini ada bayi Arion yang hidup bergantung padanya. Secara otomatis tangan Naomi mengelus perutnya dengan lembut. Tanpa Naomi sadari air matanya jatuh menitik tepat mengenai tangannya. Ada rasa haru, bahagia, dan sedih bercampur jadi satu. Dia tidak bisa menggambarkannya dengan jelas. Lalu, samar-samar tersungging senyum tipis di bibirnya."Aku akan memberimu multivitamin dan obat penambah darah," ucap dokter itu berhasil menarik Naomi dari lamunannya. "Aku harap kau bisa menjaga kesehatanmu dengan baik. Juga, makan-maka
"Jenna Laura James." Naomi mengulang menyebut nama itu sambil mengernyitkan dahinya."Kenapa? Apa ada yang salah dengan namaku?" tanya Jenna heran.Naomi menggeleng pelan seraya mengulas senyum manis. "Tidak ada. Aku seperti mengenali nama itu, tapi tidak tahu siapa pemiliknya.""Mungkin namaku yang pasaran," gumam Jenna kemudian. "Ngomong-ngomong kau sudah lama tinggal di sini?"Naomi menggeleng. "Belum lama. Sekitar satu bulan. Kenapa?""Tidak apa-apa. Aku hanya ingin tahu kondisi gedung ini, apakah aman atau tidak. Aku baru pertama kali ini tinggal sendirian di tempat asing," ucap Jenna dengan tatapan menerawang.Seolah mengerti perasaan Jenna, Naomi mengulas senyum menenangkan. "Kau tidak perlu khawatir. Meskipun harga sewa di sini relatif murah, kondisi di sekitar sangat aman," balas Naomi, lalu dia melanjutkan,"Aku tidak ingin mengganggumu lebih lama lagi. Sampai jumpa." Naomi mengangguk sebentar, lalu memutar tubuhnya dan berjalan menuju flatnya sendiri. Naomi menutup pintu di
"Kau hamil?"Mulut Jenna menganga lebar. Kedua matanya mengedip beberapa kali. Lalu dia mengulas senyum kikuk."Ya, aku hamil," jawab Naomi pendek. Raut wajah Jenna berubah seketika. Dia merasa bersalah karena membuat Naomi terganggu oleh kedatangannya. "Maafkan aku. Aku tidak bermaksud membuatmu tidak nyaman. Aku hanya ...."Naomi merentangkan tangannya dan menggoyangkan pergelangan tangannya beberapa kali. "Jangan bilang begitu. Kau tidak mengetahui keadaanku yang sebenarnya."Jenna menarik napas lega. "Berapa bulan usia kandunganmu?" tanya dia penasaran, lalu dia menutup mulutnya karena telah bersikap melampaui batas."Sekitar dua bulan." Naomi berkata pelan. Suaranya hampir tidak terdengar di telinga Jenna. Lalu dia duduk di sofa. Kakinya terasa lemah dan tidak sanggup menopang tubuhnya.Jenna mengedarkan pandangannya. Dia mencoba mencari-cari. Tapi dia tidak menemukan apa-apa. Di seluruh ruangan flat Naomi, kecuali kamar, Jenna tidak menemukan bingkai foto potret seorang laki-l
"Jenna ...."Jenna menoleh perlahan. Ibunya kini berada satu langkah di belakangnya. Dari sorot matanya yang tajam, Jenna menetahui ibunya benar-benar marah kali ini."Ikut aku sekarang."Tangan Jenna ditarik dengan kasar. Dia tidak sempat mengelak. Tubuhnya hampir jatuh ke lantai bila tangannya yang satu tidak memegang pinggiran meja."Aku tidak akan pergi ke mana-mana," ucap Jenna pelan tapi tegas. Dia lalu menatap ibunya lekak-lekat. Sama sekali tidak tampak rasa takut di wajahnya."Apa kau akan terus menentangku, lalu tetap memilih bersamanya?"Jenna bangkit berdiri. Dia menatap ibunya lekak-lekat. Lalu dia mendekatkan wajahnya dengan gaya menantang."Bukankah aku sudah bilang sebelumnya? Aku akan tetap memilih bersama Carl, apa pun keadaannya."Tanpa menunggu lama Jenna menarik tangan Carl, lalu mengajak kekasihnya pergi dari sana. Lalu dia menggenggam tangan Carl erat, seolah enggan melepaskannya pergi. Mereka terus berjalan dan tidak melihat ke belakang.Mereka kini tengah bera
"Aku ingin kau mengawasi Jenna sementara waktu."Arion melihat ibunya mendorong adik bungsunya ke arahnya. Sudah berbulan-bulan dia tidak bertemu Jenna setelah adiknya itu kabur dari rumah karena ibunya tidak menyetujui Jenna menjalin kasih dengan salah satu anggota band tidak terkenal. Sekarang Jenna terlihat sangat tertekan oleh perlakuan ibunya yang tidak manusiawi."Dia bukan anak kecil lagi. Untuk apa aku mengawasinya." Arion berkata acuh dan dingin. "Arion ...." Ellena berteriak. Suaranya melengking tinggi, dan membuat setiap telinga yang mendengar suaranya berdengung nyeri."Apa kau akan selalu ikut campur dalam hidup anak-anakmu?" Arion membalas dengan sengit. Pekerjaannya masih banyak. Dia juga memiliki masalah sendiri. Tapi ibunya seolah tidak mau mengerti keadaannya."Aku tidak akan ikut campur lagi dalam hidup kalian kalau kalian bisa memilih pasangan yang tepat," sergah Ellena sambil menekan keningnya yang nyeri.Arion memandang Jenna. Sejak tadi adiknya itu hanya diam d
"Catlya...."Arion mengerutkan keningnya. Dia tidak mengerti dengan pertanyaan Jenna. Kenapa tiba-tiba Jenna bertanya tentang Catlya?"Bukankah dia tunanganmu," balas Jenna. "Aku pernah mendengar tentang dia dari Daren," pungkasnya."Kami sudah lama tidak berhubungan," ucap Arion pelan. Jenna langsung menutup mulutnya. Bicaranya sudah melewati batas. Tidak seharusnya dia membahas Catlya lagi. Dia melihat perubahan wajah Arion yang mendadak menjadi kaku. Arion pasti telah melupakan wanita itu. Bodohnya dia, dia justru menyebut nama itu tanpa mengetahui hubungan mereka sebenarnya."Aku minta maaf." "Tidak perlu meminta maaf," timpal Arion. Dia lalu mendorong pintu kamar itu, memberi jalan pada Jenna untuk masuk ke dalam sana.Tiba-tiba kepala Arion terasa pening. Masuk ke kamar ini lagi setelah sekian lama membuat dia terngiang-ngiang akan keberadaan Naomi di sini. Sekarang Naomi entah berada di mana, dia belum bisa menemukan mantan istrinya itu."Kamar ini terlihat sangat nyaman," uca
"Benarkah Arion akan hadir di sana?" Catlya membulatkan matanya lebar-lebar. "Tentu saja. Aku mendapatkan informasi yang valid dari asisten pribadinya," jawab Clara.Catlya memukul roda kemudi dengan raut wajah berseri-seri. Dia mengulas senyum lebar. Kabar yang baru saja disampaikan oleh Clara benar-benar di luar dugaan. Akhirnya kesempatan untuknya datang juga. Dia tidak akan menyia-nyiakan kesempatan bertemu dengan Arion nanti."Terima kasih. Aku akan memanfaatkannya dengan baik."Setelah itu Catlya mematikan ponselnya. Senyum lebar masih tersungging di bibirnya. Hatinya berbunga-bunga. Catlya merasa seperti mendapatkan sebuah undian lotere. "Arion .... Kali ini kau harus takluk di tanganku," ucap Catlya penuh tekad. Dia lalu menginjak pedal gas. Mobilnya langsung melaju kencang membelah jalanan yang sepi.***Pada hari yang ditentukan. Catlya menunggu gilirannya melenggang di catwalk. Malam ini penampilannya sungguh memukau. Dia memakai gaun malam dengan potongan rendah yang ber
"Bekas operasi usus buntu." Naomi menjawab pendek, lalu memalingkan wajahnya. Dia ingin menghindari tatapan Arion yang menyelidik. Dalam hati dia berharap Arion tidak mendesaknya dengan pertanyaan yang sulit dia jawab. Sepertinya Arion puas dengan jawaban Naomi karena setelah itu dia mulai mencium bibir wanita itu lagi. Kesenangannya sempat tertunda. Dan dia ingin melanjutkannya hingga mereka lupa diri. Mula-mula Naomi enggan membalas ciuman Arion. Tapi setelah Arion mendesaknya berkali-kali, akhirnya dia menyerah. Dia pun membuka dirinya untuk menerima Arion seutuhnya. Keduanya bercinta, bercumbu dengan penuh gairah membara. Mereka seolah baru bertemu, dan lupa akan masa lalu yang telah lewat. Tidak ada kata-kata yang keluar. Tapi dari sorot mata yang saling bersinggungan, mereka seolah memahami kebutuhan alami yang sekian lama terpendam dalam jiwa. "Seharusnya dulu kita tidak bercerai," bisik Arion penuh penyesalan sambil membelai lengan Naomi. Naomi berguling menjauh se
"Lepaskan aku, Arion."Naomi menggeliat, menggerakkan tubuhnya agar bisa terlepas dari pangkuan Arion. Jantungnya berdetak kencang seiring dengan kedekatan antara dia dan Arion. Lebih-lebih saat Arion menciumnya tadi. Meskipun hanya sapuan ringan di bibirnya, Arion mampu menyulut percikan api di tubuhnya."Apa kau tidak menyukainya?"Arion membelai pipi Naomi lembut, lalu jari telunjuknya berhenti di bibir ranum itu. Rasa yang pernah dia kecap dulu belum berubah. Masih manis dan menggiurkan."Jauhkan tanganmu dariku. Biarkan aku kembali ke kursiku," pinta Naomi dengan tatapan penuh harap.Keelan menyunggingkan senyum masam. "Kalau aku menuruti permintaanmu, maka perjalan ini akan terasa sangat membosankan," ucapnya dengan nada diseret-seret. Salah satu tangannya semakin mempererat pelukannya di pinggang Naomi. Sedangkan tangannya yang lain mulai membelai leher jenjang Naomi, lalu turun pelan-pelan dan berhenti tepat di tengah celah dada Naomi yang membusung sempurna."Hentikan, Arion!
"Apa yang terjadi?" Jenna menatap bingung pada Naomi yang baru saja sampai di flat. Naomi terlihat sangat mencurigakan dengan napas tersengal-sengal seolah habis dikejar oleh penjahat. Tanpa membalas sapaannya, Naomi langsung mencari keberadaan Jayden dan menggendong bayinya dengan erat. "Bisakah kau memberi tahuku apa yang sedang terjadi padamu?" tanya Jenna sekali lagi, lalu menyentuh tangan Naomi. Naomi terlonjak kaget. Tubuhnya membeku selama beberapa detik. Setelah kesadarannya kembali, dia membaringkan Jayden di atas tempat tidurnya. Bayi itu masih terlelap dan tidak merasa terganggu dengan pelukan ibunya yang cukup erat. Hari ini sungguh terasa berat. Naomi menutupi wajahnya dengan kedua telapak tangannya, lalu dia menjatuhkan dirinya di atas sofa. Deru napasnya kini mulai berkurang setelah dia berhasil mengontrol emosinya. "Kau pasti tidak menyangka siapa yang aku temui hari ini," bisik Naomi. Suaranya sedikit bergetar. "Siapa dia?" "Aku bertemu Arion. Aku beke
Senyum Naomi langsung sirna. Bibirnya terkatup rapat. Kepalanya mendadak pening. Rasanya dia mau pingsan."Naomi ...." Arion memanggil nama itu pelan. Tubuhnya mematung. Sama sekali dia tidak menyangka bisa bertemu dengan Naomi lagi setelah perpisahan mereka yang pahit. Tapi dia mampu menguasai emosinya dengan baik, tidak menunjukkannya pada Naomi. "Apa yang kau lakukan di sini?"Sekali dua kali Naomi meneguk ludahnya. Tangannya meremas erat ujung roknya. Pertemuan ini sangat mengejutkan, dan membuatnya seperti orang bodoh yang tidak mampu berpikir jernih."Aku ada sedikit urusan. Lebih tepatnya aku sedang menunggu calon bosku," tukas Naomi setelah berhasil menguasai emosinya, meskipun rasa gugup masih melingkupi dirinya. "Jangan bilang kalau kau adalah ...." Kata-kata Naomi menggantung di udara setelah dia menarik benang merah atas pertemuan tidak sengaja ini. Sungguh sulit dipercaya. Seharusnya dia mencari tahu informasi tentang calon bosnya terlebih dahulu sebelum menyambar tawara
"Ada banyak masalah yang aku hadapi saat itu. Tapi sekarang aku tidak ingin membicarakannya."Naomi bersandar di sofa, lalu menatap ke arah lain. Raut wajahnya terlihat sangat keruh. Hatinya seolah diiris-iris saat kembali teringat akan kejadian di masa silam."Apa yang pernah Arion lakukan padamu?"Jenna mendekati Naomi, dan menyentuh tangan Naomi. Naomi terkesiap, langsung membuat Jenna mundur ke belakang. Mata Jenna memindai wajah Naomi, mencoba mencari tahu rahasia yang disembunyikan oleh sahabatnya itu."Aku - pernah bercerita padamu." Naomi menjawab dengan terbata-bata, lalu menepis tangan Jenna sedikit kasar."Tapi aku merasa sepertinya kau masih memiliki satu rahasia yang belum kau ceritakan padaku." Jenna sengaja memancing Naomi. "Kami berdua tidak benar-benar menikah. Arion memilihku sebagai istrinya karena saat itu dia tidak memiliki wanita lain yang bisa dia nikahi," terang Naomi dengan mata berkaca-kaca. "Saat itu kami terpaksa melakukan pernikahan kontrak karena desakan
"Arion .... siapa dia?" gumam Jenna terlihat bingung karena belum pernah bertemu dengan wanita yang tengah berdiri di hadapannya. Arion menarik Jenna ke belakang tubuhnya. Matanya tajam menatap Catlya. Wanita itu sama sekali tidak pernah berubah, tetap menyebalkan dan selalu berbuat seenaknya. Anehnya dulu dia begitu memuja wanita itu, sebelum kedua matanya terbuka lebar dan menyadari Catlya hanya memanfaatkan dirinya. "Catlya ...." panggil Arion dengan nada suaranya yang kaku, lalu dia melanjutkan, "Perkenalkan, ini adalah Jenna. Adik kandungku." Kata-kata Arion berhasil membuat Catlya membuka mulutnya lebar. Dia lalu mendengus kesal karena telah bersikap gegabah dan memalukan. Dia menduga Arion pasti tengah menertawakan kebodohannya ini. "Ah ... adikmu." Catlya manggut-manggut dengan senyum pura-pura setelah berhasil menguasai dirinya. Selama ini dia pandai berakting, rasanya tidak sulit bila dia harus melakukannya sekarang. "Kau tidak pernah bercerita tentang adikmu ini." "Seb
"Jenna ...."Jenna melihat Arion berjalan ke arahnya dengan langkah panjang. Tubuhnya berubah kaku selama beberapa saat. Ekor matanya sempat melihat Naomi buru-buru menghilang dari balik punggungnya. Pikirnya, Naomi pasti berusaha menghindari pertemuan dengan Arion."Arion ...."Arion langsung memeluk tubuh adiknya erat. Rasanya sudah lama sekali dia tidak bertemu dengan adiknya, dan dia telah menantikan pertemuannya kembali dengan Jenna. Dalam hati dia mengucap syukur bahwa perjumpaan mereka beberapa waktu yang lalu mengubah hubungan keduanya yang semula dingin menjadi semakin hangat."Sebuah kejutan yang sama sekali tidak pernah aku sangka," celetuk Jenna tanpa bisa menutupi rasa terkejutnya akan kemunculan Arion di depannya."Kebetulan aku ada urusan di sekitar sini, jadi aku memutuskan untuk melihatmu sebentar," balas Arion. "Apa kau berencana untuk pergi?" Arion menatap ke arah belakang Jenna, lalu dia mengarahkan matanya pada adiknya lagi.Jenna menggeleng cepat. "Tidak ...." tu
"Apa hubunganmu sebenarnya dengan Arion?"Jenna mengulang pertanyaannya karena Naomi tidak kunjung menjawab. Dia menatap Naomi lekat-lekat, menuntut penjelasan. Pelan-pelan dia menghampiri Naomi.Naomi menelan ludahnya yang terasa pahit, membasahi tenggorokannya yang kering. Tangannya menggenggam selimut erat. Dia belum siap menerima konfrontasi dari Jenna. Tidak di saat ini dan suasana seperti ini."Apa mungkin Arion adalah mantan suami yang pernah kau ceritakan dulu?"Seolah terdesak dan tidak ada jalan keluar untuk berlari, akhirnya Naomi mengangguk. Bibirnya sedikit terbuka. Tapi dia tidak berkata sepatah kata pun. Air matanya mengalir deras tanpa bisa dia kendalikan. Seharusnya dia berbahagia atas kelahiran putranya. Yang terjadi justru sebaliknya.Jenna langsung memeluk tubuh Naomi. Sama sekali dia tidak menyangka Naomi akan menangis seperti itu. Mungkin selama ini Naomi memendam kesedihan yang sangat mendalam, dan baru sekarang Naomi mendapatkan kesempatan untuk menumpahkannya.
"Mari kita menikah."Carl mengulang kata-katanya karena sejak tadi Jenna hanya diam mematung di depannya. Dia menatap wajah Jenna yang tanpa ekspresi. Mungkin kekasihnya itu masih terkejut dengan pemberitahuan yang baru saja dia sampaikan."Jenna ...."Jenna mengerjapkan matanya. Panggilan Carl menariknya ke dunia nyata. Beberapa saat yang lalu jiwanya pergi entah ke mana. "Maafkan aku. Apa kau bilang tadi? Menikah? Bukankah kau tidak ingin menikah denganku?" Nada suara Jenna terdengar sangat pahit. Sorot matanya juga terlihat terluka.Carl segera merentangkan tangannya dan menggoyangkannya beberapa kali. Sikapnya tempo hari memang telah menimbulkan kesalahpahaman di antara mereka. Jenna benar-benar terluka atas kejadian itu."Bukan begitu maksudku. Aku merasa saat itu bukan waktu yang tepat bagi kita untuk membicarakan tentang pernikahan," elak Carl panik."Apa maksudmu sebenarnya?" Jenna memicingkan matanya, menatap Carl dengan curiga.Carl menatap ke belakang pundak Jenna. Hanya a