"Kau pasti tidak serius."
Ellena James menggelengkan kepalanya sambil menatap tidak percaya pada Arion. Dia lalu ganti menatap gadis yang berdiri di depannya dengan tatapan tajam, menilai dari ujung kepala hingga ujung kaki. Arion memiliki selera yang tinggi. Anaknya itu tidak mungkin ingin menikah dengan wanita yang terlihat biasa saja dan tidak menarik sama sekali."Tentu saja aku benar-benar ingin menikahi Naomi." Arion berjalan menghampiri Naomi, lalu merangkul pundaknya. "Tersenyum lah sedikit," bisik Arion di telinga Naomi.Mengikuti perintah atasannya, Naomi mengulas senyum semanis mungkin pada ibu Arion. Meskipun saat ini dadanya tengah bergemuruh karena pengumuman mendadak yang disampaikan oleh Arion, dia memutuskan untuk mengikuti sandiwara ini sementara waktu. Nanti, saat mereka tinggal berdua, dia akan meminta penjelasan pada Arion."Kenapa kau tidak bilang sebelumnya? Kalau begitu aku tidak akan repot-repot mengatur pertemuan dengan teman ibu," protes Ellena.Arion menggosok hidungnya yang mendadak gatal. Lalu dia mengecup puncak kepala Naomi ringan. Dia ingin menunjukkan pada ibunya bahwa dia sungguh ingin menikahi Naomi."Aku menunggu waktu yang tepat." Arion melingkarkan tangannya di pinggang Naomi. "Kami tidak ingin memberi kesan yang buruk padamu," lanjutnya sambil menatap wajah Naomi yang masih terlihat tegang.Ellena memicingkan matanya, memindai sepasang kekasih yang tengah berdiri di depannya itu. Tidak ada tanda-tanda mencurigakan yang harus dia waspadai. Kelihatannya Arion benar-benar menyukai wanita itu. Tapi masalahnya adalah justru dirinya yang tidak terlalu menyukai calon menantunya itu. Rasanya tidak tepat dan ada sesuatu yang mengganjal hatinya."Apa kau sudah sarapan? Bagaimana kalau kita menyantap sarapan bersama?""Tidak perlu. Sebaiknya aku pergi saja dari sini," timpal Ellena ketus. "Nanti malam datanglah ke rumah. Aku ingin berbicara secara pribadi denganmu." Ellena menambahkan dengan menekan kalimat terakhirnya.Tidak lama berselang Ellena bergegas meninggalkan mereka. Dia tidak sudi bersalaman atau mencium pipi Naomi. Sementara dia memilih menyingkir dulu. Bukan berarti dia akan menyetujui rencana pernikahan mereka berdua."Apa kau sudah gila?" desis Naomi lalu mendorong tubuh Arion menjauh. Dia terlihat sangat gusar dan gelisah."Aku tidak punya pilihan lain selain itu." Arion menghempaskan tubuhnya di atas sofa. "Kau harus bersedia menjadi istriku ...."Mulut Naomi menganga lebar. Tenggorokannya tercekat. Dia hampir kesulitan untuk berbicara karena otaknya tiba-tiba beku."Tidak ....""Meskipun itu hanya pura-pura," tegas Arion.Naomi ikut duduk di sofa. Kakinya terasa lemah untuk berdiri lebih lama lagi. Kedua telapak tangannya menutupi wajahnya yang terlihat pucat."Aku akan membayarmu dengan bayaran yang fantastis," pancing Arion. Pikirnya, siapa yang akan menolak pemberiannya. Tanpa terkecuali Naomi. "Kau pasti tidak keberatan.""Apa aku terlihat seperti wanita mata duitan? Selain itu tidakkah kau melihat ekspresi wajah ibumu yang tidak menyukaiku?" Naomi bergidik ngeri membayangkan ekspresi ibu Arion beberapa saat yang lalu."Aku senang melihat reaksi ibuku yang seperti itu." Arion tersenyum lebar, lalu senyum itu langsung menghilang seiring dengan perubahan raut wajah Arion yang kaku. "Setidaknya aku bisa mengetahui kelemahannya."Dahi Naomi mengkerut dalam. Dia melirik Arion sambil berpikir keras. Sepertinya tidak mungkin baginya untuk terlibat dalam perseteruan antara ibu dan anak itu.“Jangan libatkan aku dalam masalah kalian berdua.” Naomi menatap Arion dengan sorot mata sendu.Arion menggeleng perlahan. “Sudah terlambat,” timpal Arion tegas. Dia tidak mungkin mengabulkan permintaan Naomi.“Tapi aku tidak mungkin melakukannya.”“Aku berencana menghubungi pengacaraku untuk membahas kontrak pernikahan kita. Aku akan mengantarmu pulang sekarang.” Arion seolah tidak mendengar ucapan Naomi. Dia beranjak dari sofa, lalu mengambil kunci mobilnya.Selama perjalanan menuju flat Naomi, mereka lebih banyak diam. Naomi enggan memulai pembicaraan karena sudah mengenal karakter Arion. Laki-laki itu pasti sibuk mengatur rencana untuk masa depan mereka. Salah. Lebih tepatnya masa depan Arion sendiri."Hari ini kau bebas tugas."Arion langsung memacu mobilnya kembali usai menurunkan Naomi di pinggir jalan. Waktu yang dia miliki tidak banyak. Dia harus segera bergegas menemui pengacaranya. Kalau bukan karena kedatangan ibunya yang mendadak, tidak pernah terpikirkan di benaknya bahwa dia akan menikahi Naomi.Tanpa sepengetahuan mereka berdua ternyata Ellena mengikuti mereka sampai di depan flat Naomi. Dia menunggu sampai Arion pergi. Setelah itu dia bergegas turun dari mobil, dan masuk ke gedung flat Naomi. Lega karena Naomi belum sempat naik ke dalam lift, dia semakin mempercepat langkahnya."Naomi ...."Ellena menarik tangan Naomi, lalu memutar Naomi hingga menghadap ke arahnya. Dia tersenyum sinis saat melihat raut terkejut di wajah Naomi. Kedua matanya memindai tubuh Naomi dari ujung rambut hingga ujung kaki."Apa yang kau lakukan hingga anakku tergila-gila padamu?""Aku tidak mengerti maksudmu." Naomi menatap bingung."Wanita sepertimu pasti sanggup melakukan apa saja untuk mendapatkan keinginannya," sergah Ellena kasar. Dia semakin mempererat pegangannya di pergelangan tangan Naomi hingga membuat Naomi meringis kesakitan."Aku tidak seperti itu. Arion sendiri yang ...."Plak.Ellena menampar pipi Naomi keras hingga meninggalkan warna merah yang tercetak jelas di sana. "Ini peringatan terakhir. Jangan sampai kau melewati batas. Aku tidak akan tinggal diam."Setelah memberi peringatan seperti itu Ellena meninggalkan Naomi dengan dagu terangkat. Dalam hati dia membatin. Dia tidak akan pernah datang ke tempat seperti ini lagi.***Malam harinya. Arion menemui ibunya di rumah. Ibunya terlihat mondar-mandir saat dia sampai di sana."Selamat malam," sapa Arion, lalu dia menghampiri ibunya."Aku harap kau datang ke sini sendirian." Ellena menatap ke belakang pundak Arion. Tidak ada siapa-siapa di sana selain bayangan kosong."Melihat reaksimu tadi pagi, tentu saja aku tidak berniat mengajak Naomi ke sini," timpal Arion, lalu di menoleh sebentar ke arah pandang ibunya.Ellena menghela napas lega usai mendengar jawaban Arion. "Kalau begitu kita ke ruang kerjaku sekarang."Kemudian mereka berdua masuk ke ruang kerja Ellena. Arion mengedarkan tatapannya sekilas. Matanya sempat menangkap beberapa lembar sketsa gaun rancangan ibunya yang tercecer di atas meja."Terus terang aku tidak menyetujui rencana pernikahanmu dengan wanita itu," ucap Ellena blak-blakan."Calon istriku memiliki nama. Seharusnya kau memanggil namanya dengan benar," sergah Arion.Ellena mengibaskan tangannya di depan wajahnya. "Siapa pun namanya, itu tidak penting. Yang jelas aku tidak terlalu menyukainya.""Kalau kau sudah mengenal Naomi dengan baik, kau tidak akan membenci Naomi seperti itu.""Omong kosong. Aku sangat mengenal baik dirimu. Dia bukan seleramu." Ellena terlihat tidak mau mengalah dari putra sulungnya."Terserah padamu." Arion tidak ingin berdebat lebih lama lagi dengan ibunya. Percuma saja karena ibunya tidak pernah mau mengalah."Aku bisa mencarikanmu calon istri yang lebih pantas dari dia.""Bagiku Naomi adalah calon istri terbaik yang aku miliki. Tidak ada yang lain," jelas Arion tampak jengkel.Arion memutar tubuhnya, bergegas meninggalkan ibunya. Dia bergeming saat ibunya berteriak memanggil namanya. Langkahnya semakin panjang agar segera pergi dari sana. Sebelum malam semakin larut, dia harus bertemu Naomi secepatnya.Arion menghentikan mobilnya di depan gedung flat Naomi. Matanya menatap sinis pada anak tangga yang mengarah ke flat Naomi yang besinya sudah berkarat dan menimbulkan bunyi derit yang mengganggu telinganya. Tangannya terkepal lalu mengetuk pintu flat itu pelan.Pintu itu terbuka sedikit. Naomi mengintip dari celah pintu yang terbuka. Setelah yakin identitas tamunya, dia langsung membuka pintunya lebar."Masuklah," ajak Naomi, lalu menggeser tubuhnya sedikit menjauh untuk memberi jalan pada Arion.Dengan mata memicing, Arion memindai seluruh isi ruangan itu. Flat ini berukuran sangat kecil. Tidak lebih besar dari ukuran kamar mandi di penthousenya. Saat dia duduk di sofa, dia tidak bisa menjulurkan kakinya dengan leluasa."Aku tahu kau tidak merasa nyaman berada di sini. Jadi, cepat katakan apa maumu." Naomi terlihat sangat gusar. Dia merapatkan tali piyamanya sambil menatap Arion lurus.Tidak ingin tinggal lebih lama lagi di tempat sempit ini, Arion segera menarik sebuah map dari dalam jaket. Dia mengulurkan map itu pada Naomi. Naomi menerima map itu dengan ekspresi bingung."Apa ini?""Bukalah ...." Arion menyandarkan punggungnya, lalu menyilangkan kaki.Tangan Naomi gemetaran setelah membuka map itu. Matanya menatap sederetan kalimat demi kalimat. Dia segera menutupnya kembali, lalu melihat Arion dengan sorot tidak percaya."Bisakah kau menjelaskan maksud dari surat kontrak ini?" Naomi menuntut penjelasan dari Arion. Meskipun dia sudah mengerti seluruh isinya, dia masih butuh penjelasan secara langsung dari bibir laki-laki itu."Kita akan menikah selama enam bulan. Setelah itu kau bisa bebas dariku," terang Arion sesantai mungkin."Maafkan aku. Aku tidak bisa melakukannya." Naomi menghampiri Arion, lalu mengembalikan map itu pada Arion."Aku akan memberimu dua puluh juta dollar kalau kau bersedia menandatangani kontrak itu.""Dua puluh juta dollar," guman Naomi pelan.Kemudian Naomi berjalan mundur. Mendadak tubuhnya menggigil kedinginan. Kedua tangannya secara otomatis bersedekap di depan dadanya."Bukan jumlah yang kecil," sahut Arion. "Aku tidak mungkin menerimanya." Naomi menggelengkan kepalanya cepat. "Itu sepadan dengan kontrak yang kau tanda tangani." Arion menatap wajah Naomi lurus. Semburat warna pucat tercetak jelas di wajah Naomi. "Duduk lah. Kau akan jatuh pingsan bila berdiri terus."Naomi menuruti perintah Arion. Dia menjatuhkan tubuhnya di atas sofa tidak jauh dari Arion. Kedua tangannya saling bertautan dan berada di pangkuan."Kau bisa mencari wanita lain yang mau menikah denganmu," ucap Naomi setelah berhasil menguasai dirinya."Aku hanya menginginkanmu. Tidak ada yang lain," tegas Arion dengan suara berat. Sorot matanya yang tajam langsung mengarah pada Naomi dan tepat mengenai jantung wanita itu.Bukannya merasa tersanjung karena Arion memilihnya sebagai istri, Naomi justru merasa be
"Apa kau sudah siap?"Naomi mengangguk. "Ya, aku siap."Tepat di hari yang telah ditentukan. Arion menjemput Naomi untuk pergi ke kantor catatan sipil bersama-sama. Selama beberapa saat Arion sempat terhipnotis oleh penampilan Naomi yang tidak biasa.Calon istrinya itu terlihat cantik dalam balutan gaun pengantin yang sederhana. Dia pun mencuri pandang untuk berlama-lama menatap Naomi. Setelah itu dia pun tersadar, langsung membuang pikirannya tentang Naomi, dan fokus pada tujuan mereka hari ini."Kedua mempelai silakan berciuman," ucap hakim yang menikahkan mereka setelah mereka dinyatakan sah sebagai sepasang suami istri.Awalnya Arion terlihat ragu-ragu. Tapi setelah itu dia menghampiri Naomi, lalu mendekatkan wajahnya di depan wajah Naomi. Pelan-pelan dia mulai mencium bibir istrinya. Hanya sebentar. Arion menarik kepalanya menjauh.Diam-diam Naomi menyentuh bibirnya. Ciuman singkat dari Arion masih terasa sangat jelas di bibirnya. Jantungnya pun berpacu dengan kencang sampai seka
"Anda pasti salah, Dokter."Naomi menegakkan punggungnya, lalu menatap dokter itu dengan sorot mata yang sayu. Dokter itu pasti telah salah melakukan pemeriksaan padanya. Dia tidak mungkin hamil."Aku tidak mungkin salah," tukas laki-laki itu. "Kita bisa melakukan pemeriksaan ulang untuk meyakinkanmu bahwa saat ini ada makhluk kecil yang tengah bersemayam di dalam perutmu."Kata-kata dokter sudah cukup kuat untuk meyakinkan Naomi bahwa dia memang tengah mengandung. Saat ini ada bayi Arion yang hidup bergantung padanya. Secara otomatis tangan Naomi mengelus perutnya dengan lembut. Tanpa Naomi sadari air matanya jatuh menitik tepat mengenai tangannya. Ada rasa haru, bahagia, dan sedih bercampur jadi satu. Dia tidak bisa menggambarkannya dengan jelas. Lalu, samar-samar tersungging senyum tipis di bibirnya."Aku akan memberimu multivitamin dan obat penambah darah," ucap dokter itu berhasil menarik Naomi dari lamunannya. "Aku harap kau bisa menjaga kesehatanmu dengan baik. Juga, makan-maka
"Jenna Laura James." Naomi mengulang menyebut nama itu sambil mengernyitkan dahinya."Kenapa? Apa ada yang salah dengan namaku?" tanya Jenna heran.Naomi menggeleng pelan seraya mengulas senyum manis. "Tidak ada. Aku seperti mengenali nama itu, tapi tidak tahu siapa pemiliknya.""Mungkin namaku yang pasaran," gumam Jenna kemudian. "Ngomong-ngomong kau sudah lama tinggal di sini?"Naomi menggeleng. "Belum lama. Sekitar satu bulan. Kenapa?""Tidak apa-apa. Aku hanya ingin tahu kondisi gedung ini, apakah aman atau tidak. Aku baru pertama kali ini tinggal sendirian di tempat asing," ucap Jenna dengan tatapan menerawang.Seolah mengerti perasaan Jenna, Naomi mengulas senyum menenangkan. "Kau tidak perlu khawatir. Meskipun harga sewa di sini relatif murah, kondisi di sekitar sangat aman," balas Naomi, lalu dia melanjutkan,"Aku tidak ingin mengganggumu lebih lama lagi. Sampai jumpa." Naomi mengangguk sebentar, lalu memutar tubuhnya dan berjalan menuju flatnya sendiri. Naomi menutup pintu di
"Kau hamil?"Mulut Jenna menganga lebar. Kedua matanya mengedip beberapa kali. Lalu dia mengulas senyum kikuk."Ya, aku hamil," jawab Naomi pendek. Raut wajah Jenna berubah seketika. Dia merasa bersalah karena membuat Naomi terganggu oleh kedatangannya. "Maafkan aku. Aku tidak bermaksud membuatmu tidak nyaman. Aku hanya ...."Naomi merentangkan tangannya dan menggoyangkan pergelangan tangannya beberapa kali. "Jangan bilang begitu. Kau tidak mengetahui keadaanku yang sebenarnya."Jenna menarik napas lega. "Berapa bulan usia kandunganmu?" tanya dia penasaran, lalu dia menutup mulutnya karena telah bersikap melampaui batas."Sekitar dua bulan." Naomi berkata pelan. Suaranya hampir tidak terdengar di telinga Jenna. Lalu dia duduk di sofa. Kakinya terasa lemah dan tidak sanggup menopang tubuhnya.Jenna mengedarkan pandangannya. Dia mencoba mencari-cari. Tapi dia tidak menemukan apa-apa. Di seluruh ruangan flat Naomi, kecuali kamar, Jenna tidak menemukan bingkai foto potret seorang laki-l
"Jenna ...."Jenna menoleh perlahan. Ibunya kini berada satu langkah di belakangnya. Dari sorot matanya yang tajam, Jenna menetahui ibunya benar-benar marah kali ini."Ikut aku sekarang."Tangan Jenna ditarik dengan kasar. Dia tidak sempat mengelak. Tubuhnya hampir jatuh ke lantai bila tangannya yang satu tidak memegang pinggiran meja."Aku tidak akan pergi ke mana-mana," ucap Jenna pelan tapi tegas. Dia lalu menatap ibunya lekak-lekat. Sama sekali tidak tampak rasa takut di wajahnya."Apa kau akan terus menentangku, lalu tetap memilih bersamanya?"Jenna bangkit berdiri. Dia menatap ibunya lekak-lekat. Lalu dia mendekatkan wajahnya dengan gaya menantang."Bukankah aku sudah bilang sebelumnya? Aku akan tetap memilih bersama Carl, apa pun keadaannya."Tanpa menunggu lama Jenna menarik tangan Carl, lalu mengajak kekasihnya pergi dari sana. Lalu dia menggenggam tangan Carl erat, seolah enggan melepaskannya pergi. Mereka terus berjalan dan tidak melihat ke belakang.Mereka kini tengah bera
"Aku ingin kau mengawasi Jenna sementara waktu."Arion melihat ibunya mendorong adik bungsunya ke arahnya. Sudah berbulan-bulan dia tidak bertemu Jenna setelah adiknya itu kabur dari rumah karena ibunya tidak menyetujui Jenna menjalin kasih dengan salah satu anggota band tidak terkenal. Sekarang Jenna terlihat sangat tertekan oleh perlakuan ibunya yang tidak manusiawi."Dia bukan anak kecil lagi. Untuk apa aku mengawasinya." Arion berkata acuh dan dingin. "Arion ...." Ellena berteriak. Suaranya melengking tinggi, dan membuat setiap telinga yang mendengar suaranya berdengung nyeri."Apa kau akan selalu ikut campur dalam hidup anak-anakmu?" Arion membalas dengan sengit. Pekerjaannya masih banyak. Dia juga memiliki masalah sendiri. Tapi ibunya seolah tidak mau mengerti keadaannya."Aku tidak akan ikut campur lagi dalam hidup kalian kalau kalian bisa memilih pasangan yang tepat," sergah Ellena sambil menekan keningnya yang nyeri.Arion memandang Jenna. Sejak tadi adiknya itu hanya diam d
"Catlya...."Arion mengerutkan keningnya. Dia tidak mengerti dengan pertanyaan Jenna. Kenapa tiba-tiba Jenna bertanya tentang Catlya?"Bukankah dia tunanganmu," balas Jenna. "Aku pernah mendengar tentang dia dari Daren," pungkasnya."Kami sudah lama tidak berhubungan," ucap Arion pelan. Jenna langsung menutup mulutnya. Bicaranya sudah melewati batas. Tidak seharusnya dia membahas Catlya lagi. Dia melihat perubahan wajah Arion yang mendadak menjadi kaku. Arion pasti telah melupakan wanita itu. Bodohnya dia, dia justru menyebut nama itu tanpa mengetahui hubungan mereka sebenarnya."Aku minta maaf." "Tidak perlu meminta maaf," timpal Arion. Dia lalu mendorong pintu kamar itu, memberi jalan pada Jenna untuk masuk ke dalam sana.Tiba-tiba kepala Arion terasa pening. Masuk ke kamar ini lagi setelah sekian lama membuat dia terngiang-ngiang akan keberadaan Naomi di sini. Sekarang Naomi entah berada di mana, dia belum bisa menemukan mantan istrinya itu."Kamar ini terlihat sangat nyaman," uca
"Bekas operasi usus buntu." Naomi menjawab pendek, lalu memalingkan wajahnya. Dia ingin menghindari tatapan Arion yang menyelidik. Dalam hati dia berharap Arion tidak mendesaknya dengan pertanyaan yang sulit dia jawab. Sepertinya Arion puas dengan jawaban Naomi karena setelah itu dia mulai mencium bibir wanita itu lagi. Kesenangannya sempat tertunda. Dan dia ingin melanjutkannya hingga mereka lupa diri. Mula-mula Naomi enggan membalas ciuman Arion. Tapi setelah Arion mendesaknya berkali-kali, akhirnya dia menyerah. Dia pun membuka dirinya untuk menerima Arion seutuhnya. Keduanya bercinta, bercumbu dengan penuh gairah membara. Mereka seolah baru bertemu, dan lupa akan masa lalu yang telah lewat. Tidak ada kata-kata yang keluar. Tapi dari sorot mata yang saling bersinggungan, mereka seolah memahami kebutuhan alami yang sekian lama terpendam dalam jiwa. "Seharusnya dulu kita tidak bercerai," bisik Arion penuh penyesalan sambil membelai lengan Naomi. Naomi berguling menjauh se
"Lepaskan aku, Arion."Naomi menggeliat, menggerakkan tubuhnya agar bisa terlepas dari pangkuan Arion. Jantungnya berdetak kencang seiring dengan kedekatan antara dia dan Arion. Lebih-lebih saat Arion menciumnya tadi. Meskipun hanya sapuan ringan di bibirnya, Arion mampu menyulut percikan api di tubuhnya."Apa kau tidak menyukainya?"Arion membelai pipi Naomi lembut, lalu jari telunjuknya berhenti di bibir ranum itu. Rasa yang pernah dia kecap dulu belum berubah. Masih manis dan menggiurkan."Jauhkan tanganmu dariku. Biarkan aku kembali ke kursiku," pinta Naomi dengan tatapan penuh harap.Keelan menyunggingkan senyum masam. "Kalau aku menuruti permintaanmu, maka perjalan ini akan terasa sangat membosankan," ucapnya dengan nada diseret-seret. Salah satu tangannya semakin mempererat pelukannya di pinggang Naomi. Sedangkan tangannya yang lain mulai membelai leher jenjang Naomi, lalu turun pelan-pelan dan berhenti tepat di tengah celah dada Naomi yang membusung sempurna."Hentikan, Arion!
"Apa yang terjadi?" Jenna menatap bingung pada Naomi yang baru saja sampai di flat. Naomi terlihat sangat mencurigakan dengan napas tersengal-sengal seolah habis dikejar oleh penjahat. Tanpa membalas sapaannya, Naomi langsung mencari keberadaan Jayden dan menggendong bayinya dengan erat. "Bisakah kau memberi tahuku apa yang sedang terjadi padamu?" tanya Jenna sekali lagi, lalu menyentuh tangan Naomi. Naomi terlonjak kaget. Tubuhnya membeku selama beberapa detik. Setelah kesadarannya kembali, dia membaringkan Jayden di atas tempat tidurnya. Bayi itu masih terlelap dan tidak merasa terganggu dengan pelukan ibunya yang cukup erat. Hari ini sungguh terasa berat. Naomi menutupi wajahnya dengan kedua telapak tangannya, lalu dia menjatuhkan dirinya di atas sofa. Deru napasnya kini mulai berkurang setelah dia berhasil mengontrol emosinya. "Kau pasti tidak menyangka siapa yang aku temui hari ini," bisik Naomi. Suaranya sedikit bergetar. "Siapa dia?" "Aku bertemu Arion. Aku beke
Senyum Naomi langsung sirna. Bibirnya terkatup rapat. Kepalanya mendadak pening. Rasanya dia mau pingsan."Naomi ...." Arion memanggil nama itu pelan. Tubuhnya mematung. Sama sekali dia tidak menyangka bisa bertemu dengan Naomi lagi setelah perpisahan mereka yang pahit. Tapi dia mampu menguasai emosinya dengan baik, tidak menunjukkannya pada Naomi. "Apa yang kau lakukan di sini?"Sekali dua kali Naomi meneguk ludahnya. Tangannya meremas erat ujung roknya. Pertemuan ini sangat mengejutkan, dan membuatnya seperti orang bodoh yang tidak mampu berpikir jernih."Aku ada sedikit urusan. Lebih tepatnya aku sedang menunggu calon bosku," tukas Naomi setelah berhasil menguasai emosinya, meskipun rasa gugup masih melingkupi dirinya. "Jangan bilang kalau kau adalah ...." Kata-kata Naomi menggantung di udara setelah dia menarik benang merah atas pertemuan tidak sengaja ini. Sungguh sulit dipercaya. Seharusnya dia mencari tahu informasi tentang calon bosnya terlebih dahulu sebelum menyambar tawara
"Ada banyak masalah yang aku hadapi saat itu. Tapi sekarang aku tidak ingin membicarakannya."Naomi bersandar di sofa, lalu menatap ke arah lain. Raut wajahnya terlihat sangat keruh. Hatinya seolah diiris-iris saat kembali teringat akan kejadian di masa silam."Apa yang pernah Arion lakukan padamu?"Jenna mendekati Naomi, dan menyentuh tangan Naomi. Naomi terkesiap, langsung membuat Jenna mundur ke belakang. Mata Jenna memindai wajah Naomi, mencoba mencari tahu rahasia yang disembunyikan oleh sahabatnya itu."Aku - pernah bercerita padamu." Naomi menjawab dengan terbata-bata, lalu menepis tangan Jenna sedikit kasar."Tapi aku merasa sepertinya kau masih memiliki satu rahasia yang belum kau ceritakan padaku." Jenna sengaja memancing Naomi. "Kami berdua tidak benar-benar menikah. Arion memilihku sebagai istrinya karena saat itu dia tidak memiliki wanita lain yang bisa dia nikahi," terang Naomi dengan mata berkaca-kaca. "Saat itu kami terpaksa melakukan pernikahan kontrak karena desakan
"Arion .... siapa dia?" gumam Jenna terlihat bingung karena belum pernah bertemu dengan wanita yang tengah berdiri di hadapannya. Arion menarik Jenna ke belakang tubuhnya. Matanya tajam menatap Catlya. Wanita itu sama sekali tidak pernah berubah, tetap menyebalkan dan selalu berbuat seenaknya. Anehnya dulu dia begitu memuja wanita itu, sebelum kedua matanya terbuka lebar dan menyadari Catlya hanya memanfaatkan dirinya. "Catlya ...." panggil Arion dengan nada suaranya yang kaku, lalu dia melanjutkan, "Perkenalkan, ini adalah Jenna. Adik kandungku." Kata-kata Arion berhasil membuat Catlya membuka mulutnya lebar. Dia lalu mendengus kesal karena telah bersikap gegabah dan memalukan. Dia menduga Arion pasti tengah menertawakan kebodohannya ini. "Ah ... adikmu." Catlya manggut-manggut dengan senyum pura-pura setelah berhasil menguasai dirinya. Selama ini dia pandai berakting, rasanya tidak sulit bila dia harus melakukannya sekarang. "Kau tidak pernah bercerita tentang adikmu ini." "Seb
"Jenna ...."Jenna melihat Arion berjalan ke arahnya dengan langkah panjang. Tubuhnya berubah kaku selama beberapa saat. Ekor matanya sempat melihat Naomi buru-buru menghilang dari balik punggungnya. Pikirnya, Naomi pasti berusaha menghindari pertemuan dengan Arion."Arion ...."Arion langsung memeluk tubuh adiknya erat. Rasanya sudah lama sekali dia tidak bertemu dengan adiknya, dan dia telah menantikan pertemuannya kembali dengan Jenna. Dalam hati dia mengucap syukur bahwa perjumpaan mereka beberapa waktu yang lalu mengubah hubungan keduanya yang semula dingin menjadi semakin hangat."Sebuah kejutan yang sama sekali tidak pernah aku sangka," celetuk Jenna tanpa bisa menutupi rasa terkejutnya akan kemunculan Arion di depannya."Kebetulan aku ada urusan di sekitar sini, jadi aku memutuskan untuk melihatmu sebentar," balas Arion. "Apa kau berencana untuk pergi?" Arion menatap ke arah belakang Jenna, lalu dia mengarahkan matanya pada adiknya lagi.Jenna menggeleng cepat. "Tidak ...." tu
"Apa hubunganmu sebenarnya dengan Arion?"Jenna mengulang pertanyaannya karena Naomi tidak kunjung menjawab. Dia menatap Naomi lekat-lekat, menuntut penjelasan. Pelan-pelan dia menghampiri Naomi.Naomi menelan ludahnya yang terasa pahit, membasahi tenggorokannya yang kering. Tangannya menggenggam selimut erat. Dia belum siap menerima konfrontasi dari Jenna. Tidak di saat ini dan suasana seperti ini."Apa mungkin Arion adalah mantan suami yang pernah kau ceritakan dulu?"Seolah terdesak dan tidak ada jalan keluar untuk berlari, akhirnya Naomi mengangguk. Bibirnya sedikit terbuka. Tapi dia tidak berkata sepatah kata pun. Air matanya mengalir deras tanpa bisa dia kendalikan. Seharusnya dia berbahagia atas kelahiran putranya. Yang terjadi justru sebaliknya.Jenna langsung memeluk tubuh Naomi. Sama sekali dia tidak menyangka Naomi akan menangis seperti itu. Mungkin selama ini Naomi memendam kesedihan yang sangat mendalam, dan baru sekarang Naomi mendapatkan kesempatan untuk menumpahkannya.
"Mari kita menikah."Carl mengulang kata-katanya karena sejak tadi Jenna hanya diam mematung di depannya. Dia menatap wajah Jenna yang tanpa ekspresi. Mungkin kekasihnya itu masih terkejut dengan pemberitahuan yang baru saja dia sampaikan."Jenna ...."Jenna mengerjapkan matanya. Panggilan Carl menariknya ke dunia nyata. Beberapa saat yang lalu jiwanya pergi entah ke mana. "Maafkan aku. Apa kau bilang tadi? Menikah? Bukankah kau tidak ingin menikah denganku?" Nada suara Jenna terdengar sangat pahit. Sorot matanya juga terlihat terluka.Carl segera merentangkan tangannya dan menggoyangkannya beberapa kali. Sikapnya tempo hari memang telah menimbulkan kesalahpahaman di antara mereka. Jenna benar-benar terluka atas kejadian itu."Bukan begitu maksudku. Aku merasa saat itu bukan waktu yang tepat bagi kita untuk membicarakan tentang pernikahan," elak Carl panik."Apa maksudmu sebenarnya?" Jenna memicingkan matanya, menatap Carl dengan curiga.Carl menatap ke belakang pundak Jenna. Hanya a