"Jenna Laura James." Naomi mengulang menyebut nama itu sambil mengernyitkan dahinya.
"Kenapa? Apa ada yang salah dengan namaku?" tanya Jenna heran.Naomi menggeleng pelan seraya mengulas senyum manis. "Tidak ada. Aku seperti mengenali nama itu, tapi tidak tahu siapa pemiliknya.""Mungkin namaku yang pasaran," gumam Jenna kemudian. "Ngomong-ngomong kau sudah lama tinggal di sini?"Naomi menggeleng. "Belum lama. Sekitar satu bulan. Kenapa?""Tidak apa-apa. Aku hanya ingin tahu kondisi gedung ini, apakah aman atau tidak. Aku baru pertama kali ini tinggal sendirian di tempat asing," ucap Jenna dengan tatapan menerawang.Seolah mengerti perasaan Jenna, Naomi mengulas senyum menenangkan. "Kau tidak perlu khawatir. Meskipun harga sewa di sini relatif murah, kondisi di sekitar sangat aman," balas Naomi, lalu dia melanjutkan,"Aku tidak ingin mengganggumu lebih lama lagi. Sampai jumpa." Naomi mengangguk sebentar, lalu memutar tubuhnya dan berjalan menuju flatnya sendiri.Naomi menutup pintu di belakangnya. Perkenalan singkat dengan tetangga barunya menjadi sebuah kemajuan bagi dirinya. Tadi adalah pertama kalinya dia mengobrol dengan seseorang yang baru dia temui. Sebelumnya dia lebih banyak menghindar dari tatapan orang banyak yang kebetulan bertemu dengannya di lorong gedung, atau pun di lift.Sungguh aneh. Naomi tidak habis pikir kenapa dia mudah sekali akrab dengan Jenna. Padahal sebelumnya dia sering mengalami kesulitan saat bersosialisasi dengan orang asing.Mendadak rasa mual menyerang Naomi. Dia buru-buru ke toilet dan menumpahkan kembali seluruh sarapannya yang sempat dia makan tadi pagi. Tidak ada yang tersisa. Perutnya kini kosong. Naomi terduduk lemah di lantai kamar mandi. Peluh bercucuran membasahi keningnya.Saat napasnya kembali teratur, Naomi bangkit berdiri lalu menyalakan kompor. Dia menjerang air untuk membuat air jahe hangat. Dokter yang memeriksanya menganjurkan dia untuk membuat minuman itu saat dia merasa mual."Tunggu sebentar ...." teriak Naomi setelah mendengar bel pintunya berbunyi. Dia mengayun langkah panjang, meninggalkan gelasnya di atas meja makan."Hai ...."Tubuh Naomi membeku selama beberapa detik. Jenna berdiri di depan pintu flatnya dengan senyum meringis. Naomi sempat kehilangan kata-kata, dan tidak tahu ingin berucap apa."Hai ...." balas Naomi sedikit canggung. "Ada yang bisa aku bantu?""Kran air di flatku macet. Boleh kah aku menumpang mandi di sini?"Jenna menatap Naomi penuh harap. Lalu dia menarik kedua lengannya yang sempat tersembunyi di belakang punggungnya ke samping tubuhnya. Jenna membawa perlengkapan mandinya di dalam sebuah keranjang kecil."Masuk lah. Kau bisa mandi di sini," ucap Naomi lalu menyingkir dari ambang pintu.Naomi lalu menunjukkan letak kamar mandinya pada Jenna. Setelah itu dia kembali ke ruang makan dan menghirup air jahenya pelan-pelan. Perutnya kini terasa lebih hangat dan baik. Dia mengangkat kepalanya saat mendengar pintu kamarn mandinya terbuka. Jenna melangkah keluar sambil mengeringkan rambutnya dengan handuknya."Terima kasih. Karena dirimu aku bisa menghilangkan keringat yang menempel di tubuhku sepanjang hari," ujar Jenna dengan senyum lebar."Sama-sama. Saranku, segera hubungi teknisi gedung ini untuk memperbaiki pompa airmu," saran Naomi membalas ucapan Jenna. "Kau mau kubuatkan minuman? Ada kopi, teh, atau kau bisa memilih minuman ringan."Jenna terlihat tengah berpikir. Dia berjalan perlahan menghampiri Naomi. Kepalanya berputar, dan kedua matanya melihat ke sekeliling flat itu. Dia berdecak kagum karena Naomi berhasil menghias tempat tinggalnya senyaman mungkin."Minuman ringan saja. Aku tidak ingin merepotkanmu," sahut Jenna, lalu menjatuhkan tubuhnya di atas kursi kayu di depan Naomi.Sesuai permintaan Jenna, Naomi mengambil sekaleng minuman ringan dari dalam kulkasnya. Dia mengulurkan kaleng itu pada Jenna. Jenna menerimanya dengan senang hati. Tanpa menunggu lama wanita itu segera membuka tutup kaleng itu, lalu meneguk isinya."Tempat tinggalmu terlihat menyenangkan. Apa kau sendiri yang mengaturnya?" tanya Jenna penasaran."Ya, aku melakukannya sendiri tanpa bantuan orang lain. Tapi, aku tidak langsung mendapatkan semua ini dalam waktu bersamaan," jawab Naomi, lalu dia menyeruput air jahenya."Kau sudah seperti seorang desainer interior profesional." Jenna memberikan pujian dengan mata berbinar-binar. Semua yang dia ucapkan memang benar adanya."Terima kasih. Aku mengaturnya sesuai dengan petunjuk yang aku dapatkan di buku desain interior yang aku beli," balas Naomi sedikit merendah. Dalam hati diam-diam dia merasa bahagia karena ada seseorang yang menghargai hasil kerja kerasnya."Sebaiknya aku segera kembali ke flatku. Aku tidak ingin mengganggumu lebih lama lagi," kata Jenna setelah dia terdiam selama beberapa saat. Dia segera bangkit berdiri dan merapikan barang bawaannya. "Senang memiliki tetangga sepertimu."Kemudian Jenna bergegas meninggalkan Naomi sendirian. Setelah ini dia berencana untuk membalas kebaikan Naomi. Dua kali Naomi sudah membantunya. Tidak mungkin dia bersikap acuh dan tidak tahu berterima kasih. Naomi orang baik. Tetangganya itu pantas mendapatkan hadiah kecil darinya.***Dua hari kemudian. Di depan sebuah gedung pusat perbelanjaan, Naomi baru saja turun dari taksi ketika melihat Jenna tengah berjalan berdua dengan seorang laki-laki tampan. Jenna tidak melihat ke arahnya, dan terus berjalan masuk ke dalam lift.Naomi memilih memperlambat langkahnya karena tidak ingin bertemu muka dengan mereka. Dia lalu masuk ke sebuah restoran yang lokasinya berada di dalam gedung itu. Siang ini dia berencana menemui salah seorang pelukis yang membutuhkan jasanya."Maafkan aku karena datang terlambat," ucap Naomi lalu menarik kursi di depan wanita di akhir lima puluh tahun itu."Tidak apa-apa. Aku baru saja datang ke sini," ucap wanita itu.Seorang pelayan datang menghampiri mereka, menanyakan pesanan mereka. Setelah mencatat pesanan, dia bergegas pergi meninggalkan mereka. Dia langsung menghilang di balik pintu."Seperti yang aku ceritakan di surel yang aku kirimkan padamu, aku ingin kau memeriksa laporan keuanganku," ucap wanita itu sambil menyerahkan sebuah map pada Naomi.Naomi menerima map itu, lalu membalik-balik lembaran kertas di dalamnya. "Biarkan aku memeriksanya lebih dulu. Secepatnya aku akan menghubungimu dan melaporkan hasil pekerjaanku," timpal Naomi meyakinkan."Mulai sekarang aku tidak ingin mempercayai orang terdekatku lagi. Mereka hanya memanfaatkan aku karena aku bisa menghasilkan uang yang banyak," celetuk wanita itu dengan tatapan mata menerawang.Setelah itu mereka membicarakan topik yang ringan. Obrolan basa-basi untuk mengenal satu sama lain. Naomi lebih banyak mendengarkan dibandingkan bercerita tentang kehidupannya sendiri.Satu jam berselang. Mereka memutuskan untuk mengakhiri pertemuan mereka. Naomi menunggu kliennya itu menghilang dari hadapannya sebelum dia naik ke taksi yang sengaja dia hentikan di depan gedung itu.Malam harinya. Lagi-lagi Naomi dikejutkan oleh kedatangan Jenna di depan flatnya. Dia sama sekali tidak pernah menyangka Jenna akan mengunjungi dia secepat ini. Mereka baru saja mengenal satu dengan yang lainnya."Apa aku mengganggumu?"Naomi menggeleng perlahan. "Tentu saja tidak. Apakah ada masalah lagi?" tanya Naomi."Tidak ada. Aku hanya ingin memberimu ini." Jenna mengangkat sebuah bungkusan plastik di depan wajah Naomi.Raut wajah Naomi berubah seketika. Dia mencium aroma yang sangat tajam menusuk hidungnya. Aroma itu berhasil menarik rasa mual di dalam perutnya. Sayangnya Jenna seperti tidak menyadari perubahan wajah Naomi."Kebetulan aku pergi ke restoran Chinese food. Aku membeli ini untukmu."Naomi langsung mundur beberapa langkah. Dia bergegas ke kamar mandi, dan muntah untuk kesekian kalinya dalam satu hari ini. Ujung matanya menangkap bayangan Jenna yang berdiri di belakangnya."Apa kau baik-baik saja?" tanya Jenna terdengar sangat khawatir."Maafkan aku. Akhir-akhir ini hidungku sangat sensitif terhadap aroma makanan sehingga membuat aku ingin muntah," terang Naomi."Jangan bilang kalau kau ...."Naomi berdiri, lalu memutar tubuhnya menghadap Jenna. "Ya, benar. Saat ini aku tengah mengandung.""Kau hamil?"Mulut Jenna menganga lebar. Kedua matanya mengedip beberapa kali. Lalu dia mengulas senyum kikuk."Ya, aku hamil," jawab Naomi pendek. Raut wajah Jenna berubah seketika. Dia merasa bersalah karena membuat Naomi terganggu oleh kedatangannya. "Maafkan aku. Aku tidak bermaksud membuatmu tidak nyaman. Aku hanya ...."Naomi merentangkan tangannya dan menggoyangkan pergelangan tangannya beberapa kali. "Jangan bilang begitu. Kau tidak mengetahui keadaanku yang sebenarnya."Jenna menarik napas lega. "Berapa bulan usia kandunganmu?" tanya dia penasaran, lalu dia menutup mulutnya karena telah bersikap melampaui batas."Sekitar dua bulan." Naomi berkata pelan. Suaranya hampir tidak terdengar di telinga Jenna. Lalu dia duduk di sofa. Kakinya terasa lemah dan tidak sanggup menopang tubuhnya.Jenna mengedarkan pandangannya. Dia mencoba mencari-cari. Tapi dia tidak menemukan apa-apa. Di seluruh ruangan flat Naomi, kecuali kamar, Jenna tidak menemukan bingkai foto potret seorang laki-l
"Jenna ...."Jenna menoleh perlahan. Ibunya kini berada satu langkah di belakangnya. Dari sorot matanya yang tajam, Jenna menetahui ibunya benar-benar marah kali ini."Ikut aku sekarang."Tangan Jenna ditarik dengan kasar. Dia tidak sempat mengelak. Tubuhnya hampir jatuh ke lantai bila tangannya yang satu tidak memegang pinggiran meja."Aku tidak akan pergi ke mana-mana," ucap Jenna pelan tapi tegas. Dia lalu menatap ibunya lekak-lekat. Sama sekali tidak tampak rasa takut di wajahnya."Apa kau akan terus menentangku, lalu tetap memilih bersamanya?"Jenna bangkit berdiri. Dia menatap ibunya lekak-lekat. Lalu dia mendekatkan wajahnya dengan gaya menantang."Bukankah aku sudah bilang sebelumnya? Aku akan tetap memilih bersama Carl, apa pun keadaannya."Tanpa menunggu lama Jenna menarik tangan Carl, lalu mengajak kekasihnya pergi dari sana. Lalu dia menggenggam tangan Carl erat, seolah enggan melepaskannya pergi. Mereka terus berjalan dan tidak melihat ke belakang.Mereka kini tengah bera
"Aku ingin kau mengawasi Jenna sementara waktu."Arion melihat ibunya mendorong adik bungsunya ke arahnya. Sudah berbulan-bulan dia tidak bertemu Jenna setelah adiknya itu kabur dari rumah karena ibunya tidak menyetujui Jenna menjalin kasih dengan salah satu anggota band tidak terkenal. Sekarang Jenna terlihat sangat tertekan oleh perlakuan ibunya yang tidak manusiawi."Dia bukan anak kecil lagi. Untuk apa aku mengawasinya." Arion berkata acuh dan dingin. "Arion ...." Ellena berteriak. Suaranya melengking tinggi, dan membuat setiap telinga yang mendengar suaranya berdengung nyeri."Apa kau akan selalu ikut campur dalam hidup anak-anakmu?" Arion membalas dengan sengit. Pekerjaannya masih banyak. Dia juga memiliki masalah sendiri. Tapi ibunya seolah tidak mau mengerti keadaannya."Aku tidak akan ikut campur lagi dalam hidup kalian kalau kalian bisa memilih pasangan yang tepat," sergah Ellena sambil menekan keningnya yang nyeri.Arion memandang Jenna. Sejak tadi adiknya itu hanya diam d
"Catlya...."Arion mengerutkan keningnya. Dia tidak mengerti dengan pertanyaan Jenna. Kenapa tiba-tiba Jenna bertanya tentang Catlya?"Bukankah dia tunanganmu," balas Jenna. "Aku pernah mendengar tentang dia dari Daren," pungkasnya."Kami sudah lama tidak berhubungan," ucap Arion pelan. Jenna langsung menutup mulutnya. Bicaranya sudah melewati batas. Tidak seharusnya dia membahas Catlya lagi. Dia melihat perubahan wajah Arion yang mendadak menjadi kaku. Arion pasti telah melupakan wanita itu. Bodohnya dia, dia justru menyebut nama itu tanpa mengetahui hubungan mereka sebenarnya."Aku minta maaf." "Tidak perlu meminta maaf," timpal Arion. Dia lalu mendorong pintu kamar itu, memberi jalan pada Jenna untuk masuk ke dalam sana.Tiba-tiba kepala Arion terasa pening. Masuk ke kamar ini lagi setelah sekian lama membuat dia terngiang-ngiang akan keberadaan Naomi di sini. Sekarang Naomi entah berada di mana, dia belum bisa menemukan mantan istrinya itu."Kamar ini terlihat sangat nyaman," uca
"Benarkah Arion akan hadir di sana?" Catlya membulatkan matanya lebar-lebar. "Tentu saja. Aku mendapatkan informasi yang valid dari asisten pribadinya," jawab Clara.Catlya memukul roda kemudi dengan raut wajah berseri-seri. Dia mengulas senyum lebar. Kabar yang baru saja disampaikan oleh Clara benar-benar di luar dugaan. Akhirnya kesempatan untuknya datang juga. Dia tidak akan menyia-nyiakan kesempatan bertemu dengan Arion nanti."Terima kasih. Aku akan memanfaatkannya dengan baik."Setelah itu Catlya mematikan ponselnya. Senyum lebar masih tersungging di bibirnya. Hatinya berbunga-bunga. Catlya merasa seperti mendapatkan sebuah undian lotere. "Arion .... Kali ini kau harus takluk di tanganku," ucap Catlya penuh tekad. Dia lalu menginjak pedal gas. Mobilnya langsung melaju kencang membelah jalanan yang sepi.***Pada hari yang ditentukan. Catlya menunggu gilirannya melenggang di catwalk. Malam ini penampilannya sungguh memukau. Dia memakai gaun malam dengan potongan rendah yang ber
"Aku tidak mau." Catlya menggeleng-gelengkan kepalanya. Tentu saja dia tidak akan menuruti perintah Arion begitu saja. Susah payah dia masuk ke dalam mobil ini. Lalu Arion mengusirnya dengan enteng seolah dia memiliki penyakit yang menular."Keluar sekarang." Arion berkata dingin dengan sorot mata yang tajam. Ucapannya mampu membuat Catlya membeku seketika."Kenapa kau memperlakukan aku seperti ini?" tanya Catlya dengan tatapan nanar.Arion mengulas senyum sinis. Wanita di sampingnya ini memang pandai berakting. Sejak dulu Catlya selalu bermain sebagai seorang korban yang teraniaya. Tapi dia tidak bodoh seperti sebelumnya. Dia tidak akan mudah terperdaya lalu takluk di tangan Catlya."Kau hanya mendapatkan apa yang kau perbuat." Arion lalu memberi isyarat pada sopir pribadinya melalui kaca spion. "Cepat singkirkan dia dari hadapanku."Sopir itu langsung turun mengikuti perintah Arion. Dia membuka pintu mobil di sisi Catlya duduk. Tangannya memegang tangan Catlya, lalu menariknya kel
"Kau sudah bangun."Naomi mengernyitkan keningnya. Matanya terasa sangat berat saat dia ingin membukanya. Dalam keadaan tidak berdaya seperti ini, dia bisa merasakan kehadiran Jenna di sampingnya."Apa yang terjadi denganku?" tanya Naomi beberapa saat kemudian."Kau jatuh pingsan karena kelelahan. Dokter yang memeriksamu bilang kondisi kehamilanmu sedikit mengkhawatirkan." Jenna berkata pelan dan berhati-hati.Seketika kedua mata Naomi terbuka lebar. Dia menatap lurus Jenna, mencari kebenaran dari sorot mata Jenna. Lalu dia membuat kesimpulan. Sepertinya Jenna tidak membohonginya.Satu menit berselang, Naomi mengulurkan tangan untuk berpegangan pada pinggiran tempat tidur. Dia mencoba bangun dan menegakkan punggungnya. Perlahan dengan bantuan Jenna akhirnya dia bisa duduk sambil bersandar di dinding."Katakan yang sebenarnya terjadi padaku." Bibir Naomi sedikit bergetar saat berbicara."Dokter mengatakan bahwa kondisi kehamilanmu mengalami plasenta Previa. Kau tidak boleh beraktivitas
"Kita menikah secepatnya," ulang Jenna.Mata Carl membelalak lebar. Dia lalu ikut duduk, dan menatap Jenna lekat-lekat. Ucapan Jenna barusan berhasil membuat dia kehilangan kata-kata."Kau pasti tidak serius dengan ucapanmu," balas Carl setelah berhasil mencerna ucapan Jenna.Jenna menggeleng perlahan. "Kenapa kau bisa berkata seperti itu? Aku benar-benar ingin menikah denganmu." Ada nada kecewa yang terdengar dari suara Jenna.Carl mengulas senyum kaku. Bukannya dia tidak gembira dengan ajakan Jenna. Tapi dia tidak ingin mereka terburu-buru dalam mengambil keputusan."Aku tidak mau kau bersikap gegabah. Bagaimana dengan ibumu? Apakah dia menyetujui rencana ini?"Bibir Jenna langsung menutup rapat. Dia memalingkan wajahnya. Dia sama sekali tidak pernah menyangka Carl akan berkata seperti itu, membuat semangatnya luruh seketika."Tentu saja dia tidak akan pernah menyetujui pernikahan kita," ucap Jenna pahit. Lalu dia memutar kepalanya. "Tapi, aku lebih membutuhkanmu dibandingkan dia," p
"Bekas operasi usus buntu." Naomi menjawab pendek, lalu memalingkan wajahnya. Dia ingin menghindari tatapan Arion yang menyelidik. Dalam hati dia berharap Arion tidak mendesaknya dengan pertanyaan yang sulit dia jawab. Sepertinya Arion puas dengan jawaban Naomi karena setelah itu dia mulai mencium bibir wanita itu lagi. Kesenangannya sempat tertunda. Dan dia ingin melanjutkannya hingga mereka lupa diri. Mula-mula Naomi enggan membalas ciuman Arion. Tapi setelah Arion mendesaknya berkali-kali, akhirnya dia menyerah. Dia pun membuka dirinya untuk menerima Arion seutuhnya. Keduanya bercinta, bercumbu dengan penuh gairah membara. Mereka seolah baru bertemu, dan lupa akan masa lalu yang telah lewat. Tidak ada kata-kata yang keluar. Tapi dari sorot mata yang saling bersinggungan, mereka seolah memahami kebutuhan alami yang sekian lama terpendam dalam jiwa. "Seharusnya dulu kita tidak bercerai," bisik Arion penuh penyesalan sambil membelai lengan Naomi. Naomi berguling menjauh se
"Lepaskan aku, Arion."Naomi menggeliat, menggerakkan tubuhnya agar bisa terlepas dari pangkuan Arion. Jantungnya berdetak kencang seiring dengan kedekatan antara dia dan Arion. Lebih-lebih saat Arion menciumnya tadi. Meskipun hanya sapuan ringan di bibirnya, Arion mampu menyulut percikan api di tubuhnya."Apa kau tidak menyukainya?"Arion membelai pipi Naomi lembut, lalu jari telunjuknya berhenti di bibir ranum itu. Rasa yang pernah dia kecap dulu belum berubah. Masih manis dan menggiurkan."Jauhkan tanganmu dariku. Biarkan aku kembali ke kursiku," pinta Naomi dengan tatapan penuh harap.Keelan menyunggingkan senyum masam. "Kalau aku menuruti permintaanmu, maka perjalan ini akan terasa sangat membosankan," ucapnya dengan nada diseret-seret. Salah satu tangannya semakin mempererat pelukannya di pinggang Naomi. Sedangkan tangannya yang lain mulai membelai leher jenjang Naomi, lalu turun pelan-pelan dan berhenti tepat di tengah celah dada Naomi yang membusung sempurna."Hentikan, Arion!
"Apa yang terjadi?" Jenna menatap bingung pada Naomi yang baru saja sampai di flat. Naomi terlihat sangat mencurigakan dengan napas tersengal-sengal seolah habis dikejar oleh penjahat. Tanpa membalas sapaannya, Naomi langsung mencari keberadaan Jayden dan menggendong bayinya dengan erat. "Bisakah kau memberi tahuku apa yang sedang terjadi padamu?" tanya Jenna sekali lagi, lalu menyentuh tangan Naomi. Naomi terlonjak kaget. Tubuhnya membeku selama beberapa detik. Setelah kesadarannya kembali, dia membaringkan Jayden di atas tempat tidurnya. Bayi itu masih terlelap dan tidak merasa terganggu dengan pelukan ibunya yang cukup erat. Hari ini sungguh terasa berat. Naomi menutupi wajahnya dengan kedua telapak tangannya, lalu dia menjatuhkan dirinya di atas sofa. Deru napasnya kini mulai berkurang setelah dia berhasil mengontrol emosinya. "Kau pasti tidak menyangka siapa yang aku temui hari ini," bisik Naomi. Suaranya sedikit bergetar. "Siapa dia?" "Aku bertemu Arion. Aku beke
Senyum Naomi langsung sirna. Bibirnya terkatup rapat. Kepalanya mendadak pening. Rasanya dia mau pingsan."Naomi ...." Arion memanggil nama itu pelan. Tubuhnya mematung. Sama sekali dia tidak menyangka bisa bertemu dengan Naomi lagi setelah perpisahan mereka yang pahit. Tapi dia mampu menguasai emosinya dengan baik, tidak menunjukkannya pada Naomi. "Apa yang kau lakukan di sini?"Sekali dua kali Naomi meneguk ludahnya. Tangannya meremas erat ujung roknya. Pertemuan ini sangat mengejutkan, dan membuatnya seperti orang bodoh yang tidak mampu berpikir jernih."Aku ada sedikit urusan. Lebih tepatnya aku sedang menunggu calon bosku," tukas Naomi setelah berhasil menguasai emosinya, meskipun rasa gugup masih melingkupi dirinya. "Jangan bilang kalau kau adalah ...." Kata-kata Naomi menggantung di udara setelah dia menarik benang merah atas pertemuan tidak sengaja ini. Sungguh sulit dipercaya. Seharusnya dia mencari tahu informasi tentang calon bosnya terlebih dahulu sebelum menyambar tawara
"Ada banyak masalah yang aku hadapi saat itu. Tapi sekarang aku tidak ingin membicarakannya."Naomi bersandar di sofa, lalu menatap ke arah lain. Raut wajahnya terlihat sangat keruh. Hatinya seolah diiris-iris saat kembali teringat akan kejadian di masa silam."Apa yang pernah Arion lakukan padamu?"Jenna mendekati Naomi, dan menyentuh tangan Naomi. Naomi terkesiap, langsung membuat Jenna mundur ke belakang. Mata Jenna memindai wajah Naomi, mencoba mencari tahu rahasia yang disembunyikan oleh sahabatnya itu."Aku - pernah bercerita padamu." Naomi menjawab dengan terbata-bata, lalu menepis tangan Jenna sedikit kasar."Tapi aku merasa sepertinya kau masih memiliki satu rahasia yang belum kau ceritakan padaku." Jenna sengaja memancing Naomi. "Kami berdua tidak benar-benar menikah. Arion memilihku sebagai istrinya karena saat itu dia tidak memiliki wanita lain yang bisa dia nikahi," terang Naomi dengan mata berkaca-kaca. "Saat itu kami terpaksa melakukan pernikahan kontrak karena desakan
"Arion .... siapa dia?" gumam Jenna terlihat bingung karena belum pernah bertemu dengan wanita yang tengah berdiri di hadapannya. Arion menarik Jenna ke belakang tubuhnya. Matanya tajam menatap Catlya. Wanita itu sama sekali tidak pernah berubah, tetap menyebalkan dan selalu berbuat seenaknya. Anehnya dulu dia begitu memuja wanita itu, sebelum kedua matanya terbuka lebar dan menyadari Catlya hanya memanfaatkan dirinya. "Catlya ...." panggil Arion dengan nada suaranya yang kaku, lalu dia melanjutkan, "Perkenalkan, ini adalah Jenna. Adik kandungku." Kata-kata Arion berhasil membuat Catlya membuka mulutnya lebar. Dia lalu mendengus kesal karena telah bersikap gegabah dan memalukan. Dia menduga Arion pasti tengah menertawakan kebodohannya ini. "Ah ... adikmu." Catlya manggut-manggut dengan senyum pura-pura setelah berhasil menguasai dirinya. Selama ini dia pandai berakting, rasanya tidak sulit bila dia harus melakukannya sekarang. "Kau tidak pernah bercerita tentang adikmu ini." "Seb
"Jenna ...."Jenna melihat Arion berjalan ke arahnya dengan langkah panjang. Tubuhnya berubah kaku selama beberapa saat. Ekor matanya sempat melihat Naomi buru-buru menghilang dari balik punggungnya. Pikirnya, Naomi pasti berusaha menghindari pertemuan dengan Arion."Arion ...."Arion langsung memeluk tubuh adiknya erat. Rasanya sudah lama sekali dia tidak bertemu dengan adiknya, dan dia telah menantikan pertemuannya kembali dengan Jenna. Dalam hati dia mengucap syukur bahwa perjumpaan mereka beberapa waktu yang lalu mengubah hubungan keduanya yang semula dingin menjadi semakin hangat."Sebuah kejutan yang sama sekali tidak pernah aku sangka," celetuk Jenna tanpa bisa menutupi rasa terkejutnya akan kemunculan Arion di depannya."Kebetulan aku ada urusan di sekitar sini, jadi aku memutuskan untuk melihatmu sebentar," balas Arion. "Apa kau berencana untuk pergi?" Arion menatap ke arah belakang Jenna, lalu dia mengarahkan matanya pada adiknya lagi.Jenna menggeleng cepat. "Tidak ...." tu
"Apa hubunganmu sebenarnya dengan Arion?"Jenna mengulang pertanyaannya karena Naomi tidak kunjung menjawab. Dia menatap Naomi lekat-lekat, menuntut penjelasan. Pelan-pelan dia menghampiri Naomi.Naomi menelan ludahnya yang terasa pahit, membasahi tenggorokannya yang kering. Tangannya menggenggam selimut erat. Dia belum siap menerima konfrontasi dari Jenna. Tidak di saat ini dan suasana seperti ini."Apa mungkin Arion adalah mantan suami yang pernah kau ceritakan dulu?"Seolah terdesak dan tidak ada jalan keluar untuk berlari, akhirnya Naomi mengangguk. Bibirnya sedikit terbuka. Tapi dia tidak berkata sepatah kata pun. Air matanya mengalir deras tanpa bisa dia kendalikan. Seharusnya dia berbahagia atas kelahiran putranya. Yang terjadi justru sebaliknya.Jenna langsung memeluk tubuh Naomi. Sama sekali dia tidak menyangka Naomi akan menangis seperti itu. Mungkin selama ini Naomi memendam kesedihan yang sangat mendalam, dan baru sekarang Naomi mendapatkan kesempatan untuk menumpahkannya.
"Mari kita menikah."Carl mengulang kata-katanya karena sejak tadi Jenna hanya diam mematung di depannya. Dia menatap wajah Jenna yang tanpa ekspresi. Mungkin kekasihnya itu masih terkejut dengan pemberitahuan yang baru saja dia sampaikan."Jenna ...."Jenna mengerjapkan matanya. Panggilan Carl menariknya ke dunia nyata. Beberapa saat yang lalu jiwanya pergi entah ke mana. "Maafkan aku. Apa kau bilang tadi? Menikah? Bukankah kau tidak ingin menikah denganku?" Nada suara Jenna terdengar sangat pahit. Sorot matanya juga terlihat terluka.Carl segera merentangkan tangannya dan menggoyangkannya beberapa kali. Sikapnya tempo hari memang telah menimbulkan kesalahpahaman di antara mereka. Jenna benar-benar terluka atas kejadian itu."Bukan begitu maksudku. Aku merasa saat itu bukan waktu yang tepat bagi kita untuk membicarakan tentang pernikahan," elak Carl panik."Apa maksudmu sebenarnya?" Jenna memicingkan matanya, menatap Carl dengan curiga.Carl menatap ke belakang pundak Jenna. Hanya a