"Terimakasih, Tuan-Tuan. Jika bukan karena bantuan kalian, mungkin kami sekeluarga telah dibunuh." Pria yang mereka selamatkan akan berlutut di kaki Alice. "Tuan, tidak perlu seperti itu. Aku hanya kebetulan lewat di sekitar sini." Alice memegang kedua sisi lengan pria itu dan menahannya agar tidak sampai berlutut. "Tidak, Tuan. Anda adalah penyelamat kami." Istri dari pria itu menangis karena bersyukur dan memeluk putra putrinya yang masih berusia 10 tahun dan 7 tahun. "Sebaiknya kalian segera siapkan barang seperlunya, aku akan mengantarkan kalian hingga ke perbatasan Casia dan Yustan. Seseorang akan menjemput kalian. Bersembunyi lah di Casia sementara waktu," ujar Alice. Mereka mempercayai perkataan Alice dan bergegas mempersiapkan barang bawaannya. Lagipula mereka juga sadar, jika mereka tetap tinggal di rumahnya, kemungkinan nyawa mereka akan kembali terancam. Alice mengajak mereka semua masuk ke mobil sederhana ukuran minibus yang disewa olehnya sore ini. "Biarkan ak
"Di sini hanya ada kita berdua, lebih baik lepaskan saja topeng perak mu itu. Apa Kau tidak lelah terus menggunakannya?" Alice juga melepaskan masker yang menutupi separuh wajah bagian bawahnya. "Hmmm, ya. Kau benar." Mario kemudian melepaskan topeng peraknya. Setelah itu keadaan hening sepanjang jalan. Alice merasa malas untuk berbicara pada Mario. Belakangan, entah mengapa, Alice merasa tubuhnya mudah lelah dan dia juga gampang tertidur. Nafsu makan Alice juga berkurang. Jika makan pun, makanan itu akan segera dia muntahkan hanya dalam beberapa menit kemudian. Alice ingin memeriksakan dirinya ke dokter kandungan, namun dia tidak ingin mengambil resiko jika kemudian seseorang mengetahui tentang kehamilannya. Itulah sebabnya, dia belum memeriksakan dirinya hingga sekarang. Alice begitu disibukkan dengan pemikirannya, hingga kemudian tanpa dia sadari, dia jatuh tertidur. Mario mengemudi dengan tenang sepanjang jalan. Hingga selama 4 jam kemudian, mereka telah kembali ke pus
"Yang Mulia, apa kita langsung menuju ke istana Yustan?" Tanya Nathan pada Gavin. "Ya," ujar Gavin singkat. Hari ini, pagi sekali Gavin telah tiba di Yustan. Dia tidak sabar untuk bertemu dengan Alice dan menunjukkan semua bukti-bukti yang dimilikinya untuk menyelesaikan permasalahannya dengan Alice. Perjalanan dari bandara menuju ke istana, melalui pusat kota Yustan. Mata Gavin melihat ke luar jendela mobil. Pikirannya menerawang. Namun ketika melintasi sebuah penginapan yang berada di dekat pusat perhiasan Yustan, matanya melihat sesuatu yang mengejutkannya. "Hentikan mobil ini, Nathan!" Nathan meminggirkan mobil yang dikendarainya, "Ada apa Yang Mulia?" 'Apakah wanita itu Alice? Ataukah Elisa? Gaya berpakaiannya seperti Elisa. Apa yang sedang dilakukannya di sini?'' Batin Gavin. Gavin melihat seorang wanita baru saja keluar dari penginapan. Wanita itu masuk ke sebuah mobil yang sudah terlihat cukup tua dan mengendara pergi. "Ikuti mobil itu, Nathan! Hei, tunggu! Pria
"Sudahlah, tidak perlu memberikan perlawanan, tubuhmu sedang lemah saat ini." Gavin menggendong Alice hingga masuk ke dalam kamar hotel. Meski sangat marah, Gavin tetap mengontrol emosinya. Alice sedang hamil, Gavin meletakkannya perlahan di sofa. "Alice, aku akan menunjukkan semua bukti bahwa aku tidak berselingkuh dengan Brigitta, seperti yang Kau inginkan!" Gavin mengeluarkan ponselnya dan menunjukkan beberapa foto dan video kepada Alice. "Ini, foto dan video kamera pengawas di hotel tempat Brigitta dilecehkan. Lalu di dalam video ini, adalah pria yang mencoba melecehkannya, kami menangkap pria itu di bandara Albain dan mengintrogasi dia. Pria itu bekerjasama dengan Brigitta. Dia berpura-pura dilecehkan dan meminta tolong kepadaku. Aku membawanya pulang ke rumah, karena dia tampak trauma dan ketakutan. Tidak disangka Brigitta memberi obat bius pada minumanku dan malam hari dia masuk ke kamarku untuk mengambil foto-foto kami di tempat tidur. Sungguh suatu kebetulan ketika it
Alice tercengang melihat betapa banyaknya makanan yang dipesan Gavin. "Gavin, ini terlalu banyak. Aku saat ini bahkan kesulitan untuk makan lebih banyak dari 3 sendok makan." "Ayo, makan yang banyak, Alice. Kalau begitu aku yang akan menyuapi kamu makan." Gavin menyodorkan makanan di mulut Alice. "Ayo, makanlah...!" Gavin membujuk Alice agar mau disuapi. Alice akhirnya membuka mulutnya, dia memakan makanan yang Gavin sodorkan ke mulutnya. "Ehm..." Alice merasa aneh. Makanan yang disuapi oleh Gavin sungguh terasa enak. "Bagaimana?" Tanya Gavin. "Enak..." Puji Alice. "Ini.." Gavin menyodorkan makanan sekali lagi ke mulut Alice. Alice merasa makanan ini sungguh nikmat, karena dia tidak merasakan mual sama sekali. Gavin merasa senang melihat Alice makan dengan lahap. Dia kemudian menyuapi Alice dengan berbagai jenis makanan yang tersaji di meja makan. "Aneh, biasanya setelah lebih dari 3 suapan makanan, aku akan merasa mual dan memuntahkan semua makananku." Alice merasa heran.
"Yang Mulia, aku minta maaf. Sungguh aku tidak menduga bahwa Nyonya akan kabur." Nathan merasa sangat menyesal dan bersalah kepada Gavin. "Sudahlah, bukan salahmu. Meski kamu siaga pun, kamu tidak dapat menahannya, Nathan. Kau juga tidak akan dapat menghadapi dia." "Mungkin Nyonya kembali ke istana Yustan." Nathan hanya berpendapat. "Tidak, dia sempat berkata akan menyelidiki sesuatu. Berdasarkan kepribadiannya, dia pasti tidak akan mundur sebelum misinya selesai. Jika dia keluar dari istana menyamar sebagai Elisa, pasti Elisa ada di dalam istana menyamar sebagai Alice." "Lalu, apa yang akan Yang Mulia lakukan selanjutnya?" "Sewa seorang peretas profesional. Aku akan membayar berapapun yang dia minta. Asalkan dia mampu mencari tahu, dimana saja Alice menggunakan kartu bank miliknya dan juga lokasi sinyal ponselnya." Gavin tahu, Alice pasti tidak akan kembali ke penginapan tempat tinggalnya sebelumnya. Dia pasti memilih ke tempat lain dan segera berbelanja keperluannya. "Ba
"Hei, pendek! Sebaiknya kamu mundur saja ke belakang! Atau tidak usah melamar saja sekalian, daripada menambah antrian yang harus aku lalui. Kamu tidak akan mampu mengikuti pelatihan militer dengan tubuh kurus dan penyakitan itu. Lihatlah wajahmu yang pucat itu, paling-paling kena sekali tendangan juga akan mati." Seorang pria berbadan besar dan berwajah garang yang berdiri di belakang Alice, mendorongnya hingga keluar dari jalur antrian. "Hei, brengsek! Apa kamu tidak tahu arti mengantri?" Seorang pria bertubuh tinggi memegang bahu pria yang mendorong Alice. Pria berwajah garang menoleh ke arah pria tinggi itu, "Siapa yang kamu panggil brengsek? Hah? ADUHHH!". Pria berwajah garang itu tiba-tiba berteriak kesakitan. "LEPASKAN! BAHUKU SANGAT SAKIT!" Teriak pria berwajah garang itu. Semua yang melihatnya merasa heran, karena pria berbadan tinggi itu tampak memegang pelan bahu pria itu. Namun, mengapa dia menjerit kesakitan? "Mengantri lah dengan sabar! Minta maaf padanya!" Pri
Teeeeeettt Terompet berbunyi sangat panjang dan nyaring. "Ayo, semua anggota baru wajib militer, segera berkumpul di lapangan utama." Terdengar pengumuman dari pengeras suara di menara gedung pelatihan. Semua anggota baru itu, termasuk Alice, Gavin, dan Mario berjalan menuju lapangan utama markas pelatihan militer. Mereka membentuk barisan rapi. Gavin selalu mengikuti di belakang Alice, dan dia pun selalu menghalau Mario agar tidak mendekati Alice. Bahkan dalam barisan, Gavin bergegas menempel di belakang Alice, mencegah agar tubuh Alice tidak terkena tubuh pria lain. Alice tertawa dan menggelengkan kepalanya melihat betapa Gavin menjaganya dengan sangat hati-hati. "Dengar, Jenderal Carlos sore ini akan berkunjung kemari, untuk membuka secara resmi kegiatan pelatihan wajib militer di tempat ini. Aku harap kita semua bisa bekerja sama membersihkan tempat ini dan menyiapkan pesta untuk malam hari ini. Kita juga harus menyambut jenderal baru kita yang baru saja dilantik sebag