Alice dan Gavin menikmati wahana aquarium bawah laut dan juga wahana kereta gantung. Waktu tidak terasa berlalu dengan cepat. "Baru bermain di beberapa wahana dan waktu sudah menunjukkan pukul 4 sore. Sepertinya kita tidak mampu bermain di semua wahana hari ini," ujar Alice. "Kita masih bisa melanjutkannya besok. Apa kamu tidak merasa lelah? Ayo kita pulang saja sekarang!" ujar Gavin. "Iya, kalau begitu kita pulang saja." Mereka berjalan bergandengan tangan menuju ke pintu keluar wahana. Tapi mata Alice melihat sesuatu yang menarik. "Gavin, kita bermain di wahana itu sebentar. Oke?" Gavin melihat bahwa wahana yang dilihat oleh Alice adalah wahana Labirin. "Alice, labirin itu cukup rumit, kita mungkin baru bisa menyelesaikannya selama 1 jam, bahkan mungkin lebih. Bagaimana kalau besok saja kita bermain di sana?" "Kita masih punya cukup waktu. Kumohon.." Alice memasang wajah memelas. "Hmmm, baiklah!" Gavin menyerah dan mengikuti keinginan Alice. Mereka berjalan memasuki
"Alice, Alice.. Bangun Sayang." Gavin membangunkan Alice pagi-pagi sekali. Alice menggeliat dengan malas, ketika merasakan seseorang membelai rambutnya, kemudian memegang pipi dan dagunya perlahan. "Hei, Alice. Ayo, Sayang bangunlah!" Dengan malas Alice membuka matanya. Tampak Gavin telah bersiap dengan menggunakan sweater turtleneck dan celana training. Ia melihat jam di meja nakas dekat tempat tidur. "Gavin, ini masih jam 4 pagi. Matahari saja belum terbit." "Justru karena matahari belum terbit makanya aku membangunkanmu sekarang." "Ada apa?" "Kita akan pergi ke suatu tempat, kamu tidak akan menyesal setelah melihatnya." Dengan malas, Alice bangun dan beranjak ke kamar mandi. "Alice, gunakan pakaian ini!" Gavin masuk ke kamar mandi dan memberikan kepada Alice pakaian yang agak tebal, celana training, sepatu boot, dan topi kupluk. "Eh?! Ini.. Apa kita mau mendaki?" Alice menebak dari pakaian dan perlengkapan yang diberikan Gavin. "Iya, kita akan mendaki pegununga
Meskipun merasa tidak nyaman dengan kehadiran tiga tamu tambahan di sekitar mereka, Alice dan Gavin berusaha tetap terlihat santai dan sopan kepada mereka. Bagaimanapun juga Mario adalah putra perdana menteri Albain. "Sayang, aku rasa sudah waktunya kita kembali." Gavin sudah merapikan semua perlengkapan mereka ke dalam tas ransel dan kini mengangkat ransel itu ke punggungnya. "Oke," Alice menjawab singkat ajakan Gavin. "Kami akan kembali lebih dahulu, sampai jumpa!" Gavin berpamitan dengan sopan kepada Mario, Dias dan juga Hulman. "Baiklah, sampai jumpa Tuan Welbert dan juga_Nyonya Welbert." Mario memberikan jeda kalimatnya ketika menatap Alice. Alice hanya tersenyum ramah kepada ketiganya, dia tidak banyak bicara. Kemudian berbalik dan memegang tangan Gavin. Mario, Dias dan juga Hulman menatap kepada punggung Alice dan Gavin yang menjauh pergi. "Sekarang aku sudah sangat yakin. Alice Rayes adalah Sang Alpha." Mario berkata dengan mengepalkan kedua tangannya di sisi tub
"Ada apa? Kenapa wajahmu terlihat tegang sejak kamu berbicara dengan James?" Alice melihat Gavin sesekali berpikir keras dan menatapnya dengan aneh. "Tidak, semuanya baik-baik saja. Hanya tentang masalah pekerjaan." "Oh, begitu rupanya." Alice mengangguk mengerti. Alice menyeruput tehnya sambil bersantai di ruang keluarga dan menonton acara di televisi. Sedangkan Gavin sesekali tampak membolak balik lembaran koran dan membacanya. Namun anehnya, terkadang dia melamun dan menatap Alice dengan intens. "Alice, hari itu.. ketika kamu mengalami kecelakaan apa yang sebenarnya terjadi? Bagaimana kamu bisa sampai di rumah sakit?" Gavin merasa penasaran dengan kejadian hari itu. "Waktu itu, aku diminta tolong Laura untuk mengambil pesanan gaun eksklusif miliknya di sebuah pusat perbelanjaan di penggiran kota. Mobil milikku sehari sebelumnya sudah diperbaiki di bengkel. Namun, entah mengapa di perjalanan kembali menuju rumah, mobil itu tiba-tiba kehilangan kendali. Aku beruntung, karen
"Ayo, Alice." Gavin mengulurkan tangannya membantu Alice keluar dari dalam mobil. Dan Alice juga menyambut uluran tangannya. Alice melangkah keluar dari dalam mobil. Semua mata tertuju ke arah mereka. Pasangan yang sangat sempurna, sang pria tampan dan wanita yang sangat cantik. Alice melangkah dengan anggun dan Gavin berjalan dengan gagah. Pasangan impian seperti di drama televisi, siapa yang tidak senang melihat ke arah mereka. "Halo Gavin," terdengar suara wanita paruh baya menyapanya dan menjulurkan tangannya kepada Gavin. Tampilannya anggun, tubuhnya mungil dengan rambut pendek yang ditata rapi, perhiasan yang digunakannya tampak sederhana, tapi bertahtakan permata-permata yang bernilai tinggi. "Apa kabar Nyonya Reina?" Gavin menjulurkan tangannya menjabat tangan Reina. "Kabarku baik, lama sekali kita tidak berjumpa. Dan ini_ Ah, Alice? Kamu cantik dan sangat mirip dengan Sera. Melihatmu, serasa seperti melihat Sera muda." Dia juga menjulurkan tangannya kepada Alice unt
"Hadirin yang terhormat, terimakasih karena sudah meluangkan waktu untuk hadir di acara peresmian galeriku yang baru di Thurad. Dalam beberapa menit lagi aku akan melelang beberapa karya terbaikku dari beberapa tahun terakhir. Hampir semua perhiasan tersebut memenangkan kontes dan meraih penghargaan dari ajang internasional untuk perancang perhiasan. Hasil dari pelelangan ini akan aku sumbangkan untuk saudara-saudara kita yang menderita di daerah perbatasan akibat peperangan. Lelang ini terbuka bagi siapa saja, terutama untuk anda sekalian yang telah hadir di sini." Setelah Reina memberikan kata sambutannya, pembawa acara yang bertugas sebagai panitia lelang mengambil alih jalannya acara. "Baiklah, mari kita lanjutkan kepada acara lelang." Pembawa acara mulai melelang perhiasan hasil karya Reina. Tampak barang yang dilelang pertama kali berupa cincin berlian dengan permata merah. Dalam beberapa menit, cincin itu terjual dengan harga 500 juta kepada seorang pengusaha yang cukup t
Acara pelelangan telah usai, namun jamuan pesta masih berlanjut. Para pengusaha sering memanfaatkan saat-saat seperti ini untuk mencari relasi bisnis. Banyak orang yang berusaha mencari perhatian Gavin, dan mencoba untuk menjalin relasi bisnis dengannya. Gavin sedari tadi sibuk berbincang dengan orang banyak. "Gavin, aku pergi berjalan-jalan ke taman sebentar." Alice merasa perlu mencari udara segar sejenak, dia sedikit lelah mendengarkan pembicaraan Gavin dengan orang-orang penting yang berkisar tentang bisnis dan pekerjaan. "Baiklah, aku akan mencarimu setelah selesai berbicara dengan mereka," ujarnya singkat yang kemudian melanjutkan obrolannya dengan orang-orang penting di Thurad, yang juga merupakan tamu yang hadir di acara Reina. Alice berjalan menjauh dan menuju ke taman yang ada di dekat galeri. Di taman itu terdapat kursi dan juga kolam air mancur dengan ikan-ikan koi di dalamnya. Alice duduk di tepian kolam, memasukan jari-jarinya sesekali ke dalam kolam membiarkan
"Gavin, ini sakit." Alice merasakan nyeri di pergelangan tangannya. Sesampainya di villa, Gavin menarik tangan Alice dengan kuat setelah keluar dari mobil, hingga Alice melangkah terseret-seret. Padahal pergelangan tangan Alice sudah terasa sakit setelah tadi Mario mencengkramnya dengan kuat. Kaki Alice yang tadinya sudah lecet, sekarang semakin sakit karena melangkah dengan cepat dan terseret-seret. Sayangnya Gavin seolah tidak mendengar dan dia tidak menghiraukan keluhan Alice. Dalam waktu singkat, mereka berdua kini telah berada di dalam kamar. Gavin menarik Alice menuju ke kamar mandi, membawanya ke bawah pancuran shower. SRAAASHH "Apa-apaan kamu, Gavin?" Gavin memutar keran dan air pancuran mengalir deras. Alice merasakan kedinginan ketika seluruh tubuhnya basah. SREEEKK Gaun yang dikenakan Alice dirobek oleh Gavin dalam sekejap. Tampak kulit indah Alice terpampang sepenuhnya. Gavin mengambil sabun dan menggosok seluruh tubuh Alice dengan kasar, seolah sedang membersih
"AYO, KERAHKAN TENAGA KALIAN!" Alice berteriak kencang memerintahkan para tentara pasukan elit Albain untuk melalui halang rintang yang dibuatnya di tengah-tengah hutan lebat pegunungan Albain. Ratusan tentara elit Albain itu telah melalui pelatihan Alice selama hampir 1 bulan ini. Pelatihan yang diberikan Alice benar-benar mengerikan. Sang Alpha, menciptakan neraka untuk membentuk tentara-tentara terlatih dan profesional. Ketika pelatihannya berakhir, Alice melihat kembali seluruh catatan skor dari setiap orang. "Bagus, bagus. Kalian mengalami peningkatan, meskipun hanya sedikit." Alice memuji para peserta pelatihannya. Seluruh peserta bukannya senang, mereka malah merasa merinding. Jika Alice mengucapkan kata 'peningkatan sedikit' itu artinya, besok harinya akan dibuat sebuah rintangan pelatihan yang baru dan lebih sulit. "Ada apa dengan wajah kalian? Mengapa di wajah kalian aku melihat ada 'keluhan'?" Alice menatap barisan tentara itu satu persatu. "TIDAK, YANG MULIA RATU!
Alice melangkah perlahan di komplek pemakaman dengan memegang seikat karangan bunga Krisan Putih di tangannya. Langkahnya terhenti di sebuah makam keluarga yang terlihat masih baru. Tanahnya masih basah, belum ditumbuhi subur oleh rumput hias yang cantik seperti makam di sekitarnya. Dia berjongkok dan meletakkan bunga Krisan Putih yang dipegangnya. Dipegangnya pusara dengan hati-hati. Perutnya kini agak membuncit, jadi Alice tidak tahan berjongkok lama-lama. Ketika Alice akan bangkit berdiri, sepasang tangan merangkul bahunya dari belakang untuk membantunya. Lalu pada bahunya disampirkan sebuah mantel hangat. "Mengapa kau tidak menggunakan pakaian yang agak tebal? Sekarang sudah hampir musim dingin. Bagaimana nanti jika sakit?" Suara hangat pria mengalun di telinga Alice. Alice menatap pria itu kemudian tersenyum, "Ada kau di sisiku, aku tidak akan sakit." Alice melingkarkan tangannya di pinggang Gavin, dan menyandarkan kepalanya di dadanya. Gavin mengecup pelan dahi istrinya
Berjam-jam waktu telah berlalu, Alice masih duduk di kursinya tanpa beranjak sedikitpun. Wajahnya terlihat lelah dan juga pucat. "Alice, sebaiknya kamu dan Ibu pulang dan beristirahat. Aku dan Jake akan menunggu di sini. Kami akan mengabari kamu jika Gavin telah sadar." Elisa merangkul bahu Alice yang duduk di sisinya. Semalaman Alice tidak tidur. Kini hari sudah berganti pagi. Waktu menunjukan pukul 09.00 pagi. Namun Gavin belum menunjukkan tanda-tanda akan sadar. Mereka juga hanya bisa duduk dan menunggu di luar, karena Gavin saat ini masih berada di ruang observasi. "Ya, aku juga akan tetap di sini." Mario juga sejak semalam masih berada di sana. "Kami akan mengantarkan kamu, Bos!" Wella berkata kepada Alice sambil menunjuk dirinya dan Henry. "Benar Alice, setidaknya kau harus menjaga kondisimu juga. Beristirahatlah sejenak!" Ujar Jake pada Alice. Alice sebenarnya merasa tidak tenang jika harus pergi meninggalkan Gavin di rumah sakit. Tapi memang benar, dia harus menjaga k
Tuuuuuuuutttt Dokter melakukan teknik Resusitasi Jantung Paru kepada Gavin, namun tidak juga ada tanda-tanda detak jantungnya kembali. Mesin masih terus berbunyi, tanda detak jantung Gavin tidak terdeteksi. "Siapkan defibrillator!" Dokter meminta perawat memberikan alat kejut jantung. "50 Joule!" Perintah dokter pada perawat yang memegang alat defibrillator. "Everybody clear!" Dokter memberikan kejut jantung pertama kepada Gavin. Namun tidak ada reaksi apapun. "100 Joule!" Perintah dokter lagi pada perawat. "Everybody clear!" Tetap tidak ada reaksi apapun pada Gavin. "150 Joule!" Perintah dokter lagi pada perawat. "Everybody clear!" Tut...Tut...Tut... "Oke, jantung mulai berfungsi. Siapkan ruang operasi. Aku akan mensterilkan diri." Dokter kemudian keluar dari ruang gawat darurat. "Nyonya, sebaiknya Anda menunggu di luar. Kami akan mempersiapkan pasien untuk dioperasi." Alice mengangguk, namun sebelumnya ia memegang tangan Gavin sebelum keluar, "Sayangku
"Ya, aku bersedia bersaksi untuk kerajaan." Louis bersuara. Entah sejak kapan dia masuk ke dalam ruang rapat Parlemen. "Louis?" Isabela menatap tajam kepada pembunuh putrinya itu. Sebenarnya Isabela tahu bahwa yang meracuni Ansara adalah Louis dan Logan. Hanya saja, dia tidak punya cara untuk membuktikannya. Mereka berdua telah bersekongkol dengan sangat rapi. Seluruh rekaman kamera pengawas telah dihapus pada bagian dimana mereka memasukkan racun ke dalam makanan dan minuman Ansara. Setiap kali mereka secara bergantian meracuni Sara. "Aku akan menyerahkan diri dan mengakui perbuatanku. Aku juga akan menjadi saksi kejahatan Logan. Aku menyimpan beberapa bekas botol racun yang telah kosong. Aku rasa itu cukup kuat untuk dijadikan alat bukti." Louis berkata sambil menunjuk Logan. "Pria bajingan ini memaksa aku dan putraku untuk menjadi kaki tangannya. Namun, ketika kami sudah tidak dibutuhkan lagi, dia memerintahkan orang untuk membunuhku. Beruntung bagiku, Matheo tiba di rumah ber
"Rekam baik-baik semua bukti yang akan aku tunjukkan kepada kalian hari ini!" Lalu proyektor menampilkan seluruh bukti transfer uang senilai 1 milyar kepada seluruh anggota Dewan Parlemen yang berasal dari rekening Firlo More. Setelahnya, menampilkan seluruh percakapan Ketua, Wakil, dan beberapa anggota Dewan Parlemen sebelum rapat hari ini dimulai. 'Apakah kalian telah menerima uang senilai 1 milyar yang dikirimkan Firlo?' Terdengar suara Ketua Dewan Parlemen. 'Hahaha, kami telah menerimanya. Pokoknya, apapun yang tuan Firlo minta, akan kita lakukan. Jika mengikutinya, kita akan semakin kaya raya.' Seorang anggota merasa sangat senang. 'Ya, yaa.. Nominal 1 milyar setiap bulan, sangat besar. Tuan Firlo memang sangat murah hati.' Wakil Ketua Dewan Parlemen terdengar sangat bersemangat. 'Hei, sudah. Itu, Perdana Menteri telah datang!' Seseorang dari mereka meminta untuk menghentikan obrolan. 'Tuan Firlo, terima kasih atas hadiahnya. Hahaha.' Ketua Dewan Parlemen bersuara.
Pimpinan Rapat Dewan Parlemen mengamati waktu pada jam tangannya. "Sudahlah Pak Ketua Parlemen, lebih baik kita segera mulai saja rapatnya. Ini sudah pukul 09.05. Tidak baik menunda lebih lama lagi." Firlo mendesak Pimpinan Rapat agar segera mengetuk palunya dan membuka rapat. "Baiklah, semuanya harap tenang. Dengan mengucap syukur kepada Yang Maha Esa, maka Rapat Dewan Parlemen dalam rangka penetapan berlakunya konstitusi baru, telah dimulai secara resmi." Kemudian Pimpinan Rapat yang juga merupakan Ketua Dewan Parlemen, mengetuk palunya di atas meja. Tok "Hari ini adalah voting terakhir pemberlakuan konstitusi baru Negara Yustan tentang Anggaran Belanja Negara Perlengkapan Militer. Seperti yang kita ketahui, sebulan yang lalu, hanya Putri Mahkota Alice Anabel yang menyatakan ketidaksetujuannya terhadap pemberlakuan konstitusi baru. Beliau berjanji, akan membawa bukti dan bantahan untuk menggagalkan pemberlakuan konstitusi baru ini." "Benar sekali. Namun, Putri Alice Anabel
"Alice, pakaianmu ini seluruhnya berwarna hitam. Tidakkah kamu ingin menambahkan warna lain?" Sera menyerahkan sebuah saputangan putih untuk Alice letakkan di saku jasnya. Karena menurut kebiasaan di Yustan menggunakan setelan jas serba hitam dan perlengkapan serba hitam, hanya boleh dilakukan ketika pemakaman. Menurut kepercayaan mereka, jika menggunakan pakaian dan perlengkapan serba hitam selain di acara pemakaman dapat membawa kesialan. "Tidak, Bu. Hari ini memang akan menjadi hari kesialan dan pemakaman bagi beberapa orang." Alice memasukkan sebuah saputangan berwarna hitam di saku jasnya. "Aku pergi Bu, Nenek." Alice melihat ke seseorang yang berdiri di belakang Sera. "Alice, kau terlalu tergesa-gesa untuk mendorong pergi Logan dan Firlo." Isabela merasa tidak setuju dengan rencana Alice yang membahayakan dirinya. Padahal dia dapat menyingkirkan mereka perlahan setelah menjabat sebagai Ratu Yustan kelak. "Nenek, untuk menyingkirkan rumput liar, harus mencabut hingga ke ak
"Kau, ajaklah Firlo dan Logan bertemu. Laporkan bahwa kau berhasil membunuh Alice." Jake memerintahkan Maxim keluar dari ruang tahanan untuk segera berpakaian rapi, kemudian mengembalikan ponsel miliknya. "Beberapa hari ini, mereka terus menerus menghubungimu. Aku tidak ingin mereka tahu bahwa kalian gagal membunuh Alice," sambung Jake lagi. "Maksudmu, agar mereka mengira rencananya berhasil dan mereka kemudian lengah?" Maxim menebak rencana mereka. "Ya, katakanlah seperti itu," ujar Jake sambil tersenyum. "Jangan mencoba berpikir untuk kabur! Kami akan mengikuti mu dan memantau setiap pergerakan mu." Jake memperingatkan Maxim. "Bagaimana jika aku berhasil kabur?" Maxim menatap sinis ke arah Jake yang tampak meremehkannya. "Pertama, aku yakin karena kau akan membawa alat penyadap ini di tubuhmu. Kedua, karena pasukanmu masih berada di bawah pengawasan kami. Dan ketiga, adik kandungmu ada di antara mereka. Kau tidak akan berani mengambil resiko dengan melakukan itu." Jake me