Setelah memastikan keberadaan titik lokasi GPS yang menunjukkan keberadaan Alice, Gavin segera pergi ke bandara menyusulnya. Dia terus menatap titik koordinat sinyal GPS di layar telepon selulernya sesampainya di bandara. Setelah kejadian yang menimpa Alice di laut, Gavin mengantisipasi segala kemungkinan buruk yang bisa terjadi kapan saja. Ia menghubungkan seluler milik Alice dan miliknya melalui aplikasi khusus tanpa sepengetahuan Alice. Beberapa waktu yang lalu, dia diam-diam memasukkan aplikasi khusus itu ketika Alice sedang tidur lelap di malam hari. Gavin tidak pernah memikirkan alasan kemungkinan dia terdesak menggunakan alat ini adalah karena Alice kabur darinya. Gavin memasang GPS hanya untuk berjaga-jaga, menghindari kemungkinan buruk yang mungkin terjadi kepadanya dan juga Alice. Sepanjang pencariannya di bandara, dia terus mengamati dan melangkah mengikuti sinyal titik koordinat pada GPS yang terlihat di layar telepon selulernya. Anehnya titik GPS yang menunjukkan
Saat ini, Alice berada di pusat komando tentara elit. Setelah berbulan-bulan Alice tidak ke tempat ini, Alice ingin melihat keadaan tempat yang berada di bawah kendalinya. Alice terlihat banyak melamun dan tidak banyak bicara. Liam melihat sikap Alice yang tidak seperti biasanya. "Alice, mengapa kamu tiba-tiba memutuskan kembali ke Casia?" Liam bertanya kepadanya dengan nada penuh selidik. "Aku_hanya sedang merindukan ibuku dan juga Elisa," jawab Alice. Terdengar jeda sesaat pada kalimatnya dan dia nampak berpikir sejenak, mungkin memikirkan alasan yang ingin disampaikannya kepada Liam. Liam telah mengenal Alice sejak lama, dia tahu bahwa Alice sedang berbohong. Liam hanya diam saja dan tidak lanjut mencari tahu. "Bolehkah aku kembali bertugas mulai besok?" tanya Alice. "Apa yang kamu maksud adalah bertugas sebagai Sang Alpha?" "Ya, Sensei!" "Apa kamu yakin? Jika kamu memutuskan demikian, maka lakukan saja!" Liam membiarkan Alice memikirkan dan memutuskannya sendiri.
"Enak sekali!" Alice telah lama tidak memakan masakan ibunya. Sarapan kali ini, dia makan dengan sangat lahap. Elisa yang berada di sebelahnya menulis di sebuah iPad, dan dia menunjukkannya kepada Alice. "Dasar rakus kamu Alice. Hati-hati tubuhmu menjadi sangat gendut!" "Hahaha. Elisa, selama 10 tahun lebih aku tidak makan masakan yang dibuat oleh Ibu. Kali ini aku akan makan sepuasnya." Elisa tersenyum sambil menggelengkan kepalanya kepada Alice. Dia menyuapkan makanan ke dalam mulutnya. Sera menatap bangga kepada putrinya, "Alice, ibu baru kali ini melihatmu dengan seragam tentara. Kamu terlihat sangat gagah meskipun kamu seorang wanita. Ibu sangat bangga kepadamu." Alice dengan bangga menepuk dadanya, "Tentu saja Bu. Ibu pasti bangga, aku adalah Sang Alpha, Jenderal tersohor dari Casia." "Tentu saja, putriku adalah yang terbaik." "Ibu dan Elisa juga terlihat sudah rapi pagi ini. Mau pergi kemana?" tanya Alice. "Pagi ini adalah jadwal Elisa kontrol ke dokter Hans dan
'Aku harus mencari tahu!' batin Gavin. Gavin berjalan dengan kaki dan tangan gemetar, bertopang pada tongkatnya. Gavin melewati Sera saat dia sedang fokus berbicara kepada Elisa. Tepat ketika Sera berbalik, dia tidak melihat Gavin yang sedang berjalan di sebelahnya. Sera menabrak tubuh Gavin, dan Gavin jatuh terduduk. Tongkatnya terlepas dari tangannya. "Ya ampun, maafkan aku." Sera segera melihat keadaan Gavin dan membantunya berdiri. "Apakah anda baik-baik saja Tuan? Maaf, aku tidak memperhatikan ketika anda berjalan melewatiku." Sera mengambil tongkat Gavin yang terjatuh di lantai, memberikan kepadanya. Dia merasa sangat bersalah telah membuat seorang pria tua terjatuh. "Tidak apa-apa, Nyonya. Aku juga bersalah karena melewati anda tiba-tiba. Aku terburu-buru sampai tidak memperhatikan arah jalanku." Gavin membuat suaranya terdengar serak seperti seorang kakek. "Benarkah anda baik-baik saja? Anda tidak terluka?" Gavin menggelengkan kepalanya, menjawab pertanyaan Sera
Gavin yang memiliki rasa penasaran tinggi, memutuskan untuk mencari tahu lagi. Dia memantau titik terakhir yang ditunjukkan oleh GPS. Dia memutuskan untuk menunggu di titik itu, siapa tahu dia bisa melihat Alice atau mendapatkan informasi lainnya. Beberapa jam waktu telah berlalu."Sudah jam segini, mengapa belum ada tanda-tanda Alice datang?" Gavin bertanya-tanya setelah melihat jam tangannya yang menunjukkan pukul 10 malam. Gavin bersembunyi di sudut tembok yang berdekatan dengan pos penjaga gerbang. Gavin menunggu di tempat yang ditunjukkan titik GPS di terakhir kali di layar ponselnya. Gavin menduga, pasti ini adalah rumah yang ditinggali Alice, Elisa dan juga Sera.Sebuah rumah berdesain minimalis modern, tampak sederhana, namun sangat besar dan elegan. Rumah itu memiliki beberapa penjaga yang menggunakan seragam tentara dan juga setelan hitam. Tembok sekelilingnya cukup tinggi, meski begitu tampak depan rumah itu masih bisa terlihat cukup jelas dari celah-celah pagarnya. Ket
"Alice, kamu sudah siap pagi-pagi sekali?" Sera belum selesai memasak untuk sarapan, akan tetapi Alice sepertinya sedang terburu-buru pergi. "Iya Bu, Liam meneleponku pagi-pagi sekali memintaku datang menemuinya. Ada hal yang mendesak." Alice tidak berani berterus terang tentang keadaan mendesak semacam apa yang akan dia lakukan. Sebenarnya bukan Liam yang menelepon Alice, namun seorang agen rahasia. Dia mengatakan bahwa Jake ditangkap oleh sekelompok pemberontak di perbatasan. Mereka meminta Alpha sendiri langsung datang untuk bernegosiasi dengan mereka. Jake memimpin pasukan untuk menjaga di daerah perbatasan, karena situasi di sana menjadi tidak terkendali dalam beberapa bulan terakhir. Namun Jake sudah menghilang selama 2 hari, dan mereka akhirnya mendapatkan kabar tentang Jake. Alice justru tidak berencana memberitahukan hal ini kepada Liam, karena takut dia akan khawatir. Liam sendiri kini tengah sibuk bersiap untuk konferensi antar negara bagian timur yang akan diadakan d
"Ugh..aku dimana?" Kepala Alice masih terasa pusing. Dia ingin memijat pelipisnya, tapi dia menemukan bahwa tangannya terikat di atas kepalanya. Alice bahkan merasa kedua kakinya terikat di sisi tempat tidurnya. Dia menatap ke langit-langit ruangan itu yang nampak asing."Apa_apa yang terjadi kepadaku?" Alice mencoba mengembalikan kesadarannya. Dia kemudian ingat, terakhir kali sedang berada di basemen sebuah rumah untuk menyelamatkan Jake, dan kemudian dia dibius hingga pingsan. "Oh..kamu sudah sadar?" terdengar suara Mario Aldimor. Pria itu kini tengah duduk di sofa di depan tempat tidur dengan menyilangkan kakinya, menatap Alice yang baru saja sadar. "Mario, kamu pria pengecut! Kamu menjatuhkanku dengan obat bius?! Mari kita bertarung dengan adil! Cepat lepaskan aku! Kalau tidak seluruh kelompok dunia bawah mungkin akan lenyap besok!" ancam Alice. "Benarkah? Kalian terlalu menganggap remeh dunia bawah. Kami bahkan telah membentuk pasukan elit dengan kekuatan yang lebih besar dar
Hari ini, pagi sekali Gavin sudah berada di meja makan. Dia kesulitan tidur semalaman, dan pagi ini perasaannya sedikit gelisah. Dia memakan salad sayur, sambil mengamati titik GPS keberadaan Alice di layar ponselnya. "Hmmm, pagi sekali dia sudah berada di markas pasukan elit." Gavin bergumam sambil mengunyah makanannya. "Aku tidak bisa menerobos masuk ke tempat itu untuk mencari tahu." Namun, setelah sekitar 20 menit, Gavin terperanjat mengamati titik GPS di ponselnya bergerak cepat di jalanan. "Kemana dia pergi? Berapa kecepatan mobilnya? Titik ini melaju dengan cepat di jalanan." Setelah Gavin mengamati, titik GPS itu menuju ke arah perbatasan Yustan dan Casia dengan cepat. "James, kita berangkat!" Gavin kali ini mengajak James bergegas untuk mengikuti ke arah tujuan Alice. Setelah hampir dua jam di perjalanan, mereka berpapasan dengan Jeep Wrangler yang dikendarai Alice beberapa hari ini. Namun, ketika Gavin memperhatikan titik GPS di layar ponselnya, titik itu menet
"AYO, KERAHKAN TENAGA KALIAN!" Alice berteriak kencang memerintahkan para tentara pasukan elit Albain untuk melalui halang rintang yang dibuatnya di tengah-tengah hutan lebat pegunungan Albain. Ratusan tentara elit Albain itu telah melalui pelatihan Alice selama hampir 1 bulan ini. Pelatihan yang diberikan Alice benar-benar mengerikan. Sang Alpha, menciptakan neraka untuk membentuk tentara-tentara terlatih dan profesional. Ketika pelatihannya berakhir, Alice melihat kembali seluruh catatan skor dari setiap orang. "Bagus, bagus. Kalian mengalami peningkatan, meskipun hanya sedikit." Alice memuji para peserta pelatihannya. Seluruh peserta bukannya senang, mereka malah merasa merinding. Jika Alice mengucapkan kata 'peningkatan sedikit' itu artinya, besok harinya akan dibuat sebuah rintangan pelatihan yang baru dan lebih sulit. "Ada apa dengan wajah kalian? Mengapa di wajah kalian aku melihat ada 'keluhan'?" Alice menatap barisan tentara itu satu persatu. "TIDAK, YANG MULIA RATU!
Alice melangkah perlahan di komplek pemakaman dengan memegang seikat karangan bunga Krisan Putih di tangannya. Langkahnya terhenti di sebuah makam keluarga yang terlihat masih baru. Tanahnya masih basah, belum ditumbuhi subur oleh rumput hias yang cantik seperti makam di sekitarnya. Dia berjongkok dan meletakkan bunga Krisan Putih yang dipegangnya. Dipegangnya pusara dengan hati-hati. Perutnya kini agak membuncit, jadi Alice tidak tahan berjongkok lama-lama. Ketika Alice akan bangkit berdiri, sepasang tangan merangkul bahunya dari belakang untuk membantunya. Lalu pada bahunya disampirkan sebuah mantel hangat. "Mengapa kau tidak menggunakan pakaian yang agak tebal? Sekarang sudah hampir musim dingin. Bagaimana nanti jika sakit?" Suara hangat pria mengalun di telinga Alice. Alice menatap pria itu kemudian tersenyum, "Ada kau di sisiku, aku tidak akan sakit." Alice melingkarkan tangannya di pinggang Gavin, dan menyandarkan kepalanya di dadanya. Gavin mengecup pelan dahi istrinya
Berjam-jam waktu telah berlalu, Alice masih duduk di kursinya tanpa beranjak sedikitpun. Wajahnya terlihat lelah dan juga pucat. "Alice, sebaiknya kamu dan Ibu pulang dan beristirahat. Aku dan Jake akan menunggu di sini. Kami akan mengabari kamu jika Gavin telah sadar." Elisa merangkul bahu Alice yang duduk di sisinya. Semalaman Alice tidak tidur. Kini hari sudah berganti pagi. Waktu menunjukan pukul 09.00 pagi. Namun Gavin belum menunjukkan tanda-tanda akan sadar. Mereka juga hanya bisa duduk dan menunggu di luar, karena Gavin saat ini masih berada di ruang observasi. "Ya, aku juga akan tetap di sini." Mario juga sejak semalam masih berada di sana. "Kami akan mengantarkan kamu, Bos!" Wella berkata kepada Alice sambil menunjuk dirinya dan Henry. "Benar Alice, setidaknya kau harus menjaga kondisimu juga. Beristirahatlah sejenak!" Ujar Jake pada Alice. Alice sebenarnya merasa tidak tenang jika harus pergi meninggalkan Gavin di rumah sakit. Tapi memang benar, dia harus menjaga k
Tuuuuuuuutttt Dokter melakukan teknik Resusitasi Jantung Paru kepada Gavin, namun tidak juga ada tanda-tanda detak jantungnya kembali. Mesin masih terus berbunyi, tanda detak jantung Gavin tidak terdeteksi. "Siapkan defibrillator!" Dokter meminta perawat memberikan alat kejut jantung. "50 Joule!" Perintah dokter pada perawat yang memegang alat defibrillator. "Everybody clear!" Dokter memberikan kejut jantung pertama kepada Gavin. Namun tidak ada reaksi apapun. "100 Joule!" Perintah dokter lagi pada perawat. "Everybody clear!" Tetap tidak ada reaksi apapun pada Gavin. "150 Joule!" Perintah dokter lagi pada perawat. "Everybody clear!" Tut...Tut...Tut... "Oke, jantung mulai berfungsi. Siapkan ruang operasi. Aku akan mensterilkan diri." Dokter kemudian keluar dari ruang gawat darurat. "Nyonya, sebaiknya Anda menunggu di luar. Kami akan mempersiapkan pasien untuk dioperasi." Alice mengangguk, namun sebelumnya ia memegang tangan Gavin sebelum keluar, "Sayangku
"Ya, aku bersedia bersaksi untuk kerajaan." Louis bersuara. Entah sejak kapan dia masuk ke dalam ruang rapat Parlemen. "Louis?" Isabela menatap tajam kepada pembunuh putrinya itu. Sebenarnya Isabela tahu bahwa yang meracuni Ansara adalah Louis dan Logan. Hanya saja, dia tidak punya cara untuk membuktikannya. Mereka berdua telah bersekongkol dengan sangat rapi. Seluruh rekaman kamera pengawas telah dihapus pada bagian dimana mereka memasukkan racun ke dalam makanan dan minuman Ansara. Setiap kali mereka secara bergantian meracuni Sara. "Aku akan menyerahkan diri dan mengakui perbuatanku. Aku juga akan menjadi saksi kejahatan Logan. Aku menyimpan beberapa bekas botol racun yang telah kosong. Aku rasa itu cukup kuat untuk dijadikan alat bukti." Louis berkata sambil menunjuk Logan. "Pria bajingan ini memaksa aku dan putraku untuk menjadi kaki tangannya. Namun, ketika kami sudah tidak dibutuhkan lagi, dia memerintahkan orang untuk membunuhku. Beruntung bagiku, Matheo tiba di rumah ber
"Rekam baik-baik semua bukti yang akan aku tunjukkan kepada kalian hari ini!" Lalu proyektor menampilkan seluruh bukti transfer uang senilai 1 milyar kepada seluruh anggota Dewan Parlemen yang berasal dari rekening Firlo More. Setelahnya, menampilkan seluruh percakapan Ketua, Wakil, dan beberapa anggota Dewan Parlemen sebelum rapat hari ini dimulai. 'Apakah kalian telah menerima uang senilai 1 milyar yang dikirimkan Firlo?' Terdengar suara Ketua Dewan Parlemen. 'Hahaha, kami telah menerimanya. Pokoknya, apapun yang tuan Firlo minta, akan kita lakukan. Jika mengikutinya, kita akan semakin kaya raya.' Seorang anggota merasa sangat senang. 'Ya, yaa.. Nominal 1 milyar setiap bulan, sangat besar. Tuan Firlo memang sangat murah hati.' Wakil Ketua Dewan Parlemen terdengar sangat bersemangat. 'Hei, sudah. Itu, Perdana Menteri telah datang!' Seseorang dari mereka meminta untuk menghentikan obrolan. 'Tuan Firlo, terima kasih atas hadiahnya. Hahaha.' Ketua Dewan Parlemen bersuara.
Pimpinan Rapat Dewan Parlemen mengamati waktu pada jam tangannya. "Sudahlah Pak Ketua Parlemen, lebih baik kita segera mulai saja rapatnya. Ini sudah pukul 09.05. Tidak baik menunda lebih lama lagi." Firlo mendesak Pimpinan Rapat agar segera mengetuk palunya dan membuka rapat. "Baiklah, semuanya harap tenang. Dengan mengucap syukur kepada Yang Maha Esa, maka Rapat Dewan Parlemen dalam rangka penetapan berlakunya konstitusi baru, telah dimulai secara resmi." Kemudian Pimpinan Rapat yang juga merupakan Ketua Dewan Parlemen, mengetuk palunya di atas meja. Tok "Hari ini adalah voting terakhir pemberlakuan konstitusi baru Negara Yustan tentang Anggaran Belanja Negara Perlengkapan Militer. Seperti yang kita ketahui, sebulan yang lalu, hanya Putri Mahkota Alice Anabel yang menyatakan ketidaksetujuannya terhadap pemberlakuan konstitusi baru. Beliau berjanji, akan membawa bukti dan bantahan untuk menggagalkan pemberlakuan konstitusi baru ini." "Benar sekali. Namun, Putri Alice Anabel
"Alice, pakaianmu ini seluruhnya berwarna hitam. Tidakkah kamu ingin menambahkan warna lain?" Sera menyerahkan sebuah saputangan putih untuk Alice letakkan di saku jasnya. Karena menurut kebiasaan di Yustan menggunakan setelan jas serba hitam dan perlengkapan serba hitam, hanya boleh dilakukan ketika pemakaman. Menurut kepercayaan mereka, jika menggunakan pakaian dan perlengkapan serba hitam selain di acara pemakaman dapat membawa kesialan. "Tidak, Bu. Hari ini memang akan menjadi hari kesialan dan pemakaman bagi beberapa orang." Alice memasukkan sebuah saputangan berwarna hitam di saku jasnya. "Aku pergi Bu, Nenek." Alice melihat ke seseorang yang berdiri di belakang Sera. "Alice, kau terlalu tergesa-gesa untuk mendorong pergi Logan dan Firlo." Isabela merasa tidak setuju dengan rencana Alice yang membahayakan dirinya. Padahal dia dapat menyingkirkan mereka perlahan setelah menjabat sebagai Ratu Yustan kelak. "Nenek, untuk menyingkirkan rumput liar, harus mencabut hingga ke ak
"Kau, ajaklah Firlo dan Logan bertemu. Laporkan bahwa kau berhasil membunuh Alice." Jake memerintahkan Maxim keluar dari ruang tahanan untuk segera berpakaian rapi, kemudian mengembalikan ponsel miliknya. "Beberapa hari ini, mereka terus menerus menghubungimu. Aku tidak ingin mereka tahu bahwa kalian gagal membunuh Alice," sambung Jake lagi. "Maksudmu, agar mereka mengira rencananya berhasil dan mereka kemudian lengah?" Maxim menebak rencana mereka. "Ya, katakanlah seperti itu," ujar Jake sambil tersenyum. "Jangan mencoba berpikir untuk kabur! Kami akan mengikuti mu dan memantau setiap pergerakan mu." Jake memperingatkan Maxim. "Bagaimana jika aku berhasil kabur?" Maxim menatap sinis ke arah Jake yang tampak meremehkannya. "Pertama, aku yakin karena kau akan membawa alat penyadap ini di tubuhmu. Kedua, karena pasukanmu masih berada di bawah pengawasan kami. Dan ketiga, adik kandungmu ada di antara mereka. Kau tidak akan berani mengambil resiko dengan melakukan itu." Jake me