Daren dengan kecepatan tinggi. Di sampingnya Adriana duduk sambil menggigiti kuku karena gelisah. Adriana langsung memintanya untuk mengantar ke rumah sakit setelah menerima telepon dari Daniel. Entah apa yang terjadi, Adriana mendesak mempercepat laju mobilnya.Lima belas menit kemudian mereka sampai di rumah sakit. Adriana langsung berlari kencang meninggalkan Daren yang mencari tempat kosong di area parkir rumah sakit itu. Dia harus bergegas karena tidak ingin kehilangan kesempatan bertemu dengan Laura mungkin untuk yang terakhir kali."Daniel .... Apa yang terjadi sebenarnya?" Adriana langsung menggenggam tangan Daniel, meminta Daniel untuk segera memberi tahu dia tentang keadaan Laura yang sebenarnya."Adriana sempat mengalami gagal jantung. Sekarang Dokter sedang berusaha menyelamatkan dia." Daniel memandang ke arah pintu ruang ICU yang tertutup.Dari arah lain Ambar berjalan cepat menuju ke arah mereka. Wajahnya terlihat kaku dan memerah. Kedua tangannya terkepal erat di sampin
Satu minggu berjalan begitu cepat. Adriana kembali pekerjaannya semula. Sejak saat itu dia belum bertemu dengan ibunya kembali. Dia juga enggan menanyakan kabar ibunya pada Daniel. Sekarang dia memilih untuk fokus pada hidupnya sendiri tanpa perlu memusingkan masalah ibunya."Bagaimana kabarmu?" Mala menatapnya dengan sorot mata sendu saat bertemu dengannya di lorong menuju ke ruangan mereka. Sudah bukan rahasia umum lagi bila semua pegawai perusahaan itu mengetahui bahwa Adriana ternyata kakak tiri Laura dan dan anak kandung dari ibu tiri Daniel. Satu hubungan keluarga yang terdengar sangat rumit. Tapi sepertinya mereka tidak terlalu mempedulikannya lagi. Itu terbukti dari cara mereka memperlakukan Adriana seperti sediakala. "Kabar saya jauh lebih baik dari sebelumnya. Maafkan saya, karena telah meninggalkan Anda sendirian," Adriana menunduk dalam, merasa bersalah pada Mala. "Anda pasti mengalami kesulitan saat saya tidak berada di sini."Mala tertawa lebar, menertawakan Adriana. "
Jillian terjaga saat dia merasa ada sesuatu yang aneh di kamarnya. Dia menyadari bahwa dia tidak sendirian di kamar ini. Ada orang lain yang tidur bersama dia. Tapi dia tidak ingat siapa.Arrrgh....Jillian mengerang keras saat merasa kepalanya berdenyut-denyut dan berputar-putar yang membuat dia tidak sanggup membuka matanya. Dia merasakan ada pergerakan di sampingnya. Lalu sebuah tangan memeluk perutnya. Tangan seorang laki-laki. Jillian bisa merasakannya walau dia tidak melihat dengan langsung. Jillian menunggu selama beberapa saat hingga akhirnya rasa pusing di kepalanya mulai menghilang, walau hanya sedikit. Dia meraba-raba meja di sampingnya. Tapi tangannya menggantung di udara. Dia menyadari keanehan yang dia temui semakin bertambah. Kamarnya benar-benar gelap. Padahal biasanya dia selalu menyalakan lampunya karena dia takut gelap.Jillian mencoba menegakkan punggungnya. Tubuhnya langsung membeku saat selimut yang membungkus tubuhnya melorot jatuh. Dia tidak mengenakan apa-apa
Adriana berusaha mencerna kata-kata Daniel barusan. Dia mengamati wajah Daniel, barangkali saja dia menemukan sisi bercanda dari wajah Daniel. Tapi ternyata dia tidak menemukan apa-apa."Kau tidak serius dengan idemu tadi bukan?" Adriana memilih langsung bertanya daripada dia harus menunggu ketegasan dari ucapan Daniel sebelumnya."Aku serius dengan ucapanku tadi. Bakar semua novel Laura. Jangan sampai ada yang tersisa." Daniel sengaja menekan kalimat terakhirnya agar tidak ada lagi pertanyaan yang ditujukan padanya.Adriana langsung menutup rapat mulutnya. Dia menunggu Daniel masuk ke ruangannya. Dia ingin bicara dengan Daniel mengenai masalah ini. "Novel Laura tidak boleh dibakar!" Adriana setengah berteriak saat mengucapkan itu setelah berhasil masuk ke ruangan Daniel. Lalu dia membanting pintu di belakangnya. Bila tidak merasa kesal atas ulah Daniel, dia tidak mungkin melakukan tindakan kasar seperti tadi.Daniel menjatuhkan tubuhnya di kursi kerjanya sekenanya. Hari masih pagi
Daniel masuk ke dalam cafe tempat dia bertemu dengan ibu tirinya. Cafe itu di desain dengan model minimalis dan menyenangkan sehingga banyak pengunjung yang betah tinggal di sana lama. Daniel mengetahui tentang keberadaan cafe ini dari Dinda. Dinda merekomendasikannya karena sering mengunjunginya saat pulang dari kantor.Daniel melihat ibu tirinya duduk di pojok ruangan di dekat jendela yang menghadap ke taman di sebelah cafe itu. Ibu tirinya tidak menyadari kedatangannya karena terlalu fokus pada tanaman yang ada di taman itu. Daniel terus berjalan, lalu menarik kursi di depan Ibu putrinya itu.Ambar terkejut saat melihat Daniel telah berada di depannya. Dia merasa kikuk, seperti bertemu orang asing untuk pertama kali. Perasaan itu tiba-tiba datang dengan sendirinya. Pada hubungan mereka dulu tidak seperti ini."Maafkan aku karena Mama harus menunggu lama," ucap Daniel mengawali pertemuan mereka. Di depannya kini ibu tirinya tampak jauh berbeda dari pertemuan mereka sebelumnya. Wajah
"Adriana ...." Adriana mengerjap sebentar saat mendengar namanya dipanggil. Ibunya masih berada di seberang sana entah di mana. Antara percaya dan tidak percaya saat Adriana menerima telepon yang berasal dari ibunya."Ya ....""Aku ingin kita bertemu. Kapan waktunya? Dan di mana tempatnya?" tanya Ambar tegas.Adriana sempat dilanda kebingungan. Ajakan ibunya untuk bertemu sungguh berada di luar dugaan. Entah ada angin apa yang membuat ibunya berubah pikiran."Besok pukul empat sore di Ceria kafe," jawab Adriana tanpa berpikir panjang.Setelah itu Ambar segera mengakhiri teleponnya. Dia tidak berkata banyak setelah Adriana menjawab pertanyaannya. Sungguh sesuatu yang sangat mencurigakan, pikir Adriana.***"Aku lega karena kau tidak murung lagi," ucap Daren pada Adriana saat mereka tengah menikmati makan malam. Wajah Adriana terlihat sedikit bercahaya.Adriana menatap Daren dengan lembut usai mendengar ucapan Daren. Dia mengulas senyum lebar. Lalu Adriana berdeham sebentar."Tadi ibu m
"Jillian .... Bos memanggilmu untuk ke ruangannya sekarang."Jillian menatap rekan kerjanya itu dengan tetapan kosong. Dalam hati dia bertanya-tanya. Ada Ada perlu apa pimpinannya memanggil dia sepagi ini. Sepertinya dia tidak melakukan kesalahan.Karena tidak ingin mendengar amukan pimpinannya yang memiliki temperamen buruk, dia bergegas menemui bosnya di ruangannya. Laki-laki bertubuh tambun dan berlemak itu tengah duduk di belakang meja kerjanya dan menunggunya."Kenapa kau sangat lamban sekali? Apa kau sudah tidak ingin bekerja di sini lagi?"Jillian langsung mundur beberapa langkah untuk menghindari sumpah serapah dari laki-laki itu. Dalam hati dia berpikir sebenarnya laki-laki itu tidak pantas memimpin perusahaan media cetak dan elektronik dan terkenal ini. Hanya karena dia mewarisi dari orang tuanya, dia secara otomatis menjadi pemimpin perusahaan ini. Padahal, bila Jillian boleh jujur, laki-laki itu tidak pantas menerima jabatan itu."Maaf Bos, saya sedang mengerjakan sesuatu
Mendengar ucapan Daniel, membuat mantan tunangan Jillian murka. Sesuatu terjadi di luar perkiraan Jillian dan Daniel. Rey, mantan tunangan Jillian, mengeluarkan sebilah pisau dari saku celananya. Dalam gerakan cepat dia berhasil melukai wajah Jillian dan lengan Daniel. Setelah itu dia langsung kabur dari sana.Jillian mengaduh kesakitan. Telapak tangannya dipenuhi oleh darah. Dia pun akhirnya jatuh pingsan ke tanah karena merasa terkejut atas tindakan yang dilakukan oleh Rey.Daniel lalu memanggil sopir pribadinya. Tanpa menunggu waktu lebih lama dia langsung membawa Jillian ke rumah sakit. Jillian membutuhkan bantuan segera.Sesampainya di rumah sakit, Daniel meminta dokter menangani luka di wajah Jillian terlebih dahulu. Setelah itu baru dirinya. Tapi ternyata mereka mendapat penanganan secara bersama-sama."Kondisi pasien baik-baik saja. Dia belum sadarkan diri karena masih terkejut dengan apa yang dialami. Luka di wajahnya sudah ditangani oleh dokter, tapi mungkin nanti akan mening