Sesampainya di Kantor, Albert kembali memikirkan perkataan Mike saat di perjalanan tadi. Mike tidak mungkin asal bicara. Jika Mike mengatakan bocah laki-laki itu mirip dengannya, pasti itu memang karena ada hal yang sangat mendukung. Sambil mengetuk-ngetukkan jarinya di atas meja, Albert mencoba mengingat kembali wajah anak laki-laki yang menatapnya tajam dan penuh tantangan tadi.
"Hah, lucu sekali anak itu. Dia sama sekali tidak takut padaku? Dan, yang satu lagi sangat manis. Kenapa aku seolah merasa kerinduan pada mereka? Padahal, tadi itu adalah pertemuan pertamaku dengan bocah-bocah itu,' ucap Albert dalam hatinya.
Albert masih membayangkan wajah-wajah lucu dan menggemaskan si kembar.
'Tidak, mana mungkin mereka adalah anakku. Mereka pasti Adik dan Kakak. Dan itu pasti anak mereka, karena mereka hidup bersama selama beberapa tahun belakangan ini.' bathin-nya lagi penuh dengan rasa amarah.
Bukannya Albert tak tau dimana Olivia tinggal selama ini, tapi
Malam ini, Olivia diminta oleh Willson untuk menghadiri pesta perayaan ulang tahun Tuan Liam. Sebenarnya, Olivia enggan untuk pergi. Karena mereka baru saja berduka atas kepergian Clara. Namun, Willson memohon pada Olivia untuk dapat mewakilinya. Kesehatan Willson juga akhir-akhir ini kurang baik. Kesehatannya mulai menurun sejak fokus merawat Clara dalam masa-masa sakitnya kemarin. Bahkan, Perusahaan pun sudah terbengkalai. "Pergilah, Nak. Hanya kau satu-satunya harapanku saat ini. Aku tidak mungkin lagi mengurus semuanya, usiaku sudah senja. Sudah waktunya aku istirahat dari segala urusan pekerjaan." ucap Willson dengan suara lirih. "Tapi, Yah. Aku sedang tidak ingin kemana-mana. Tristan juga pasti sedang melepas rindu dengan keluarganya." jawab Olivia malas. "Keluarga Tuan Liam sudah banyak membantu kita di masa lampau. Rasanya tidak baik jika kita mengabaikan undangan dari keluarga mereka." "Mereka tentu paham, kita sedang dalam suas
Saat tiba di gedung mewah tempat perayaan hari jadi itu berlangsung, Olivia sudah sedikit terlambat. Dengan langkah besar ia mencoba setengah berlari memasuki aula pesta. Tepat saat ia masuk, keadaan sedang hening karena Tuan Liam baru saja akan memotong kue ulang tahunnya. Semua mata memandang pada Olivia. Para lelaki menatap dengan tatapan terpesona dan tak sedikit yang berhasrat dan berhalusinasi bisa membawa tubuh indah itu ke dalam pelukannya. Sementara, para wanita menatap dengan rasa iri dan was-was, takut pasangannya tergoda dan berpaling darinya. Di antara kerumunan itu, ada sepasang mata yang terbakar api cemburu tengah menatapnya dalam. Lucy. Wanita itu menatap Olivia dengan tatapan tak suka, mungkin lebih tepatnya benci. Karena, sejak ia masuk tadi, mata Albert tak berkedip memandang ke arahnya. Sementara di samping pria angkuh itu, Lucy sudah berdiri dan berusaha menggoda cukup lama dengan penampilannya yang cukup seksi malam ini. "Wah, Nona. Kau
Seminggu sudah berlalu, sejak Olivia pulang ke rumah orang tuanya. Dan ia berencana untuk pulang ke Desa sore ini. Tapi, ia belum membicarakannya dengan Ayahnya, Willson. Kebetulan, siang ini Tristan datang kembali untuk mengunjungi Zacky dan Zahra. Jadi, ia ingin sekaligus berpamitan pada Willson. "Ayah, ada yang ingin kukatakan." ucap Olivia saat melihat Willson duduk di kursi goyangnya, tengah menatap foto kekasihnya dengan sendu. Willson memang masih sulit menerima kenyataan bahwa Clara telah tiada. Meski pun di luar ia tak terlihat bersedih, siapa sangka di dalam hatinya terluka sangat parah. Kehilangan yang ia rasakan, sungguh tak pernah ia bayangkan akan sesakit ini rasanya. "Ayah..." ulang Olivia, membuyarkan lamunan Willson pada bingkai foto berisi gambar dirinya dan Clara sedang menggendong putri kecil berusia dua tahun. Siapa lagi kalau bukan Olivia. "I-iya. Ada apa? Apa kau sejak tadi berdiri di sana?" tanya Willson seraya menghapus
Di mansion mewah miliknya, Albert sedang berkutat di depan laptop kerjanya. Tiba-tiba ponselnya berdering. "Ada apa, Mike?" Albert to the point pada si penelpon yang tak lain dan tak bukan adalah orang kepercayaannya, Mike. "Tuan, hasil tes DNA sudah keluar. Aku sedang dalam perjalanan ke mansion untuk mengantarkannya padamu." jawab Mike di ujung telepon, sambil mengemudikan mobilnya. "Baik, segeralah. Aku menunggumu di ruang kerja." Albert mengatakan itu, kemudian menutup panggilan sepihak. Albert sudah tidak fokus lagi memeriksa pekerjaannya. Perasaannya tak tenang saat ini, pikirannya tak karuan. Ia tak sabar lagi menunggu kedatangan Mike. Tepat pukul lima kurang dua puluh menit, terdengar suara ketukan pintu di luar ruangan kerjanya. "Masuk," jawab Albert dengan wajah tegang. Pintu terbuka dan muncullah orang yang sudah di tunggu-tunggunya sejak tadi. Mike masuk dan langsung menyodorkan amplop putih itu di depan wajah Alber
Albert masih terdiam dan merenungi semua ucapan yang dilontarkan Olivia tadi. Hal itu mengingatkan dirinya pada saat-saat pertama pertemuan dan pernikahannya dengan Olivia. Gadis itu sangat galak. Dia selalu saja berbicara dengan nada marah dan menentang Albert. Tapi, karena sikapnya itulah Albert akhirnya menjadi luluh dan jatuh cinta padanya. 'Apakah kata maaf saja, cukup untuk menebus semua kesalahanku di masa lalu? Andai dulu aku mendengarkan penjelasanmu. Akan terlalu banyak mungkin yang terucap untuk semua waktu yang kulewati tanpa dirimu. Maafkan aku!' lirih Albert dengan tatapan sendu pada sebuah gambar di dalam bingkai kaca kecil di atas meja kerjanya. Saat mengetahui tentang identitas Zacky dan Zahra, Albert juga mengetahui cerita sebenarnya tentang kejadian empat tahun silam. Semua gara-gara Monica. Wanita licik itu telah merubah banyak hal dalam hidup Albert dan Olivia. Tapi kini, Monica sedang berada di pusat rehabilitas karena kecanduan narkoba.
Tak lama mereka berjalan, sampailah mereka di dalam hutan yang lebat dan mencekam. Tidak tampak satu pun binatang yang melintas di sekitar mereka. Chris melihat ke kiri dan kanan, menatap pada Brian dan Gery. Mereka saling melirik satu sama lain. "Bagaimana ini? Tidak ada satu pun hewan yang leeat sejak tadi. Sepertinya kita harus masuk lebih jauh," ucap Crish dengan nada sedikit mengeluh. "Kau benar, ayo kita berjalan lagi. Mungkin, karena ini terlalu dekat dengan pemukiman, jadi hewan-hewan itu tidak berani mendekat," timpal Brian membenarkan. "Tapi, kita akan terlambat pulang jika berjalan lebih jauh. Apalagi tadi kita tidak meminta izin pada seorang pun anggota keluarga. Mereka pasti cemas jika kita terlambat pulang," Albert enggan mengikuti saran para sepupunya. "Al, apa kau takut?" tanya Chris dengan nada mengejek. "Kalau kau takut masuk hutan pada malam hari, bagaimana kau bisa melindungi keluarga besar kita suatu saat nanti?" Gery turu
Dua hari sudah Albert berada dalam rumah kosong yang menyeramkan itu. Saat malam tiba, suasana akan sangat menakutkan. Apalagi, tidak ada satu lun cahaya yang masuk ke dalam ruangan tempatnya di ikat. Albert sudah putus asa. Tidak ada yang mungkin bisa menolongnya. Terlebih lagi, mitos yang membuat masyarakat di sana enggan untuk mendekati rumah tua yang kosong itu. Saat ini, tubuhnya sudah semakin lemah. Jangankan makan, minum sana dia tak ada barang setetes pun selama dua hari ini. Wajahnya pucat, bibirnya pecah-pecah. Sepertinya sudah dehidrasi berat. Saat ini, hanya berdoa dalam kepasrahan yang bisa Albert lakukan. Masih berharap ada keajaiban datang menghampirinya yang malang. ***** Di sebuah desa yang cukup jauh dari hiruk pikuk kebisingan kota, tinggallah sepasang suami istri dengan seorang anak perempuan yang sangat cantik dan lucu. Namun, anak mereka ini terlihat sangat tomboy dan berani di bandingkan dengan anak perempuan lainnya
Lama Olivia terdiam di tempatnya berdiri. Seorang remaja laki-laki sedang sekarat di dalam sana. Dengan tangan dan kaki yang terikat. Wajah yang memar dan sangat pucat. Ingin rasanya Olivia menolong, tapi tak tau harus berbuat apa. Sesekali ia berpikir untuk meninggalkannnya saja, karena takut jika nanti dirinya atau orang tuanya malah terkena masalah. "Hai, Adik kecil...tolong aku..." ucap Albert dengan sisa-sia tenaga yang ia punya. Olivia masih tak bergeming. Perasaan iba menyerang sisi kemanusiaannya saat melihat bibir anak laki-laki itu kering dan terluka. 'Mungkin, dia haus.' batin Olivia. Lalu dengan perlahan mencoba melangkahkan kakinya masuk ke dalam ruangan itu. "Apakah kau manusia? Atau hantu penunggu rumah kosong ini?" tanya Olivia saat berada tak jauh dari posisi Albert terduduk lemas. Albert tersenyum di sela rasa sakit yang dirasakannya. 'Dasar, anak kecil yang bodoh!' ucap Albert dalam hatinya. "Aku...manusia...aku, hau
“King! Aku yakin dia bisa membawamu ke jalan yang seharusnya kau tempuh,” jawab Zahra dengan keyakinan penuh.“Jangan konyol, Moms. Dia tidak sebanding denganku! Aku ini kakaknya, meski kami tidak sedarah. Aku tidak akan pernah tertarik dengan bocah ingusan seperti dia,” bantah Dayana dengan sangat tegas di depan Zahra dan wajahnya tampak sangat kesal.Dia segera pergi dari hadapan Zahra dan tidak ingin lagi membahas masalah yang sensitif itu. Bagaimanapun juga, Dayana menyadari bahwa dia sudah salah jalan. Namun, dia juga tidak meminta dirinya menjadi seperti itu. Semuanya terjadi dan mengalir apa adanya tanpa diminta dan dipaksa. Jadi, apa yang harus dia lakukan selain pasrah dan menerima semua keadaan itu dengan hati luas?Dayana memang gadis yang berasal dari keluarga terpandang dan bisa dikatakan semua yang dia lakukan pasti akan menjadi konsumsi publik. Akan tetapi, dia juga tidak bisa berpura-pura demi membuat orang lain senang dan puas. Dia ingin tetap menjadi dirinya sendiri,
Zahra tidak bisa berkata-kata saat baru saja mendengar pengakuan dari putrinya itu. Dadanya terasa penuh dan sangat sesak sehingga tidak bisa bernapas dengan baik. Dia tidak menduga bahwa Dayana akan mengakui hal besar dan sangat mengejutkan itu padanya dan Gerald.Saat ini Zahra bisa melihat perubahan warna pada wajah Gerald. Pria itu jelas sedang marah besar pada Dayana dan dia masih diam saja berusaha menahannya. Hal itu tentu saja mengingat bahwa Dayana adalah putri mereka satu-satunya.“Sayang ... tolong ralat lagi kata-katamu itu. Katakan padaku kalau kau hanya bercanda dan semua itu mungkin hanya sebuah prank atau kejutan untuk kami. Kau ingin membuat daddy marah seperti saat Mami marah ketika kalian bersekongkol membuatku cemburu dan marah besar saat itu kan?” tanya Zahra dengan menguatkan hati dan mencoba tetap tenang.“Tidak. Kali ini aku sangat serius dan aku memiliki pacar wanita. Dia adalah Jeslyn yang sering datang ke sini dan aku sering menginap di apartemennya,” jawab
Zahra kembali ke kediamannya dengan perasaan yang bercampur aduk. Dia baru saja mengunjungi pemakaman keluarganya dan kemudian mendapati fakta bahwa King menaruh hati pada Dayana. Dia tidak akan mempermasalahkan hal itu jika memang sudah begitu takdirnya.“Ada apa, Sayang? Kenapa kau senyum-senyum sendiri?” tanya Gerald yang menatap istrinya dengan pandangan heran.“Bukan apa-apa, Sayang. Aku hanya merasa lucu saat seorang pria menyukai gadis, tapi mereka selalu bertengkar tiap kali bertemu,” jawab Zahra kepada Gerald.“Siapa yang kau maksud? Apakah itu kisah kita dulu?” tanya Gerald dan langsung melingkarkan tangannya di pinggang Dayana.“Tidak. Aku mengatakan tentang King. Eh ... tapi, ternyata kisah kita juga hampir sama seperti itu. Dulu aku dan kau juga selalu saja berdebat dan bertengkar tiap kali bertemu.”“Kau benar, Sayang. Kau tahu? Semua itu membuatku senang dan hidupku menjadi lebih berwarna.”“Jadi, kau suka bertengkar denganku?”“Hem ... sepertinya aku lebih suka berteng
“Apa benar kau tidak masalah sendirian, Nak?” tanya Zahra pada King dengan suara yang sangat lembut.“Aku tidak sendiri, Moms. Masih ada mamiku juga di sini,” jawab King saat melihat Auriel turun dari tangga.“Kakak. Kapan kau datang?” tanya Auriel yang langsung menyapa Zahra dengan sangat ramah.“Belum lama. Aku bahkan sudah mengunjungi Zacky, Mami, dan Daddy bersama King.” Zahra menjawab sopan dan kemudian keduanya bercium pipi kanan dan pipi kiri.Zahra memang sudah menerima kehadiran Auriel dan King sejak lama. Mereka sudah sangat baik satu sama yang lainnya. Jadi, tidak ada alasan bagi mereka untuk saling berselisih lagi. Lagi pula, semuanya sudah cukup jelas dan tidak ada hal besar yang harus diperdebatkan lagi.“Silakan duduk, Kak. Aku akan membuatkanmu minum,” ucap Auriel dengan sangat ramah.“Tidak perlu, Sayang. Aku tidak tamu di sini dan jangan memperlakukanku seperti tamu,” tolak Zahra dengan senyum lebar.“Tapi, tidak ada salahnya seorang adik menjamu kakaknya yang datang
“Dad, aku dan Mami datang.”“Zack! Apa kau bahagia di sana bersama Bianca? Apa kau bertemu dengan Mami dan Daddy juga? Kalian pasti bahagia sudah berkumpul di sana bukan? Kenapa kalian semua meninggalkan aku sendiri di sini? Kalian tidak ingin mengajakku? Apakah aku masih begitu menyebalkan bagi kalian?”“Moms ...,” lirih King dengan nada pilu saat mendengar Zahra bertanya beruntun seperti itu di depan makam saudara kembarnya – Zacky.“Tuan Muda Zacky yang terhormat. Apa kau liat dengan siapa aku datang hari ini? Kau pasti senang melihatnya bukan? Lihatlah, dia begitu mirip denganmu saat kau masih muda. Aku bahkan merasa seperti usiaku baru dua puluh tahun saat berada di sampingnya,” ungkap Zahra yang sengaja menghibur diri dengan berkelakar seperti itu.King hanya bisa tersenyum tipis saat mendengar candaan Zahra pada Zacky yang kini hanya bisa mereka temui dalam bentuk batu nisan yang indah dan elegan itu. Meskipun begitu, Zahra tampak sangat bahagia dan seperti dia memang sedang be
Auriel sangat bahagia saat melihat putranya sudah kembali tersenyum dan tertawa seperti itu. Sudah sejak lama dia tidak melihat tawa King yang begitu lepas, bahkan dulu dia nyaris tak pernah tersenyum sama sekali. Hal itu membuat hati Auriel merasa sedih dan juga merasa bersalah karena tidak bisa membayangkan apa yang terjadi dalam hati putranya itu.“Aku berpikir, Mami akan memberikan syarat yang luar biasa dan membuatku sedikit takut,” ucap King kepada Auriel yang masih menatap putranya yang dulu kecil itu tertawa bahagia.“Aku mana mungkin memberikan syarat yang membuatmu menderita, Nak. Kau adalah sumber kebahagiaanku dan kau adalah segalanya dalam hidupku. Karena kau ada, makanya aku masih ada dan berdiri di depanmu saat ini, Sayang.” Auriel mengungkapkan isi hatinya kepada King dengan sungguh-sungguh.“Oh, Moms. Jangan bicara seperti itu lagi dan membuat aku sedih.”“No, Sayang. Kau tidak boleh lagi bersedih setelah banyaknya kesedihan yang sudah kita lalui bersama dengan hebat.
“Apa kau benar-benar tidak akan datang, Sam?” tanya Queen yang saat ini masih membuka jendela kamarnya dan menunggu kedatangan sang kekasih.Dia berharap, Samuel bisa segera menyelesaikan pekerjaannya dengan cepat dan kembali menemui dirinya. Cinta baru saja bersemi di antara mereka. Tentu saja hati berbunga bunga dan masih tetap ingin bersama lebih lama. Akan tetapi, sepertinya semua itu tidak akan terjadi malam ini dan Queen tidak bisa lebih lama menunggu.Gadis itu terlelap setelah jam dinding berada di angka satu. Dia tidak bisa lagi menahan kantuknya dan dia sadar bahwa Samuel tidak akan datang malam ini.“Selamat malam, Sayang. Apa kau menungguku datang?” tanya sebuah suara yang berbisik di telinga Queen saat ini.Perlahan, Queen membuka matanya dan wajah seorang pria tampak samar-samar di hadapannya saat ini. Pria itu tersenyum dengan sangat manis padanya dan memberikan sebuah kecupan di bibirnya. Dari kecupan itu saja, Queen tahu bahwa Samuel telah datang malam ini.“Aku menun
Charlos tidak pernah menyangka jika hidupnya akan didatangi oleh seorang gadis ingusan seperti Thabita. Dia tidak hanya menyebalkan, tapi juga sangat menganggu sehingga Charlos kehilangan waktu istirahatnya karena gadis itu terus saja mengusik ketenangannya.“Berhentilah bermain-main, Thabita. Aku tidak suka bercanda untuk masalah pernikahan!” tegur Charlos sekali lagi kepada Thabita dengan wajah yang masam.“Aku juga tidak pernah main-main soal pernikahan. Bukankah pernikahan itu adalah impian semua orang? Aku selalu bermimpi mempunyai suami yang usianya lebih tua dariku,” sahut Thabita yang tidak mau kalah.“Kalau begitu, kau carilah sugar daddy yang mau mengurusmu! Aku belum terlalu tua asal kau tahu!”“Usiamu bahkan sudah menginjak kepala 4 bukan? Apa itu belum terlalu tua namanya?” tanya Thabita dan jelas ucapan gadis itu membuat Charlos kehilangan kendalinya saat ini.Bagaimanapun juga, Charlos adalah pria biasa yang masih memiliki emosi tak terkontrol. Dia sudah biasa dilatih d
Namun, meskipun Thabita senang mendengarnya dia tentu juga merasa bingung dengan pernyataan Charlos tadi. Apakah benar pria itu akan membawanya pulang bersama rombongan tuan besarnya? Bukankah Charlos hanyalah seorang ajudan dan semua itu pasti tidak mudah baginya untuk berhasil meyakinkan bos untuk membawa wanita asing bersama mereka pulang.“Apa lagi yang kau pikirkan? Jangan banyak bergerak dan tetaplah tenang di atas ranjang ini. Aku tidak akan mengobati lukamu lagi jika kau masih tidak mendengarkan aku!” ancam Charlos pada Thabita dengan tegas dan terdengar tidak main-main.“Baiklah, Sayang. Apapun yang kau katakan,” sahut Thabita sengaja menggoda Charlos dengan sebutan sayang.Benar saja, wajah Charlos langsung memerah seperti merasa malu dan tidak bisa tenang di depan Thabita. Bagaimana bisa dia menjadi tidak konsen saat Thabita memanggilnya sayang seperti tadi? Apa yang gadis itu pikirkan dan Charlos membalikkan badan untuk membuang kecanggungannya dengan alasan akan meletakka