Tak lama mereka berjalan, sampailah mereka di dalam hutan yang lebat dan mencekam. Tidak tampak satu pun binatang yang melintas di sekitar mereka. Chris melihat ke kiri dan kanan, menatap pada Brian dan Gery. Mereka saling melirik satu sama lain.
"Bagaimana ini? Tidak ada satu pun hewan yang leeat sejak tadi. Sepertinya kita harus masuk lebih jauh," ucap Crish dengan nada sedikit mengeluh.
"Kau benar, ayo kita berjalan lagi. Mungkin, karena ini terlalu dekat dengan pemukiman, jadi hewan-hewan itu tidak berani mendekat," timpal Brian membenarkan.
"Tapi, kita akan terlambat pulang jika berjalan lebih jauh. Apalagi tadi kita tidak meminta izin pada seorang pun anggota keluarga. Mereka pasti cemas jika kita terlambat pulang," Albert enggan mengikuti saran para sepupunya.
"Al, apa kau takut?" tanya Chris dengan nada mengejek.
"Kalau kau takut masuk hutan pada malam hari, bagaimana kau bisa melindungi keluarga besar kita suatu saat nanti?" Gery turu
Dua hari sudah Albert berada dalam rumah kosong yang menyeramkan itu. Saat malam tiba, suasana akan sangat menakutkan. Apalagi, tidak ada satu lun cahaya yang masuk ke dalam ruangan tempatnya di ikat. Albert sudah putus asa. Tidak ada yang mungkin bisa menolongnya. Terlebih lagi, mitos yang membuat masyarakat di sana enggan untuk mendekati rumah tua yang kosong itu. Saat ini, tubuhnya sudah semakin lemah. Jangankan makan, minum sana dia tak ada barang setetes pun selama dua hari ini. Wajahnya pucat, bibirnya pecah-pecah. Sepertinya sudah dehidrasi berat. Saat ini, hanya berdoa dalam kepasrahan yang bisa Albert lakukan. Masih berharap ada keajaiban datang menghampirinya yang malang. ***** Di sebuah desa yang cukup jauh dari hiruk pikuk kebisingan kota, tinggallah sepasang suami istri dengan seorang anak perempuan yang sangat cantik dan lucu. Namun, anak mereka ini terlihat sangat tomboy dan berani di bandingkan dengan anak perempuan lainnya
Lama Olivia terdiam di tempatnya berdiri. Seorang remaja laki-laki sedang sekarat di dalam sana. Dengan tangan dan kaki yang terikat. Wajah yang memar dan sangat pucat. Ingin rasanya Olivia menolong, tapi tak tau harus berbuat apa. Sesekali ia berpikir untuk meninggalkannnya saja, karena takut jika nanti dirinya atau orang tuanya malah terkena masalah. "Hai, Adik kecil...tolong aku..." ucap Albert dengan sisa-sia tenaga yang ia punya. Olivia masih tak bergeming. Perasaan iba menyerang sisi kemanusiaannya saat melihat bibir anak laki-laki itu kering dan terluka. 'Mungkin, dia haus.' batin Olivia. Lalu dengan perlahan mencoba melangkahkan kakinya masuk ke dalam ruangan itu. "Apakah kau manusia? Atau hantu penunggu rumah kosong ini?" tanya Olivia saat berada tak jauh dari posisi Albert terduduk lemas. Albert tersenyum di sela rasa sakit yang dirasakannya. 'Dasar, anak kecil yang bodoh!' ucap Albert dalam hatinya. "Aku...manusia...aku, hau
Albert masih berusaha keras memapah kakinya sendiri setelah tiga jam berjalan. Perjalanan yang harusnya hanya dua jam, menjadi sangat lama karena kondisi tubuhnya saat ini. Langkahnya terseok-seok, tapi semangatnya tetap tinggi. Tak tau entah berapa kali sudah ia berhenti untuk mengistirahatkan badan. Beberapa kali pula ia memakan buah yang jatuh dari pohon-pohon di dalam hutan. Cukup lumayan untuk mengganjal perut dan mengisi tenaganya, meski tak seberapa. Namun, di saat seperti ini, sekecil dan sedikit apapun makanan dan minum itu sangat berarti untuk penunjang kehidupannya. Hari sudah mulai gelap, dari kejauhan tampak atap mansion bewarna biru yang megah dan sangat besar. Albert tersenyum bahagia. "Akhirnya, sedikit lagi aku sampai di mansion. Ayah, Ibu, Kakek, tunggu aku sebentar lagi." ucap Albert penuh semangat. Dengan segenap sisa tenaga yang ia punya, Albert telah sampai di halaman mansion. Para pengawal dan penjaga kaget bukan m
Sementara itu, Olivia kecil telah pindah ke salah satu pusat Kota bersama orang tuanya. Karena Kakek dan Neneknya sudah meninggal dan di dalam surat wasiat tertulis nama Willson sebagai ahli waris yang sah, mau tidak mau Ayah Olivia harus kembali pulang untuk mengurus Perusahaan dan bisnis orang tuanya. Sudah dua minggu Olivia berada di rumah besar yang mewah ini. Rumah yang sangat jauh berbeda dengan yang dulu ia tempati saat di Desa. Entah mengapa, Olivia kecil sering melamun memikirkan kondisi pria yang pernah ditolongnya waktu itu. Sampai akhirnya, Olivia tumbuh menjadi gadis remaja yang cantik. Setelah remaja, Olivia tidak lagi setomboy dan senakal dulu. Ia memilih kuliah di jurusan kedokteran. Tujuannya hanya demi bisa merawat Ayah dan Ibunya kelak saat tua dan muncul penyakit-penyakit khas bawaan lanjut usia pada umumnya. Olivia sudah melupakan kejadian yang terjadi di hutan 14 tahun yang lalu. Meski pun masih mampu mengingat, ia tak begitu yakin
Albert sampai di rumah mewah milik keluarga Willson itu. Ia memasuki mobil sampai ke depan pintu besar. Kebetulan pagar terbuka saat ia datang. Kembali, Albert teringat pertama kali kedatangannya ke rumah ini. Meski mansion miliknya jauh lebih besar dan mewah dari pada rumah ini, tapi hatinya terasa lebih nyaman saat memasuki pekarangan rumah ini. Albert menenteng dua kotak kue dan makanan yang di masak oleh Jane dan Darwin tadi. Kebetulan, ia datang tepat di jam makan siang. Kemudian, ada dua box lagi yang ia tenteng. Box itu berisi mainan untuk Zacky dan Zahra tentunya. Tadi, Albert menyempatkan untuk mampir ke Store khusus mainan branded. Ia harus memenangkan hati anak-anaknya kali ini. Menghilangkan kesan buruk yang terlanjur mereka saksikan saat di pemakaman Clara waktu itu. Albert melangkahkan kaki ke pintu dan memencet bel di samping pintu besi itu. Tak lama kemudian, keluar seorang wanita yang berusia sekitar empat puluhan. "Maaf, Tuan
Setelah pertemuannya siang itu dengan Zacky dan Zahra, hati Albert menghangat jika membayangkan bisa menggendong dan mencium anak-anak itu. Pagi ini Albert tidak berniat untuk pergi ke kantor. Sudah seminggu ini, ia rutin mengunjungi rumah mertuanya, Willson. Sementara itu, Mike kewalahan mengurus semua pekerjaan di Kantor. Albert hanya akan datang saat rapat penting yang benar-benar mengharuskan dirinya datang. Namun, jika masih bisa di wakilkan pada Mike, maka Albert akan melimpahkan semuanya pada Mike. Tanpa rasa bersalah, Albert meminta Mike untuk menyelesaikan semuanya. Seperti pagi ini. "Mike, apa semua file penting itu sudah kau periksa?" tanya Albert pada sambungan telepon. "Sudah, Tuan Muda. Tapi, klien dari Roma ini meminta Anda yang hadir pada meeting siang ini." jawab Mike tegas. "Katakan saja padanya, aku ada urusan penting." jawabnya santai. "Tapi, dia mengancam akan menarik saham di Perusahaan i
Keesokan harinya, Albert datang jam tujuh lewat tiga pulih menit. Ia sengaja datang lebih awal dari yang ia janjikan pada Zacky kemarin. Kali ini, Albert menggunakan mobil limited edition yang baru sekali ia pakai sejak di beli. Karena kali ini, yang akan ia jemput adalah lelaki yang punya harga diri tinggi dan penuh dengan rasa percaya diri. Sama persis seperti dirinya. Saat sampai di rumah Willson, ia segera masuk ke dalam. Menuju ke ruang makan. Di sana sudah duduk semua anggota keluarga. Willson, Ollivia, Zacky dan Zahra. "Hai, Dad. Kau datang lebih awal?" sapa Zahra dengan senyumnya khas. Senyum yang mirip sekali dengan Ibunya, Ollivia. "Kurasa, aku mulai bosan makan makanan yang dibuat oleh Darwin dan Jane. Jadi aku ingin mencoba masakan di sini. Apa boleh?" tanya Albert sambil melirik ke arah Olivia. "Tentu saja, ayo, silahkan duduk." jawab Willson dan mempersilahkan Albert mengambil posisi duduk. Olivia melirik dengan waj
Pada malam sebelumnya, Albert menelpon Olivia. Dan membuat wanita itu akhirnya memberikan izin padanya untuk membawa Zacky ke Perusahaan. Albert memanggil nomor ponsel milik Olivia. Olivia yang sedang berselancar di sosial medianya, terkejut oleh panggilan telepon dari Albert. Lantas, dengan reflek menjawab panggilan itu. "Wah, cepat sekali kau mengangkat telepon dariku? Atau, jangan-jangan kau memang sedang menunggunya?" tanya Albert. Olivia merasa kesal dengan pertanyaan Albert, sekaligus merutuki dirinya sendiri yang begitu ceroboh. "Aku sedang bermain ponsel, dan tidak sengaja menekannya saat kau menelpon," jawab Olivia ketus. "Benarkah?" Albert bertanya diiringi tawa renyah. "Apa kau menelponku hanya untuk membahas itu? Jika tidak ada lagi yang ingin kau sampaikan, aku akan menutup telepon ini. Selamat mal.." "Tunggu... Tunggu... Kenapa kau masih saja pemarah seperti dulu?" potong Albert saat Olivia hendak memutuskan
“King! Aku yakin dia bisa membawamu ke jalan yang seharusnya kau tempuh,” jawab Zahra dengan keyakinan penuh.“Jangan konyol, Moms. Dia tidak sebanding denganku! Aku ini kakaknya, meski kami tidak sedarah. Aku tidak akan pernah tertarik dengan bocah ingusan seperti dia,” bantah Dayana dengan sangat tegas di depan Zahra dan wajahnya tampak sangat kesal.Dia segera pergi dari hadapan Zahra dan tidak ingin lagi membahas masalah yang sensitif itu. Bagaimanapun juga, Dayana menyadari bahwa dia sudah salah jalan. Namun, dia juga tidak meminta dirinya menjadi seperti itu. Semuanya terjadi dan mengalir apa adanya tanpa diminta dan dipaksa. Jadi, apa yang harus dia lakukan selain pasrah dan menerima semua keadaan itu dengan hati luas?Dayana memang gadis yang berasal dari keluarga terpandang dan bisa dikatakan semua yang dia lakukan pasti akan menjadi konsumsi publik. Akan tetapi, dia juga tidak bisa berpura-pura demi membuat orang lain senang dan puas. Dia ingin tetap menjadi dirinya sendiri,
Zahra tidak bisa berkata-kata saat baru saja mendengar pengakuan dari putrinya itu. Dadanya terasa penuh dan sangat sesak sehingga tidak bisa bernapas dengan baik. Dia tidak menduga bahwa Dayana akan mengakui hal besar dan sangat mengejutkan itu padanya dan Gerald.Saat ini Zahra bisa melihat perubahan warna pada wajah Gerald. Pria itu jelas sedang marah besar pada Dayana dan dia masih diam saja berusaha menahannya. Hal itu tentu saja mengingat bahwa Dayana adalah putri mereka satu-satunya.“Sayang ... tolong ralat lagi kata-katamu itu. Katakan padaku kalau kau hanya bercanda dan semua itu mungkin hanya sebuah prank atau kejutan untuk kami. Kau ingin membuat daddy marah seperti saat Mami marah ketika kalian bersekongkol membuatku cemburu dan marah besar saat itu kan?” tanya Zahra dengan menguatkan hati dan mencoba tetap tenang.“Tidak. Kali ini aku sangat serius dan aku memiliki pacar wanita. Dia adalah Jeslyn yang sering datang ke sini dan aku sering menginap di apartemennya,” jawab
Zahra kembali ke kediamannya dengan perasaan yang bercampur aduk. Dia baru saja mengunjungi pemakaman keluarganya dan kemudian mendapati fakta bahwa King menaruh hati pada Dayana. Dia tidak akan mempermasalahkan hal itu jika memang sudah begitu takdirnya.“Ada apa, Sayang? Kenapa kau senyum-senyum sendiri?” tanya Gerald yang menatap istrinya dengan pandangan heran.“Bukan apa-apa, Sayang. Aku hanya merasa lucu saat seorang pria menyukai gadis, tapi mereka selalu bertengkar tiap kali bertemu,” jawab Zahra kepada Gerald.“Siapa yang kau maksud? Apakah itu kisah kita dulu?” tanya Gerald dan langsung melingkarkan tangannya di pinggang Dayana.“Tidak. Aku mengatakan tentang King. Eh ... tapi, ternyata kisah kita juga hampir sama seperti itu. Dulu aku dan kau juga selalu saja berdebat dan bertengkar tiap kali bertemu.”“Kau benar, Sayang. Kau tahu? Semua itu membuatku senang dan hidupku menjadi lebih berwarna.”“Jadi, kau suka bertengkar denganku?”“Hem ... sepertinya aku lebih suka berteng
“Apa benar kau tidak masalah sendirian, Nak?” tanya Zahra pada King dengan suara yang sangat lembut.“Aku tidak sendiri, Moms. Masih ada mamiku juga di sini,” jawab King saat melihat Auriel turun dari tangga.“Kakak. Kapan kau datang?” tanya Auriel yang langsung menyapa Zahra dengan sangat ramah.“Belum lama. Aku bahkan sudah mengunjungi Zacky, Mami, dan Daddy bersama King.” Zahra menjawab sopan dan kemudian keduanya bercium pipi kanan dan pipi kiri.Zahra memang sudah menerima kehadiran Auriel dan King sejak lama. Mereka sudah sangat baik satu sama yang lainnya. Jadi, tidak ada alasan bagi mereka untuk saling berselisih lagi. Lagi pula, semuanya sudah cukup jelas dan tidak ada hal besar yang harus diperdebatkan lagi.“Silakan duduk, Kak. Aku akan membuatkanmu minum,” ucap Auriel dengan sangat ramah.“Tidak perlu, Sayang. Aku tidak tamu di sini dan jangan memperlakukanku seperti tamu,” tolak Zahra dengan senyum lebar.“Tapi, tidak ada salahnya seorang adik menjamu kakaknya yang datang
“Dad, aku dan Mami datang.”“Zack! Apa kau bahagia di sana bersama Bianca? Apa kau bertemu dengan Mami dan Daddy juga? Kalian pasti bahagia sudah berkumpul di sana bukan? Kenapa kalian semua meninggalkan aku sendiri di sini? Kalian tidak ingin mengajakku? Apakah aku masih begitu menyebalkan bagi kalian?”“Moms ...,” lirih King dengan nada pilu saat mendengar Zahra bertanya beruntun seperti itu di depan makam saudara kembarnya – Zacky.“Tuan Muda Zacky yang terhormat. Apa kau liat dengan siapa aku datang hari ini? Kau pasti senang melihatnya bukan? Lihatlah, dia begitu mirip denganmu saat kau masih muda. Aku bahkan merasa seperti usiaku baru dua puluh tahun saat berada di sampingnya,” ungkap Zahra yang sengaja menghibur diri dengan berkelakar seperti itu.King hanya bisa tersenyum tipis saat mendengar candaan Zahra pada Zacky yang kini hanya bisa mereka temui dalam bentuk batu nisan yang indah dan elegan itu. Meskipun begitu, Zahra tampak sangat bahagia dan seperti dia memang sedang be
Auriel sangat bahagia saat melihat putranya sudah kembali tersenyum dan tertawa seperti itu. Sudah sejak lama dia tidak melihat tawa King yang begitu lepas, bahkan dulu dia nyaris tak pernah tersenyum sama sekali. Hal itu membuat hati Auriel merasa sedih dan juga merasa bersalah karena tidak bisa membayangkan apa yang terjadi dalam hati putranya itu.“Aku berpikir, Mami akan memberikan syarat yang luar biasa dan membuatku sedikit takut,” ucap King kepada Auriel yang masih menatap putranya yang dulu kecil itu tertawa bahagia.“Aku mana mungkin memberikan syarat yang membuatmu menderita, Nak. Kau adalah sumber kebahagiaanku dan kau adalah segalanya dalam hidupku. Karena kau ada, makanya aku masih ada dan berdiri di depanmu saat ini, Sayang.” Auriel mengungkapkan isi hatinya kepada King dengan sungguh-sungguh.“Oh, Moms. Jangan bicara seperti itu lagi dan membuat aku sedih.”“No, Sayang. Kau tidak boleh lagi bersedih setelah banyaknya kesedihan yang sudah kita lalui bersama dengan hebat.
“Apa kau benar-benar tidak akan datang, Sam?” tanya Queen yang saat ini masih membuka jendela kamarnya dan menunggu kedatangan sang kekasih.Dia berharap, Samuel bisa segera menyelesaikan pekerjaannya dengan cepat dan kembali menemui dirinya. Cinta baru saja bersemi di antara mereka. Tentu saja hati berbunga bunga dan masih tetap ingin bersama lebih lama. Akan tetapi, sepertinya semua itu tidak akan terjadi malam ini dan Queen tidak bisa lebih lama menunggu.Gadis itu terlelap setelah jam dinding berada di angka satu. Dia tidak bisa lagi menahan kantuknya dan dia sadar bahwa Samuel tidak akan datang malam ini.“Selamat malam, Sayang. Apa kau menungguku datang?” tanya sebuah suara yang berbisik di telinga Queen saat ini.Perlahan, Queen membuka matanya dan wajah seorang pria tampak samar-samar di hadapannya saat ini. Pria itu tersenyum dengan sangat manis padanya dan memberikan sebuah kecupan di bibirnya. Dari kecupan itu saja, Queen tahu bahwa Samuel telah datang malam ini.“Aku menun
Charlos tidak pernah menyangka jika hidupnya akan didatangi oleh seorang gadis ingusan seperti Thabita. Dia tidak hanya menyebalkan, tapi juga sangat menganggu sehingga Charlos kehilangan waktu istirahatnya karena gadis itu terus saja mengusik ketenangannya.“Berhentilah bermain-main, Thabita. Aku tidak suka bercanda untuk masalah pernikahan!” tegur Charlos sekali lagi kepada Thabita dengan wajah yang masam.“Aku juga tidak pernah main-main soal pernikahan. Bukankah pernikahan itu adalah impian semua orang? Aku selalu bermimpi mempunyai suami yang usianya lebih tua dariku,” sahut Thabita yang tidak mau kalah.“Kalau begitu, kau carilah sugar daddy yang mau mengurusmu! Aku belum terlalu tua asal kau tahu!”“Usiamu bahkan sudah menginjak kepala 4 bukan? Apa itu belum terlalu tua namanya?” tanya Thabita dan jelas ucapan gadis itu membuat Charlos kehilangan kendalinya saat ini.Bagaimanapun juga, Charlos adalah pria biasa yang masih memiliki emosi tak terkontrol. Dia sudah biasa dilatih d
Namun, meskipun Thabita senang mendengarnya dia tentu juga merasa bingung dengan pernyataan Charlos tadi. Apakah benar pria itu akan membawanya pulang bersama rombongan tuan besarnya? Bukankah Charlos hanyalah seorang ajudan dan semua itu pasti tidak mudah baginya untuk berhasil meyakinkan bos untuk membawa wanita asing bersama mereka pulang.“Apa lagi yang kau pikirkan? Jangan banyak bergerak dan tetaplah tenang di atas ranjang ini. Aku tidak akan mengobati lukamu lagi jika kau masih tidak mendengarkan aku!” ancam Charlos pada Thabita dengan tegas dan terdengar tidak main-main.“Baiklah, Sayang. Apapun yang kau katakan,” sahut Thabita sengaja menggoda Charlos dengan sebutan sayang.Benar saja, wajah Charlos langsung memerah seperti merasa malu dan tidak bisa tenang di depan Thabita. Bagaimana bisa dia menjadi tidak konsen saat Thabita memanggilnya sayang seperti tadi? Apa yang gadis itu pikirkan dan Charlos membalikkan badan untuk membuang kecanggungannya dengan alasan akan meletakka