“Kamu nggak punya pilihan lain selain menerima tawaran ini, Maura! Kalau kamu berani menolak, aku nggak akan segan-segan melakukan hal yang mengerikan untuk kamu! Kamu nggak akan menjalani hidupmu dengan tenang,” ucap Sarah dengan tegas mengancam Maura.“Apa ini sebuah ancaman, Mba?” tanya Maura lagi.“Tidak. Aku hanya memperingatkan kamu dengan baik-baik. Terserah kamu mau mengikutinya atau nggak,” jawab Sarah dengan sangat santai dan menaikkan bahunya.Kedua tangan wanita itu berlipat di dada dan dia duduk bersandar pada sandaran sofa yang empuk. Pandangannya terus mengedar seolah asing dengan kamar Maura ini. Memang benar, Sarah bahkan bisa dibilang tidak pernah masuk ke kamar ini sejak pindah ke sini. Kamar ini kosong tapi selalu dibersihkan oleh Cici setiap hari.Saat Sarah bertanya pada Gani tentang kamar ini, pria itu selalu menjawab bahwa tidak masalah punya banyak kamar di dalam rumah. Siapa tahu nanti ada yang menumpang atau menginap. Atau bisa saja anak-anak mereka saat dew
“Udah siap?”“Udah. Apakah kita benar-benar harus pergi bulan madu, Mas? Aku rasa ini nggak perlu.”“Kalau mau protes atau menolak, langsung aja ke mama!”“Tapi ... Mas kan bisa bilang kalau kerjaan lagi banyak dan nggak bisa ke mana-mana.”“Kamu lupa kalau CEO di perusahaan itu adalah mamaku sendiri?” tanya Gani tegas.Gani sedang berada di dalam kamar tidur Maura untuk melihat apakah istrinya itu sudah selesai berkemas atau belum. Pagi besok, mereka akan terbang ke Kanada untuk berbulan madu sesuai dengan permintaan Wulan dan wanita itu juga yang sudah mempersiapkan segalanya.Maura dan Gani terpaksa harus menuruti kemauan Wulan demi kesehatannya. Gani tahu bahwa ibunya memang tidak sudah tidak sesehat dulu lagi, meskipun Gani masih tidak tahu apa penyakit Wulan yang sebenarnya. Hanya Maura saja yang tahu sampai ke akarnya tentang penyakit Wulan.“Kamu mau ikut atau nggak? Aku nggak punya banyak waktu untuk meributkan hal sepele seperti ini,” desak Gani mulai tak sabar dengan tingka
“Kamu bohong, Mas! Kamu pasti lebih suka punya istri yang kamu sendiri mengambil keperawanannya. Beda sama aku yang dulu udah nggak ....”“Ssstt ... Sayang, jangan ngomong gitu. Aku nggak pernah memikirkan hal itu dan nggak mau membahasnya lagi. Kamu nggak usah pikirkan hal itu lagi, ya.” Gani langsung menutup bibir Sarah dengan jari telunjuknya.Gani merasa bahwa pembahasan Sarah sudah terlalu jauh dan tidak pada tempatnya. Gani tidak pernah membahas hal itu sedikit pun selama ini. Dia sudah menerima Sarah apa adanya sejak awal dan memutuskan untuk tidak pernah membahas perihal itu lagi di masa yang akan datang.Gani datang memeluk tubuh Sarah dengan sangat erat dan mengusap punggungnya lembut. Hati Gani terasa sakit ketika Sarah membahas masalah yang tidak sepantasnya dibahas lagi sekarang. Terlebih lagi, Sarah membandingkan hal itu dengan Maura.“Jangan bicara seperti itu lagi, Sayang. Aku nggak bisa dengar kamu bicara hal yang aku sendiri nggak pernah mau untuk membahasnya,” bisik
“Siapa Devan?” tanya Gani yang meradang mendengar erangan nama lain dari mulut Sarah saat mereka sedang menikmati percintaan malam ini.“A-apa maksudnya, Mas? Devan siapa? Aku nggak tau!” jawab Sarah dengan wajah pucat dan terdengar sangat gugup.“Jangan bilang kalau kamu bermain api di belakangku selama ini, Sarah!” hardik Gani dengan emosi yang tak terbendung lagi.Dia berdiri dan segera memasang piyama tidurnya dengan gerakan cepat. Matanya nyalang menatap ke arah Sarah yang kini menarik selimut untuk menutupi tubuhnya yang tadi sudah telanjang bulat. Sarah seperti sedang berpikir tentang apa yang baru saja terjadi dan membuatnya menjadi linglung.“Aku nggak tau yang kamu maksud, Mas! Kenapa tiba-tiba kamu menuduhku seperti itu?” tanya Sarah pula dengan deraian air mata.“Jangan memakai air mata buayamu itu di depanku. Saat kamu mengerang di dalam sentuhanku, kamu menyebut nama pria lain! Siapa Devan?”“Aku sama sekali nggak tau, Mas! Aku hanya mengerangkan namamu, seperti yang bia
Perlahan-lahan Maura terus melangkah ke arah ruang kerja Gani dengan perasaan curiga yang semakin menguat pula. Sebagai seorang wanita dewasa dan sudah melakukan malam pertama dengan Gani, Maura tahu suara orang sedang mengapa yang terdengar saat ini.“Aneh. Kok dari tadi cuma ada suara cowoknya doang. Nggak kedengaran suara ceweknya sama sekali deh. Nggak mungkin kan ceweknya dibekep atau dilakban biar nggak berisik?” tanya Maura pada dirinya sendiri saat dia sudah berada di depan pintu ruangan itu.Semakin dekat jaraknya dengan ruang kerja Gani itu, tentu saja suara yang terdengar semakin jelas pula. Jantung Maura berdetak kencang saat meyakini siapa pemilik suara desahan dan mengerang menahan kenikmatan di dalam ruangan itu.Dia meletakkan tangannya di dada dengan mata melotot sempurna. “Ya ampun! Apa ... apa mungkin, yang di dalam itu adalah mas Gani sendiri?” tanya Maura dengan suara sangat pelan.Belum sempat dia berpikir hal yang lain, terdengar suara pintu terbuka dan tanganny
Gani merasa tersentuh mendengar pertanyaan yang terdengar begitu alami dari mulut Maura itu. Dia menghentikan gerakannya dan kemudian membawa tubuh Maura ke dalam gendongan. Gani membawa Maura keluar dari ruang kerja dan menaiki anak tangga satu persatu.Maura yang sudah terlanjur sedih, hanya bisa pasrah pada yang dilakukan Gani kepadanya. Selama perjalanan itu, dia hanya memejamkan mata tanpa tahu ke mana dan apa yang akan dilakukan Gani kepadanya.“Aku nggak pernah berpikir bahwa kamu hanya menjadi tempat pelampiasanku, Mau ...,” bisik Gani dengan nada lirih pada Maura.Dia membaringkan tubuh Maura di atas tempat tidur tempat di mana mereka pertama kali bercinta. Siang hari yang panas dan gerah waktu itu, menambah lagi bulir keringat yang membanjiri badan keduanya. Desahan dan erangan sahut menyahut memenuhi ruangan kala itu.Mungkin, malam ini akan terulang lagi semua yang telah terjadi kemarin. Maura pasrah dan tidak akan menolak lagi pada apapun yang akan dilakukan Gani kepadany
“Apaan sih, Mas. Udah, ah! Aku laper banget, pengen makan yang banyak biar bisa tidur nyenyak malam ini,” celoteh Maura dan mendorong dada bidang Gani dengan cepat.Gani bisa melihat rona merah di pipi Maura saat dia mengatakan hal itu dan merasa senang dengan penglihatannya. “Sepertinya, aku mulai suka dengan gadis ini.” Gani berkata dalam hatinya. Gani mengekor di belakang Maura yang berjalan tergesa menuju dapur. Sepertinya, dia memang sudah terlalu lapar. Namun, saat sampai di dapur Gani baru menyadari bahwa Maura sudah melupakan sesuatu. Terlihat dari kepanikan Maura saat sampai di depan microwave.“Ya ampun, kenapa aku bisa lupa sama dendeng baladonya,” gerutu Maura pada dirinya sendiri dan membuka microwave yang masih menyala dan memegang wajan anti panas dengan tangan kosong.“Aaaw ...,” pekik Maura seketika itu juga saat tangannya menyentuh wajan besi berisi dendeng itu.“Astaga, Maura!” seru Gani dan langsung menghampiri Maura dengan cemas.“Sakit, Mas.” Maura merengek dan
“Mmm ... nggak. Bukan untuk apa-apa,” jawab Maura gugup dan langsung mengalihkan pandangannya.Dia pun langsung menyantap susah payah nasi beserta dendeng di dalam piring kaca itu. Melihat kesulitan yang dialami Maura saat ini, Gani pun merasa tidak tega dan akhirnya menarik piring itu ke arahnya. Gani juga merebut sendok di tangan Maura dan kemudian mulai menyuapinya.“Katanya tadi nggak mau,” gerutu Maura kesal.“Sekarang aku mau,” ucap Gani dengan perasaan canggung.“Aneh!” protes Maura tapi tetap mengejar sendok berisi nasi dan daging sapi tipis itu.Maura dan Gani tidak saling berbicara selama beberapa saat dan hanya fokus pada suap menyuap itu saja. Gani menyuapi Maura yang kelaparan, dan wanita itu pun berusaha mengunyah dengan cepat karena suapan Gani sangat cepat lagi sampainya setelah yang terakhir kali diterima.“Kamu lama banget sih makannya?” tanya Gani bernada kesal.“Perempuan tuh memang seperti itu kalau makan. Mas Gani aja tuh yang nyuapinnya kecepatan, aku jadi nggak