"Istri?" desis Diana. Seluruh tubuhnya gemetar saat mendengar kata-kata yang keluar dari mulut Carlen. "Kamu tidak sedang bercanda, kan?" "Aku serius. Anike bukan sekadar asisten. Dia adalah istriku," ujar Carlen seraya merengkuh Anike dan merangkul pundaknya erat. "Carlen ...." Wajah cantik Diana berubah merah padam. Tangannya terkepal erat dengan rahang mengeras. "Kenapa?" desisnya. "Maafkan aku, tapi inilah kenyataannya. Aku sudah menikah dengan Anike, sebelum kita dipertemukan kembali beberapa minggu yang lalu. Jujur saja, hubungan kami selama ini tak mulus. Banyak sekali kesalahpahaman yang terjadi," beber Carlen sembari meremas bahu Anike. "Aku sempat berpisah dengan dia." Carlen menoleh dan menatap Anike dengan sorot penuh arti. "Kuakui, aku merasa sangat kacau saat jauh dari istriku. Saat itulah, kau datang dan meminta bantuanku. Lalu, tiba-tiba muncul sebuah ide di kepalaku ...." "Kamu hanya memanfaatkanku sebagai pelampiasan?" terka Diana memotong kalimat Carlen begitu s
Usianya boleh kepala empat. Namun, nyatanya fisik dan kekuatan Carlen tak ada bedanya dengan pemuda di awal dua puluhan."Tuan ...." Entah yang keberapa kali Anike merintih. Dia tak berdaya di antara kungkungan lengan kekar Carlen yang terus memacu diri.Carlen seolah tak puas dengan permainan panas di dalam shower box. Dia malah meminta untuk melanjutkan percintaan mereka di tempat yang berbeda.Sudah lewat setengah jam sejak Carlen mendudukkan Anike di tepian meja wastafel. Akan tetapi, tak ada tanda-tanda bahwa pria itu akan segera menghentikan aksinya.Carlen malah mendekap erat tubuh molek Anike yang rapat melingkarkan tangan di lehernya. Gairahnya semakin terbakar tatkala sang istri menyesap lehernya."Kau makin pintar," bisik Carlen di antara napas yang memburu."Tuan, aku ....""Tahan, Anike," potong Carlen, bersamaan dengan dirinya yang mencapai puncak nirwana.Dia dapat merasakan tubuh Anik
Carlen menikmati waktu sendirinya di ruang kerja sambil membayangkan percintaan panas antara dia dan Anike tadi pagi.Wanita muda itu seolah memberikan energi positif yang membuatnya merasa begitu segar dan bersemangat.Carlen tersenyum membayangkan paras cantik Anike. Rasa rindu mulai menyergap, padahal baru beberapa jam saja mereka berpisah.Tepat pada saat Carlen hendak menghubungi Anike, saat itu sebuah panggilan masuk datang dari Diana.Tanpa pikir panjang, Carlen segera mengangkat teleponnya. "Ada apa, Di?" tanyanya, seolah tak pernah terjadi apapun di antara mereka."Apa kita bisa bertemu? Aku ingin membicarakan tentang masalah penjualan," sahut Diana."Boleh. Kapan dan di mana?" Kalimat Carlen terdengar singkat dan lugas."Di kantorku! Pukul lima tepat," jawab Diana.Aku tidak tahu apakah pekerjaanku sudah selesai di jam itu. Seperti yang kau tahu, Pandu akan datang hari ini. Aku harus menyelesaikan beberapa hal dengannya," ujar Carlen."Kalau begitu, kutunggu sampai kau selesa
"Apa yang kau masukkan dalam anggurku ini, Diana?" Carlen mengulangi pertanyaannya karena Diana tak menjawab. Wanita itu hanya tersenyum samar sambil terus memperhatikan Carlen."Memangnya, kamu pikir apa? Aku memberimu racun? Kalau anggur itu ada racunnya, pasti aku juga ikut mati, karena aku meminumnya juga," dalih Diana. Carlen terdiam. Iris mata birunya tajam menatap Diana. "Baiklah, aku memilih percaya padamu. Lagipula, jika kau cerdas, kau tak mungkin berani mencelakaiku. Selain jaringanku luas dengan koneksi tak terbatas, aku juga lah yang membantu bisnis perhiasanmu hingga sukses seperti sekarang," tutur Carlen panjang lebar."Oh, itu sudah pasti, Sayang. Aku bukan orang yang mudah melupakan jasa baik orang lain, walaupun orang itu sudah sangat menyakitiku," sindir Diana dengan gaya bicaranya yang anggun.Carlen terkekeh pelan. Dia menatap Diana lekat-lekat seolah mencari kebohongan di sana. Tak dihiraukannya kepala yang tiba-tiba berdenyut nyeri."Aku tak mengira bahwa kau b
Anike tak bisa memejamkan mata sedikit pun. Dia terus berjaga di samping Carlen yang masih tampak lemah. Sesekali dia memijit pelipis sang suami pelan, seraya mengoleskan minyak angin."Tuan, anda sakit apa, sih?" tanya Anike lesu. "Anda tidak berbuat macam-macam kan dengan nyonya bohay itu?""Tuan, aku bisa patah hati kalau anda selingkuh." Anike terus mengomel, walaupun Carlen tak dapat mendengarkan."Apa perlu kupanggilkan dokter?" cetus Anike. Dia semakin khawatir tatkala Carlen tak segera siuman. Saat itu, dia tiba-tiba teringat pada Lula."Mungkin Lula lebih paham kondisi Tuan Carlen," gumam Anike. Tanpa pikir panjang, dirinya langsung menelepon adik iparnya itu. Cukup lama dia menunggu nada sambung sampai panggilannya diangkat."Halo, Anike. Apa kabarmu?" sapa Lula di seberang sana."Aku, ehm, aku baik-baik saja, Lula," jawab Anike kikuk. "Kabarmu bagaimana?""Aku baru saja masuk rumah setelah seharian di kampus," jelas Lula. "Kamu sedang apa?""Aku ...." Anike kebingungan menja
Setelah 24 jam berada di ruang ICU, kini kondisi Carlen sudah mulai stabil. Dia kemudian dipindahkan ke ruang perawatan biasa.Anike dengan setia menemani. Tak sedetikpun dia beranjak dari sisi ranjang Carlen, walaupun di ruang perawatan VVIP tersebut, terdapat sofa dan tempat istirahat khusus bagi pendamping pasien. Anike terkantuk-kantuk menyandarkan kepalanya di tepian ranjang."Buatkan aku kopi, Anike."Suara Carlen membuat Anike tersadar sepenuhnya. Dia langsung mengangkat kepala dan mendekatkan wajahnya pada sang suami. "Tuan? Anda sudah sadar?" serunya penuh haru."Aku ingin kopi," pinta Carlen lagi."Ini di rumah sakit. Tidak ada kopi untuk pasien seperti anda," ujar Anike."Rumah sakit?" ulang Carlen seraya memegangi kepalanya. "Oh, iya. Tadi malam perutku sakit sekali.""Bagaimana rasanya sekarang, Tuan?" tanya Anike lembut.Carlen tak segera menjawab. Dia menoleh kepada Anike dan menatap paras cantik itu lekat-lekat.
"Bicara apa kamu, Tuan Marten?" Ekspresi Diana mendadak berubah tegang. "Rasa marah yang luar biasa, memang bisa mematikan logika. Aku pernah mengalaminya," tutur Marten kalem. "Aku tidak mengerti sama sekali." Diana berdecak kesal. "Kutegaskan sekali lagi bahwa aku tidak memiliki dendam terhadap Carlen!" "Anda tidak dendam, hanya emosi sesaat. Betul begitu?" pancing Marten. Diana tak menanggapi. Dia hanya menunjukkan raut gelisah. "Tidak apa-apa, Nyonya Diana. Aku mengerti. Setiap orang tak lepas dari berbuat kesalahan. Akan tetapi, yang terpenting adalah bagaimana kita dapat belajar dengan cepat dari kesalahan itu," ucap Marten bijak. "Sebenarnya kamu mau apa? Tidak usah bertele-tele!" sentak Diana tak sabar. "Begini ...." Marten yang awalnya menyandarkan punggung di sofa, beringsut maju dan mencondongkan tubuhnya. "Seperti yang sudah kukatakan tadi, aku bersedia membantu anda untuk membalaskan dendam. Bukan kepada Carlen, melainkan pada Anike." Diana menahan napas saat men
Carlen duduk di belakang meja kerja sambil melipat kedua tangan di dada. Pandangannya terarah pada Pandu, tetapi pikirannya terbang ke tempat Anike berada. Tadi dirinya sudah memperingatkan sang istri agar tidak berpakaian lebih dulu. Anike harus menunggu sampai Carlen selesai berbincang dengan Pandu. "Aku tidak mempunyai banyak waktu," ucap Carlen sebelum Pandu sempat berbicara. "Memangnya anda mau ke mana?" tanya Pandu. "Aku tidak ingin membuat Anike kedinginan," jawab Carlen yang membuat Pandu semakin kebingungan. "Ah, sudahhlah. Sebenarnya hal penting apa yang ingin kau bicarakan?" Pandu menarik napas panjang dan mengembuskannya perlahan. "Ini tentang Nyonya Diana," ujarnya. "Apa kau sudah menemukan bukti keterlibatannya?" Suara Carlen terdengar begitu berat dan dalam. "Tuan, tanpa diselidiki pun, sudah terlihat jelas bahwa Nyonya Diana berniat untuk mencelakai anda," tutur Pandu. "Seperti dulu. Apa anda tidak ingat?" Carlen terdiam tak menanggapi. Dia menyandarkan punggun
"Anike!" seru Carlen seraya melemparkan pistol yang berhasil dia rebut dari Diana, ke arah Marten. Marten sigap menangkap pistol tersebut dan menyembunyikannya di balik pinggang. Sementara Maya berteriak histeris melihat Anike yang terkulai. Dia menghambur bersamaan dengan Carlen yang mengangkat tubuh istrinya. Diana sendiri hanya bisa berdiri terpaku. Tubuhnya membeku melihat Anike yang bersimbah darah. "Awasi Diana! Aku akan membawa Anike ke rumah sakit!" titah Carlen yang tak memedulikan apapun lagi. Dia membopong sang istri yang tak sadarkan diri menuju mobil mewah yang masih terparkir di halaman."Ya, Tuhan! Ada apa ini, Tuan?" Yanto berlari tergopoh-gopoh mendekati majikannya. "Siapkan mobil! Antarkan aku ke rumah sakit!" seru Carlen. Tanpa membuang waktu, Yanto segera membukakan pintu mobil dan membantu membaringkan Anike di jok belakang. Dia meletakkan kepala Anike di pangkuan Carlen. Setelah memastikan bahwa Carlen dan Anike berada pada posisi nyaman, Yanto bergegas duduk
"Kenapa, Tuan?" tanya Anike curiga. Diperhatikannya wajah tampan sang suami yang seolah tengah menyembunyikan sesuatu. "Kita harus pulang sekarang," ucap Carlen tanpa menjawab pertanyaan Anike. "Kamu juga Maya. Kemasi barang-barangmu sekarang juga. Kita akan kembali ke Jakarta sekarang sebelum bertolak ke Jerman," ajak Marten. Anike dan Maya tak membantah sama sekali. Setelah memberi pengertian pada Saodah dan Abdul Manaf, serta berpamitan pada para tamu, dua pasang mempelai itu bergegas meninggalkan gedung resepsi. Carlen dan Anike kembali ke rumah Abdul Manaf, sedangkan Marten membantu Maya bersiap-siap. Satu jam kemudian, sopir pribadi Carlen datang menjemput. Mereka masuk ke dalam mobil dengan tergesa-gesa, membuat Anike semakin was-was. "Sebenarnya ada apa ini, Tuan?" desaknya. Carlen yang duduk di samping Anike, hanya bisa menarik napas panjang. Butuh waktu lama baginya untuk menjawab pertanyaan sang istri. "Ini tentang Diana," ucap Carlen pada akhirnya. "Kenapa lagi dia?"
Maya ragu-ragu menatap Marten. Pria di hadapannya itu sungguh bersikap di luar dugaan. Pertemuan mereka yang singkat sama sekali tak membuat Marten ragu untuk melamar Maya. "Apa anda yakin, Tuan?" tanyanya hati-hati. "Seratus persen!" jawab Marten tegas. "Meskipun kita baru saja bertemu dan berkenalan?" tanya Maya lagi, sekadar untuk memastikan. "Aku bukan pria plin-plan. Sekali 'iya', maka selamanya akan tetap seperti itu. Aku ingin menikahi dan membawamu pergi," jelas Marten. "Nanti kalau anda tidak cocok dengan sifat dan kebiasaanku, bagaimana? Saya orangnya suka ngambekan," ungkap Maya. "Suka kentut juga," sahut Tatang. "Makannya banyak!" Engkos Kusnandar juga tak mau kalah. "Itu semua adalah resiko yang harus kuterima dengan lapang dada," ucap Marten. "Aku sudah mempunyai modal awal, yaitu perasaan jatuh cinta padamu. Seharusnya rasa itu saja sudah cukup untuk mengatasi semua hal-hal tak menyenangkan yang mungkin muncul di masa yang akan datang," lanjutnya. "Tuan ...." Ma
"Aku pergi dulu," ucap Marten. Dia tak memedulikan tugasnya sebagai pendamping Carlen di pelaminan. Marten malah berlari turun mengejar Maya. "Hei, sedang apa?" sapanya pada gadis cantik itu.Maya sedikit terkejut dan langsung menoleh. "Eh, Tuan," jawabnya balas menyapa. "Sedang membantu menghidangkan makanan untuk para tamu."Buat apa? Sudah ada wedding organizer yang mengurus segalanya. Ikut aku saja," ajak Marten. Dia menggandeng Maya keluar dari gedung, menuju ke taman belakang. "Mau apa ke sini, Tuan?" tanya Maya keheranan."Tidak ada. Hanya ingin mengobrol saja. Di dalam terlalu banyak orang. Selain itu, aku tak suka dipajang seperti patung," gerutu Marten."Itu namanya bukan dipajang, Tuan. Anda itu mewakili keluarga Tuan Carlen,' tutur Maya."Ah, ribet sekali. Aku tidak suka. Seharusnya cukup dua orang itu saling mencintai. Kalaupun menikah, tidak perlu mengundang banyak orang seperti ini. Merepotkan saja." Marten terus mengungkapkan rasa kesalnya."Nanti kalau anda menikah,
"Berikan aku alamatnya!" desak Diana. "Maaf, saya sendiri juga tidak tahu," jawab Yanto. "Jangan bohong kamu, ya!" Diana nekat maju, mendekati Yanto. Tanpa ragu, dia menarik krah seragam satpam yang Yanto kenakan. "Cepat berikan alamat mertua Carlen! Atau aku akan ...." "Ada ribut-ribut apa ini?" tanya seseorang, memotong kalimat Diana begitu saja. Wanita itu segera melepaskan cengkeramannya dari Yanto dan menoleh ke arah suara. "Oh, Pak Pandu rupanya." Diana tersenyum sinis. "Silakan anda pergi dari sini kalau tidak ingin saya panggilkan polisi," ancam Pandu dengan raut datar. "Anda tidak bisa memaksa saya!" Diana malah mengangkat dagu, seolah menantang Pandu. "Anda sudah cukup banyak membuat masalah, Bu Diana. Mulai dari menjebak Tuan Carlen, melukai, menipu serta terlibat dalam penculikan terhadap Nyonya Anike. Jika Tuan Carlen berkenan memproses kasus ini ke jalur hukum, maka saya dapat memastikan bahwa anda akan mendekam lama di penjara. Apalagi koneksi Tuan Carlen terhada
Beberapa hari telah berlalu, kini Marten telah terbiasa melakukan segala pekerjaan rumah tangga. Mulai dari menyapu, mengepel dan mencuci piring. Dia bahkan bisa mencuci bajunya sendiri dengan cara manual. Selama waktu itu, dia juga semakin akrab dengan Maya. Seperti siang itu saat mereka berdua berbincang santai di teras depan. "Kapan teh Anike datang?" tanya Maya basa-basi. "Kabarnya sih hari ini. Tadi dia meneleponku," jawab Marten. "Anda sampai kapan di sini?" tanya Maya lagi. "Mungkin sampai selesai resepsi. Kenapa?" Marten balik bertanya. Dia mengalihkan perhatian sepenuhnya pada Maya dan menatap paras cantik itu dengan sorot penuh kekaguman. "Tidak apa-apa." Maya menggeleng pelan seraya memalingkan muka. Dia sama sekali tak terbiasa beradu pandang dalam jarak yang sedekat itu. "Apa kamu mau ikut denganku?" tawar Marten tiba-tiba, membuat Maya langsung menoleh ke arahnya. "Ikut? Ke ... kemana?" tanya gadis lugu itu terbata. "Kita ke Jakarta dulu, setelah itu aku akan men
Tanpa memedulikan celotehan Abdul Manaf, Marten langsung berdiri dan meninggalkan pekerjaannya begitu saja. Pisau yang digunakan untuk membersihkan sisik ikan, Marten lemparkan ke atas tanah. "Hei, Nak Marten! Mau ke mana?" tanya Abdul Manaf keheranan. Tak hanya dirinya, bapak-bapak yang lain pun bingung melihat tingkah pria asli Jerman itu. "Ikannya masih banyak yang belum dibersihkan!" teriaknya. Akan tetapi, Marten tetap tak memedulikan panggilan itu. Fokus utamanya hanyalah Maya. Gadis itu terlihat sangat cantik dan segar dalam balutan daster merah. Wajahnya terlihat amat menawan meskipun tak berpoleskan make up sama sekali. "Hei! Ayo, bantu aku memutilasi ikan," ajak Marten sesaat setelah dirinya berhasil menyusul Maya dan mencekal lengannya. "Hah?" Maya langsung menoleh sambil mengernyitkan dahi. "Itu, membuang sisik ikan dan membelah perutnya," ujar Marten seraya mengarahkan telunjuknya pada Abdul Manaf bersama sekum
Kegiatan menguras kolam ikan berlangsung sampai jam delapan pagi. Mereka baru berhenti setelah semua ikan berhasil ditangkap. Kolam tersebut menyisakan lumpur hitam yang semburat tak beraturan, akibat perang lumpur yang sempat berlangsung. "Aku merasa badanku gatal-gatal," gerutu Marten yang lebih dulu melompat keluar dari kolam. "Nak Marten mau mandi?" tanya Saodah. "Itu sudah pasti. Aku tidak tahan baunya," jawab Marten sambil bersungut-sungut. "Kalau begitu, harus antri. Di sini emak yang berhak masuk ke kamar mandi lebih dulu!" ujar Abdul Manaf. "Kalian punya berapa kamar mandi?" Marten menautkan alisnya. "Satu." Abdul Manaf tersenyum lebar seraya menepuk pundak Marten. "Apa! Jadi, aku harus antri?" Marten menunjuk batang hidungnya yang mancung. "Kau urutan terakhir," sahut Carlen enteng. Dia melangkah santai melewati Marten sambil merangkul Anike. "Sialan!" umpat Marten. Dia sudah tak taha
Anike dan Carlen tengah berkencan di ruang tamu. Mereka berdua asyik bercengkerama. Tak jarang Carlen mencuri-curi ciuman dari sang istri. Sementara Anike membalasnya dengan cubitan mesra di pipi dan pinggang. Namun, kemesraan itu harus terjeda ketika Marten masuk ke dalam rumah sambil senyum-senyum sendiri. "Kenapa berhenti? Lanjutkan pacarannya. Anggap saja aku tak ada di sini," ucap Marten santai saat pasangan suami istri itu menatap heran ke arahnya. "Darimana, Marten? Perasaan tadi kau masuk ke dalam kamar?" tanya Carlen bingung. "Kau tidak perlu tahu." Marten mengedipkan sebelah mata, kemudian berlalu begitu saja menuju kamarnya, membuat Carlen dan Anike semakin bertanya-tanya. Dua sejoli itu saling pandang sebelum akhirnya memutuskan untuk kembali bermesraan. Tanpa terasa, waktu berjalan begitu cepat. Malam datang menjelang. Di kampung Anike, jam sembilan malam terasa seperti tengah malam. Warga lebih suka bergelung di balik selimut di kamar masing-masing. Seperti halnya Mar