Anike bergegas turun ke lantai bawah, lalu berusaha membuka pintu yang ternyata terkunci rapat. "Pintunya tidak bisa dibuka! Anda tunggu Pak Pandu saja sampai datang!" seru Anike dari dalam. Hal itu semakin memantik pikiran buruk dalam kepala Carlen. Ditambah dengan rasa cemburu yang sangat menggebu. "Bisa-bisanya kau berbuat seperti ini, Anike!" sentak Carlen nyaring, membuat Anike terhenyak, lalu mundur perlahan. "Kenapa anda marah-marah? Harusnya aku yang marah!" balas Anike tak kalah nyaring. Carlen begitu gemas mendengar perkataan Anike. Dia tak bisa menunggu lebih lama lagi sampai Pandu kembali. Tanpa berpikir panjang, Carlen langsung menendang pintu depan sekuat tenaga hingga engselnya jebol. Daun pintu berbahan kayu jati itupun terbuka lebar. Carlen sempat tertegun menatap Anike yang tak ditemuinya selama 30 jam, tetapi terasa bagaikan berhari-hari. Tak dapat dipungkiri bahwa dia sangat merindukan sang istri. "Aku kecewa padamu, Anike," gumam Carlen lirih. "Aku juga kecew
"Dan kau percaya?" tanya Carlen dengan sorot mata yang tampak begitu kecewa. "Rasanya sulit untuk tidak percaya kalau melihat foto seterang dan sejelas ini," jawab Anike lirih. "Kau bisa menanyakan pada semua orang yang tinggal di rumahku, tentang apa yang kulakukan selama kau menghilang. Kalau kau masih tidak percaya, periksa saja rekaman CCTV di seluruh kediamanku," tantang Carlen. "Lantas, darimana Diana mendapatkan foto-foto anda yang setengah telanjang itu?" cecar Anike. "Mana kutahu!" timpal Carlen. Sementara, Pandu hanya menjadi penonton atas pertikaian antara suami istri tersebut. Dia memandang Anike dan Carlen secara bergantian setiap kali mereka berbicara. "M-maaf," sela Pandu ragu-ragu. "Apa!" sahut Anike dan Carlen secara serempak, membuat Pandu sedikit terkejut. "Bagaimana kalau kita masuk dulu dan berdiskusi di dalam?" tawar Pandu sambil membuat gerakan tangan yang sama seperti saat dia memberi penjelasan pada Carlen tadi. "Tidak perlu diskusi. Anike akan pulang
Anike tak banyak bicara saat Carlen menggandeng dan membawanya masuk ke dalam kamar. Lemah lembut Carlen mendudukkan istrinya ke tepian ranjang. Dia lalu duduk di samping Anike, sambil melingkarkan tangan di pundak wanita yang telah berhasil menguasai hatinya itu. "Apa kau paham bahasa isyarat yang tadi disampaikan oleh Pandu?" tanya Carlen memulai pembicaraan. Anike menjawabnya dengan gelengan pelan. "Gerakan tangan membentuk huruf 'O' itu adalah sebagai tanda bahwa semua yang diucapkan oleh Pandu adalah kebalikannya," tutur Carlen. "Maksudnya?" Anike mulai tertarik. Dia menoleh pada Carlen dengan raut penuh tanda tanya. "Tadi Pandu mengatakan bahwa Marten mengantarkan dan melindungimu dengan sangat baik. Itu artinya, apa yang Marten lakukan sebenarnya adalah kebalikannya," jelas Carlen. "Iya, betul! Dia menyuruh orang tak dikenal untuk menculik saya saat hendak pulang, Tuan!" sahut Anike berapi-api. "Astaga." Carlen mengepalkan tangannya erat. "Tak kusangka bahwa dia akan b
Carlen berjalan terburu-buru ke ruang kerja. Namun, dia terheran-heran ketika sampai di sana. Pasalnya, ruangannya itu masih kosong. Pandu tak terlihat di sana. "Ke mana dia? Tak biasanya lambat," gumam Carlen. Dia hendak meraih ponsel untuk menghubungi Pandu. Akan tetapi segera Carlen urungkan ketika pintu ruang kerjanya terbuka perlahan. "Maaf, saya terlambat, Tuan," sapa Pandu sambil melangkah masuk. "Darimana saja kau?" tanya Carlen sambil merapikan rambutnya yang sedikit acak-acakan. Dia tak sempat membersihkan diri setelah selesai bercinta dengan Anike tadi. Sisa-sisa keringat juga masih menempel di keningnya. "Tuan Marten menghadang saya," jawab Pandu yang seketika membuat Carlen terkesiap. "Berani-beraninya dia," geram Carlen. "Ini tidak bisa dibiarkan, Pandu. Aku akan menemuinya sekarang!" Carlen menggebrak permukaan meja cukup kencang. "Saya kira dia pasti bersembunyi di apartemen, atau di tempat Bu Diana," jelas Pandu. "Diana?" Carlen mengernyitkan kening. "Saya memil
"Atas tuduhan apa kau akan menjebloskan kami ke dalam penjara!" seru Diana tak terima. "Banyak sekali. Salah satunya adalah berusaha mencelakaiku dan menculik istriku!" jawab Carlen tak kalah nyaring. "Kau tak memiliki bukti sama sekali." Marten terkekeh pelan, seolah mengejek sang kakak. "Aku masih mengingat jelas saat kau menembakku dengan sesuatu. Pelurumu menembus dada, lalu aku tak sadarkan diri sampai malam," ujar Carlen penuh penekanan. "Apa buktinya?" tantang Marten, membuat Carlen terdiam. "Ah, pasti kau sudah menghapus semua rekaman CCTV di tempat ini, kan?" terka Carlen kemudian. Dia tertawa pelan menyadari bahwa sang adik berhasil mengalahkannya beberapa langkah. "Seharusnya waktu itu aku langsung melakukan visum." "Kenapa tidak kau lakukan?" cibir Marten. "Karena aku masih menyimpan kepercayaan padamu. Kau adalah adik kandungku, Marten. Sejahat apapun dirimu," sahut Carlen dengan sorot sendu. "Omong kosong. Kau tak pernah peduli padaku," elak Marten. Raut wajahnya
Gerbang mewah kediaman Carlen terbuka pelan saat mobil yang ditumpanginya masuk dan melaju pelan sampai berhenti di depan halaman bangunan utama yang luas.Carlen turun lebih dulu, lalu berjalan cepat memasuki rumah, diikuti oleh Marten. Dia berkeliling ke setiap ruangan untuk mencari keberadaan Anike."Kenapa aku merasa rumahmu menjadi jauh lebih ramai?" celetuk Marten keheranan."Aku sudah mempekerjakan asisten rumah tangga setiap hari," ujar Carlen."Tumben? Kau tidak merasa terganggu dengan kegaduhan lagi?" Marten yang berjalan di samping Carlen, menatap kakaknya dengan takjub."Aku bosan suasana sepi," sahut Carlen sambil terus mencari keberadaan Anike. "Di mana dia?" gerutunya."Mungkin di dapur," cetus Marten."Betul juga." Carlen mengikuti saran Marten. Dia langsung berbelok ke arah dapur. Benar dugaan sang adik, Anike ternyata tengah asyik memasak bersama beberapa asisten rumah tangga. Sesekali dirinya tertawa renyah mendengar candaan teman-teman barunya itu.Akan tetapi, taw
Carlen tertawa lebar saat dia tiba lebih dulu di gedung apartemen Marten. Setelah memarkirkan mobilnya di area parkir basement, Carlen bergegas menuju lobi. Dia menghampiri seorang penjaga gedung sambil memasang wajah garang. "Beri aku akses ke apartemen Marten Meier," titah Carlen setengah membentak. "Ah, anda lagi." Penjaga gedung itu setengah mengeluh. "Kenapa memangnya? Cepat berikan padaku!" sentak Carlen. Dia makin panik tatkala mendengar suara Marten yang berteriak seraya mendekat ke arahnya. "Apa kau mau kutuntut, hah!" Carlen meraih krah kemeja si penjaga gedung dan menariknya kencang. "Cepat berikan akses ke apartemen adikku, atau kau akan kulaporkan ke polisi atas tuduhan melindungi kejahatan!" ancamnya, membuat si penjaga gedung ketakutan. Pria muda itu buru-buru mengeluarkan kartu akses, lalu menempelkannya pada mesin pemindai di sisi pintu lift. "Keputusan yang bagus!" Carlen menepuk pundak penjaga gedung itu sebelum masuk ke dalam lift. Saat pintu sudah hampir tertut
"Halo!" Sesosok wanita cantik jelita berambut pirang, berjalan gemulai mendekat ke arah Carlen. Dia berdiri penuh percaya diri di antara Carlen dan Anike. Tanpa sungkan, Bertha mencium pipi kiri dan kanan pria tampan itu tanpa memedulikan tatapan Anike yang menakutkan."Dia, kan ...." Anike menjeda kata-katanya sambil menggali memori saat dirinya masih berada di Jerman. "Dia yang datang ke kantor anda waktu itu," lanjutnya seraya menoleh pada Marten yang tersenyum penuh arti."Iya, namanya Bertha. Dia salah satu kekasih suamimu," ujar Marten.Seketika Anike melotot. Dia menggeleng seolah tak percaya pada apa yang baru saja dikatakan oleh Marten. "Tanyakan saja pada Carlen," ucap Marten enteng.Dengan dada bergemuruh, Anike berdiri dan menarik bagian belakang dress Bertha supaya mundur. "Tidak sopan sekali. Cium-cium suami orang di depan istrinya," geramnya. "Oh, bukankah kau kekasih Marten?" Bertha mengarahkan telunjuk lentiknya pada Anike. "Jangan mengada-ada, ya. Aku adalah istri
"Anike!" seru Carlen seraya melemparkan pistol yang berhasil dia rebut dari Diana, ke arah Marten. Marten sigap menangkap pistol tersebut dan menyembunyikannya di balik pinggang. Sementara Maya berteriak histeris melihat Anike yang terkulai. Dia menghambur bersamaan dengan Carlen yang mengangkat tubuh istrinya. Diana sendiri hanya bisa berdiri terpaku. Tubuhnya membeku melihat Anike yang bersimbah darah. "Awasi Diana! Aku akan membawa Anike ke rumah sakit!" titah Carlen yang tak memedulikan apapun lagi. Dia membopong sang istri yang tak sadarkan diri menuju mobil mewah yang masih terparkir di halaman."Ya, Tuhan! Ada apa ini, Tuan?" Yanto berlari tergopoh-gopoh mendekati majikannya. "Siapkan mobil! Antarkan aku ke rumah sakit!" seru Carlen. Tanpa membuang waktu, Yanto segera membukakan pintu mobil dan membantu membaringkan Anike di jok belakang. Dia meletakkan kepala Anike di pangkuan Carlen. Setelah memastikan bahwa Carlen dan Anike berada pada posisi nyaman, Yanto bergegas duduk
"Kenapa, Tuan?" tanya Anike curiga. Diperhatikannya wajah tampan sang suami yang seolah tengah menyembunyikan sesuatu. "Kita harus pulang sekarang," ucap Carlen tanpa menjawab pertanyaan Anike. "Kamu juga Maya. Kemasi barang-barangmu sekarang juga. Kita akan kembali ke Jakarta sekarang sebelum bertolak ke Jerman," ajak Marten. Anike dan Maya tak membantah sama sekali. Setelah memberi pengertian pada Saodah dan Abdul Manaf, serta berpamitan pada para tamu, dua pasang mempelai itu bergegas meninggalkan gedung resepsi. Carlen dan Anike kembali ke rumah Abdul Manaf, sedangkan Marten membantu Maya bersiap-siap. Satu jam kemudian, sopir pribadi Carlen datang menjemput. Mereka masuk ke dalam mobil dengan tergesa-gesa, membuat Anike semakin was-was. "Sebenarnya ada apa ini, Tuan?" desaknya. Carlen yang duduk di samping Anike, hanya bisa menarik napas panjang. Butuh waktu lama baginya untuk menjawab pertanyaan sang istri. "Ini tentang Diana," ucap Carlen pada akhirnya. "Kenapa lagi dia?"
Maya ragu-ragu menatap Marten. Pria di hadapannya itu sungguh bersikap di luar dugaan. Pertemuan mereka yang singkat sama sekali tak membuat Marten ragu untuk melamar Maya. "Apa anda yakin, Tuan?" tanyanya hati-hati. "Seratus persen!" jawab Marten tegas. "Meskipun kita baru saja bertemu dan berkenalan?" tanya Maya lagi, sekadar untuk memastikan. "Aku bukan pria plin-plan. Sekali 'iya', maka selamanya akan tetap seperti itu. Aku ingin menikahi dan membawamu pergi," jelas Marten. "Nanti kalau anda tidak cocok dengan sifat dan kebiasaanku, bagaimana? Saya orangnya suka ngambekan," ungkap Maya. "Suka kentut juga," sahut Tatang. "Makannya banyak!" Engkos Kusnandar juga tak mau kalah. "Itu semua adalah resiko yang harus kuterima dengan lapang dada," ucap Marten. "Aku sudah mempunyai modal awal, yaitu perasaan jatuh cinta padamu. Seharusnya rasa itu saja sudah cukup untuk mengatasi semua hal-hal tak menyenangkan yang mungkin muncul di masa yang akan datang," lanjutnya. "Tuan ...." Ma
"Aku pergi dulu," ucap Marten. Dia tak memedulikan tugasnya sebagai pendamping Carlen di pelaminan. Marten malah berlari turun mengejar Maya. "Hei, sedang apa?" sapanya pada gadis cantik itu.Maya sedikit terkejut dan langsung menoleh. "Eh, Tuan," jawabnya balas menyapa. "Sedang membantu menghidangkan makanan untuk para tamu."Buat apa? Sudah ada wedding organizer yang mengurus segalanya. Ikut aku saja," ajak Marten. Dia menggandeng Maya keluar dari gedung, menuju ke taman belakang. "Mau apa ke sini, Tuan?" tanya Maya keheranan."Tidak ada. Hanya ingin mengobrol saja. Di dalam terlalu banyak orang. Selain itu, aku tak suka dipajang seperti patung," gerutu Marten."Itu namanya bukan dipajang, Tuan. Anda itu mewakili keluarga Tuan Carlen,' tutur Maya."Ah, ribet sekali. Aku tidak suka. Seharusnya cukup dua orang itu saling mencintai. Kalaupun menikah, tidak perlu mengundang banyak orang seperti ini. Merepotkan saja." Marten terus mengungkapkan rasa kesalnya."Nanti kalau anda menikah,
"Berikan aku alamatnya!" desak Diana. "Maaf, saya sendiri juga tidak tahu," jawab Yanto. "Jangan bohong kamu, ya!" Diana nekat maju, mendekati Yanto. Tanpa ragu, dia menarik krah seragam satpam yang Yanto kenakan. "Cepat berikan alamat mertua Carlen! Atau aku akan ...." "Ada ribut-ribut apa ini?" tanya seseorang, memotong kalimat Diana begitu saja. Wanita itu segera melepaskan cengkeramannya dari Yanto dan menoleh ke arah suara. "Oh, Pak Pandu rupanya." Diana tersenyum sinis. "Silakan anda pergi dari sini kalau tidak ingin saya panggilkan polisi," ancam Pandu dengan raut datar. "Anda tidak bisa memaksa saya!" Diana malah mengangkat dagu, seolah menantang Pandu. "Anda sudah cukup banyak membuat masalah, Bu Diana. Mulai dari menjebak Tuan Carlen, melukai, menipu serta terlibat dalam penculikan terhadap Nyonya Anike. Jika Tuan Carlen berkenan memproses kasus ini ke jalur hukum, maka saya dapat memastikan bahwa anda akan mendekam lama di penjara. Apalagi koneksi Tuan Carlen terhada
Beberapa hari telah berlalu, kini Marten telah terbiasa melakukan segala pekerjaan rumah tangga. Mulai dari menyapu, mengepel dan mencuci piring. Dia bahkan bisa mencuci bajunya sendiri dengan cara manual. Selama waktu itu, dia juga semakin akrab dengan Maya. Seperti siang itu saat mereka berdua berbincang santai di teras depan. "Kapan teh Anike datang?" tanya Maya basa-basi. "Kabarnya sih hari ini. Tadi dia meneleponku," jawab Marten. "Anda sampai kapan di sini?" tanya Maya lagi. "Mungkin sampai selesai resepsi. Kenapa?" Marten balik bertanya. Dia mengalihkan perhatian sepenuhnya pada Maya dan menatap paras cantik itu dengan sorot penuh kekaguman. "Tidak apa-apa." Maya menggeleng pelan seraya memalingkan muka. Dia sama sekali tak terbiasa beradu pandang dalam jarak yang sedekat itu. "Apa kamu mau ikut denganku?" tawar Marten tiba-tiba, membuat Maya langsung menoleh ke arahnya. "Ikut? Ke ... kemana?" tanya gadis lugu itu terbata. "Kita ke Jakarta dulu, setelah itu aku akan men
Tanpa memedulikan celotehan Abdul Manaf, Marten langsung berdiri dan meninggalkan pekerjaannya begitu saja. Pisau yang digunakan untuk membersihkan sisik ikan, Marten lemparkan ke atas tanah. "Hei, Nak Marten! Mau ke mana?" tanya Abdul Manaf keheranan. Tak hanya dirinya, bapak-bapak yang lain pun bingung melihat tingkah pria asli Jerman itu. "Ikannya masih banyak yang belum dibersihkan!" teriaknya. Akan tetapi, Marten tetap tak memedulikan panggilan itu. Fokus utamanya hanyalah Maya. Gadis itu terlihat sangat cantik dan segar dalam balutan daster merah. Wajahnya terlihat amat menawan meskipun tak berpoleskan make up sama sekali. "Hei! Ayo, bantu aku memutilasi ikan," ajak Marten sesaat setelah dirinya berhasil menyusul Maya dan mencekal lengannya. "Hah?" Maya langsung menoleh sambil mengernyitkan dahi. "Itu, membuang sisik ikan dan membelah perutnya," ujar Marten seraya mengarahkan telunjuknya pada Abdul Manaf bersama sekum
Kegiatan menguras kolam ikan berlangsung sampai jam delapan pagi. Mereka baru berhenti setelah semua ikan berhasil ditangkap. Kolam tersebut menyisakan lumpur hitam yang semburat tak beraturan, akibat perang lumpur yang sempat berlangsung. "Aku merasa badanku gatal-gatal," gerutu Marten yang lebih dulu melompat keluar dari kolam. "Nak Marten mau mandi?" tanya Saodah. "Itu sudah pasti. Aku tidak tahan baunya," jawab Marten sambil bersungut-sungut. "Kalau begitu, harus antri. Di sini emak yang berhak masuk ke kamar mandi lebih dulu!" ujar Abdul Manaf. "Kalian punya berapa kamar mandi?" Marten menautkan alisnya. "Satu." Abdul Manaf tersenyum lebar seraya menepuk pundak Marten. "Apa! Jadi, aku harus antri?" Marten menunjuk batang hidungnya yang mancung. "Kau urutan terakhir," sahut Carlen enteng. Dia melangkah santai melewati Marten sambil merangkul Anike. "Sialan!" umpat Marten. Dia sudah tak taha
Anike dan Carlen tengah berkencan di ruang tamu. Mereka berdua asyik bercengkerama. Tak jarang Carlen mencuri-curi ciuman dari sang istri. Sementara Anike membalasnya dengan cubitan mesra di pipi dan pinggang. Namun, kemesraan itu harus terjeda ketika Marten masuk ke dalam rumah sambil senyum-senyum sendiri. "Kenapa berhenti? Lanjutkan pacarannya. Anggap saja aku tak ada di sini," ucap Marten santai saat pasangan suami istri itu menatap heran ke arahnya. "Darimana, Marten? Perasaan tadi kau masuk ke dalam kamar?" tanya Carlen bingung. "Kau tidak perlu tahu." Marten mengedipkan sebelah mata, kemudian berlalu begitu saja menuju kamarnya, membuat Carlen dan Anike semakin bertanya-tanya. Dua sejoli itu saling pandang sebelum akhirnya memutuskan untuk kembali bermesraan. Tanpa terasa, waktu berjalan begitu cepat. Malam datang menjelang. Di kampung Anike, jam sembilan malam terasa seperti tengah malam. Warga lebih suka bergelung di balik selimut di kamar masing-masing. Seperti halnya Mar