"Sudahlah, aku pergi dulu," ucap Carlen seraya berbalik meninggalkan Anike yang keheranan. Setengah berlari dia mengejar Diana yang sepertinya kesulitan menyalakan mesin kendaraan.Dengan gayanya yang kalem, Carlen mengetuk kaca jendela mobil. Mau tak mau, Diana membukanya sambil tetap memasang wajah cemberut. "Kenapa mobilnya?" tanya Carlen."Rewel!" jawab Diana ketus. "Sama seperti kamu, menyebalkan!" Carlen terkekeh pelan sebelum berjalan memutari sedan hitam milik Diana. Dia lalu membuat gerakan isyarat agar sang kekasih membuka pintu mobilnya.Lagi-lagi Diana menurut. Dia membiarkan Carlen memeriksa kendaraannya. Berkat tangan ajaibnya, dalam sekali percobaan, mobil Diana langsung menyala. "Ayo, kuantar. Sekalian berangkat ke kantor," ajak Carlen. Diam-diam dia mengamati wajah cantik sang kekasih yang tak berseri sama sekali. "Nanti malam menginap saja di tempatku," tawar Carlen, berusaha memadamkan api amarah dalam dada Diana. Dengan wajah ditekuk, Diana menoleh pada Carlen
"Anike, tolong aku ...." Setengah sadar, Anike mendengar suara seseorang meminta tolong. Namun, dia tetap memejamkan mata dan melanjutkan tidur. "Anike, perutku sakit sekali." Kali ini suara itu berada sangat dekat di telinganya, membuat Anike langsung mengerjap dan menoleh. "Aaah!" Dia menjerit sekencang-kencangnya saat sebuah tangan menyentuh pundaknya. "Ssst! Jangan berisik. Nanti Yanto mengira ada maling!" bisik suara itu. Anike akhirnya tersadar. Dia memicingkan mata seraya mendekatkan diri pada sosok yang kini duduk di tepi ranjang dan menghadap padanya. "Tuan Carlen?" tanya Anike ragu. "Ya, ini aku. Perutku kembung, aku tidak bisa tidur," ungkap Carlen. "Ya, ampun. Anda ini." Anike menggeleng pelan sembari menyibakkan selimutnya. "Terus kenapa anda malah kemari? Kan sudah ada Diana yang merawat dan menjaga anda dengan penuh kasih sayang," sindirnya. "Aku ingin kau yang merawatku. Aku tak mau yang
"Ih, bapak ini bicara apa, sih?" Anike tersipu malu. "Serius, Neng. Meskipun Tuan Carlen suka marah-marah, tapi hatinya baik. Kalau dia sudah cocok dengan satu orang, maka dia akan memberikan segalanya pada orang itu. Oleh karena itulah, waktu Tuan Carlen putus dengan Bu Diana, Tuan Carlen mengalami patah hati berat. Akhirnya, dia melampiaskan rasa sakit itu dengan berganti-ganti pasangan," jelas Joni panjang lebar. "Saya tahu banyak, karena saya yang bertugas mencarikan wanita untuk Tuan," lanjutnya lagi. "Jadi ... bapak dan Pak Yanto ...." "Pokoknya saya hanya menyediakan wanita untuk Tuan Carlen. Selebihnya, saya tak tahu menahu. Itu semua menjadi urusan Pak Pandu," sela Joni sebelum Anike menyelesaikan kalimatnya. "Tapi ... sudah satu tahun belakangan, Tuan Carlen tidak terlihat dekat dengan wanita manapun. Dia juga tidak meminta untuk dicarikan pasangan, sampai Neng Anike datang ke rumah ini," papar Joni. "Bapak tahu kalau saya ...." Anike tak kuasa melanjutkan kata-katanya.
"Sejak pulang dari Jerman, Anike belum sempat bertemu keluarganya. Aku kemari untuk mengantarkan dia," jelas Carlen."Terus terang saja, ya! Kamu tidak diterima di sini! Tolong, ceraikan anakku secepatnya! Kembalikan Anike pada kami!" sentak Abdul Manaf menggebu-gebu. Tak lama kemudian, Jajang dan beberapa orang tetangga turut masuk dan berdiri di belakang Abdul Manaf. "Ada apa, Bah? Apa bule gila ini membuat keributan?" tanya Jajang sambil mengepalkan tangannya dan bergaya bak seorang petinju yang hendak menyerang musuh."Pokoknya aku tidak setuju Anike punya suami seperti orang ini!" tunjuk Abdul Manaf tepat ke muka Carlen."Suruh cerai saja, Bah! Jajang siap menampung dan menafkahi lahir batin! Nanti sawah yang di samping sungai itu aku berikan pada Abah semuanya. Asal Jajang bisa memiliki Neng Anike," cerocos Jajang berapi-api."Tuan, bagaimana ini?" Anike semakin mengeratkan pegangannya di lengan Carlen. Sesekali, dia melirik ke wajah tampan yang tetap terlihat tenang dan kalem
"Anike punya suami bule." Para tetangga yang masih berkumpul di teras rumah saling berbisik, membuat Jajang semakin panas. Dia merasa dipecundangi berkali-kali hari itu. Dengan amarah yang memenuhi dada, Jajang berniat pergi dari sana. Langkahnya dibuat segagah mungkin saat melintasi halaman depan. Ditendangnya sebuah batu besar yang berada di ujung halaman demi meluapkan emosi. Namun, ternyata batu itu terlalu kokoh dan berat untuk kaki Jajang yang kurus. "Aduh!" pekik Jajang kesakitan sambil memegangi jempol kakinya. Pria itu tak jadi berjalan gagah, karena dia harus terpincang-pincang menahan sakit. Hal yang berbeda tengah berlangsung di dalam rumah. Saodah dan Abdul Manaf menjamu Carlen dengan sebaik-baiknya. Mereka memperlakukan Carlen seperti seorang raja, terlebih Abdul Manaf. Kedua orang tua Anike itu begitu mudahnya takluk oleh kharisma serta wibawa yang Carlen tunjukkan. Akan tetapi, Tiara tak ingin terkecoh. Dia terus mengamati Carlen dengan sorot penuh selidik. "Apa tu
Dua anak manusia itu saling berpelukan di atas ranjang yang mungil. Tak ada satupun dari mereka yang bisa terpejam. Masing-masing hanya saling terdiam, merasakan debaran jantung yang seolah berlomba. Terlebih Anike yang harus menarik napas panjang berkali-kali demi menahan gejolak dalam dadanya. Deru napas Carlen yang lembut dan hangat, menerpa pucuk kepalanya. Ingin sekali Anike mengungkapkan semua yang dia rasakan saat itu. Namun, baru saja dia hendak membuka mulut, lagi-lagi dering telepon mengganggu keheningan itu. "Apa anda tidak ingin mengangkat teleponnya?" tanya Anike setelah beberapa saat lamanya ponsel tersebut berbunyi, dan Carlen masih tetap bergeming. "Biar saja, itu pasti dari Diana," jawab Carlen enteng. "Kalau anda tidak menerimanya, Bu Diana pasti akan menelepon sampai pagi," sungut Anike. "Ck, baiklah." Dengan malas, Carlen bangkit dan meraih ponsel yang tergeletak di meja kecil samping ranjang. Benar dugaannya, Diana lah yang gigih menghubunginya sejak tadi. "K
"Istri?" desis Diana. Seluruh tubuhnya gemetar saat mendengar kata-kata yang keluar dari mulut Carlen. "Kamu tidak sedang bercanda, kan?" "Aku serius. Anike bukan sekadar asisten. Dia adalah istriku," ujar Carlen seraya merengkuh Anike dan merangkul pundaknya erat. "Carlen ...." Wajah cantik Diana berubah merah padam. Tangannya terkepal erat dengan rahang mengeras. "Kenapa?" desisnya. "Maafkan aku, tapi inilah kenyataannya. Aku sudah menikah dengan Anike, sebelum kita dipertemukan kembali beberapa minggu yang lalu. Jujur saja, hubungan kami selama ini tak mulus. Banyak sekali kesalahpahaman yang terjadi," beber Carlen sembari meremas bahu Anike. "Aku sempat berpisah dengan dia." Carlen menoleh dan menatap Anike dengan sorot penuh arti. "Kuakui, aku merasa sangat kacau saat jauh dari istriku. Saat itulah, kau datang dan meminta bantuanku. Lalu, tiba-tiba muncul sebuah ide di kepalaku ...." "Kamu hanya memanfaatkanku sebagai pelampiasan?" terka Diana memotong kalimat Carlen begitu s
Usianya boleh kepala empat. Namun, nyatanya fisik dan kekuatan Carlen tak ada bedanya dengan pemuda di awal dua puluhan."Tuan ...." Entah yang keberapa kali Anike merintih. Dia tak berdaya di antara kungkungan lengan kekar Carlen yang terus memacu diri.Carlen seolah tak puas dengan permainan panas di dalam shower box. Dia malah meminta untuk melanjutkan percintaan mereka di tempat yang berbeda.Sudah lewat setengah jam sejak Carlen mendudukkan Anike di tepian meja wastafel. Akan tetapi, tak ada tanda-tanda bahwa pria itu akan segera menghentikan aksinya.Carlen malah mendekap erat tubuh molek Anike yang rapat melingkarkan tangan di lehernya. Gairahnya semakin terbakar tatkala sang istri menyesap lehernya."Kau makin pintar," bisik Carlen di antara napas yang memburu."Tuan, aku ....""Tahan, Anike," potong Carlen, bersamaan dengan dirinya yang mencapai puncak nirwana.Dia dapat merasakan tubuh Anik
"Anike!" seru Carlen seraya melemparkan pistol yang berhasil dia rebut dari Diana, ke arah Marten. Marten sigap menangkap pistol tersebut dan menyembunyikannya di balik pinggang. Sementara Maya berteriak histeris melihat Anike yang terkulai. Dia menghambur bersamaan dengan Carlen yang mengangkat tubuh istrinya. Diana sendiri hanya bisa berdiri terpaku. Tubuhnya membeku melihat Anike yang bersimbah darah. "Awasi Diana! Aku akan membawa Anike ke rumah sakit!" titah Carlen yang tak memedulikan apapun lagi. Dia membopong sang istri yang tak sadarkan diri menuju mobil mewah yang masih terparkir di halaman."Ya, Tuhan! Ada apa ini, Tuan?" Yanto berlari tergopoh-gopoh mendekati majikannya. "Siapkan mobil! Antarkan aku ke rumah sakit!" seru Carlen. Tanpa membuang waktu, Yanto segera membukakan pintu mobil dan membantu membaringkan Anike di jok belakang. Dia meletakkan kepala Anike di pangkuan Carlen. Setelah memastikan bahwa Carlen dan Anike berada pada posisi nyaman, Yanto bergegas duduk
"Kenapa, Tuan?" tanya Anike curiga. Diperhatikannya wajah tampan sang suami yang seolah tengah menyembunyikan sesuatu. "Kita harus pulang sekarang," ucap Carlen tanpa menjawab pertanyaan Anike. "Kamu juga Maya. Kemasi barang-barangmu sekarang juga. Kita akan kembali ke Jakarta sekarang sebelum bertolak ke Jerman," ajak Marten. Anike dan Maya tak membantah sama sekali. Setelah memberi pengertian pada Saodah dan Abdul Manaf, serta berpamitan pada para tamu, dua pasang mempelai itu bergegas meninggalkan gedung resepsi. Carlen dan Anike kembali ke rumah Abdul Manaf, sedangkan Marten membantu Maya bersiap-siap. Satu jam kemudian, sopir pribadi Carlen datang menjemput. Mereka masuk ke dalam mobil dengan tergesa-gesa, membuat Anike semakin was-was. "Sebenarnya ada apa ini, Tuan?" desaknya. Carlen yang duduk di samping Anike, hanya bisa menarik napas panjang. Butuh waktu lama baginya untuk menjawab pertanyaan sang istri. "Ini tentang Diana," ucap Carlen pada akhirnya. "Kenapa lagi dia?"
Maya ragu-ragu menatap Marten. Pria di hadapannya itu sungguh bersikap di luar dugaan. Pertemuan mereka yang singkat sama sekali tak membuat Marten ragu untuk melamar Maya. "Apa anda yakin, Tuan?" tanyanya hati-hati. "Seratus persen!" jawab Marten tegas. "Meskipun kita baru saja bertemu dan berkenalan?" tanya Maya lagi, sekadar untuk memastikan. "Aku bukan pria plin-plan. Sekali 'iya', maka selamanya akan tetap seperti itu. Aku ingin menikahi dan membawamu pergi," jelas Marten. "Nanti kalau anda tidak cocok dengan sifat dan kebiasaanku, bagaimana? Saya orangnya suka ngambekan," ungkap Maya. "Suka kentut juga," sahut Tatang. "Makannya banyak!" Engkos Kusnandar juga tak mau kalah. "Itu semua adalah resiko yang harus kuterima dengan lapang dada," ucap Marten. "Aku sudah mempunyai modal awal, yaitu perasaan jatuh cinta padamu. Seharusnya rasa itu saja sudah cukup untuk mengatasi semua hal-hal tak menyenangkan yang mungkin muncul di masa yang akan datang," lanjutnya. "Tuan ...." Ma
"Aku pergi dulu," ucap Marten. Dia tak memedulikan tugasnya sebagai pendamping Carlen di pelaminan. Marten malah berlari turun mengejar Maya. "Hei, sedang apa?" sapanya pada gadis cantik itu.Maya sedikit terkejut dan langsung menoleh. "Eh, Tuan," jawabnya balas menyapa. "Sedang membantu menghidangkan makanan untuk para tamu."Buat apa? Sudah ada wedding organizer yang mengurus segalanya. Ikut aku saja," ajak Marten. Dia menggandeng Maya keluar dari gedung, menuju ke taman belakang. "Mau apa ke sini, Tuan?" tanya Maya keheranan."Tidak ada. Hanya ingin mengobrol saja. Di dalam terlalu banyak orang. Selain itu, aku tak suka dipajang seperti patung," gerutu Marten."Itu namanya bukan dipajang, Tuan. Anda itu mewakili keluarga Tuan Carlen,' tutur Maya."Ah, ribet sekali. Aku tidak suka. Seharusnya cukup dua orang itu saling mencintai. Kalaupun menikah, tidak perlu mengundang banyak orang seperti ini. Merepotkan saja." Marten terus mengungkapkan rasa kesalnya."Nanti kalau anda menikah,
"Berikan aku alamatnya!" desak Diana. "Maaf, saya sendiri juga tidak tahu," jawab Yanto. "Jangan bohong kamu, ya!" Diana nekat maju, mendekati Yanto. Tanpa ragu, dia menarik krah seragam satpam yang Yanto kenakan. "Cepat berikan alamat mertua Carlen! Atau aku akan ...." "Ada ribut-ribut apa ini?" tanya seseorang, memotong kalimat Diana begitu saja. Wanita itu segera melepaskan cengkeramannya dari Yanto dan menoleh ke arah suara. "Oh, Pak Pandu rupanya." Diana tersenyum sinis. "Silakan anda pergi dari sini kalau tidak ingin saya panggilkan polisi," ancam Pandu dengan raut datar. "Anda tidak bisa memaksa saya!" Diana malah mengangkat dagu, seolah menantang Pandu. "Anda sudah cukup banyak membuat masalah, Bu Diana. Mulai dari menjebak Tuan Carlen, melukai, menipu serta terlibat dalam penculikan terhadap Nyonya Anike. Jika Tuan Carlen berkenan memproses kasus ini ke jalur hukum, maka saya dapat memastikan bahwa anda akan mendekam lama di penjara. Apalagi koneksi Tuan Carlen terhada
Beberapa hari telah berlalu, kini Marten telah terbiasa melakukan segala pekerjaan rumah tangga. Mulai dari menyapu, mengepel dan mencuci piring. Dia bahkan bisa mencuci bajunya sendiri dengan cara manual. Selama waktu itu, dia juga semakin akrab dengan Maya. Seperti siang itu saat mereka berdua berbincang santai di teras depan. "Kapan teh Anike datang?" tanya Maya basa-basi. "Kabarnya sih hari ini. Tadi dia meneleponku," jawab Marten. "Anda sampai kapan di sini?" tanya Maya lagi. "Mungkin sampai selesai resepsi. Kenapa?" Marten balik bertanya. Dia mengalihkan perhatian sepenuhnya pada Maya dan menatap paras cantik itu dengan sorot penuh kekaguman. "Tidak apa-apa." Maya menggeleng pelan seraya memalingkan muka. Dia sama sekali tak terbiasa beradu pandang dalam jarak yang sedekat itu. "Apa kamu mau ikut denganku?" tawar Marten tiba-tiba, membuat Maya langsung menoleh ke arahnya. "Ikut? Ke ... kemana?" tanya gadis lugu itu terbata. "Kita ke Jakarta dulu, setelah itu aku akan men
Tanpa memedulikan celotehan Abdul Manaf, Marten langsung berdiri dan meninggalkan pekerjaannya begitu saja. Pisau yang digunakan untuk membersihkan sisik ikan, Marten lemparkan ke atas tanah. "Hei, Nak Marten! Mau ke mana?" tanya Abdul Manaf keheranan. Tak hanya dirinya, bapak-bapak yang lain pun bingung melihat tingkah pria asli Jerman itu. "Ikannya masih banyak yang belum dibersihkan!" teriaknya. Akan tetapi, Marten tetap tak memedulikan panggilan itu. Fokus utamanya hanyalah Maya. Gadis itu terlihat sangat cantik dan segar dalam balutan daster merah. Wajahnya terlihat amat menawan meskipun tak berpoleskan make up sama sekali. "Hei! Ayo, bantu aku memutilasi ikan," ajak Marten sesaat setelah dirinya berhasil menyusul Maya dan mencekal lengannya. "Hah?" Maya langsung menoleh sambil mengernyitkan dahi. "Itu, membuang sisik ikan dan membelah perutnya," ujar Marten seraya mengarahkan telunjuknya pada Abdul Manaf bersama sekum
Kegiatan menguras kolam ikan berlangsung sampai jam delapan pagi. Mereka baru berhenti setelah semua ikan berhasil ditangkap. Kolam tersebut menyisakan lumpur hitam yang semburat tak beraturan, akibat perang lumpur yang sempat berlangsung. "Aku merasa badanku gatal-gatal," gerutu Marten yang lebih dulu melompat keluar dari kolam. "Nak Marten mau mandi?" tanya Saodah. "Itu sudah pasti. Aku tidak tahan baunya," jawab Marten sambil bersungut-sungut. "Kalau begitu, harus antri. Di sini emak yang berhak masuk ke kamar mandi lebih dulu!" ujar Abdul Manaf. "Kalian punya berapa kamar mandi?" Marten menautkan alisnya. "Satu." Abdul Manaf tersenyum lebar seraya menepuk pundak Marten. "Apa! Jadi, aku harus antri?" Marten menunjuk batang hidungnya yang mancung. "Kau urutan terakhir," sahut Carlen enteng. Dia melangkah santai melewati Marten sambil merangkul Anike. "Sialan!" umpat Marten. Dia sudah tak taha
Anike dan Carlen tengah berkencan di ruang tamu. Mereka berdua asyik bercengkerama. Tak jarang Carlen mencuri-curi ciuman dari sang istri. Sementara Anike membalasnya dengan cubitan mesra di pipi dan pinggang. Namun, kemesraan itu harus terjeda ketika Marten masuk ke dalam rumah sambil senyum-senyum sendiri. "Kenapa berhenti? Lanjutkan pacarannya. Anggap saja aku tak ada di sini," ucap Marten santai saat pasangan suami istri itu menatap heran ke arahnya. "Darimana, Marten? Perasaan tadi kau masuk ke dalam kamar?" tanya Carlen bingung. "Kau tidak perlu tahu." Marten mengedipkan sebelah mata, kemudian berlalu begitu saja menuju kamarnya, membuat Carlen dan Anike semakin bertanya-tanya. Dua sejoli itu saling pandang sebelum akhirnya memutuskan untuk kembali bermesraan. Tanpa terasa, waktu berjalan begitu cepat. Malam datang menjelang. Di kampung Anike, jam sembilan malam terasa seperti tengah malam. Warga lebih suka bergelung di balik selimut di kamar masing-masing. Seperti halnya Mar