Rose berdiri di depan cermin, memastikan gaun sederhananya tampak rapi sebelum berbalik ke arah suaminya. Di sisi lain kamar, Robert tengah mengenakan jasnya dengan teliti. "Kau sudah siap?" tanya Rose sambil tersenyum ke arah Robert. Robert mengangguk, lalu mendekati istrinya. "Tentu saja. Hari ini kita akan menemui Sophia. Aku masih tidak percaya anak kita akan menjadi seorang ibu." Rose tertawa kecil, matanya berbinar penuh kebahagiaan. "Aku juga. Aku selalu berharap dia akan memiliki keluarga yang bahagia. Sekarang, dengan kabar ini, setidaknya ada harapan baru untuknya." Robert menarik napas panjang. "Aku hanya ingin memastikan dia baik-baik saja. Aku tahu pernikahannya dengan David tidak mudah, dan aku tidak ingin dia merasa sendirian di saat seperti ini." "Sophia kuat, Robert. Tapi sebagai orang tuanya, kita tetap harus berada di sampingnya, selalu mendukungnya." Robert mengangguk setuju. "Kau benar. Lagipula, kita akan segera menjadi kakek dan nenek. Itu sesuatu yang ha
Tangan yang sedari tadi bertumpu di pangkuan mengepal erat. Sophia menundukkan kepala sedikit, membiarkan helaian rambutnya menutupi wajah. Dadanya terasa sesak, tapi ia menelan semuanya, berpura-pura kuat. Di seberangnya, Daniel tetap menatap lurus ke depan, seolah kata-katanya barusan bukan sesuatu yang mengejutkan. Sementara itu, Laura yang duduk di sampingnya terlihat sangat bahagia. Mata wanita itu berbinar, bibirnya membentuk senyuman manis yang sulit diabaikan. "Apa yang kamu katakan itu benar, Daniel?” tanya William, seraya melihat ke arah Daniel. Ia masih sulit mempercayai apa yang baru saja keluar dari mulut putranya. Beberapa hari yang lalu, ia sendiri yang bertanya pada Daniel apakah anaknya itu masih mencintai Laura. Saat itu, jawaban Daniel jelas—tidak. Ia sudah melupakan gadis itu. Namun sekarang? Daniel justru mengatakan hal sebaliknya. William menatap putranya dengan tajam. Apa yang sebenarnya ada di pikiran, Daniel? Semantara lelaki yang ditatapnya itu tet
Malam ini, Daniel duduk sendirian di kamarnya. Di tangannya, segelas wiski sudah tinggal setengah, tetapi ia belum ingin meminumnya lagi. Jemarinya hanya memutar-mutar gelas itu, menatap pantulan cahayanya di permukaan meja. Di luar jendela, langit malam tampak kelam, sama seperti hatinya saat ini. Keputusannya untuk bertunangan dengan Laura sudah diumumkan. Seharusnya ia merasa puas melihat reaksi Sophia yang hancur, tapi entah kenapa, ada sesuatu yang terasa salah. Pikirannya kembali ke perjalanan pulang tadi. Laura duduk di sampingnya, menatapnya dengan mata berbinar. "Terima kasih, Daniel. Aku sungguh tak menyangka kau akan mengambil keputusan ini." Daniel hanya mengangguk saat itu, tidak memberikan jawaban lebih. "Aku pikir kau sudah benar-benar melupakanku." Ia masih ingat bagaimana suaranya terdengar ragu. Namun, saat itu, Daniel hanya menjawab dengan kalimat singkat. "Mungkin aku memang sudah melupakan, mungkin juga belum. Yang jelas, kita akan bertunangan." Laura tid
Sophia menatap layar ponselnya tanpa berkedip. Tulisan kecil di bawah nama Daniel masih sama—Daniel sedang mengetik ... Sudah lebih dari satu menit, tapi pesan itu tak kunjung terkirim. Apa yang sedang ia ketik? Kenapa butuh waktu selama ini? Jantung Sophia berdegup semakin kencang, seperti hendak meledak. Setiap detik yang berlalu terasa begitu menyiksa. Matanya menelusuri layar, berharap sesuatu muncul. Tapi yang ada hanya tulisan kecil itu, seolah-olah Daniel tengah ragu. Lalu tiba-tiba … Tulisan itu menghilang. Sophia menahan napas. Ia menunggu. Namun tak ada pesan yang masuk. Hening. Jari-jarinya mencengkeram ponsel lebih erat, perasaan gelisah merayapi hatinya. Apakah Daniel berubah pikiran? Apakah ia memilih untuk tidak membalas? Atau … apakah ia sedang menyusun kata-kata yang lebih menyakitkan? Detik berlalu. Menit berlalu. Tetap tidak ada balasan. Sophia menggigit bibirnya, menatap layar dengan tatapan kosong. Sebuah perasaan tak enak mulai menjalar dalam diriny
Sophia duduk di tepi ranjangnya, tangannya perlahan mengelus perutnya. Dalam beberapa bulan ke depan, kehamilannya akan mulai terlihat. Namun, apa gunanya? Apakah bayi ini akan membawa kebahagiaan untuknya? Atau justru semakin membuatnya merasa terpuruk? Hari ini seharusnya menjadi hari bahagia bagi Daniel, tapi bagi dirinya, ini adalah hari yang paling menyakitkan. Pertunangan Daniel dan Laura. Hanya dengan memikirkan nama mereka saja, hatinya terasa seperti diremas. Matanya menatap ke luar jendela. Dari sini, ia bisa melihat tamu-tamu mulai berdatangan, disambut oleh pelayan-pelayan yang sibuk mengatur segalanya. Taman yang kemarin masih dalam proses dekorasi, kini sudah sempurna. Bunga-bunga segar menghiasi setiap sudut, lampu-lampu kecil digantung di sepanjang jalan setapak. Semua tampak indah. Namun, bagi Sophia, semua itu justru terasa menyakitkan. Tiba-tiba, suara ketukan terdengar di pintu. "Sophia?" Ia mengenali suara itu. David. Sophia menghela napas pelan sebelum
William melangkah naik ke podium dengan wibawa. Sosok pria tua itu mengenakan setelan hitam elegan dengan dasi emas yang serasi. Tatapannya menyapu seluruh tamu sebelum akhirnya ia tersenyum, lalu mengangkat gelas sampanye. "Pertama-tama, aku ingin mengucapkan terima kasih kepada semua yang telah hadir malam ini. Ini adalah hari yang begitu spesial bagi keluarga kami." Para tamu mendengarkan dengan antusias, beberapa dari mereka berbisik-bisik, menebak apa yang akan diumumkan. William menoleh ke arah Daniel dan Laura yang berdiri berdampingan di dekatnya. "Malam ini, aku ingin mengumumkan pertunangan anakku, Daniel Alexander Williams, dengan seorang wanita luar biasa, Laura James." Suara tepuk tangan mulai terdengar. Senyum bahagia terukir di wajah Laura, sementara Daniel tetap berdiri dengan wajah datar. Sophia yang berdiri di sudut bersama David hanya bisa menelan perasaan pedih yang semakin menyesakkan dada. Tangannya yang masih menggenggam lengan David sedikit gemetar.
Malam ini, setelah para tamu pulang, keluarga Williams berkumpul untuk makan malam di ruang makan utama. Suasana masih terasa hangat setelah acara pertunangan Daniel dan Laura. Pelayan telah menyajikan hidangan dengan rapi di atas meja panjang yang diterangi cahaya lampu kristal. Namun, di balik percakapan ringan dan tawa kecil yang sesekali terdengar, ada ketegangan yang tersembunyi di antara beberapa orang di meja itu. William duduk di kursi utama, tampak puas dengan acara yang berjalan lancar. Ia melirik ke arah Daniel dan Laura yang duduk berdampingan. "Hari ini benar-benar hari yang luar biasa," katanya sambil tersenyum. "Pertunangan Daniel dan Laura, juga kabar tentang cicitku yang akan segera lahir." Sophia, yang duduk di seberang meja, menundukkan kepalanya, menyentuh gelas airnya tanpa benar-benar berniat meminumnya. Kata-kata William terasa seperti pisau yang menusuk ke dalam hatinya. Sementara itu, David duduk di sampingnya, terlihat lebih santai dibandingkan sebelumnya
Laura Tiba di Apartemen Daniel Begitu pintu apartemen terbuka, Laura melangkah masuk dengan perlahan. Ia mengedarkan pandangannya ke seluruh ruangan, mengamati setiap detail yang ada. Tidak ada yang berubah. Ruangan ini masih sama seperti yang ia ingat lima tahun lalu—dekorasi minimalis dengan dominasi warna monokrom, lampu gantung yang memberikan cahaya temaram, dan sofa kulit hitam di ruang tamu yang terlihat jarang diduduki. Bahkan aroma apartemen ini masih sama, campuran wangi kopi yang samar dan maskulinitas khas Daniel. "Kau masih tidak mengubah apa pun," gumam Laura. Daniel, yang berdiri di belakangnya dengan tangan dimasukkan ke dalam saku celana, hanya melirik sekilas. "Aku tidak suka perubahan yang tidak perlu." Laura terkekeh. "Kau belum juga belajar untuk memberikan sentuhan hangat di tempat ini, ya?" Ia berjalan menuju meja makan, jari-jarinya menyusuri permukaannya. "Aku ingat saat pertama kali datang ke sini, aku bilang kau harus menambahkan bunga atau dekorasi lai
Maid berjalan dengan hati-hati menyusuri koridor menuju kamar Sophia. Di atas nampan yang ia bawa, cangkir porselen berisi susu hangat bergoyang sedikit, tetapi tetap berada dalam keseimbangan. Aroma lembutnya menyebar di udara, menciptakan rasa nyaman. Setibanya di depan kamar, maid mengetuk pintu dengan sopan. "Nyonya Sophia, ini saya. Saya membawakan susu untuk Anda." Tak ada jawaban langsung. Maid menunggu beberapa detik sebelum kembali mengetuk, kali ini sedikit lebih keras. Barulah terdengar suara pelan dari dalam. "Masuklah." Dengan lembut, maid mendorong pintu dan melangkah masuk. Sophia sedang duduk di tempat tidur, bersandar pada bantal tebal. Wajahnya masih terlihat sedikit pucat, tetapi ia sudah jauh lebih baik dibanding sebelumnya. "Terima kasih," kata Sophia lemah, mencoba tersenyum saat melihat maid itu mendekat. "Susu hangatnya baru saja dibuat, Nyonya. Minumlah selagi masih hangat," ujar maid sambil meletakkan nampan di meja kecil di samping tempat tidur
Mansion William sore ini terasa lebih hangat dari biasanya. Cahaya matahari yang mulai meredup menyorot jendela-jendela besar, memberi kesan nyaman di dalam rumah megah itu. Saat mobil yang membawa Sophia dan David berhenti di depan pintu utama, seorang pelayan dengan sigap membukakan pintu mobil untuk mereka. Sophia melangkah turun dengan hati-hati. Tubuhnya masih terasa sedikit lemah, tapi setidaknya lebih baik dibandingkan saat ia pingsan beberapa hari lalu. Pandangannya langsung menangkap sosok William yang berdiri di depan pintu, menatapnya dengan perhatian. "Sophia, bagaimana keadaanmu?" suara berat William terdengar hangat, membuat hati Sophia sedikit tenang. Ia tersenyum, berusaha meyakinkan pria tua itu. "Aku baik-baik saja, Kakek. Dokter bilang aku hanya sedikit demam." William mengangguk, meski garis khawatir di wajahnya belum sepenuhnya hilang. "Kamu harus banyak istirahat, jangan terlalu capek, apalagi sekarang kamu sedang hamil. Kamu harus menjaga kesehatanmu, menge
Laura menatap layar ponselnya dengan kesal. Sudah berkali-kali ia mencoba menghubungi Daniel, tetapi tidak ada jawaban sama sekali. Jemarinya mengetuk meja dengan tidak sabar, matanya menatap layar yang kembali menampilkan panggilan tak terjawab. "Kenapa sih, Daniel?!" gerutunya, lalu melempar ponselnya ke sofa dengan kasar. Saat itu juga, Anne melangkah masuk dan langsung menangkap ekspresi kesal di wajah Laura. Ia mendekati wanita itu dengan alis sedikit berkerut. "Kau kenapa?" tanyanya ingin tahu. Laura mendesah frustrasi, lalu menyilangkan tangan di depan dada. "Aku sudah menelepon Daniel berkali-kali, tapi dia sama sekali tidak mengangkat panggilanku. Aku tidak tahu dia sedang di mana dan apa yang sedang dia lakukan." Anne menatapnya dengan sorot mata penuh pertimbangan, lalu duduk di samping Laura. Ia menghela napas pelan sebelum akhirnya berkata, "Aku sendiri tidak tahu mengapa Daniel begitu khawatir terhadap Sophia. Apalagi sejak dulu, aku selalu merasa ada sesuatu di ant
Daniel menghapus air mata yang jatuh di pelupuk mata Sophia dengan pelan. Ibu jarinya menyapu pipi wanita itu dengan hati-hatian, ia takut menyakiti Sophia lebih jauh. Manik mata mereka beradu. Namun, Sophia segera mengalihkan pandangannya, ia tidak sanggup menatap Daniel lama-lama. "Kenapa kamu bertanya seperti itu, hm?" suara Daniel terdengar rendah. Sophia mencoba tersenyum, tetapi yang terbentuk di bibirnya hanya lengkungan samar yang menyakitkan. Hatinya terasa begitu sesak, dipenuhi oleh pertanyaan yang sejak dulu selalu ia pendam. Apakah semua ini hanya perasaannya sendiri? Apakah selama lima tahun terakhir, hanya ia yang jatuh cinta tanpa pernah benar-benar dicintai? Kenangan itu menyeruak, membawanya kembali ke masa lalu. Ia mengingat bagaimana ia selalu menunggu Daniel mengatakan cinta padanya. Lima tahun mereka bersama, melewati begitu banyak kebersamaan—dari momen sederhana hingga kebahagiaan yang seharusnya sempurna. Tapi selama itu juga, tidak sekalipun Daniel meng
Daniel menggulung lengan kemejanya hingga ke siku, membiarkan kulitnya terbuka pada udara dingin ruangan. Pandangannya jatuh pada mangkuk bubur yang masih mengepulkan uap tipis di atas nakas. Ia meraih mangkuk itu, jemarinya melingkari sisi keramik yang masih hangat. Ia beralih ke sisi tempat tidur, menarik kursi mendekat sebelum duduk. Matanya mengamati sosok di depannya—wajah pucat itu, bibir kering yang sedikit terbuka, serta napas yang terdengar lemah. Bahkan tanpa menyentuhnya, ia bisa merasakan betapa rapuhnya perempuan ini sekarang. "Sophia," panggilnya lembut. Ia menyendok bubur ke dalam sendok dan meniupnya perlahan. "Makanlah. Kamu butuh tenaga agar cepat sembuh." Perempuan itu menggeleng pelan, matanya tak sekalipun bertemu dengan milik Daniel. "Aku tidak berselera." Suaranya nyaris tak terdengar, begitu pelan hingga hampir menyatu dengan keheningan di antara mereka. Daniel menatapnya, rahangnya mengencang. Ia meletakkan sendok ke dalam mangkuk, lalu menghela napas ber
Kelopak mata Sophia perlahan bergerak, perlahan ia lalu membuka mata. Cahaya dari jendela membuatnya harus berkedip beberapa kali untuk menyesuaikan pandangannya. Napasnya masih terasa berat, dan tubuhnya lemas. Namun, hal pertama yang membuatnya terkejut bukanlah rasa sakit di kepalanya—melainkan sosok pria yang duduk di sampingnya. "Daniel …" gumamnya parau. Tenggorokannya terasa kering, suaranya nyaris tak keluar. Daniel menoleh dengan cepat begitu mendengar suara Sophia. "Kamu sudah sadar," katanya, nada suaranya terdengar lega. Sophia masih berusaha memahami situasinya. Matanya mengedarkan pandangan ke sekitar, mencoba mengenali tempat ini. Bau khas antiseptik langsung menyadarkannya—ia berada di rumah sakit. "Aku di rumah sakit?" bisiknya. Pikirannya mencoba mengingat kembali apa yang terjadi. Terakhir yang ia ingat, ia sedang menuruni tangga … lalu semuanya menjadi buram. "Di mana David?" tanya Sophia, sembari menyapu ke setiap penjuru ruangan mencari sosok suaminya, tap
"Sophia, bangun." Daniel menepuk pipi Sophia dengan pelan. Namun, wanita itu tetap terkulai lemas, sama sekali tak menunjukkan tanda-tanda akan sadar. Semua mata tertuju pada Daniel. Keheningan menyelimuti ruangan, hanya suara napas tertahan yang terdengar. Tak ada yang menyangka bahwa Daniel, yang selama ini tampak tenang dan tak banyak bicara soal Sophia, akan bereaksi seperti ini. Bahkan William, yang mengenal anaknya lebih dari siapa pun, tak dapat menyembunyikan keterkejutannya. Namun, ada satu hal yang lebih aneh. David. Pria yang seharusnya menjadi orang pertama yang panik saat melihat istrinya pingsan justru tetap duduk di kursinya. Wajahnya memang terlihat terkejut, tapi tidak ada kegelisahan nyata di matanya. Tidak seperti Daniel, yang kini dengan cemas memeluk tubuh Sophia dalam dekapannya. Daniel mengeratkan rahangnya. Tanpa pikir panjang, ia menyelipkan satu tangan ke bawah lutut Sophia dan satu lagi di punggungnya, lalu mengangkat tubuh Sophia dengan mudah. "Aku
Saat langkah Sophia menaiki anak tangga, ia bisa merasakan detak jantungnya masih belum kembali normal. Perasaan tidak nyaman itu terus menghantuinya, udara di dalam rumah ini terasa lebih berat sejak Daniel datang. Tangannya mencengkeram pegangan tangga lebih kuat, mencoba mengabaikan perasaan aneh yang menghantam dadanya. Ia harus pergi dari sini, menjauh dari tatapan Daniel, menjauh dari segala kegelisahan yang baru saja ia rasakan. Namun, saat baru saja mencapai lantai atas, ia tak bisa menahan diri untuk berhenti sejenak. Dari tempatnya berdiri, ia masih bisa mendengar samar suara William menyambut Daniel dan Laura di ruang kerja. "Nah, kalian akhirnya datang," suara William terdengar hangat. "Duduklah." "Maaf, Paman, kami sedikit terlambat," ujar Laura dengan nada lembutnya yang dibuat-buat. Sophia mengepalkan jemarinya tanpa sadar. Bahkan tanpa melihatnya pun, ia tahu Laura sedang bertingkah seolah menjadi tunangan sempurna bagi Daniel. Lalu, suara Daniel terdengar,
Pagi ini, aroma teh melati menguar dari dapur. Sophia menuangkan air panas ke dalam cangkir porselen dengan hati-hati, memastikan suhu dan takarannya pas. Ia tak pernah menambahkan gula dalam teh William. Bukan karena lelaki itu tidak menyukainya, tetapi karena kebiasaan yang sudah tertanam bertahun-tahun—William selalu menikmati tehnya pahit, hanya dengan sedikit perasan lemon untuk memberikan rasa segar. Ia mengangkat cangkir itu perlahan, untuk segera membawanya ke ruang kerja William. "Nona, mengapa Anda tidak meminta maid saja untuk membuat teh?" suara Lewis, kepala pelayan keluarga, terdengar tegas. Sophia berhenti sejenak, menoleh ke arah pria paruh baya itu dengan senyum tipis. "Aku ingin membuatnya sendiri." "Tapi—" "Tidak apa-apa, Lewis," potong Sophia sebelum pria itu bisa menyelesaikan kalimatnya. "Aku hanya ingin memastikan bahwa teh ini dibuat dengan tanganku sendiri." Lewis menatapnya beberapa saat, seolah ingin mengatakan sesuatu lagi, tapi akhirnya ia hanya men