Beranda / Romansa / Menjadi Istri Keponakan sang Mantan / Bab 67 : Ketidakadilan di Meja Makan

Share

Bab 67 : Ketidakadilan di Meja Makan

Penulis: Vanilla_Nilla
last update Terakhir Diperbarui: 2025-03-23 21:02:26

Malam ini, setelah para tamu pulang, keluarga Williams berkumpul untuk makan malam di ruang makan utama.

Suasana masih terasa hangat setelah acara pertunangan Daniel dan Laura. Pelayan telah menyajikan hidangan dengan rapi di atas meja panjang yang diterangi cahaya lampu kristal. Namun, di balik percakapan ringan dan tawa kecil yang sesekali terdengar, ada ketegangan yang tersembunyi di antara beberapa orang di meja itu.

William duduk di kursi utama, tampak puas dengan acara yang berjalan lancar. Ia melirik ke arah Daniel dan Laura yang duduk berdampingan. "Hari ini benar-benar hari yang luar biasa," katanya sambil tersenyum. "Pertunangan Daniel dan Laura, juga kabar tentang cicitku yang akan segera lahir."

Sophia, yang duduk di seberang meja, menundukkan kepalanya, menyentuh gelas airnya tanpa benar-benar berniat meminumnya. Kata-kata William terasa seperti pisau yang menusuk ke dalam hatinya.

Sementara itu, David duduk di sampingnya, terlihat lebih santai dibandingkan sebelumnya
Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi
Bab Terkunci

Bab terkait

  • Menjadi Istri Keponakan sang Mantan   Bab 68 : Luka yang Tak Terucap

    Laura Tiba di Apartemen Daniel Begitu pintu apartemen terbuka, Laura melangkah masuk dengan perlahan. Ia mengedarkan pandangannya ke seluruh ruangan, mengamati setiap detail yang ada. Tidak ada yang berubah. Ruangan ini masih sama seperti yang ia ingat lima tahun lalu—dekorasi minimalis dengan dominasi warna monokrom, lampu gantung yang memberikan cahaya temaram, dan sofa kulit hitam di ruang tamu yang terlihat jarang diduduki. Bahkan aroma apartemen ini masih sama, campuran wangi kopi yang samar dan maskulinitas khas Daniel. "Kau masih tidak mengubah apa pun," gumam Laura. Daniel, yang berdiri di belakangnya dengan tangan dimasukkan ke dalam saku celana, hanya melirik sekilas. "Aku tidak suka perubahan yang tidak perlu." Laura terkekeh. "Kau belum juga belajar untuk memberikan sentuhan hangat di tempat ini, ya?" Ia berjalan menuju meja makan, jari-jarinya menyusuri permukaannya. "Aku ingat saat pertama kali datang ke sini, aku bilang kau harus menambahkan bunga atau dekorasi lai

    Terakhir Diperbarui : 2025-03-24
  • Menjadi Istri Keponakan sang Mantan   Bab 69 : Kenangan yang Tak Bisa Pergi

    Laura masih terpaku di tempatnya, matanya menatap pakaian wanita yang tergantung di lemari Daniel. Napasnya terasa lebih berat, pikirannya kacau. Siapa pemilik pakaian ini? Sejak kapan ada wanita lain yang masuk ke dalam hidup Daniel? Dengan tangan yang masih sedikit gemetar, ia meraih salah satu gaun itu dan mengamatinya lebih dekat. Bahan kainnya masih terasa baru, seolah baru saja dibeli atau baru saja digunakan. Keraguan memenuhi benaknya. Tak bisa menahan rasa penasarannya lebih lama, Laura segera keluar dari kamar dan berjalan cepat menuju ruang tengah, di mana Daniel sedang duduk di sofa, satu tangan memegang ponsel sementara tangan lainnya memainkan kunci mobil. Tanpa basa-basi, ia langsung bertanya, "Daniel, kenapa di dalam lemari pakaianmu ada baju wanita?" Daniel yang tadinya tampak santai, kini menegang. Matanya mengarah pada Laura, lalu kembali pada ponselnya. "Jangan sentuh barang-barangku." Laura menatapnya tak percaya. "Apa maksudmu?" suaranya meninggi.

    Terakhir Diperbarui : 2025-03-24
  • Menjadi Istri Keponakan sang Mantan   Bab 70 : Diam yang Menyiksa

    Angin malam bertiup pelan, menggoyangkan permukaan danau yang memantulkan cahaya lampu jalan. Daniel berdiri tegap dengan satu tangan tersimpan di saku celana, sementara mata tajamnya menatap lurus ke depan. Punggungnya tegak, seolah enggan menunjukkan bahwa ada beban yang menghimpit dadanya. Di belakangnya, Sophia berdiri diam. Jarak mereka tak terlalu jauh, tapi terasa begitu lebar, seperti terbentang jurang yang tak bisa dijembatani. Mereka telah berada di sana selama beberapa menit, hanya berdiri dalam diam. Tak ada kata yang terucap. Hanya bunyi dedaunan yang bergesekan tertiup angin dan suara riak kecil dari danau di hadapan mereka. Sophia menggigit bibirnya. Ia ingin mengatakan sesuatu, tapi tak tahu harus mulai dari mana. Ia bahkan tak tahu kenapa ia masih berdiri di sini, alih-alih pergi menjauh seperti yang seharusnya ia lakukan. Daniel akhirnya menghela napas panjang. Ia menundukkan kepala sedikit, lalu tanpa berbalik, suaranya terdengar pelan nan dingin. "Kenapa masi

    Terakhir Diperbarui : 2025-03-25
  • Menjadi Istri Keponakan sang Mantan   Bab 71 : Janji yang Tak Dihiraukan

    Sophia duduk di tepi ranjang, tangannya mengusap perutnya yang mulai sedikit membesar. Hari ini ia sudah memiliki janji dengan dokter kandungan untuk pemeriksaan rutin. Seharusnya, ini menjadi momen penting, tapi ternyata tidak bagi semua orang. Di depannya, David sedang merapikan dasinya, bersiap untuk pergi. "Kau bisa mengantarku ke rumah sakit, kan?" tanya Sophia dengan suara tenang, meskipun jauh di dalam hatinya, ia merasa ragu. David melirik sekilas ke arah wanita itu melalui pantulan cermin. Ia mendesah pelan sebelum melanjutkan merapikan penampilannya. "Aku ada meeting penting dengan klien hari ini," jawabnya singkat, seolah itu adalah alasan yang mutlak dan tak bisa diganggu gugat. Sophia menggigit bibirnya. Meeting penting? Apa itu lebih penting dari anak yang ada di dalam kandungannya? Ia ingin bertanya itu, tapi akhirnya ia hanya menunduk dan menggenggam tangannya sendiri di atas pangkuan. "Baiklah. Aku akan pergi sendiri." David menatapnya sebentar, lalu meraih

    Terakhir Diperbarui : 2025-03-25
  • Menjadi Istri Keponakan sang Mantan   Bab 72 : Kemarahan yang Tak Terbendung

    Daniel baru saja membuka pintu apartemennya, saat itu juga, pemandangan di depannya membuat alisnya bertaut tajam. Ruangan itu berantakan, seperti baru saja diamuk badai. Sofa yang biasanya rapi kini bantal-bantalnya berserakan di lantai, benda-benda jatuh berantakan di ruang tamu, dan dapur terlihat kacau dengan peralatan makan yang tidak pada tempatnya. Rahangnya mengeras. Ia melangkah masuk dengan tatapan tajam menyapu sekeliling ruangan sebelum akhirnya mendengar suara sobekan kain dari dalam kamarnya. Langkahnya terhenti sejenak. Dengan cepat, ia berjalan menuju kamar dan begitu pintu terbuka, matanya langsung menangkap sosok Laura yang sedang duduk di lantai dengan gunting di tangannya. Beberapa potongan kain berserakan di sekelilingnya, sementara lemari pakaiannya tampak terbuka dan isinya terhambur ke mana-mana. "Laura, apa yang kau lakukan?" Suara Daniel terdengar dingin. Laura mendongak dengan wajah memerah karena marah. Ia lalu berdiri saat melihat Daniel sudah pu

    Terakhir Diperbarui : 2025-03-26
  • Menjadi Istri Keponakan sang Mantan   Bab 73 : Hadiah Terindah

    Sophia menatap layar monitor di hadapannya dengan perasaan gugup dan haru. Gelombang hitam putih yang tampak di sana bergerak pelan, membentuk sosok mungil yang tengah tumbuh di dalam rahimnya. Perutnya kini sudah membesar, menginjak usia lima bulan lebih satu minggu. Di sampingnya, William duduk dengan ekspresi serius, namun kedua matanya berbinar dengan penuh perhatian. Tangan tuanya menggenggam tangan Sophia dengan hangat, memberikan dukungan tanpa kata. "Bayi Anda sudah berusia sekitar 21 minggu," ujar dokter sambil menggerakkan alat ultrasonografi di atas perut Sophia. "Dan … selamat, bayi ini berjenis kelamin perempuan." Sejenak, ruangan itu terasa begitu hening. Sophia terdiam. Perempuan … anak ini seorang anak perempuan … William yang sedari tadi fokus pada layar monitor tiba-tiba menegakkan tubuhnya. Sorot matanya langsung tertuju pada gambar bayi mungil yang terlihat jelas di layar. Jantungnya berdegup kencang. "Perempuan?" suaranya sedikit bergetar. Dokter menganggu

    Terakhir Diperbarui : 2025-03-27
  • Menjadi Istri Keponakan sang Mantan   Bab 74 : Kesunyian di Kamar Sophia

    Cahaya matahari siang menembus kaca jendela kamar, menerangi ruangan yang dipenuhi nuansa lembut dengan tirai putih yang berkibar tipis tertiup angin dari celah jendela yang sedikit terbuka. Di atas ranjang berukuran besar, Sophia masih berbaring, tubuhnya sedikit menyamping menghadap ke arah luar jendela. Dari sini, ia bisa melihat pemandangan taman yang luas, rerumputan hijau, serta bunga-bunga yang tertata rapi. Namun, pemandangan itu tak cukup membuat hatinya tenang. Pikiran Sophia masih melayang-layang ke kejadian kemarin di rumah sakit. Bayangan Daniel yang menggenggam tangan Laura, suara lembut pria itu saat meminta maaf, serta pelukan yang mereka bagi—semuanya seolah terpahat jelas di dalam benaknya. Ketukan pelan di pintu membuyarkan lamunannya. "Nona Sophia?" Sebuah suara lembut terdengar dari balik pintu. Tak lama, seorang maid masuk ke dalam kamar dengan membawa nampan perak berisi makanan. Gadis itu mengenakan seragam maid berwarna hitam dengan celemek putih yang ter

    Terakhir Diperbarui : 2025-03-27
  • Menjadi Istri Keponakan sang Mantan   Bab 75 : Dilema

    Tetesan air hujan mulai jatuh perlahan, membentuk pola-pola acak di jendela taksi. Sophia menyandarkan kepalanya, menatap kosong ke luar jendela, menyaksikan langit kelabu yang tampak begitu suram, seperti mencerminkan perasaannya saat ini. Hari ini, ia memutuskan menemui Jane. Ia butuh seseorang untuk diajak bicara, seseorang yang bisa mengalihkan pikirannya meski hanya sebentar. Tapi di dalam taksi ini, sendirian dengan pikirannya sendiri, kesedihan yang sejak tadi ia tahan mulai menyelusup masuk, perlahan tapi pasti. Perasaannya masih campur aduk. Setelah melihat Daniel dan Laura di rumah sakit kemarin, hatinya seperti dihujani ribuan duri tajam. Kenyataan itu seperti tamparan yang mengingatkannya bahwa ia bukan siapa-siapa lagi bagi pria itu. Bahwa ia benar-benar sendirian sekarang. Ia mengusap perutnya dengan lembut. Ada kehidupan yang tumbuh di dalam sana. Putrinya. Bayinya yang bahkan belum lahir, tapi sudah harus menanggung kesedihan ibunya. "Apa yang harus kulakukan?"

    Terakhir Diperbarui : 2025-03-28

Bab terbaru

  • Menjadi Istri Keponakan sang Mantan   Bab 87 : Sebuah Firasat

    Maid berjalan dengan hati-hati menyusuri koridor menuju kamar Sophia. Di atas nampan yang ia bawa, cangkir porselen berisi susu hangat bergoyang sedikit, tetapi tetap berada dalam keseimbangan. Aroma lembutnya menyebar di udara, menciptakan rasa nyaman. Setibanya di depan kamar, maid mengetuk pintu dengan sopan. "Nyonya Sophia, ini saya. Saya membawakan susu untuk Anda." Tak ada jawaban langsung. Maid menunggu beberapa detik sebelum kembali mengetuk, kali ini sedikit lebih keras. Barulah terdengar suara pelan dari dalam. "Masuklah." Dengan lembut, maid mendorong pintu dan melangkah masuk. Sophia sedang duduk di tempat tidur, bersandar pada bantal tebal. Wajahnya masih terlihat sedikit pucat, tetapi ia sudah jauh lebih baik dibanding sebelumnya. "Terima kasih," kata Sophia lemah, mencoba tersenyum saat melihat maid itu mendekat. "Susu hangatnya baru saja dibuat, Nyonya. Minumlah selagi masih hangat," ujar maid sambil meletakkan nampan di meja kecil di samping tempat tidur

  • Menjadi Istri Keponakan sang Mantan   Bab 86 : Kepulangan Sophia ke Mansion William

    Mansion William sore ini terasa lebih hangat dari biasanya. Cahaya matahari yang mulai meredup menyorot jendela-jendela besar, memberi kesan nyaman di dalam rumah megah itu. Saat mobil yang membawa Sophia dan David berhenti di depan pintu utama, seorang pelayan dengan sigap membukakan pintu mobil untuk mereka. Sophia melangkah turun dengan hati-hati. Tubuhnya masih terasa sedikit lemah, tapi setidaknya lebih baik dibandingkan saat ia pingsan beberapa hari lalu. Pandangannya langsung menangkap sosok William yang berdiri di depan pintu, menatapnya dengan perhatian. "Sophia, bagaimana keadaanmu?" suara berat William terdengar hangat, membuat hati Sophia sedikit tenang. Ia tersenyum, berusaha meyakinkan pria tua itu. "Aku baik-baik saja, Kakek. Dokter bilang aku hanya sedikit demam." William mengangguk, meski garis khawatir di wajahnya belum sepenuhnya hilang. "Kamu harus banyak istirahat, jangan terlalu capek, apalagi sekarang kamu sedang hamil. Kamu harus menjaga kesehatanmu, menge

  • Menjadi Istri Keponakan sang Mantan   Bab 85 : Kesepakatan Berbahaya

    Laura menatap layar ponselnya dengan kesal. Sudah berkali-kali ia mencoba menghubungi Daniel, tetapi tidak ada jawaban sama sekali. Jemarinya mengetuk meja dengan tidak sabar, matanya menatap layar yang kembali menampilkan panggilan tak terjawab. "Kenapa sih, Daniel?!" gerutunya, lalu melempar ponselnya ke sofa dengan kasar. Saat itu juga, Anne melangkah masuk dan langsung menangkap ekspresi kesal di wajah Laura. Ia mendekati wanita itu dengan alis sedikit berkerut. "Kau kenapa?" tanyanya ingin tahu. Laura mendesah frustrasi, lalu menyilangkan tangan di depan dada. "Aku sudah menelepon Daniel berkali-kali, tapi dia sama sekali tidak mengangkat panggilanku. Aku tidak tahu dia sedang di mana dan apa yang sedang dia lakukan." Anne menatapnya dengan sorot mata penuh pertimbangan, lalu duduk di samping Laura. Ia menghela napas pelan sebelum akhirnya berkata, "Aku sendiri tidak tahu mengapa Daniel begitu khawatir terhadap Sophia. Apalagi sejak dulu, aku selalu merasa ada sesuatu di ant

  • Menjadi Istri Keponakan sang Mantan   Bab 84 : Hati yang Hancur

    Daniel menghapus air mata yang jatuh di pelupuk mata Sophia dengan pelan. Ibu jarinya menyapu pipi wanita itu dengan hati-hatian, ia takut menyakiti Sophia lebih jauh. Manik mata mereka beradu. Namun, Sophia segera mengalihkan pandangannya, ia tidak sanggup menatap Daniel lama-lama. "Kenapa kamu bertanya seperti itu, hm?" suara Daniel terdengar rendah. Sophia mencoba tersenyum, tetapi yang terbentuk di bibirnya hanya lengkungan samar yang menyakitkan. Hatinya terasa begitu sesak, dipenuhi oleh pertanyaan yang sejak dulu selalu ia pendam. Apakah semua ini hanya perasaannya sendiri? Apakah selama lima tahun terakhir, hanya ia yang jatuh cinta tanpa pernah benar-benar dicintai? Kenangan itu menyeruak, membawanya kembali ke masa lalu. Ia mengingat bagaimana ia selalu menunggu Daniel mengatakan cinta padanya. Lima tahun mereka bersama, melewati begitu banyak kebersamaan—dari momen sederhana hingga kebahagiaan yang seharusnya sempurna. Tapi selama itu juga, tidak sekalipun Daniel meng

  • Menjadi Istri Keponakan sang Mantan   Bab 83 : Kekhawatiran yang Tak Terucap

    Daniel menggulung lengan kemejanya hingga ke siku, membiarkan kulitnya terbuka pada udara dingin ruangan. Pandangannya jatuh pada mangkuk bubur yang masih mengepulkan uap tipis di atas nakas. Ia meraih mangkuk itu, jemarinya melingkari sisi keramik yang masih hangat. Ia beralih ke sisi tempat tidur, menarik kursi mendekat sebelum duduk. Matanya mengamati sosok di depannya—wajah pucat itu, bibir kering yang sedikit terbuka, serta napas yang terdengar lemah. Bahkan tanpa menyentuhnya, ia bisa merasakan betapa rapuhnya perempuan ini sekarang. "Sophia," panggilnya lembut. Ia menyendok bubur ke dalam sendok dan meniupnya perlahan. "Makanlah. Kamu butuh tenaga agar cepat sembuh." Perempuan itu menggeleng pelan, matanya tak sekalipun bertemu dengan milik Daniel. "Aku tidak berselera." Suaranya nyaris tak terdengar, begitu pelan hingga hampir menyatu dengan keheningan di antara mereka. Daniel menatapnya, rahangnya mengencang. Ia meletakkan sendok ke dalam mangkuk, lalu menghela napas ber

  • Menjadi Istri Keponakan sang Mantan   Bab 82 : Kejujuran Sophia

    Kelopak mata Sophia perlahan bergerak, perlahan ia lalu membuka mata. Cahaya dari jendela membuatnya harus berkedip beberapa kali untuk menyesuaikan pandangannya. Napasnya masih terasa berat, dan tubuhnya lemas. Namun, hal pertama yang membuatnya terkejut bukanlah rasa sakit di kepalanya—melainkan sosok pria yang duduk di sampingnya. "Daniel …" gumamnya parau. Tenggorokannya terasa kering, suaranya nyaris tak keluar. Daniel menoleh dengan cepat begitu mendengar suara Sophia. "Kamu sudah sadar," katanya, nada suaranya terdengar lega. Sophia masih berusaha memahami situasinya. Matanya mengedarkan pandangan ke sekitar, mencoba mengenali tempat ini. Bau khas antiseptik langsung menyadarkannya—ia berada di rumah sakit. "Aku di rumah sakit?" bisiknya. Pikirannya mencoba mengingat kembali apa yang terjadi. Terakhir yang ia ingat, ia sedang menuruni tangga … lalu semuanya menjadi buram. "Di mana David?" tanya Sophia, sembari menyapu ke setiap penjuru ruangan mencari sosok suaminya, tap

  • Menjadi Istri Keponakan sang Mantan   Bab 81 : Membawa Sophia

    "Sophia, bangun." Daniel menepuk pipi Sophia dengan pelan. Namun, wanita itu tetap terkulai lemas, sama sekali tak menunjukkan tanda-tanda akan sadar. Semua mata tertuju pada Daniel. Keheningan menyelimuti ruangan, hanya suara napas tertahan yang terdengar. Tak ada yang menyangka bahwa Daniel, yang selama ini tampak tenang dan tak banyak bicara soal Sophia, akan bereaksi seperti ini. Bahkan William, yang mengenal anaknya lebih dari siapa pun, tak dapat menyembunyikan keterkejutannya. Namun, ada satu hal yang lebih aneh. David. Pria yang seharusnya menjadi orang pertama yang panik saat melihat istrinya pingsan justru tetap duduk di kursinya. Wajahnya memang terlihat terkejut, tapi tidak ada kegelisahan nyata di matanya. Tidak seperti Daniel, yang kini dengan cemas memeluk tubuh Sophia dalam dekapannya. Daniel mengeratkan rahangnya. Tanpa pikir panjang, ia menyelipkan satu tangan ke bawah lutut Sophia dan satu lagi di punggungnya, lalu mengangkat tubuh Sophia dengan mudah. "Aku

  • Menjadi Istri Keponakan sang Mantan   Bab 80 : Keadaan Sophia

    Saat langkah Sophia menaiki anak tangga, ia bisa merasakan detak jantungnya masih belum kembali normal. Perasaan tidak nyaman itu terus menghantuinya, udara di dalam rumah ini terasa lebih berat sejak Daniel datang. Tangannya mencengkeram pegangan tangga lebih kuat, mencoba mengabaikan perasaan aneh yang menghantam dadanya. Ia harus pergi dari sini, menjauh dari tatapan Daniel, menjauh dari segala kegelisahan yang baru saja ia rasakan. Namun, saat baru saja mencapai lantai atas, ia tak bisa menahan diri untuk berhenti sejenak. Dari tempatnya berdiri, ia masih bisa mendengar samar suara William menyambut Daniel dan Laura di ruang kerja. "Nah, kalian akhirnya datang," suara William terdengar hangat. "Duduklah." "Maaf, Paman, kami sedikit terlambat," ujar Laura dengan nada lembutnya yang dibuat-buat. Sophia mengepalkan jemarinya tanpa sadar. Bahkan tanpa melihatnya pun, ia tahu Laura sedang bertingkah seolah menjadi tunangan sempurna bagi Daniel. Lalu, suara Daniel terdengar,

  • Menjadi Istri Keponakan sang Mantan   Bab 79 : Belum Siap

    Pagi ini, aroma teh melati menguar dari dapur. Sophia menuangkan air panas ke dalam cangkir porselen dengan hati-hati, memastikan suhu dan takarannya pas. Ia tak pernah menambahkan gula dalam teh William. Bukan karena lelaki itu tidak menyukainya, tetapi karena kebiasaan yang sudah tertanam bertahun-tahun—William selalu menikmati tehnya pahit, hanya dengan sedikit perasan lemon untuk memberikan rasa segar. Ia mengangkat cangkir itu perlahan, untuk segera membawanya ke ruang kerja William. "Nona, mengapa Anda tidak meminta maid saja untuk membuat teh?" suara Lewis, kepala pelayan keluarga, terdengar tegas. Sophia berhenti sejenak, menoleh ke arah pria paruh baya itu dengan senyum tipis. "Aku ingin membuatnya sendiri." "Tapi—" "Tidak apa-apa, Lewis," potong Sophia sebelum pria itu bisa menyelesaikan kalimatnya. "Aku hanya ingin memastikan bahwa teh ini dibuat dengan tanganku sendiri." Lewis menatapnya beberapa saat, seolah ingin mengatakan sesuatu lagi, tapi akhirnya ia hanya men

Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status