Sophia tidak tahan lagi. Setiap kata yang keluar dari mulut Daniel terasa seperti pisau yang mengoyak hatinya perlahan. Ia menggigit bibirnya, mencoba menahan tangis yang hampir pecah. Napasnya terasa sesak, seakan ada beban berat yang menghimpit dadanya. Tanpa berpikir panjang, ia berbalik dan melangkah pergi meninggalkan ruangan tersebut. Begitu tiba di kamar, ia segera menutup pintu dan bersandar di sana, membiarkan tubuhnya merosot ke lantai. Air mata yang sejak tadi tertahan akhirnya jatuh tanpa bisa ia kendalikan. Tangan Sophia kembali turun ke perutnya, mengusap lembut permukaannya yang masih rata. Ada kehidupan kecil yang sedang tumbuh di dalam dirinya—anak dari pria yang masih mencintai wanita lain. "Kenapa harus sekarang?" bisiknya, suaranya nyaris tak terdengar di antara isakannya. Sementara itu, di dalam kamar Daniel, percakapan antara ayah dan anak itu berlanjut. "Tapi itu dulu ... sebelum dia pergi meninggalkan aku." Mata William menyipit sedikit, menat
Sophia memasuki kamarnya dengan gontai. Pikirannya masih kacau setelah mendengar percakapan Daniel dan William. Pintu ia tutup perlahan dengan hati-hati. Sepasang mata coklatnya langsung tertuju pada sebuah laci di sudut ruangan—tempat di mana ia menyimpan obat pemberian ibunya, Rose. Dengan napas yang masih tersengal akibat isakan yang ia tahan sejak tadi, ia berjalan mendekat dan menarik laci itu. Jemarinya sedikit gemetar saat meraih sebuah botol kecil berisi obat. Ia duduk di tepi ranjang, menatap botol itu dengan ekspresi kosong. Pikirannya berputar tanpa henti. "Apa aku harus menggunakan ini sekarang?" Jantungnya berdetak cepat. Ia tahu betul bahwa kehamilan ini adalah sesuatu yang tidak mungkin ia umumkan kepada keluarga Williams. Mereka tidak akan menerimanya. Bukan hanya karena statusnya sebagai istri orang lain, tetapi juga karena anak ini adalah darah daging Daniel—pria yang selama ini hanya menganggapnya sebagai bayangan di balik masa lalunya yang gagal. Tanganny
David mengusap matanya, berusaha mengusir kantuk yang tiba-tiba menyerangnya. Kelopak matanya terasa semakin berat, seakan sesuatu yang menariknya ke dalam tidur. "Kenapa aku merasa ngantuk sekali …?" gumamnya dengan suara samar. Sophia, yang mendengar keluhan suaminya, segera menghampiri dan menatapnya dengan perhatian. Ekspresi di wajahnya tetap tenang, seolah tidak ada yang aneh. "Mungkin kau terlalu lelah. Ayo, tidurlah dulu. Aku akan membantumu beristirahat." Dengan perlahan, Sophia membantu David merebahkan tubuhnya di atas ranjang. Tangannya menarik selimut, menyelimutinya dengan perhatian—atau setidaknya, itulah yang terlihat di permukaan. "Apa kau mau aku ambilkan makan dulu?" tanyanya, suaranya terdengar begitu tulus. David menggeleng pelan. "Tidak perlu, aku hanya ingin tidur saja." Matanya yang semula berusaha terbuka kini mulai tertutup rapat-rapat. Tubuhnya terasa semakin berat, kesadaran David perlahan tenggelam dalam kantuk yang tak bisa dilawan. Sophia
Di salah satu meja dekat jendela, seorang pria bertubuh tegap duduk dengan tangan terlipat di depan dada. Matanya menatap lurus ke arah pintu masuk, sedari tadi ia sedang menunggu seseorang. Tak lama kemudian, seorang wanita melangkah masuk. Begitu melihat pria yang sedang menunggunya, Sophia langsung berjalan ke arah lelaki itu. John mengangkat alis, ia sedikit tersenyum saat melihat kedatangan Sophia. "Kau akhirnya datang juga." Sophia duduk tanpa basa-basi. Ia meletakkan tasnya di atas meja, lalu menatap pria di hadapannya dengan tegas. "Aku tidak punya waktu untuk berlama-lama, John. Aku butuh bantuanmu." John menyandarkan punggungnya ke kursi, menatap Sophia dengan penuh minat. "Bantuan apa?" "Aku ingin kau mencari tahu siapa yang telah menabrak ayahku." Senyuman John langsung menghilang. Matanya menyipit, menatap Sophia dengan serius. "Kecelakaan yang terjadi beberapa bulan lalu? Kau yakin itu bukan sekadar kecelakaan biasa?" "Aku tidak percaya itu hanya kebetulan.
Pagi ini, Sophia dan David menuruni tangga bersama. Tangan Sophia menggapit lengan David, pemandangan itu mengejutkan bagi semua orang yang sudah duduk di meja makan. Biasanya, mereka selalu datang secara terpisah, seolah-olah rumah ini hanyalah tempat singgah bagi dua orang asing yang kebetulan berbagi ikatan pernikahan. Namun, pagi ini berbeda. Daniel yang sedang menuangkan kopi ke dalam cangkirnya tiba-tiba menghentikan gerakannya. Jemarinya mencengkeram pegangan teko sedikit lebih erat, dan rahangnya mengeras saat melihat bagaimana eratnya genggaman Sophia pada David. Apa yang sedang terjadi di sini? Daniel bahkan tidak sadar bahwa ia menuangkan kopi terlalu penuh hingga tumpah ke atas meja. Sementara itu, Anne yang duduk di seberang meja juga tampak tidak senang. Bibirnya tertarik menjadi garis tipis, matanya terlihat begitu marah, saat tertuju pada tangan Sophia yang menggenggam lengan David begitu erat, seakan mereka adalah pasangan suami istri yang paling romantis.
Anne berdiri di dalam kamar dengan tangan terlipat di depan dada. Wajahnya merah padam karena amarah yang tertahan sejak sarapan tadi pagi. Begitu David masuk dan menutup pintu, Anne langsung meledak. "Kau bilang kau tidak akan pernah menyentuhnya! Kau bilang kau hanya mencintaiku!" ujar Anne begitu kecewa pada David, terlebih saat ia dengar bahwa Sophia sedang hamil. David menghela napas, melepas jasnya dengan santai seolah tak terpengaruh oleh kemarahan Anne. "Tenanglah, Anne. Aku juga tidak menyangka ini akan terjadi." "Tidak menyangka?! Bagaimana bisa kau tidak menyangka kalau kau tidur dengannya?! Kau bilang kau hanya menikahinya demi mendapatkan warisan dari William! Tapi sekarang dia hamil, David! Kau benar-benar menjijikkan!" David mendengkus, menangkupkan kedua tangannya di wajah sebelum menatap Anne dengan lelah. "Aku tidak ingat pernah menyentuhnya, Anne. Kau tahu itu. Aku bahkan yakin dia menjebakku." "Oh, sekarang kau menyalahkan Sophia? Lalu bagaimana dengan ak
Rose berdiri di depan cermin, memastikan gaun sederhananya tampak rapi sebelum berbalik ke arah suaminya. Di sisi lain kamar, Robert tengah mengenakan jasnya dengan teliti. "Kau sudah siap?" tanya Rose sambil tersenyum ke arah Robert. Robert mengangguk, lalu mendekati istrinya. "Tentu saja. Hari ini kita akan menemui Sophia. Aku masih tidak percaya anak kita akan menjadi seorang ibu." Rose tertawa kecil, matanya berbinar penuh kebahagiaan. "Aku juga. Aku selalu berharap dia akan memiliki keluarga yang bahagia. Sekarang, dengan kabar ini, setidaknya ada harapan baru untuknya." Robert menarik napas panjang. "Aku hanya ingin memastikan dia baik-baik saja. Aku tahu pernikahannya dengan David tidak mudah, dan aku tidak ingin dia merasa sendirian di saat seperti ini." "Sophia kuat, Robert. Tapi sebagai orang tuanya, kita tetap harus berada di sampingnya, selalu mendukungnya." Robert mengangguk setuju. "Kau benar. Lagipula, kita akan segera menjadi kakek dan nenek. Itu sesuatu yang ha
Tangan yang sedari tadi bertumpu di pangkuan mengepal erat. Sophia menundukkan kepala sedikit, membiarkan helaian rambutnya menutupi wajah. Dadanya terasa sesak, tapi ia menelan semuanya, berpura-pura kuat. Di seberangnya, Daniel tetap menatap lurus ke depan, seolah kata-katanya barusan bukan sesuatu yang mengejutkan. Sementara itu, Laura yang duduk di sampingnya terlihat sangat bahagia. Mata wanita itu berbinar, bibirnya membentuk senyuman manis yang sulit diabaikan. "Apa yang kamu katakan itu benar, Daniel?” tanya William, seraya melihat ke arah Daniel. Ia masih sulit mempercayai apa yang baru saja keluar dari mulut putranya. Beberapa hari yang lalu, ia sendiri yang bertanya pada Daniel apakah anaknya itu masih mencintai Laura. Saat itu, jawaban Daniel jelas—tidak. Ia sudah melupakan gadis itu. Namun sekarang? Daniel justru mengatakan hal sebaliknya. William menatap putranya dengan tajam. Apa yang sebenarnya ada di pikiran, Daniel? Semantara lelaki yang ditatapnya itu tet
Maid berjalan dengan hati-hati menyusuri koridor menuju kamar Sophia. Di atas nampan yang ia bawa, cangkir porselen berisi susu hangat bergoyang sedikit, tetapi tetap berada dalam keseimbangan. Aroma lembutnya menyebar di udara, menciptakan rasa nyaman. Setibanya di depan kamar, maid mengetuk pintu dengan sopan. "Nyonya Sophia, ini saya. Saya membawakan susu untuk Anda." Tak ada jawaban langsung. Maid menunggu beberapa detik sebelum kembali mengetuk, kali ini sedikit lebih keras. Barulah terdengar suara pelan dari dalam. "Masuklah." Dengan lembut, maid mendorong pintu dan melangkah masuk. Sophia sedang duduk di tempat tidur, bersandar pada bantal tebal. Wajahnya masih terlihat sedikit pucat, tetapi ia sudah jauh lebih baik dibanding sebelumnya. "Terima kasih," kata Sophia lemah, mencoba tersenyum saat melihat maid itu mendekat. "Susu hangatnya baru saja dibuat, Nyonya. Minumlah selagi masih hangat," ujar maid sambil meletakkan nampan di meja kecil di samping tempat tidur
Mansion William sore ini terasa lebih hangat dari biasanya. Cahaya matahari yang mulai meredup menyorot jendela-jendela besar, memberi kesan nyaman di dalam rumah megah itu. Saat mobil yang membawa Sophia dan David berhenti di depan pintu utama, seorang pelayan dengan sigap membukakan pintu mobil untuk mereka. Sophia melangkah turun dengan hati-hati. Tubuhnya masih terasa sedikit lemah, tapi setidaknya lebih baik dibandingkan saat ia pingsan beberapa hari lalu. Pandangannya langsung menangkap sosok William yang berdiri di depan pintu, menatapnya dengan perhatian. "Sophia, bagaimana keadaanmu?" suara berat William terdengar hangat, membuat hati Sophia sedikit tenang. Ia tersenyum, berusaha meyakinkan pria tua itu. "Aku baik-baik saja, Kakek. Dokter bilang aku hanya sedikit demam." William mengangguk, meski garis khawatir di wajahnya belum sepenuhnya hilang. "Kamu harus banyak istirahat, jangan terlalu capek, apalagi sekarang kamu sedang hamil. Kamu harus menjaga kesehatanmu, menge
Laura menatap layar ponselnya dengan kesal. Sudah berkali-kali ia mencoba menghubungi Daniel, tetapi tidak ada jawaban sama sekali. Jemarinya mengetuk meja dengan tidak sabar, matanya menatap layar yang kembali menampilkan panggilan tak terjawab. "Kenapa sih, Daniel?!" gerutunya, lalu melempar ponselnya ke sofa dengan kasar. Saat itu juga, Anne melangkah masuk dan langsung menangkap ekspresi kesal di wajah Laura. Ia mendekati wanita itu dengan alis sedikit berkerut. "Kau kenapa?" tanyanya ingin tahu. Laura mendesah frustrasi, lalu menyilangkan tangan di depan dada. "Aku sudah menelepon Daniel berkali-kali, tapi dia sama sekali tidak mengangkat panggilanku. Aku tidak tahu dia sedang di mana dan apa yang sedang dia lakukan." Anne menatapnya dengan sorot mata penuh pertimbangan, lalu duduk di samping Laura. Ia menghela napas pelan sebelum akhirnya berkata, "Aku sendiri tidak tahu mengapa Daniel begitu khawatir terhadap Sophia. Apalagi sejak dulu, aku selalu merasa ada sesuatu di ant
Daniel menghapus air mata yang jatuh di pelupuk mata Sophia dengan pelan. Ibu jarinya menyapu pipi wanita itu dengan hati-hatian, ia takut menyakiti Sophia lebih jauh. Manik mata mereka beradu. Namun, Sophia segera mengalihkan pandangannya, ia tidak sanggup menatap Daniel lama-lama. "Kenapa kamu bertanya seperti itu, hm?" suara Daniel terdengar rendah. Sophia mencoba tersenyum, tetapi yang terbentuk di bibirnya hanya lengkungan samar yang menyakitkan. Hatinya terasa begitu sesak, dipenuhi oleh pertanyaan yang sejak dulu selalu ia pendam. Apakah semua ini hanya perasaannya sendiri? Apakah selama lima tahun terakhir, hanya ia yang jatuh cinta tanpa pernah benar-benar dicintai? Kenangan itu menyeruak, membawanya kembali ke masa lalu. Ia mengingat bagaimana ia selalu menunggu Daniel mengatakan cinta padanya. Lima tahun mereka bersama, melewati begitu banyak kebersamaan—dari momen sederhana hingga kebahagiaan yang seharusnya sempurna. Tapi selama itu juga, tidak sekalipun Daniel meng
Daniel menggulung lengan kemejanya hingga ke siku, membiarkan kulitnya terbuka pada udara dingin ruangan. Pandangannya jatuh pada mangkuk bubur yang masih mengepulkan uap tipis di atas nakas. Ia meraih mangkuk itu, jemarinya melingkari sisi keramik yang masih hangat. Ia beralih ke sisi tempat tidur, menarik kursi mendekat sebelum duduk. Matanya mengamati sosok di depannya—wajah pucat itu, bibir kering yang sedikit terbuka, serta napas yang terdengar lemah. Bahkan tanpa menyentuhnya, ia bisa merasakan betapa rapuhnya perempuan ini sekarang. "Sophia," panggilnya lembut. Ia menyendok bubur ke dalam sendok dan meniupnya perlahan. "Makanlah. Kamu butuh tenaga agar cepat sembuh." Perempuan itu menggeleng pelan, matanya tak sekalipun bertemu dengan milik Daniel. "Aku tidak berselera." Suaranya nyaris tak terdengar, begitu pelan hingga hampir menyatu dengan keheningan di antara mereka. Daniel menatapnya, rahangnya mengencang. Ia meletakkan sendok ke dalam mangkuk, lalu menghela napas ber
Kelopak mata Sophia perlahan bergerak, perlahan ia lalu membuka mata. Cahaya dari jendela membuatnya harus berkedip beberapa kali untuk menyesuaikan pandangannya. Napasnya masih terasa berat, dan tubuhnya lemas. Namun, hal pertama yang membuatnya terkejut bukanlah rasa sakit di kepalanya—melainkan sosok pria yang duduk di sampingnya. "Daniel …" gumamnya parau. Tenggorokannya terasa kering, suaranya nyaris tak keluar. Daniel menoleh dengan cepat begitu mendengar suara Sophia. "Kamu sudah sadar," katanya, nada suaranya terdengar lega. Sophia masih berusaha memahami situasinya. Matanya mengedarkan pandangan ke sekitar, mencoba mengenali tempat ini. Bau khas antiseptik langsung menyadarkannya—ia berada di rumah sakit. "Aku di rumah sakit?" bisiknya. Pikirannya mencoba mengingat kembali apa yang terjadi. Terakhir yang ia ingat, ia sedang menuruni tangga … lalu semuanya menjadi buram. "Di mana David?" tanya Sophia, sembari menyapu ke setiap penjuru ruangan mencari sosok suaminya, tap
"Sophia, bangun." Daniel menepuk pipi Sophia dengan pelan. Namun, wanita itu tetap terkulai lemas, sama sekali tak menunjukkan tanda-tanda akan sadar. Semua mata tertuju pada Daniel. Keheningan menyelimuti ruangan, hanya suara napas tertahan yang terdengar. Tak ada yang menyangka bahwa Daniel, yang selama ini tampak tenang dan tak banyak bicara soal Sophia, akan bereaksi seperti ini. Bahkan William, yang mengenal anaknya lebih dari siapa pun, tak dapat menyembunyikan keterkejutannya. Namun, ada satu hal yang lebih aneh. David. Pria yang seharusnya menjadi orang pertama yang panik saat melihat istrinya pingsan justru tetap duduk di kursinya. Wajahnya memang terlihat terkejut, tapi tidak ada kegelisahan nyata di matanya. Tidak seperti Daniel, yang kini dengan cemas memeluk tubuh Sophia dalam dekapannya. Daniel mengeratkan rahangnya. Tanpa pikir panjang, ia menyelipkan satu tangan ke bawah lutut Sophia dan satu lagi di punggungnya, lalu mengangkat tubuh Sophia dengan mudah. "Aku
Saat langkah Sophia menaiki anak tangga, ia bisa merasakan detak jantungnya masih belum kembali normal. Perasaan tidak nyaman itu terus menghantuinya, udara di dalam rumah ini terasa lebih berat sejak Daniel datang. Tangannya mencengkeram pegangan tangga lebih kuat, mencoba mengabaikan perasaan aneh yang menghantam dadanya. Ia harus pergi dari sini, menjauh dari tatapan Daniel, menjauh dari segala kegelisahan yang baru saja ia rasakan. Namun, saat baru saja mencapai lantai atas, ia tak bisa menahan diri untuk berhenti sejenak. Dari tempatnya berdiri, ia masih bisa mendengar samar suara William menyambut Daniel dan Laura di ruang kerja. "Nah, kalian akhirnya datang," suara William terdengar hangat. "Duduklah." "Maaf, Paman, kami sedikit terlambat," ujar Laura dengan nada lembutnya yang dibuat-buat. Sophia mengepalkan jemarinya tanpa sadar. Bahkan tanpa melihatnya pun, ia tahu Laura sedang bertingkah seolah menjadi tunangan sempurna bagi Daniel. Lalu, suara Daniel terdengar,
Pagi ini, aroma teh melati menguar dari dapur. Sophia menuangkan air panas ke dalam cangkir porselen dengan hati-hati, memastikan suhu dan takarannya pas. Ia tak pernah menambahkan gula dalam teh William. Bukan karena lelaki itu tidak menyukainya, tetapi karena kebiasaan yang sudah tertanam bertahun-tahun—William selalu menikmati tehnya pahit, hanya dengan sedikit perasan lemon untuk memberikan rasa segar. Ia mengangkat cangkir itu perlahan, untuk segera membawanya ke ruang kerja William. "Nona, mengapa Anda tidak meminta maid saja untuk membuat teh?" suara Lewis, kepala pelayan keluarga, terdengar tegas. Sophia berhenti sejenak, menoleh ke arah pria paruh baya itu dengan senyum tipis. "Aku ingin membuatnya sendiri." "Tapi—" "Tidak apa-apa, Lewis," potong Sophia sebelum pria itu bisa menyelesaikan kalimatnya. "Aku hanya ingin memastikan bahwa teh ini dibuat dengan tanganku sendiri." Lewis menatapnya beberapa saat, seolah ingin mengatakan sesuatu lagi, tapi akhirnya ia hanya men