Mansion keluarga Williams berdiri megah di bawah cahaya siang yang mulai meredup. Langit di luar berwarna jingga keemasan, menandakan sore telah tiba. Di dalam dapur yang luas dengan marmer putih mengkilap, Sophia berjalan mendekati lemari es, tangannya terulur membuka pintunya. Udara dingin langsung menyentuh wajahnya saat ia meraih sebotol air mineral. Ia membuka tutup botol itu dengan satu tangan, menuangkan air ke dalam gelas, lalu meneguknya perlahan. Rasa hausnya sedikit mereda, tetapi pikirannya masih dipenuhi dengan kejadian semalam. Rasa panas di tubuhnya, kesadaran yang perlahan memudar, dan bayangan Anne yang terus mendorongnya untuk minum. Langkah kaki terdengar dari arah belakang. Saat Sophia menoleh, ia mendapati Anne tengah berjalan menuju pintu dapur. Akan tetapi, saat melihat Sophia, wanita itu tiba-tiba memutar arah, seperti sedang menghindar dari Sophia. Seketika, emosi Sophia mendidih. Ia tidak bisa lagi berpura-pura tidak tahu. "Tunggu dulu," suara Sophi
Suara langkah kaki terdengar tergesa-gesa di sepanjang koridor, diikuti oleh suara pintu ruang tamu yang terbuka kasar. "Sophia!" Suara berat itu menggema di seluruh ruangan, menusuk keheningan yang sebelumnya hanya diisi oleh dentingan cangkir porselen. Sophia yang tengah berdiri di dekat sofa sontak menoleh. Ia baru saja hendak menuang teh ke dalam cangkir ketika suara itu menyambar perhatian. Matanya menangkap sosok David yang berdiri di ambang pintu—rahangnya mengatup keras, napasnya memburu, dan tatapannya membara. Dada Sophia mencelos. "David? Ada apa?" Namun, sebelum ia sempat memproses apa yang sedang terjadi, sebuah tamparan mendarat keras di pipinya. PLAK! Dunia terasa berhenti. Semua terjadi begitu cepat—kepalanya terpelanting ke samping, suara tamparan itu masih menggema di telinganya, dan rasa panas yang perih menjalar di pipinya. Tangan Sophia terangkat refleks, menyentuh kulitnya yang berdenyut. Matanya melebar tidak percaya. "Kau … menamparku?"
Sophia melangkah keluar dari rumah sakit, udara sore menyapu wajahnya dengan lembut. Baru saja ia hendak melanjutkan langkah, suara deru mobil yang melintas di hadapannya membuatnya berhenti. Sebuah mobil hitam berkilau berhenti di tepi jalan, dan kaca jendelanya perlahan turun, memperlihatkan sosok pria yang duduk di dalamnya. John. Pria itu menatapnya dengan serius. "Sophia." Sophia mengernyit, sedikit terkejut dengan kedatangan lelaki itu. "John?" "Masuklah." Sophia menatap pria itu sesaat, seperti mempertimbangkan sesuatu, sebelum akhirnya mengangguk dan melangkah masuk ke dalam mobil. Ia menoleh ke arah John yang kini tengah fokus mengemudi. "Ada apa, John? Tumben sekali kau menjemputku seperti ini." John tetap menatap ke depan, menyusuri jalanan kota dengan kecepatan stabil. "Ada seseorang yang ingin bertemu denganmu." Dahi Sophia berkerut. "Siapa?" John akhirnya melirik sekilas, seolah mengukur reaksi Sophia sebelum menjawab, "Siapa lagi kalau bukan Dani
"Kurang ajar! Berani-beraninya dia menamparmu?" Daniel menggeram. Mendengar umpatan Daniel, Sophia mengerutkan kening. Ada sesuatu yang aneh dalam reaksinya kali ini. Apakah Daniel benar-benar marah hanya karena David telah menamparnya? Bukankah selama ini dia selalu bersikap dingin dan tak acuh terhadap urusannya? Merasa penasaran, Sophia mengangkat tangannya dan menyentuh kening pria itu. Tapi suhu tubuhnya terasa normal, tak ada tanda-tanda demam. "Kau ... kau marah pada David?" tanyanya, matanya menatap Daniel dengan bingung. Daniel mengencangkan rahangnya. Ia melepaskan tangannya dari pinggang Sophia dan mengalihkan pandangannya ke arah lain, seolah mencoba menyembunyikan sesuatu. "Kenapa dia bisa menamparmu?" tanyanya, suaranya lebih tenang, tapi tetap terdengar dingin. Sophia menghela napas panjang sebelum menjawab, "Anne memberitahu David bahwa aku mempermalukannya di depanmu. Jadi, dia tiba-tiba datang dan menamparku begitu saja." Daniel menoleh cepat, tatapan
Gaun malam berwarna hitam dengan detail manik-manik halus tergeletak di atas ranjang. Sophia menatapnya tanpa banyak ekspresi, tangannya sibuk menyisir rambut panjangnya yang terurai. Malam ini adalah pesta ulang tahun William. Pesta besar yang akan diadakan di hotel mewah milik keluarga Williams. Ia baru saja hendak mengenakan anting saat pintu kamarnya terbuka begitu saja. Sosok seorang wanita berusia sekitar lima puluhan melangkah masuk dengan percaya diri, seolah kamar ini adalah miliknya sendiri. Rose. Wanita itu mengenakan gaun hijau zamrud dengan perhiasan mencolok di pergelangan tangan dan lehernya. Tatapannya langsung menyapu seluruh ruangan dengan cepat—ranjang berukir mewah, lampu gantung kristal, lemari pakaian besar yang terbuat dari kayu mahal. Segala kemewahan yang dulu hanya bisa ia impikan. Senyuman puas tersungging di wajahnya. "Kau beruntung, Sophia," ucapnya sambil berjalan lebih dalam, jemarinya dengan ringan menyentuh ukiran kayu di ujung ranjang. "Li
"Kau tidak perlu melakukannya." Sophia langsung menegakkan tubuhnya, seolah tarikan gravitasi yang sebelumnya menahannya hilang begitu saja. Napasnya tercekat, matanya melebar saat mengenali sosok pria yang baru saja berbicara. Pria itu adalah Daniel. Ia berdiri di ambang pintu, mengenakan tuxedo yang rapi dengan kemeja putih bersih di baliknya. Cahaya lampu mengguratkan kilau di rambut hitamnya yang tertata sempurna. Sorot matanya tajam, saat ia melangkah mendekati mereka. Melihat itu, Anne menegang. "T-Tuan Daniel …" gumamnya, segera menundukkan kepala, ekspresi angkuhnya menghilang seketika. Ia tidak menyangka bahwa Daniel masih ada di mansion. Ia pikir semua orang sudah pergi ke hotel untuk perayaan ulang tahun Williams. Tepat sudah berada di dekat mereka, Daniel menghentikan langkahnya, tatapannya menusuk langsung ke arah Anne. "Apa kau tidak bisa menjaga sikapmu?" Anne menelan ludah. Ia bisa merasakan jantungnya berdegup lebih kencang. Bahkan untuk menatap mata taj
Sosok wanita bertubuh langsing melangkah dengan anggun menuju di mana tempat William dan keluarganya sedang berada. Semua orang menatap kagum ke arah wanita itu, penampilannya malam ini begitu mempesona. Rambut pirangnya disanggul rapi, beberapa helai dibiarkan jatuh di sekitar wajahnya. Gaun merah yang membalut tubuhnya begitu sempurna, mengikuti setiap lekuk tubuhnya tanpa berlebihan. Sementara leher jenjangnya dihiasi kalung berlian yang berkilau setiap kali ia bergerak. Wanita itu melangkah dengan percaya diri. Sepatu hak tinggi yang berkilauan muncul sesekali dari balik gaunnya, menyempurnakan keseluruhan penampilannya yang membuat semua mata enggan berpaling. Wanita itu adalah Laura James, putri sulung James, seorang pengusaha ternama di kota ini. Namun, bukan hanya status keluarganya yang membuat namanya dikenal, tetapi juga hubungannya dengan seseorang di ruangan ini. Mantan kekasih Daniel. Lebih tepatnya, cinta pertama Daniel. Daniel berdiri mematung, matanya
Daniel dan Laura berdiri berhadapan di sebuah ruangan yang sepi. Suara bising dari pesta ulang tahun William terasa jauh, seakan hanya ada mereka berdua di dunia ini. Laura menggigit bibirnya, matanya menatap Daniel dengan ragu. "Daniel … aku minta maaf." "Untuk apa?" "Aku tahu aku salah telah meninggalkanmu dulu." Sebuah senyum sinis terukir di wajah Daniel. "Lima tahun kau pergi tanpa kabar, dan sekarang kau kembali hanya dengan maaf?" Laura mengepalkan tangannya, ia tahu ia salah karena telah meninggalkan Daniel begitu saja. "Aku pergi bukan tanpa alasan, Daniel. Aku harus melakukannya." Daniel menatapnya tajam. "Harus? Kenapa? Apa karena ada pria lain?" Laura cepat-cepat menggeleng. "Bukan. Bukan seperti itu." Ia mengalihkan pandangannya, berusaha meredam gejolak dalam dadanya. Lalu, dengan suara yang hampir bergetar, Laura berkata, "Aku mengidap penyakit jantung bawaan sejak kecil, Daniel." Daniel terdiam. "Saat itu dokter memberitahuku bahwa usiaku mungkin
Maid berjalan dengan hati-hati menyusuri koridor menuju kamar Sophia. Di atas nampan yang ia bawa, cangkir porselen berisi susu hangat bergoyang sedikit, tetapi tetap berada dalam keseimbangan. Aroma lembutnya menyebar di udara, menciptakan rasa nyaman. Setibanya di depan kamar, maid mengetuk pintu dengan sopan. "Nyonya Sophia, ini saya. Saya membawakan susu untuk Anda." Tak ada jawaban langsung. Maid menunggu beberapa detik sebelum kembali mengetuk, kali ini sedikit lebih keras. Barulah terdengar suara pelan dari dalam. "Masuklah." Dengan lembut, maid mendorong pintu dan melangkah masuk. Sophia sedang duduk di tempat tidur, bersandar pada bantal tebal. Wajahnya masih terlihat sedikit pucat, tetapi ia sudah jauh lebih baik dibanding sebelumnya. "Terima kasih," kata Sophia lemah, mencoba tersenyum saat melihat maid itu mendekat. "Susu hangatnya baru saja dibuat, Nyonya. Minumlah selagi masih hangat," ujar maid sambil meletakkan nampan di meja kecil di samping tempat tidur
Mansion William sore ini terasa lebih hangat dari biasanya. Cahaya matahari yang mulai meredup menyorot jendela-jendela besar, memberi kesan nyaman di dalam rumah megah itu. Saat mobil yang membawa Sophia dan David berhenti di depan pintu utama, seorang pelayan dengan sigap membukakan pintu mobil untuk mereka. Sophia melangkah turun dengan hati-hati. Tubuhnya masih terasa sedikit lemah, tapi setidaknya lebih baik dibandingkan saat ia pingsan beberapa hari lalu. Pandangannya langsung menangkap sosok William yang berdiri di depan pintu, menatapnya dengan perhatian. "Sophia, bagaimana keadaanmu?" suara berat William terdengar hangat, membuat hati Sophia sedikit tenang. Ia tersenyum, berusaha meyakinkan pria tua itu. "Aku baik-baik saja, Kakek. Dokter bilang aku hanya sedikit demam." William mengangguk, meski garis khawatir di wajahnya belum sepenuhnya hilang. "Kamu harus banyak istirahat, jangan terlalu capek, apalagi sekarang kamu sedang hamil. Kamu harus menjaga kesehatanmu, menge
Laura menatap layar ponselnya dengan kesal. Sudah berkali-kali ia mencoba menghubungi Daniel, tetapi tidak ada jawaban sama sekali. Jemarinya mengetuk meja dengan tidak sabar, matanya menatap layar yang kembali menampilkan panggilan tak terjawab. "Kenapa sih, Daniel?!" gerutunya, lalu melempar ponselnya ke sofa dengan kasar. Saat itu juga, Anne melangkah masuk dan langsung menangkap ekspresi kesal di wajah Laura. Ia mendekati wanita itu dengan alis sedikit berkerut. "Kau kenapa?" tanyanya ingin tahu. Laura mendesah frustrasi, lalu menyilangkan tangan di depan dada. "Aku sudah menelepon Daniel berkali-kali, tapi dia sama sekali tidak mengangkat panggilanku. Aku tidak tahu dia sedang di mana dan apa yang sedang dia lakukan." Anne menatapnya dengan sorot mata penuh pertimbangan, lalu duduk di samping Laura. Ia menghela napas pelan sebelum akhirnya berkata, "Aku sendiri tidak tahu mengapa Daniel begitu khawatir terhadap Sophia. Apalagi sejak dulu, aku selalu merasa ada sesuatu di ant
Daniel menghapus air mata yang jatuh di pelupuk mata Sophia dengan pelan. Ibu jarinya menyapu pipi wanita itu dengan hati-hatian, ia takut menyakiti Sophia lebih jauh. Manik mata mereka beradu. Namun, Sophia segera mengalihkan pandangannya, ia tidak sanggup menatap Daniel lama-lama. "Kenapa kamu bertanya seperti itu, hm?" suara Daniel terdengar rendah. Sophia mencoba tersenyum, tetapi yang terbentuk di bibirnya hanya lengkungan samar yang menyakitkan. Hatinya terasa begitu sesak, dipenuhi oleh pertanyaan yang sejak dulu selalu ia pendam. Apakah semua ini hanya perasaannya sendiri? Apakah selama lima tahun terakhir, hanya ia yang jatuh cinta tanpa pernah benar-benar dicintai? Kenangan itu menyeruak, membawanya kembali ke masa lalu. Ia mengingat bagaimana ia selalu menunggu Daniel mengatakan cinta padanya. Lima tahun mereka bersama, melewati begitu banyak kebersamaan—dari momen sederhana hingga kebahagiaan yang seharusnya sempurna. Tapi selama itu juga, tidak sekalipun Daniel meng
Daniel menggulung lengan kemejanya hingga ke siku, membiarkan kulitnya terbuka pada udara dingin ruangan. Pandangannya jatuh pada mangkuk bubur yang masih mengepulkan uap tipis di atas nakas. Ia meraih mangkuk itu, jemarinya melingkari sisi keramik yang masih hangat. Ia beralih ke sisi tempat tidur, menarik kursi mendekat sebelum duduk. Matanya mengamati sosok di depannya—wajah pucat itu, bibir kering yang sedikit terbuka, serta napas yang terdengar lemah. Bahkan tanpa menyentuhnya, ia bisa merasakan betapa rapuhnya perempuan ini sekarang. "Sophia," panggilnya lembut. Ia menyendok bubur ke dalam sendok dan meniupnya perlahan. "Makanlah. Kamu butuh tenaga agar cepat sembuh." Perempuan itu menggeleng pelan, matanya tak sekalipun bertemu dengan milik Daniel. "Aku tidak berselera." Suaranya nyaris tak terdengar, begitu pelan hingga hampir menyatu dengan keheningan di antara mereka. Daniel menatapnya, rahangnya mengencang. Ia meletakkan sendok ke dalam mangkuk, lalu menghela napas ber
Kelopak mata Sophia perlahan bergerak, perlahan ia lalu membuka mata. Cahaya dari jendela membuatnya harus berkedip beberapa kali untuk menyesuaikan pandangannya. Napasnya masih terasa berat, dan tubuhnya lemas. Namun, hal pertama yang membuatnya terkejut bukanlah rasa sakit di kepalanya—melainkan sosok pria yang duduk di sampingnya. "Daniel …" gumamnya parau. Tenggorokannya terasa kering, suaranya nyaris tak keluar. Daniel menoleh dengan cepat begitu mendengar suara Sophia. "Kamu sudah sadar," katanya, nada suaranya terdengar lega. Sophia masih berusaha memahami situasinya. Matanya mengedarkan pandangan ke sekitar, mencoba mengenali tempat ini. Bau khas antiseptik langsung menyadarkannya—ia berada di rumah sakit. "Aku di rumah sakit?" bisiknya. Pikirannya mencoba mengingat kembali apa yang terjadi. Terakhir yang ia ingat, ia sedang menuruni tangga … lalu semuanya menjadi buram. "Di mana David?" tanya Sophia, sembari menyapu ke setiap penjuru ruangan mencari sosok suaminya, tap
"Sophia, bangun." Daniel menepuk pipi Sophia dengan pelan. Namun, wanita itu tetap terkulai lemas, sama sekali tak menunjukkan tanda-tanda akan sadar. Semua mata tertuju pada Daniel. Keheningan menyelimuti ruangan, hanya suara napas tertahan yang terdengar. Tak ada yang menyangka bahwa Daniel, yang selama ini tampak tenang dan tak banyak bicara soal Sophia, akan bereaksi seperti ini. Bahkan William, yang mengenal anaknya lebih dari siapa pun, tak dapat menyembunyikan keterkejutannya. Namun, ada satu hal yang lebih aneh. David. Pria yang seharusnya menjadi orang pertama yang panik saat melihat istrinya pingsan justru tetap duduk di kursinya. Wajahnya memang terlihat terkejut, tapi tidak ada kegelisahan nyata di matanya. Tidak seperti Daniel, yang kini dengan cemas memeluk tubuh Sophia dalam dekapannya. Daniel mengeratkan rahangnya. Tanpa pikir panjang, ia menyelipkan satu tangan ke bawah lutut Sophia dan satu lagi di punggungnya, lalu mengangkat tubuh Sophia dengan mudah. "Aku
Saat langkah Sophia menaiki anak tangga, ia bisa merasakan detak jantungnya masih belum kembali normal. Perasaan tidak nyaman itu terus menghantuinya, udara di dalam rumah ini terasa lebih berat sejak Daniel datang. Tangannya mencengkeram pegangan tangga lebih kuat, mencoba mengabaikan perasaan aneh yang menghantam dadanya. Ia harus pergi dari sini, menjauh dari tatapan Daniel, menjauh dari segala kegelisahan yang baru saja ia rasakan. Namun, saat baru saja mencapai lantai atas, ia tak bisa menahan diri untuk berhenti sejenak. Dari tempatnya berdiri, ia masih bisa mendengar samar suara William menyambut Daniel dan Laura di ruang kerja. "Nah, kalian akhirnya datang," suara William terdengar hangat. "Duduklah." "Maaf, Paman, kami sedikit terlambat," ujar Laura dengan nada lembutnya yang dibuat-buat. Sophia mengepalkan jemarinya tanpa sadar. Bahkan tanpa melihatnya pun, ia tahu Laura sedang bertingkah seolah menjadi tunangan sempurna bagi Daniel. Lalu, suara Daniel terdengar,
Pagi ini, aroma teh melati menguar dari dapur. Sophia menuangkan air panas ke dalam cangkir porselen dengan hati-hati, memastikan suhu dan takarannya pas. Ia tak pernah menambahkan gula dalam teh William. Bukan karena lelaki itu tidak menyukainya, tetapi karena kebiasaan yang sudah tertanam bertahun-tahun—William selalu menikmati tehnya pahit, hanya dengan sedikit perasan lemon untuk memberikan rasa segar. Ia mengangkat cangkir itu perlahan, untuk segera membawanya ke ruang kerja William. "Nona, mengapa Anda tidak meminta maid saja untuk membuat teh?" suara Lewis, kepala pelayan keluarga, terdengar tegas. Sophia berhenti sejenak, menoleh ke arah pria paruh baya itu dengan senyum tipis. "Aku ingin membuatnya sendiri." "Tapi—" "Tidak apa-apa, Lewis," potong Sophia sebelum pria itu bisa menyelesaikan kalimatnya. "Aku hanya ingin memastikan bahwa teh ini dibuat dengan tanganku sendiri." Lewis menatapnya beberapa saat, seolah ingin mengatakan sesuatu lagi, tapi akhirnya ia hanya men