Ajeng melihat Ella yang tengah duduk membelakanginya di sebuah taman. Wanita itu sedang menangis dengan rambut terurai. Dengan ragu, dia mendekati Ella. Keningnya mengernyit heran. Bukankah Ella sudah meninggal? Kenapa dia hidup lagi?"Ella? Kenapa menangis?" tanyanya sambil terus melangkah hingga akhirnya berdiri di depan wanita itu.Wajah Ella benar-benar terlihat begitu sedih. Air matanya mengalir deras."Aku kira bakalan ketemu sama anakku di sini, Jeng. Ternyata tempat kami berbeda." Ella tersenyum getir. Selama sesaat, Ajeng bingung. Dia mengedarkan pandangan ke sekitar mereka. Hanya ada taman luas tak berujung dan tidak ada matahari. Suasananya seperti senja. Entah kenapa, Ajeng merasa begitu kesepian di tempat ini."Aku minta maaf, Jeng." Ella mendongak, menatapnya dengan wajah yang begitu muram."Aku udah maafin kamu, El.""Tapi kamu belum ikhlas."Deg!Ajeng terdiam. Memang, dia sudah memaafkan Ella. Tapi di lubuk hatinya yang paling dalam, masih ada luka yang belum sembuh.
"Lho, Tante nggak tahu kalau Ella sudah meninggal? Aku kira Tante dulu datang ke pemakaman tapi aku-nya yang nggak melihat. Terlalu fokus dan syok, jadi nggak memperhatikan siapa-siapa yang hadir di pemakaman."Puspa merasa tubuhnya seperti tidak bertulang, sampai-sampai Ajeng memegangi tangannya untuk menguatkan. Wanita itu menatap Puspa curiga."Sebentar, Tante serius belum tahu?" Kedua alis wanita itu mengernyit. "Bukannya kalian berada di penjara yang sama, kan?"Puspa menggeleng dan menatap Ajeng dengan wajah memelas. "Kami berada di lapas yang berbeda. Kenapa mereka nggak ada yang memberitahu Tante kalau Ella sudah meninggal?"Tangisnya langsung pecah saat itu juga. Anak kesayangannya meninggalkannya sendirian. Siapa lagi yang menjadi tumpuan hidupnya nanti setelah dia keluar dari penjara? Sekarang dia sangat menyesal. Kenapa dulu begitu bodoh menuruti amarahnya sehingga harus berakhir di tempat ini? Seharusnya dia menghabiskan waktunya di sisi sang putri."Nanti coba Ajeng mint
Melati melihat layar ponselnya dengan resah. Sudah entah keberapa kalinya dia menelepon Nadia setiap hari selama seminggu, namun tidak kunjung diangkat. Dan sekarang, ponsel Nadia mati."Gimana, Ma?" tanya Tirta, ayah Nadia."Malah mati ponselnya, Pa. Apa kita ke rumah Mbak Puspa aja?"Tirta tertegun sambil menatap ponselnya yang kini menampilkan artikel tentang sidang yang dijalani oleh Johan Rudiyana atas kasus pembunuhan Ella Paramitha dan Dimas Anggara."Kakakmu kan dipenjara. Kamu lupa?" ujar Tirta sambil mendongak.Melati langsung tergagap. Merasa malu karena tidak pernah menjenguk saudara satu-satunya yang masih tersisa setelah orangtua mereka meninggal. Bukannya dia tidak ingat dengan kondisi Puspa saat ini. Hanya saja, dia merasa malu pada teman-temannya dan kerabat yang lain karena memiliki kakak seorang narapidana."Ma, ma. Padahal aku udah menyuruh kamu untuk mendampingi dia. Setiap orang pernah khilaf, termasuk kita. Kenapa kamu langsung tak acuh begitu dia terkena masala
Melati tidak menyangka bahwa dia akhirnya bertemu langsung dengan Ajeng. Wanita yang sudah membuat Nadia uring-uringan karena cemburu, sekaligus penyebab kenapa anaknya sampai melakukan tindakan kriminal demi menyingkirkan perempuan itu dari sisi Evan.Ya, Melati tahu bahwa Nadia mencintai Evan. Lebih gilanya lagi, dia justru mendukung Nadia untuk mendekati suami keponakannya itu, siapa tahu Evan berminat menjadikan putrinya sebagai istri kedua. Siapa yang tidak mau memiliki menantu CEO perusahaan multinasional? Hidup Nadia pastilah terjamin dan dia juga akan kecipratan.Tapi tentu saja Tirta tidak tahu akan hal itu."Oh, jadi kamu si pelakor itu? Tega sekali kamu merebut suami sahabatmu sendiri. Memangnya kamu nggak laku ya sampai-sampai merebut suami orang?" todong Melati dengan pandangan tak suka."Ma! Kok nggak sopan gitu ngomongnya?" bentak Tirta dengan mata melotot.Bukannya tersinggung, Ajeng justru tersenyum. Senyum yang di mata Melati terlihat seperti mengejek."Sepertinya me
Sepanjang perjalanan pulang ke Bogor, Tirta hanya diam saja. Perkataan Ajeng berhasil membuatnya berpikir keras.Dia tahu apa maksud dari sahabat keponakan istrinya itu. Di sela-sela kesibukannya, Tirta selalu mengecek berita-berita terkini di segala media untuk mengusir lelah akan kesibukan pekerjaan yang menguras energi.Seperti halnya orang-orang yang berusia menjelang 50 tahun di jaman sekarang yang memiliki akun medsos sekedar untuk mencari hiburan dan informasi terkini, begitu juga dengan Tirta.Dia tahu semua masalah yang terjadi di keluarga kakak iparnya, termasuk bagaimana Ella ternyata berselingkuh sejak awal menikah dan akhirnya memaksa Ajeng untuk menjadi istri kedua suaminya sendiri.Tirta terkejut bukan main mengetahui aksi gila keponakan istrinya. Apalagi setelah beredar kabar bahwa Puspa berselingkuh dengan sopir pribadinya selama puluhan tahun, Tirta hanya bisa diam saja. Berdoa semoga kejadian itu tidak menimpa keluarganya.Tapi setelah mendengar keterangan dari Ajen
Ajeng menyambut suaminya yang baru saja pulang dengan wajah lelah. Dia menerima tas kerja dari lelaki itu dan mencium tangan suaminya."Seharusnya nggak perlu nunggu aku di ruang tamu, Sayang. Nanti kamu kecapekan. Perut kamu tambah besar juga," tegur Evan sebelum membelai rambutnya dan mencium keningnya."Nggak apa-apa. Aku sekalian main hp juga," jawab Ajeng."Nathan mana?" "Tadi pamit mau ke penthouse-nya Jack. Katanya masih ngurusin kasusnya David gara-gara nggak ada perjanjian ekstradisi antar Indonesia sama USA. Tapi katanya masih bisa dilakukan meskipun tanpa perjanjian atas dasar hubungan baik dan jika kepentingan negara ini menghendakinya. Aku kurang paham gitu-gituan mas. Intinya David nanti katanya tetap bisa diserahkan ke negara asalnya untuk disidang di sana."Mereka berjalan menuju ke kamar Evan yang ada di lantai dua, melewati ruang makan yang sudah ada beberapa lauk baru matang dan baru disajikan oleh Bi Parti."Semoga saja semuanya lancar. David memang seharusnya di
Sander memutar mata malas. "Ya sama kayak kamu, gila juga. Kelakuan kamu itu mirip orang gila. Orang gila asli aja kadang malah lebih waras daripada orang yang katanya normal.""Nggak! Aku tetap menolak untuk percaya. Ibuku tetep Mama Maudy!" teriak Ansel kalap.Sipir langsung berlari menghampiri Ansel yang hendak meninju Sander, lalu membawanya masuk kembali ke dalam sel tanpa mengatakan apa-apa.Sander menghela nafas lega. Hukuman Ansel bisa dipastikan akan lama, karena dia dijerat dengan pasal berlapis. Apalagi kesaksian dari Rita memberatkan kasus Ansel. Belum lagi kesaksian dari Jennifer Dunn yang selama ini menyamar sebagai Ajeng.Semoga saja semua berjalan dengan lancar. Sander ingin hidup tenang dan mengelola bisnis yang dipercayakan oleh adik iparnya tanpa perlu memikirkan masalah-masalah seperti itu.***"Bilang sama aku, kesalahan apa yang udah kamu buat pada Johan sampai dia merusak anak kita?" teriak Tirta begitu sampai di rumah mereka.Para pembantu hanya berani menginti
Kalau dulu Ajeng sangat menghormati Susno karena pria itu adalah ayah sahabatnya dan bersikap begitu baik padanya, maka sekarang dia hanya menatap pria itu datar. Tidak ada basa-basi menanyakan tentang kabar."Ada keperluan apa anda datang ke sini? Semuanya sudah selesai. Ella sudah meninggal, saya selamat dari ancaman kematian, dan ibu saya juga sudah berbahagia dengan ayah saya," kata Ajeng to the point.Sungguh, dia sangat muak dengan laki-laki yang lembek dan pengecut seperti Susno. Hanya diam saja ketika masalah yang ditimbulkannya semakin melebar dan menyeret banyak orang. Pria itu tetaplah egois.Bukannya menjawab, Susno malah meraih cangkir berisi kopi hitam dan menyesapnya dengan perlahan, membuat Ajeng semakin jengkel bukan main."Kalau anda tidak ada keperluan yang penting, lebih baik anda pulang saja. Saya tidak punya waktu untuk bersantai-santai meladeni anda," ucap Ajeng dengan geram.Susno menghembuskan nafas panjang, lalu menatap dinding di hadapannya. Seolah-olah seda
H-1 sebelum pesta dilaksanakan di sebuah kapal pesiar mewah, Siska mengetuk pintu kamar Ajeng untuk menanyakan tentang kepastian acara besok. Dia lupa pesta diadakan jam berapa, karena betapa banyaknya pekerjaan di kantor yang harus dia selesaikan sebelum akhirnya naik ke kapal pesiar demi menghadiri pesta pernikahan sang sahabat."Jeng, kamu lagi sibuk nggak?" teriaknya setelah mengetuk pintu beberapa kali.Dia tadi melihat Evan bersama Dana sedang bercengkerama dengan bos besar dan nyonya besar Braun, jadi dia pikir Ajeng mungkin sedang berada di kamar untuk mempersiapkan segala sesuatu."Jeng?"Tidak ada jawaban. Dia mendorong pintu yang ternyata tidak terkunci."Aku buka ya. Maaf kalau aku mengganggu," ucapnya sambil tersenyum. Tidak sabar untuk bergosip ria dengan Ajeng. "Besok pestanya jam bera...pa..."Siska langsung menganga dengan mata membelalak ketika melihat tubuh yang hanya dibalut dengan handuk di bagian bawah pinggul. Dia terengah kaget dan hal itu membuat sang pemilik
Siska menatap mantan calon mertuanya tak percaya sekaligus geram. Padahal selama dia menjalin hubungan dengan Bayu, wanita itu begitu baik padanya. "Apa selama ini Tante hanya berpura-pura baik di depan saya? Kalau memang Bayu sudah bertunangan sejak kuliah, kenapa Tante menerima saya sebagai calon menantu?" tuntutnya.Ibu Bayu langsung gelagapan ketika Meliana mengerutkan kening, lalu menatap wanita itu curiga."Eh, ng-nggak kok Mel. Nggak usah percaya sama dia. Mama nggak kenal siapa dia. Bayu selalu setia sama kamu kok," kata ibu Bayu cepat-cepat.Hati Siska sakit sekali mendengarnya. Seandainya saja pernikahan itu sudah terlanjur terjadi, apakah dia akan ditindas oleh wanita itu? Dia jadi teringat dengan nasib Ajeng ketika menikah dengan Dimas. "Ck, ternyata memang bener ya. Orang jahat itu manipulatif dan pinter berpura-pura. Untung saya nggak jadi menikah sama Bayu. Nggak kebayang saya menjadi perempuan yang dibodohi oleh suami dan keluarganya."Siska beralih menatap Meliana.
Siska terus menangis entah sudah berapa lama. Dadanya sesak sekali dan rasanya dia ingin menghilang dari dunia ini. Cintanya pada Bayu begitu besar. Dia sudah menyerahkan seluruh hatinya pada pria itu karena berpikir bahwa Bayu adalah belahan jiwanya."Kenapa pria yang terlihat baik dan setia seperti Bayu ternyata bajingan?" tanyanya setelah tangisnya reda, namun masih sesenggukan."Biasanya kan memang begitu," jawab Raka dengan santai.Siska langsung melotot pada pria yang telah bertahun-tahun menjadi rekan kerjanya menjadi orang kepercayaan Evan. Raka langsung mengangkat kedua tangannya."Biasanya memang begitu. Pria yang terlihat kalem dan nggak neko-neko tuh justru menyimpan banyak rahasia. Coba lihat Mr. Evan. Dia itu dingin, kelihatan nggak peduli sama perempuan. Eh tahu-tahu istrinya dua kan? Tapi kasusnya kan beda. Diam-diam dia bucin akut sama Ajeng."Siska menyeka air mata di wajahnya, tak peduli dengan make-up yang ikut luntur."Rasanya sakit banget, Ka. Kenapa aku nggak ja
"Semua dokumen sudah lengkap?""Sudah, Mr.," jawab Siska dengan antusias. Jantungnya berdegup kencang karena sebentar lagi akan bertemu dengan tunangannya. Kesibukannya sebagai sekretaris CEO di perusahaan multinasional membuatnya begitu sibuk dan sering pulang malam, sehingga waktu untuk bertemu dengan tunangannya sangat sedikit."Semangat banget yang mau ketemu tunangan," goda Raka ketika mereka sampai di lobi perusahaan.Siska hanya tersenyum, namun debar dalam dadanya semakin kencang. Padahal mereka sebentar lagi menikah, tapi Siska merasa seperti baru saja jadian dengan sang tunangan.Mereka masuk ke dalam mobil dinas khusus CEO yang disediakan oleh perusahaan. Mobil mewah keluaran terbaru yang anti peluru, karena keselamatan Evan Braun sangatlah penting."Gimana liburannya di Malang, Pak?" tanya Raka membuka percakapan sambil fokus melihat jalanan di depannya."Menyenangkan. Istri saya pintar memilih tempat liburan yang bagus," jawab Evan sambil tersenyum.Siska yang duduk di s
Dari sekian banyak orang yang mengenalnya, kenapa justru wanita itu yang datang menjenguknya? Bahkan orangtuanya sudah tidak peduli lagi, apalagi kekasihnya."Maaf ya baru bisa menjenguk kamu. Nih, aku bawain makanan kesukaan kamu," kata Ajeng sambil tersenyum."Kenapa?"Wanita itu mendongak. Gerakan tangannya meletakkan dua kotak makanan dan satu gelas minuman terhenti."Aku pengen bawain kamu makanan yang enak. Nggak aku kasih racun kok, udah diperiksa juga sama petugas," jawab Ajeng."Kenapa kamu mau repot-repot datang?" jelasnya.Ajeng menghela nafas panjang. Wanita itu terlihat lebih bercahaya dan tetap awet muda, persis seperti ketika dia pertama kali dikenalkan pada wanita itu oleh Ella dulu.Hanya Ajeng yang tidak pernah mengusiknya, meskipun tahu bahwa dia membawa pengaruh buruk pada sahabat wanita itu. Jadi ketika Ella ikut terjerumus ke dalam sekte sesat demi bisa menghancurkan Ajeng, Johan tidak mendukung Ella sama sekali.Baginya, Ajeng itu seperti kertas putih yang sayan
"Kamu juga harus mati, Johan. Enak saja kamu masih hidup dengan tenang, sedangkan aku harus menjadi bulan-bulanan mereka."Johan membelalak ketika melihat Nadia mendekatinya dengan pakaian yang sama seperti terakhir kali dia melihat wanita itu. Rambut panjang Nadia acak-acakan. Perut wanita itu berlubang dan mengeluarkan banyak darah. Lalu di tangan kanan wanita itu....Janin merah yang tiba-tiba saja melihat ke arahnya dengan mata melotot. Bibir janin itu tertarik membentuk senyuman dengan gigi-gigi runcing yang terlihat tajam."Ayah."Johan menjerit ketakutan. Dia langsung berlari dengan sekuat tenaga. Nadia sudah mati, dia yakin itu. Dia sendiri yang mengatakan pada Ansel di mana keberadaan Nadia sebelum kabur ke Australia. Belum jauh dia berlari, kakinya tersandung. Membuatnya jatuh dengan keras. Dua orang berjubah hitam dan bertudung menarik tangannya dan memaksanya untuk berdiri. "Nggak! Nggak lepasin aku! Aku udah bukan bagian dari kalian lagi!""Siapapun yang menjadi pengkhi
Pesta pernikahan Ajeng dan Evan diadakan di kapal pesiar yang mewah. Seluruh karyawan Deca di kantor pusat dan karyawan Ajeng di Otten Supermarket turut hadir dalam pesta.Banyak yang takjub dengan pesta mereka, apalagi Evan benar-benar maksimal dalam menjamu tamu. Mereka semua menikmati makanan mewah dan mahal yang biasanya hanya bisa dinikmati oleh kalangan atas."Ternyata Mr. Evan lebih bahagia bersama Ajeng ya," ucap salah satu karyawan Deca yang dulu satu divisi dengan Ajeng."Iya bener. Waktu sama Bu Ella dulu, dia nggak pernah tersenyum. Kaku banget kayak kanebo kering. Pestanya juga biasa aja nggak semewah ini," sahut yang lain."Pantesan Bu Marta langsung dipecat dan dijebloskan ke penjara begitu mencelakai Ajeng. Secinta itu orangnya sama Ajeng. Lihat aja deh, senyumnya nggak pernah luntur tuh. Benar-benar bucin akut.""Aku sih mendukung Ajeng. Dia emang baik orangnya. Bahkan meskipun sekarang udah menjadi istri konglomerat, dia nggak pernah lupa sama kita-kita.""Eh iya ben
"Sudah tahu punya anak bayi, kenapa malah nggak pulang-pulang? Lihat nih, Dana sampai nangis ngejer kayak gini. Mbok ya diajak kalau jalan-jalan. Benar-benar nggak kasihan sama anak," omel Sekar begitu Ajeng dan Evan baru pulang setelah Maghrib.Ajeng langsung meraih Dana yang menangis sesenggukan sampai suaranya serak dan buru-buru menepuk-nepuk punggung bayi itu."Cup...cup...maaf ya mama baru pulang. Dana nyariin mama ya?" ucapnya dengan wajah bersalah.Dia langsung duduk di depan televisi dan menyusui bayi itu yang langsung diam. Perasaan bersalah kembali menyerangnya. Seharusnya mereka mengajak Dana. Siapa yang tahu bahwa anak itu mencari-carinya, padahal tadi Dana kelihatan senang ketika diajak oleh neneknya."Kalian ini kalau masih punya anak bayi, jangan sering ditinggal. Dia masih butuh perhatian dan kasih sayang dari orangtuanya. Bayi itu peka. Jangan sampai dia merasa diabaikan," omel Sekar lagi.Kalau biasanya Ajeng menjawab, maka kali ini dia hanya diam saja. Dia jarang m
"Sudah?" Evan langsung berdiri begitu melihat Ajeng keluar dari ruang kunjungan. "Kenapa kamu kelihatan sedih?"Ajeng hanya tersenyum tipis. Mendadak dia merasa energinya tersedot habis setelah melihat kondisi Ansel. Bagaimanapun juga, pria itu adalah adik sepupunya. Dulu, sebelum dia mengenal Ella, dia dan Ansel sudah seperti adik kakak. Mereka begitu akrab dan hangat, sampai-sampai Ajeng tidak sadar bahwa timbul rasa lain di hati Ansel.Secara agama, memang Ansel itu bukanlah mahramnya. Jadi ketika pria itu menaruh hati padanya, tidak ada yang salah, karena memang mereka halal untuk menikah. Tapi tetap saja, Ajeng merasa itu saru (tidak pantas)."Kita ke Selecta ya, Mas. Aku pengen ngadem. Pikiranku suntuk banget," pinta Ajeng sambil menggandeng lengan suaminya.Dana dititipkan ke kakek dan neneknya, dan tentu saja Sekar sangat senang sekali. Apalagi Dana tipe bayi yang tidak gampang rewel. Kecuali jika anak itu tidak suka pada seseorang yang juga tidak menyukainya. "Siap. Mas jug