Azhar POV
Aku menunggu kedatangan Erwin dengan gelisah. Katanya dia pergi mengantar pelayan itu ke rumahnya. Katanya itu bukan Mita. Tapi aku tak percaya, Erwin memang suka mengerjaiku. Persahabatan kami walau terbilang singkat tapi kami sudah saling mengetahui dan memahami karakter masing-masing.Menurut Erwin dia dalam perjalanan pulang dari desa Durian. Aku pernah ingat jika Mita pernah bercerita padaku jika kakek dan neneknya tinggal di desa Durian. Aku semakin yakin yang diantarnya adalah Mita.Melihat lengannya tadi yang melepuh membuat hati ini teriris. Bagaimana mungkin dia berada begitu dekatnya denganku namun aku tidak mengenalinya. Apakah karena dosaku padanya sampai aku tak bisa merasakan kehadirannya ?Aku berdiri di jendela, kulihat mobil Erwin memasuki halaman gedung. Aku segera duduk di kursi kebesaranku. Aku ingin tahu apa yang sudah dilakukan asistenku itu.Selang beberapa saat, Erwin masuk ke ruanganku dengan seenaknya tanpa mengetuk pintu terlebih dahulu. Kulihat dia seakan acuh tak acuh, kelakuannya ini membuatku semakin penasaran.Erwin menarik kursi dan duduk di hadapanku."Sampai dimana tadi pembicaraan kita, soal membangun hotel di pulau Morotai."Sial ! Laki-laki ini sengaja mengabaikan perasaanku yang mengharapkan ada berita baik terkait Mita.Aku menatapnya horor, kulihat dia malah cengengesan."Sabar bro, kau pasti penasaran dengan pelayan itu kan ?"Rasanya aku ingin menonjok wajah asistenku ini saking kesalnya."Tidak !" Jawabku kesal."Benarkah ? ya sudah. Aku menyerahkan cek kosong itu padanya, " ucapan Erwin seakan menohok jantungku."A..apakah dia baik-baik saja ?" tanyaku. Rasanya aku ingin menangis."Sudah pasti dia baik-baik saja. Namanya Tisa, " Erwin terlihat semakin berbelit-belit."Tisa siapa ? Bukankah cek itu harusnya kau berikan pada Mita ?" aku menggebrak meja dan berdiri dengan gusar.Erwin tertawa terbahak-bahak. Aku tahu dia memang sengaja mengisengiku."Ceritakan padaku sepenting apakah dia dihatimu, kau tahu anaknya sangat mirip denganmu namanya Tisa. Dia sangat cantik tapi sayang...." Erwin menggantung kalimatnya.Aku seketika itu duduk dan menatap Erwin dengan serius."Dia adalah bunga desa, saat aku KKN di desanya, aku jatuh cinta dan menikahinya tanpa restu kedua orang tua"Kulihat Erwin kini serius menatapku."Pantas saja wajah anaknya mirip denganmu, lalu mengapa kau menikah dengan nyonya jika ada Mita dihatimu."Air mataku jatuh membasahi pipi, biarlah Erwin mengataiku laki-laki yang cengeng. Andai saja waktu bisa diputar kembali, aku ingin sekali membahagiakannya.Aku lalu menceritakan penyebab perceraian kami. Erwin menarik nafas dalam dan menghempaskannya. Dia yang mendengarkan ceritaku saja sampai seperti itu, apalagi aku yang mengalaminya."Lalu apa yang akan kau lakukan sekarang ? Aku sudah menyarankan pada Mita untuk berhenti bekerja," ucap Erwin."Entahlah, pikiranku kacau. Tolong bantu aku, lalu bagaimana dengan anakku apakah kau tidak memotretnya ? Aku adalah ayah yang sangat buruk, " gumamku.Erwin menunjukkan ponselnya padaku, rupanya dia sempat mengabadikan foto Mita yang memangku anakku.Air mataku berlinang, gadis mungil ini mirip diriku hanya matanya saja yang seperti mata ibunya."Wajahnya terlihat pucat, apakah ini pengaruh kamera hanphone ?" tanyaku dan mengirimkan foto itu ke ponselku."Anakmu menderita penyakit Thalasemia.""Apa ?" Bagaikan disambar petir aku mendengarnya.Penyakit genetik itu ternyata menurun pada buah hatiku, aku menangis sesenggukan. Yang aku tahu penyakit itu bisa sembuh melalui transplantasi sumsum tulang belakang. Dulu menurut cerita ibu, kakakku tak menemukan pendonornya akhirnya meninggal dunia. Aku tak bisa membayangkan gadis sekecil itu harus menderita penyakit langka itu."Mungkin itulah alasan Mita menjadi cleaning service, anaknya membutuhkan pertolongan.""Tolong bantu aku menemui mereka, aku yakin Mita pasti akan menghindariku," pintaku dengan pilu."Jangan khawatir, cek yang kau berikan sudah diterima Mita, hanya saja kau harus pikirkan bagaimana kelanjutan hidup mereka. Apakah kau tak berniat menikahinya kembali ?"Oh Tuhan, harusnya aku memikirkan itu, tapi kenapa orang lain yang malah menyarankan hal itu padaku ? Kutatap Netra Erwin yang menyorot tajam padaku."Aku tidak yakin, apakah dia masih mau menerimaku atau tidak !" suaraku terdengar pasrah."Tisa bisa menjadi penghubung antara kalian berdua, menikahlah diam-diam tanpa sepengetahuan nyonya Alisha," ucap Erwin pelan.Alisha dan Mita terdapat perbedaan yang sangat mencolok. Mita selain cantik, pembawaannya juga sangat baik. Postur tubuhnya bagaikan seorang pramugari. Matanya elok, kulitnya putih mulus, wajahnya sangat natural, cantik tanpa polesan. Jika dia berdandan wajahnya bagaikan puteri raja yang cantik jelita. Berbeda dengan Alisha, kulit sawo matang, mata yang tajam bagaikan elang dengan wajah pas-pasan. Kelebihannya hanya terlahir kaya sehingga bisa merawat tubuhnya.Awalnya aku tak pernah mau tidur dengan isteriku, namun karena tuntutan biologis untuk wanita yang halal untukku, akhirnya aku menjalani pernikahan itu apa adanya. Walau tak ada cinta tapi setidaknya aku melakukan kewajibanku sebagai seorang suami."Kau melamun ?" Erwin mengagetkan aku."Aku terbayang akan dirinya, kira-kira aku harus memulai dari mana ? Atau aku perlu menceraikan Alisha ?" tanyaku."Apa kau yakin ?""Tak perlu ditanya, aku yakin seratus persen bisa menceraikan dirinya. Hanya saja, yang membuat aku terbebani adalah Mita. Apakah dia bersedia menerimaku kembali ?""Semua terserah padamu, mana yang menurutmu baik lakukanlah. Oh ya, apakah kita minggu depan jadi ke pulau Morotai ?""Iya, tapi aku mohon pastikan keselamatan Mita dan anakku, tempatkan beberapa bodyguard untuk menjaga mereka," titahku."Aku setuju denganmu, isterimu itu bagai singa lapar, tak bisa melihat wanita cantik berada di dekatmu. Apalagi jika dia tahu itu mantan isterimu. Tapi tunggu dulu, apakah saat menikah denganmu dia tau status dudamu ?""Dia tau aku duda tanpa anak, tapi dia tidak pernah bertanya siapa mantan isteriku.""Hmmm, baiklah. Aku akan menempatkan dua orang wanita yang punya ilmu beladiri untuk mengawasi mereka. Aku yakin Mita akan menggunakan uang yang kau berikan untuk mengobati Tisa.""Terima kasih, tolong rahasiakan semua ini. Ibu dan ayahku tak boleh tahu hal ini," pintaku dengan wajah memelas."Siap bos, perintah akan dilaksanakan," Erwin segera berdiri dan mengangkat tangannya memberi hormat.Aku cukup terhibur melihat kekonyolannya. Semoga Mita dan anakku baik-baik saja. Terasa berat meninggalkan mereka dalam kondisi ini. Aku akan berusaha mencari cara untuk menemui anakku.Tak terasa hari sudah menjelang sore, aku bergegas merapikan meja kerjaku. Aku meminta sopir untuk mengantarku ke rumah. Hatiku sedang tidak baik jadi aku tak ingin mengendarai mobilku sendiri.Mengingat kejadian pagi tadi membuatku merasa begitu pengecutnya, belahan hatiku tersakiti namun aku tak menyadarinya. Bahkan ketika aku berada di sampingnya aku bahkan tak memberikan pertolongan padanya. Aku baru merasakan sakit dan kehampaan seperti hari ini. Mungkin ini pantas aku terima karena telah menyia-nyiakan mereka.Aku menatap cek kosong di tanganku, menurut Erwin, aku bisa menuliskan angka nominal satu milyar. Aku berpikir untuk membeli hunian di kota yang dekat dengan sekolah, aku ingin menjadi guru honorer, walau tak di gaji tapi setidaknya aku bisa memasukkan Tisa di sekolah itu. Pagi ini aku ke bank hendak mencairkan cek yang diberikan Erwin. Tak mungkin bagiku untuk membawa uang tunai yang cukup banyak, sehingga aku membuka tabungan dan mentransfer uangnya ke buku tabungan milikku. Aku hanya mengambil uang tunai lima puluh juta untuk keperluanku.Terpikir olehku untuk membeli ponsel baru untukku dan ibuku. Aku membeli ponsel android agar bisa menyimpan fotoku dan Tisa di dalam ponsel.Saat aku keluar dari mall, seseorang menyodorkan selebaran."Dilihat-lihat dulu mbak, perumahan yang cukup indah dan nyaman untuk di tinggali."Akhirnya aku berhenti dan menerima selebaran itu, aku lalu di tuntun ke konter tempat menawarkan hunian minimalis.Aku mengamati market hunian di dalam sebuah kaca,
Alisha POVAku terlahir kaya, karena ayahku adalah seorang pebisnis handal, sehingga aku tak merasakan yang namanya hidup susah. Ketika aku genap berusia dua puluh tahun aku dijodohkan dengan anak dari teman sekolah ayahku. Awalnya aku menolak karena aku ingin menikah dengan laki-laki yang minimal punya level yang sama denganku. Tetapi saat aku melihat pria yang dijodohkan denganku adalah sosok yang sangat tampan, akhirnya malah aku yang meminta untuk segera mempercepat pernikahannya.Bahkan ketika aku tahu dia telah berstatus duda tanpa anak, aku tetap menerimanya, hitung-hitung untuk memperbaiki keturunan. Aku sangat mencintainya, bahkan aku tak ingin ada wanita manapun yang dekat dengannya, bahkan itu karyawan. Menurut ibu mertuaku, jika mantan isterinya hanyalah seorang petani miskin yang tinggal di pedalaman, jadi aku tidak begitu mengkhawatirkannya. Lagian menurut cerita mertua jika pernikahan sebelumnya suamiku hanyalah sebuah kecelakaan, katanya wanita itu hamil di luar nikah
Aku semakin emosi melihat ulah suamiku yang tidak biasanya."Katakan ada apa denganmu hari ini Azhar?" teriakku dengan emosi."Bukankah aku sudah katakan padamu jangan menggangguku?" jawab Azhar tak kalah nyaringnya.Aku terbelalak, biasanya Azhar tak akan membalasku seperti ini. Ini pasti karena wanita itu."Apa karena pelayan itu membuatmu bersikap padaku seperti ini hah?""Pelayan siapa yang kau maksud, apa karena kau anak orang kaya sehingga menganggap semua orang itu rendahan dimatamu?" bentak Azhar tak kalah garangnya.Aku melotot, apakah aku tak salah dengar ? Suamiku yang begitu penurutnya sekarang bagaikan seekor singa yang keluar dari hutan rimba. Aku seakan tersadar, bukankah sekarang dia adalah pemilik perusahaan Citra Karya ?"Ooh jadi dia rupanya yang membuatmu begini, camkan dengan baik di dalam hatimu Azhar. Tak akan kubiarkan seorangpun berhasil merebutmu dariku, tidak akan. Titik !""Siapa yang merebut siapa ? Apa kau sadar jika selama ini kau bertindak seolah-olah k
Aku semakin curiga dengan sikap Azhar, malam ini aku tidur dikamar yang terpisah. Rencananya besok aku akan ke kantor. Aku bahkan tak perduli lagi suamiku sudah makan atau belum. Pagi-pagi sekali aku sudah bangun dan berdandan cantik, kupandangi wajahku di cermin, wajah ini jika dipoles dengan makeup pasti terlihat cantik dan anggun. Aku sangat bangga dengan kondisiku sekarang, semua bisa dibeli dengan uang. Kulihat suamiku sudah duduk di ruang makan untuk sarapan dengan pakaian kantornya, aku hanya melihatnya sekilas. Diapun pura-pura tak melihatku. Aku mengambil kunci mobil di lemari dan segera pergi tanpa bicara apapun. Kulirik jam tanganku. Waktu menunjukkan pukul 07.00. Aku pastikan jika manager personalia berada di kantornya, sekalian aku ingin melihat apakah wanita cantik itu masih punya nyali untuk datang di kantor. Seperti dugaanku, manager personalia sudah berada di ruangannya. "Mari nyonya, tumben datang pagi-pagi." Manager Personalia mempersilahkan aku duduk dikursi
Azhar POV Pagi ini aku sengaja bangun lebih awal dan bersiap-siap ke kantor, aku langsung menuju ruang makan tanpa menunggu Alisah memanggilku. Kulihat dengan sudut mataku Alisha keluar dengan pakaian rapi, melewatiku tanpa bicara apapun. Akupun pura-pura tak melihatnya dan memilih menikmati sarapanku. Selesai sarapan aku langsung ke kantor. Rupanya Erwin belum tiba. Aku berjalan menuju lift dan langsung naik menuju ruanganku di lantai tujuh. Ruanganku terlihat sangat bersih dan rapi, aromanyapun begitu menenangkan. Aku berharap Mita yang membersihkan ruangan ini, tapi aku ingat jika Erwin telah menyuruhnya untuk berhenti. Tengah membuka-buka dokumen terdengar ketukan di pintu ruanganku. "Masuk !" Pintu dibuka, dan nampaklah manager personalia memasuki ruanganku dengan tergesa-gesa. Sepertinya ada sesuatu yang penting yang ingin dia sampaikan. "Duduklah." "Nyonya baru saja keluar dari ruang personalia," lapor manager yang bernama Aslam. Aku terkejut dan menatap Aslam dengan ra
Azhar POV Siang itu, aku dan Erwin berembuk untuk mencari cara agar bisa menyatukan aku dan Mita. Kuserahkan semua rencana dan eksekusinya pada Erwin. Rencana kami mulai dari Ibunya Mita. Maka peran Salsa dibutuhkan dalam hal ini, dan menurut laporan Salsa pada Erwin, jika dia telah berhasil meyakinkan Ibunya Mita, dengan menceritakan sebagian kebenaran agar tidak membuat ibunya ketakutan. Dan berkat bantuan Dr. Rian pula, kami berhasil menyuruh Mita ke Jakarta bertemu dengan teman baiknya Dr. Rian. Aku bersembunyi diruang perawat, tatkala melihat Mita agak ragu dengan perintah Dr. Rian. Namun karena dorongan ibunya yang kini mendukungku, akhirnya Mita pergi juga. Saat Mita dan dua pengawalnya pergi, aku menghampiri mantan ibu mertuaku. Aku memeluknya sambil menangis, kujelaskan semua yang terjadi sehingga dia hanya bisa menangis dan menepuk bahuku. "Mohon restui aku bu, aku ingin kembali mempersunting putri ibu." Mantan ibu mertuaku tak berkata apapun, mungkin dia ragu karena
Pertemuanku bersama Dr. Rian berlangsung di ruang praktek Rumah Sakit Umum PB. Rupanya Erwin sudah memberi tahu adiknya itu, sehingga Dr. Rian tidak bertanya apa-apa lagi tentang diriku. "Sebenarnya, penyakit Thalasemia bisa disembuhkan dengan cara transplantasi sum-sum tulang belakang, jika anda tidak keberatan, saya akan memeriksa anda apakah anda bisa menjadi pendonor yang tepat untuknya." Demi untuk anakku aku bersedia melakukannya, pagi itu aku menjalani pemeriksaan apakah type sum-sum tulangku cocok untuk Tisa. Namun sayangnya hasil pemeriksaan menunjukkan ketidak cocokan. "Apakah ada keluarga lain yang bisa kami temukan kecocokannya dengan puteri anda ?" tanya Dr. Rian. Aku mengangguk, aku yakin ibuku bisa menjadi pendonor yang tepat untuk puteriku, tapi bagaimana aku memberitahunya? "Sambil mencari pendonor yang tepat, kita lakukan transfusi darah pada anak anda," ucap Dr. Rian. Aku hanya meringis mendengarnya, anak sekecil itu harus menjalani hal itu sungguh sangat memi
Setelah teleponku dengan ibu tersambung, aku bernafas lega. Menurut ibu, transfusi darah untuk Tisa sementara berlangsung. Kami lalu melewati jalan tol agar cepat tiba di rumah sakit. "Tuh kan, tidak ada apa-apa, kamu sih terlalu khawatir," cibir Salsa."Ya, harus dimaklumi Sa, kamu kan belum ngerasain yang namanya nikah dan punya anak. Pastilah akan menghadapi situasi seperti yang dirasakan Mita sekarang," ucap Nabila sambil matanya tetap fokus di depan kemudi.Sedangkan perawat kulihat, tertidur di jok belakang di samping Salsa. Aku duduk di depan samping Nabila.Aku tiba dan langsung disambut ibu, kulihat wajah ceria wanita yang telah melahirkanku ini sehingga membuatku tenang. Aku yakin Tisa pasti baik-baik saja walau aku tak mendampinginya.Saat aku hendak masuk ke dalam ruangan, kulihat Dr. Rian keluar dengan wajah panik."Oh untunglah ibu Mita sudah datang, Tisa dalam kondisi kritis."Aku segera menghambur ke dalam ruangan, seorang perawat nampak memasangkan alat monitor jantu
Ternyata tamu yang dimaksud Nabila adalah pemuda yang kulihat saat di sekolah Tisa. Mereka adalah orang suruhan suamiku yang memantau keberadaan kami dari jauh."Maaf atas kedatangan kami ini bu, seharusnya kami memberitahu ibu lebih dulu," seorang pria bertubuh tinggi menjabat tanganku."Tidak apa-apa, mari silakan duduk," ucapku sambil mempersilakan mereka duduk."Kenalkan nama saya Ivan dan ini teman saya namanya Jeck," Ivan yang bertubuh tinggi memperkenalkan diri. Aku mengingatnya karena dia yang terus-terusan memperhatikan aku di depan sekolah Tisa. Kami berbincang panjang lebar, kurasa upaya suamiku untuk melindungi kami terlalu berlebihan, terpikir olehku untuk menyambangi Alisha sekedar bersilaturahmi karena dia dalam keadaan sakit. Aku ingin membawakannya makanan atau bingkisan yang tentunya membuat orang yang di besuk merasa senang."Terima kasih sudah menjaga kami, sepertinya kalian terlalu berlebihan melindungi kami," ucapku."Maaf bu, kami hanya menjalankan perintah, ta
Aku memilih untuk memendam sendiri apa yang kualami hari ini, aku tak ingin membuat heboh seisi rumah dengan ceritaku."Tadi ayah Tisa menelpon, katanya nomor ponselmu sejak tadi dihubungi tidak aktif," Salsa menyampaikan pesan ayah Tisa padaku.Aku merogoh tas tanganku, kulihat ponselku ternyata off. Mungkin aku tak sengaja memencet tombolnya."Oh ternyata ponselku mati!" kataku sambil mengajak Tisa masuk ke dalam kamar.Aku mengganti baju sekolah Tisa dengan pakaian rumah. "Tisa mau makan ?""Aku masih kenyang ma ntar lagi, aku mau menggambar lagi," jawab Tisa.Aku hanya mengiyakan saja, menggambar bukanlah pekerjaan yang berat tapi aku harus mendampinginya agar tak kelelahan.Tak berapa lama setelah ponsel ku nyalakan, tiba-tiba berdering, aku tak perlu melihat lagi siapa penelponnya karena aku sudah menaruh nada dering khusus untuk suamiku."Hallo, iya maaf aku baru tiba di rumah, tadi ponselku kehabisan baterai," kilahku saat Azhar menelpon dengan segudang protesnya."Aku baru s
Mita POVSuasana kompleks perumahan sudah di ramaikan dengan pedagang keliling yang menjalankan dagangannya. Aku berdiri di tepi jalan menanti kedatangan Tisa yang di jemput Salsa. Awalnya aku merasa ragu untuk mengizinkan Tisa menginap di rumah Alisha, namun demi alasan kemanusiaan aku mengizinkannya.Dari kejauhan aku melihat mobil Salsa memasuki area kompleks, akhirnya hati ini tentram. Aku bernafas lega, tak berapa lama mobil itu berhenti tepat di sampingku."Mama....!" Teriak Tisa saat melihatku dari jendela mobil.Aku membukakan pintu untuknya dan segera memeluknya dengan erat. Aku membimbing Tisa masuk ke rumah. Aku telah menyiapkan buku catatan yang akan di bawanya ke sekolah. "Tisa sudah sarapan ?" tanyaku lalu memakaikan tas ransel sekolah di bahunya."Sudah !" Jawab Tisa."Ayo mama antar ke sekolah, ceritanya nanti pulang sekolah saja,," ucapku saat melihat Tisa yang ingin mengatakan sesuatu.Kemudian kami bergegas keluar dan berpamitan pada ibuku dan Salsa. Nabila tak ter
Aku tak tahu apa yang harus kulakukan sekarang, senyum sinis Alisha mengganggu pikiranku. Aku segera menekan pedal gas agar langsung tiba secepatnya di kantor.Ketika memasuki area parkiran gedung kantor kulihat mobil Erwin sudah terparkir lebih dulu. Aku bergegas menuju ke lantai tujuh. Sapaan para karyawan kubalas dengan anggukan kepala."Tuan Erwin sudah menunggu di dalam tuan," lapor sekretarisku.Aku hanya mengangguk lalu masuk ke dalam ruangan, kulihat Erwin sedang duduk menyilangkan kedua kakinya di kursi sofa. Aku menaruh tas kantor di meja lalu menghampiri Erwin."Sudah lama ?" tanyaku."Lumayan," jawab Erwin tersenyum."Ah kamu, jangan membohongiku. Bagaimana hasil pertemuanmu dengan dokter spesialis di Rumah Sakit ?" tanyaku dengan tak sabar."Maaf, aku hanya berbincang-bincang dengan adikku. Menurut penuturannya, terkadang pasien yang memiliki sakit seperti itu sulit terdeteksi kecuali pasien yang sakit itu datang berobat. Cobalah untuk mengajak isterimu berobat, penyakit i
Aku dan Tisa keluar dari kamar saat Alisha mengetuk pintu kamar, aku mengedipkan sebelah mataku pada Tisa. Rupanya Alisha sudah menyiapkan sarapan pagi. Aku berusaha melirik ke arah dapur, ingin memastikan apakah dia yang masak atau hanya sekedar menyiapkan di meja saja."Ayo sarapan pa," ajak Alisha."Ayo Tisa sarapan yuk," Alisha mengajak Tisa dan menggandengnya menuju meja makan."Maaf bunda, aku mau mandi dulu," tolak Tisa, dia lalu menoleh padaku."Oh ayo bunda mandiin," Alisha tak jadi menuju ruang makan dan berbalik menggandeng tangan Tisa menuju kamar mandi.Kesempatan itu aku gunakan untuk mandi juga, aku bergegas ke dalam kamar, mempersiapkan segala sesuatunya. Aku tak ingin berlama-lama di dalam kamar mandi, setelah memastikan tubuhku sudah bersih, aku segera keluar dari kamar mandi dengan handuk melilit di pinggang. Aku memakai pakaian kantor, rencanaku setelah sarapan langsung pergi ke kantor. Setelah rapi aku segera keluar kamar, kulihat Alisha dan Tisa juga baru keluar
Malam ini aku tertidur di samping Tisa, aku bahkan tak tahu jika mertuaku sudah pulang dan sempat menyaksikan diriku yang tidur memeluk erat puteri kecilku ini. Aku terbangun ketika merasakan sesorang menyelimuti kami berdua. Karena lampu masih menyala aku masih sempat melihat bayangan Alisha keluar dari kamar dan menutup pintu. Jika melihat gerakan Alisha sepertinya dia dalam keadaan segar bugar, aku ingin menghubungi Erwin dan memintanya untuk menyelidiki penyakit Alisha. Untunglah aku sempat membawa ponselku masuk ke dalam kamar, sehingga aku amsih bisa menghubungi Erwin tanpa sepengetahuan Alisha. Aku bangun perlahan dari tempat tidur dan mengunci pintu kamar. Aku tak ingin Alisha masuk lagi ke kamar ini, lalu kumatikan lampu. Biarlah kamar ini nampak gelap, aku yakin Tisa tak akan bangun.Aku mengecup kening puteriku lalu mengirim pesan pada Erwin. Tingkahku malam ini layaknya seorang kekasih yang sedang mencuri waktu untuk saling berkirim pesan. Pesanku terkirim lalu Erwin mene
Aku membawa Tisa ke rumah Alisha, percobaan pertama tidur sehari saja. Aku sudah mengatakan banyak hal pada Tisa, aku bahkan mampir ke konter untuk membelikannya ponsel khusus untuk anak yang aplikasinya berisi khusus permainan yang mendidik, dan kuisi nomor kontakku dan Mita."Jika Tisa memerlukan sesuatu atau kondisi yang mendesak, tekan nomor papa dan mama ya ?""Iya pa," jawab Tisa sambil menerima ponselnya."Tisa tau cara menggunakannya ?" tanyaku."Tau pa."Aku bersyukur Tisa bisa menggunakannya, bahkan ketika aku mencobanya, dia tertawa lalu dengan mimik lucunya dia mengangkat panggilanku. Aku tertawa, lalu kami meneruskan perjalanan menuju rumah Alisha. Di teras nampak Alisha menyambut kedatangan kami."Tisa...syukurlah kau mau tinggal di rumah bunda," Alisha berlari dan segera memeluk Tisa dengan erat.Aku pura-pura tak melihat bagaimana Alisha berlari seperti orang yang sangat sehat. Aku cukup mencatatnya dalam hati, sampai aku tahu dia berbohong, maka aku akan segera mengak
Azhar PovAku benar-benar terkejut tatkala mengetahui Alisha mengidap penyakit kanker kandungan stadium empat. Lalu kemudian dia meminta Tisa dan Mita untuk tinggal di rumah bersama, sungguh di luar dari perkiraanku. Aku masih benar-benar sangsi dengan kejadian yang sangat tiba-tiba ini. Makanya aku harus mempertimbangkannya kembali dengan Mita. Aku takut Alisha merencanakan seauatu yang buruk pada Mita, apalagi sekarang Mita sedang hamil. Sangat tidak masuk akal seorang wanita yang pongah berubah baik hanya karena mengidap penyakit."Sayang, aku ke rumah Mita untuk memintanya tinggal di rumah ini ya ? Kuharap jika dia menolak, kita tidak boleh memaksanya," ucapku."Baiklah, jika Mita tidak bersedia. Setidaknya dia mengizinkan Tisa tinggal di rumah ini," pinta Alisha.Aku mengecup keningnya, lalu berpesan kepada maid untuk segera mengabariku jika sesuatu terjadi. Aku bukannya mengharapkan hal buruk terjadi pada Alisha, tapi bukankah kemungkinan itu bisa saja ada ?Aku segera meningga
Aku bersorak kegirangan karena Azhar sekarang berada dalam genggamanku. Aku akan membuat perhitungan dengan Mita. Kita lihat saja nanti, Azhar akan berpihak padaku atau Mita."Azhar, a..aku...!""Sudah jangan bicara lagi, kau harus istrahat ya ? Kau ingin apa, katakan padaku.""Aku tak mau apa-apa selain dirimu, hidupku tidak lama lagi Azhar, bisakah kau terus mendampingiku sampai aku mati ?" air mataku meleleh membasahi pipi.Azhar meraih tisu dan mengusap air mataku dengan lembut, rasanya aku ingin tertawa terpingkal-pingkal melihat tingkah Azhar hari ini. Wajahnya penuh dengan kekhawatiran, aku meringis sedikit saja dia segera mengusapku dengan lembutnya. Oh..duhai pujaan, kini kau harus berlutut di kakiku."Azhar, bolehkah aku meminta sesuatu ?""Katakan sayang ada apa ?""Ajaklah Mita dan Tisa tinggal di rumah kita."Azhar menatapku dengan tajam, dia ingin melihat keseriusanku. Mungkin aku harus banyak minum air agar air mataku tak cepat habis."Tidak mungkin sayang, Tisa itu tak