Pertemuanku bersama Dr. Rian berlangsung di ruang praktek Rumah Sakit Umum PB. Rupanya Erwin sudah memberi tahu adiknya itu, sehingga Dr. Rian tidak bertanya apa-apa lagi tentang diriku. "Sebenarnya, penyakit Thalasemia bisa disembuhkan dengan cara transplantasi sum-sum tulang belakang, jika anda tidak keberatan, saya akan memeriksa anda apakah anda bisa menjadi pendonor yang tepat untuknya." Demi untuk anakku aku bersedia melakukannya, pagi itu aku menjalani pemeriksaan apakah type sum-sum tulangku cocok untuk Tisa. Namun sayangnya hasil pemeriksaan menunjukkan ketidak cocokan. "Apakah ada keluarga lain yang bisa kami temukan kecocokannya dengan puteri anda ?" tanya Dr. Rian. Aku mengangguk, aku yakin ibuku bisa menjadi pendonor yang tepat untuk puteriku, tapi bagaimana aku memberitahunya? "Sambil mencari pendonor yang tepat, kita lakukan transfusi darah pada anak anda," ucap Dr. Rian. Aku hanya meringis mendengarnya, anak sekecil itu harus menjalani hal itu sungguh sangat memi
Setelah teleponku dengan ibu tersambung, aku bernafas lega. Menurut ibu, transfusi darah untuk Tisa sementara berlangsung. Kami lalu melewati jalan tol agar cepat tiba di rumah sakit. "Tuh kan, tidak ada apa-apa, kamu sih terlalu khawatir," cibir Salsa."Ya, harus dimaklumi Sa, kamu kan belum ngerasain yang namanya nikah dan punya anak. Pastilah akan menghadapi situasi seperti yang dirasakan Mita sekarang," ucap Nabila sambil matanya tetap fokus di depan kemudi.Sedangkan perawat kulihat, tertidur di jok belakang di samping Salsa. Aku duduk di depan samping Nabila.Aku tiba dan langsung disambut ibu, kulihat wajah ceria wanita yang telah melahirkanku ini sehingga membuatku tenang. Aku yakin Tisa pasti baik-baik saja walau aku tak mendampinginya.Saat aku hendak masuk ke dalam ruangan, kulihat Dr. Rian keluar dengan wajah panik."Oh untunglah ibu Mita sudah datang, Tisa dalam kondisi kritis."Aku segera menghambur ke dalam ruangan, seorang perawat nampak memasangkan alat monitor jantu
Dr. Rian POV Saat proses transfusi darah berlangsung, gadis mungil itu memintaku untuk terus bersamanya dan menyuruh semua orang meninggalkan ruangan. Tak ada yang menyangka jika gadis mungil ini meminta sesuatu hal yang menurutku sangat tidak masuk akal, tapi ketika kulihat air matanya jatuh berderai, hatiku seketika itu luluh. Apalagi ketika Erwin menceritakan padaku jika ayah dan ibu Tisa sudah lama bercerai dan ayahnya ingin menikahi ibunya lagi. "Dokter bisa membantuku nggak?" Kutarik kursi agar lebih dekat ke arah ranjang. "Bantu apa sayang?" "Pasien kritis itu yang bagaimana dok? " Aku ternganga mendengar pertanyaan konyol anak ingusan ini. "Pasien kritis adalah pasien dengan disfungsi atau gagal pada satu atau lebih sistem tubuh, tergantung pada penggunaan peralatan monitoring dan terapi." "Apa itu dok?" Dr. Rian menghela nafas perlahan, bagaimana caranya menjelaskan pada anak kecil seperti ini? "Ee...seperti pasien yang tiba-tiba sesak nafas lalu membutuhkan pertolo
Aku dan Azhar keluar dari ruangan dokter dengan tubuh lemas, Azhar merangkulku, lalu kami duduk sedikit jauh dari ibu dan Erwin. "Mita, demi anak kita. Izinkan aku memperbaiki kesalahan yang pernah kulakukan, maukah kau menerimaku sebagai suami dan ayah untuk anak-anak kita ?" tanya Azhar dengan penuh harapan. Aku tak tahu ini sesuatu hal yang menggembirakan atau tidak ? Saat ini pikiranku seakan melayang di angkasa. "Maafkan untuk semua yang pernah kulakukan, saat itu aku tak punya pilihan. Mama mengancam akan bunuh diri jika aku tak menceraikan dirimu," tutur Azhar panjang lebar. Kutatap matanya, biasanya mata itu tak bisa berbohong. Dan kulihat, ada keseriusan disana. Aku ragu, haruskah aku merebut kebahagiaan wanita lain ? Rasanya aku tak sanggup melakukannya. "Dengarkan Mita, jika ini terlalu berat bagimu, aku akan menceraikan Alisha." Aku terkejut dan menatap netranya dengan serius. Airmata Azhar menetes di kedua pipinya. Akupun mengucurkan air mata, sungguh aku tak sangg
Azhar POV Ketika Mita meminta untuk dijadikan yang kedua, aku terkejut. Diluar sana banyak wanita yang menginginkan yang pertama dan terakhir, dan malah untuk wanita kedua terkadang senang ketika calon suaminya menceraikan isterinya. Tapi wanita yang kukenal dulu ini benar-benar berbeda. Mungkin karena dulu aku hidup tidak terlalu lama dengannya, sehingga aku belum memahami karakternya. Tapi yang aku tahu dia adalah wanita yang baik dan dari keluarga baik-baik. Melihat kondisi anakku yang kritis membuatku bertekad untuk menceraikan Alisha, tapi Mita malah menolaknya. Kalimatnya yang membuat hatiku tersayat adalah, " Jangan lakukan itu, walau bagaimanapun dia adalah wanita yang sama denganku. Aku tak bisa membayangkan bagaimana sakitnya ketika seorang laki-laki yang kita cintai tiba-tiba menceraikan kita tanpa sebab." Mita seakan menancapkan sebuah belati dijantungku, terdengar sakit. Entah dia menyadarinya atau tidak, tapi aku percaya jika dia tak bermaksud menyinggung perasaanku
Saat aku bangun pagi, kulihat Mita tak berada lagi di sampingku, kulirik jam tangan yang masih melingkar erat di tanganku. Sudah jam delapan pagi, tak biasanya aku bangun kesiangan seperti ini. Mungkin damainya hati setelah sekian lama terpisah jauh dari kekasih hati, sehingga membuatku tidur nyenyak. Kulihat Mita masuk lagi ke dalam kamar, dia tidak lagi memakai kaus dan celana jeans tetapi memakai daster rumahan. "Mandilah di kamar mandi belakang, aku sudah menyiapkan air hangat untukmu. Bukankah hari ini kau akan ke kantor ?" Mita menyerahkan handuk baru padaku. Aku bangun dan menerima handuk itu, saat dia hendak keluar kutarik tangannya, alhasil dia jatuh ke dalam pelukanku. "Ijinkan aku memelukmu sebantar saja, mengapa tak membangunkan aku hmm ?" "Kulihat tidurmu nyenyak, aku tak tega membangunkanmu," jawab Mita dengan wajah merona malu. Dia seakan menikmati dekapanku, karena kulihat matanya terpejam seakan ikut merasakan debaran jantungku yang terus berpacu tatkala memelukn
Ibu terlihat turun dari mobil disusul Tisa dan Salsa, aku segera berlari menyambut dan memeluknya. "Bagaimana hasil check upnya ?" tanyaku. "Hanya pemeriksaan rutin seperti biasa," jawab ibu lalu segera masuk ke dalam rumah. "Mama, temani aku ke mall, aku mau beli boneka beruang, biar di rumah aku gak bosan sendiri," pinta Tisa. "Tisa gak boleh lelah nak, nanti mama saja yang belikan buat Tisa" tolakku dengan halus. "Sebentar aja ma, tak akan lama kok," rengek Tisa manja. Aku tak bisa menolaknya, terpaksa aku menuruti kemauan Tisa. Setelah pamit pada ibu, kami berempat menuju mall. Kulihat Tisa sangat gembira, aku tersenyum melihat keceriaan di wajahnya. Apa salahnya jika aku sekali-sekali mengajaknya pergi ke mall. Salsa dan Nabila berjalan mengikuti kami dari belakang bagaikan pengawal pribadi. Aku sendiri merasa heran mengapa mereka bersedia mengantar kami, dan mengabaikan pekerjaan mereka mengawasi pembangunan perumahan di Griya Permai. "Mama, itu papa, papa.....papa...!"
Azhar POV Satu-satunya cara yang dilakukan untuk meredam kemarahan Alisha dengan menuruti kemanapun dia pergi hari ini. Tapi, yang aku temukan saat berjalan bergandengan tangan dengan Alisha di mall adalah Mita dan Tisa melihat kami. Bahkan yang membuatku nyaris pingsan teriakan anakku. "Mama...itu Papa, papa...papa !" Aku tertegun, kulihat wajah Mita yang memucat dan gelagapan, aku tak bisa mendalami apa isi hatinya saat ini, disaat ia melihatku bergandengan tangan dengan Alisha. Selama bertahun-tahun aku meninggalkannya maka hari ini aku merasa telah melukai hatinya, oh Tuhan pilihan apa ini ? Pilihan apa yang telah kau berikan padaku ? Jujur, aku tak bisa berbuat adil. Bisa di pahami kalau kedua isteriku bertemu seperti sekarang ini, maka aku harus bisa menahan diri untuk tidak berpihak pada keduanya, walau sebenarnya hati ini terlalu berat pada Mita. Rasa cinta ini begitu sangat dalam padanya. Cukup lama aku menatap kepergian Mita dan Tisa sebelum memutuskan untuk berbalik da
Ternyata tamu yang dimaksud Nabila adalah pemuda yang kulihat saat di sekolah Tisa. Mereka adalah orang suruhan suamiku yang memantau keberadaan kami dari jauh."Maaf atas kedatangan kami ini bu, seharusnya kami memberitahu ibu lebih dulu," seorang pria bertubuh tinggi menjabat tanganku."Tidak apa-apa, mari silakan duduk," ucapku sambil mempersilakan mereka duduk."Kenalkan nama saya Ivan dan ini teman saya namanya Jeck," Ivan yang bertubuh tinggi memperkenalkan diri. Aku mengingatnya karena dia yang terus-terusan memperhatikan aku di depan sekolah Tisa. Kami berbincang panjang lebar, kurasa upaya suamiku untuk melindungi kami terlalu berlebihan, terpikir olehku untuk menyambangi Alisha sekedar bersilaturahmi karena dia dalam keadaan sakit. Aku ingin membawakannya makanan atau bingkisan yang tentunya membuat orang yang di besuk merasa senang."Terima kasih sudah menjaga kami, sepertinya kalian terlalu berlebihan melindungi kami," ucapku."Maaf bu, kami hanya menjalankan perintah, ta
Aku memilih untuk memendam sendiri apa yang kualami hari ini, aku tak ingin membuat heboh seisi rumah dengan ceritaku."Tadi ayah Tisa menelpon, katanya nomor ponselmu sejak tadi dihubungi tidak aktif," Salsa menyampaikan pesan ayah Tisa padaku.Aku merogoh tas tanganku, kulihat ponselku ternyata off. Mungkin aku tak sengaja memencet tombolnya."Oh ternyata ponselku mati!" kataku sambil mengajak Tisa masuk ke dalam kamar.Aku mengganti baju sekolah Tisa dengan pakaian rumah. "Tisa mau makan ?""Aku masih kenyang ma ntar lagi, aku mau menggambar lagi," jawab Tisa.Aku hanya mengiyakan saja, menggambar bukanlah pekerjaan yang berat tapi aku harus mendampinginya agar tak kelelahan.Tak berapa lama setelah ponsel ku nyalakan, tiba-tiba berdering, aku tak perlu melihat lagi siapa penelponnya karena aku sudah menaruh nada dering khusus untuk suamiku."Hallo, iya maaf aku baru tiba di rumah, tadi ponselku kehabisan baterai," kilahku saat Azhar menelpon dengan segudang protesnya."Aku baru s
Mita POVSuasana kompleks perumahan sudah di ramaikan dengan pedagang keliling yang menjalankan dagangannya. Aku berdiri di tepi jalan menanti kedatangan Tisa yang di jemput Salsa. Awalnya aku merasa ragu untuk mengizinkan Tisa menginap di rumah Alisha, namun demi alasan kemanusiaan aku mengizinkannya.Dari kejauhan aku melihat mobil Salsa memasuki area kompleks, akhirnya hati ini tentram. Aku bernafas lega, tak berapa lama mobil itu berhenti tepat di sampingku."Mama....!" Teriak Tisa saat melihatku dari jendela mobil.Aku membukakan pintu untuknya dan segera memeluknya dengan erat. Aku membimbing Tisa masuk ke rumah. Aku telah menyiapkan buku catatan yang akan di bawanya ke sekolah. "Tisa sudah sarapan ?" tanyaku lalu memakaikan tas ransel sekolah di bahunya."Sudah !" Jawab Tisa."Ayo mama antar ke sekolah, ceritanya nanti pulang sekolah saja,," ucapku saat melihat Tisa yang ingin mengatakan sesuatu.Kemudian kami bergegas keluar dan berpamitan pada ibuku dan Salsa. Nabila tak ter
Aku tak tahu apa yang harus kulakukan sekarang, senyum sinis Alisha mengganggu pikiranku. Aku segera menekan pedal gas agar langsung tiba secepatnya di kantor.Ketika memasuki area parkiran gedung kantor kulihat mobil Erwin sudah terparkir lebih dulu. Aku bergegas menuju ke lantai tujuh. Sapaan para karyawan kubalas dengan anggukan kepala."Tuan Erwin sudah menunggu di dalam tuan," lapor sekretarisku.Aku hanya mengangguk lalu masuk ke dalam ruangan, kulihat Erwin sedang duduk menyilangkan kedua kakinya di kursi sofa. Aku menaruh tas kantor di meja lalu menghampiri Erwin."Sudah lama ?" tanyaku."Lumayan," jawab Erwin tersenyum."Ah kamu, jangan membohongiku. Bagaimana hasil pertemuanmu dengan dokter spesialis di Rumah Sakit ?" tanyaku dengan tak sabar."Maaf, aku hanya berbincang-bincang dengan adikku. Menurut penuturannya, terkadang pasien yang memiliki sakit seperti itu sulit terdeteksi kecuali pasien yang sakit itu datang berobat. Cobalah untuk mengajak isterimu berobat, penyakit i
Aku dan Tisa keluar dari kamar saat Alisha mengetuk pintu kamar, aku mengedipkan sebelah mataku pada Tisa. Rupanya Alisha sudah menyiapkan sarapan pagi. Aku berusaha melirik ke arah dapur, ingin memastikan apakah dia yang masak atau hanya sekedar menyiapkan di meja saja."Ayo sarapan pa," ajak Alisha."Ayo Tisa sarapan yuk," Alisha mengajak Tisa dan menggandengnya menuju meja makan."Maaf bunda, aku mau mandi dulu," tolak Tisa, dia lalu menoleh padaku."Oh ayo bunda mandiin," Alisha tak jadi menuju ruang makan dan berbalik menggandeng tangan Tisa menuju kamar mandi.Kesempatan itu aku gunakan untuk mandi juga, aku bergegas ke dalam kamar, mempersiapkan segala sesuatunya. Aku tak ingin berlama-lama di dalam kamar mandi, setelah memastikan tubuhku sudah bersih, aku segera keluar dari kamar mandi dengan handuk melilit di pinggang. Aku memakai pakaian kantor, rencanaku setelah sarapan langsung pergi ke kantor. Setelah rapi aku segera keluar kamar, kulihat Alisha dan Tisa juga baru keluar
Malam ini aku tertidur di samping Tisa, aku bahkan tak tahu jika mertuaku sudah pulang dan sempat menyaksikan diriku yang tidur memeluk erat puteri kecilku ini. Aku terbangun ketika merasakan sesorang menyelimuti kami berdua. Karena lampu masih menyala aku masih sempat melihat bayangan Alisha keluar dari kamar dan menutup pintu. Jika melihat gerakan Alisha sepertinya dia dalam keadaan segar bugar, aku ingin menghubungi Erwin dan memintanya untuk menyelidiki penyakit Alisha. Untunglah aku sempat membawa ponselku masuk ke dalam kamar, sehingga aku amsih bisa menghubungi Erwin tanpa sepengetahuan Alisha. Aku bangun perlahan dari tempat tidur dan mengunci pintu kamar. Aku tak ingin Alisha masuk lagi ke kamar ini, lalu kumatikan lampu. Biarlah kamar ini nampak gelap, aku yakin Tisa tak akan bangun.Aku mengecup kening puteriku lalu mengirim pesan pada Erwin. Tingkahku malam ini layaknya seorang kekasih yang sedang mencuri waktu untuk saling berkirim pesan. Pesanku terkirim lalu Erwin mene
Aku membawa Tisa ke rumah Alisha, percobaan pertama tidur sehari saja. Aku sudah mengatakan banyak hal pada Tisa, aku bahkan mampir ke konter untuk membelikannya ponsel khusus untuk anak yang aplikasinya berisi khusus permainan yang mendidik, dan kuisi nomor kontakku dan Mita."Jika Tisa memerlukan sesuatu atau kondisi yang mendesak, tekan nomor papa dan mama ya ?""Iya pa," jawab Tisa sambil menerima ponselnya."Tisa tau cara menggunakannya ?" tanyaku."Tau pa."Aku bersyukur Tisa bisa menggunakannya, bahkan ketika aku mencobanya, dia tertawa lalu dengan mimik lucunya dia mengangkat panggilanku. Aku tertawa, lalu kami meneruskan perjalanan menuju rumah Alisha. Di teras nampak Alisha menyambut kedatangan kami."Tisa...syukurlah kau mau tinggal di rumah bunda," Alisha berlari dan segera memeluk Tisa dengan erat.Aku pura-pura tak melihat bagaimana Alisha berlari seperti orang yang sangat sehat. Aku cukup mencatatnya dalam hati, sampai aku tahu dia berbohong, maka aku akan segera mengak
Azhar PovAku benar-benar terkejut tatkala mengetahui Alisha mengidap penyakit kanker kandungan stadium empat. Lalu kemudian dia meminta Tisa dan Mita untuk tinggal di rumah bersama, sungguh di luar dari perkiraanku. Aku masih benar-benar sangsi dengan kejadian yang sangat tiba-tiba ini. Makanya aku harus mempertimbangkannya kembali dengan Mita. Aku takut Alisha merencanakan seauatu yang buruk pada Mita, apalagi sekarang Mita sedang hamil. Sangat tidak masuk akal seorang wanita yang pongah berubah baik hanya karena mengidap penyakit."Sayang, aku ke rumah Mita untuk memintanya tinggal di rumah ini ya ? Kuharap jika dia menolak, kita tidak boleh memaksanya," ucapku."Baiklah, jika Mita tidak bersedia. Setidaknya dia mengizinkan Tisa tinggal di rumah ini," pinta Alisha.Aku mengecup keningnya, lalu berpesan kepada maid untuk segera mengabariku jika sesuatu terjadi. Aku bukannya mengharapkan hal buruk terjadi pada Alisha, tapi bukankah kemungkinan itu bisa saja ada ?Aku segera meningga
Aku bersorak kegirangan karena Azhar sekarang berada dalam genggamanku. Aku akan membuat perhitungan dengan Mita. Kita lihat saja nanti, Azhar akan berpihak padaku atau Mita."Azhar, a..aku...!""Sudah jangan bicara lagi, kau harus istrahat ya ? Kau ingin apa, katakan padaku.""Aku tak mau apa-apa selain dirimu, hidupku tidak lama lagi Azhar, bisakah kau terus mendampingiku sampai aku mati ?" air mataku meleleh membasahi pipi.Azhar meraih tisu dan mengusap air mataku dengan lembut, rasanya aku ingin tertawa terpingkal-pingkal melihat tingkah Azhar hari ini. Wajahnya penuh dengan kekhawatiran, aku meringis sedikit saja dia segera mengusapku dengan lembutnya. Oh..duhai pujaan, kini kau harus berlutut di kakiku."Azhar, bolehkah aku meminta sesuatu ?""Katakan sayang ada apa ?""Ajaklah Mita dan Tisa tinggal di rumah kita."Azhar menatapku dengan tajam, dia ingin melihat keseriusanku. Mungkin aku harus banyak minum air agar air mataku tak cepat habis."Tidak mungkin sayang, Tisa itu tak