Saat aku harus berjuang melahirkan buah hati kami, suamiku tak terlihat. Dan kemudian di saat anakku berusia lima bulan, datanglah seorang pengacara meminta tanda tangan persetujuan cerai dariku. Hati ini terlalu sakit, dia bahkan tak pernah melihat wajah Tisa yang begitu mirip dengan dirinya.
Kuhempaskan nafasku dengan kuat, lalu bergegas keluar. Aku melakukan pekerjaanku dengan tekun, kubuang semua kenangan indah tentang suamiku. Bagiku, dia sudah mati. Sekarang aku harus berjuang untuk menghidupi anakku sendiri. Apapun akan aku lakukan untuk kesembuhan dan masa depannya. Dialah hartaku satu-satunya selain ibu.Derap langkah sepatu hels menggema di lantai satu. Kuangkat wajahku, nampak seorang wanita dengan pakaian elegan berkulit sawo matang melangkah di dampingi dua orang pengawal. Aku sudah bisa menduga jika wanita ini pasti isteri bos. Dari gayanya yang terlihat sangat arogan sudah menunjukkan jika dialah wanita yang menjadi obrolan karyawan di kantin pagi tadi. Sebisa mungkin aku menghindar agar tidak menimbulkan masalah. Aku menunduk dan mundur perlahan saat wanita itu melewatiku. Dia benar-benar angkuh, tak sedikitpun dia melirik pada resepsionis dan karyawan yang dilewatinya. Apalagi diriku yang hanya cleaning service ini. Aku masuk lagi ke ruangan kami dan meletakkan pembersih lantai. Entah mengapa, aku mulai menyukai pekerjaan ini. Sangat ringan dan tidak terlalu melelahkan. Apalagi makan siang kami disediakan di kantor ini sehingga kami tidak perlu mengeluarkan biaya untuk makan."Menurut informasi dari asisten manajer Personalia, sore nanti akan diadakan apel sekaligus perkenalan dengan bos baru Perusahaan," tutur Faijah saat aku masuk ke dalam ruangan.
"Cepat sekali perkenalannya," jawabku seadanya.
"Ah kau ini, apa kau tak ingin melihat wajah bos baru yang tampan itu ?"
Aku hanya tertawa mendengar ucapan Faijah. Hati ini rasanya sudah tertutup untuk menerima laki-laki lain, yang menjadi tekadku saat ini bagaimana Tisa sembuh, itu saja. Walau kata orang aku cantik dan usiaku masih sangat muda tapi aku sama sekali belum berpikir mencari pengganti ayah Tisa.
Cuaca terlihat mendung, tapi belum tentu hujan. Hal ini hanya menandakan jika sore hari ini udaranya terasa sejuk.
Benar kata Faijah, semua cleaning service berkumpul di atap gedung. Aku bersama teman-teman naik lift karyawan menuju lantai tujuh. Aku sempat melihat ruangan Ceo berada di ujung kanan seberang lift. Dari lantai tujuh kami naik lagi ke atas melalui tangga.Nampak semua cleaning service telah berkumpul. Ternyata diatap gedung tersedia tempat duduk. Di samping gedung terpasang pagar stenlis sebagai bagian dari keamanan. Jadi tidak terlalu ngeri ketika melongokkan kepala ke bawah. Aku yang sedikit pobia akan ketinggian tak berani untuk berdiri di pagar itu, bahkan menoleh pun aku tak berani. Aku duduk dideretan kursi paling belakang.Tak berapa lama terdengar suara keributan, rupanya bos dan rombongan sedang naik ke atas. Kami diminta untuk segera berdiri membentuk barisan."Laki-laki berbaris terpisah dengan wanita, masing-masing dua baris," terdengar aba-aba dari seorang pria. Yang kuingat dia adalah asisten manager personalia.Kami segera berbaris dengan rapi, aku berada di barisan paling belakang tepat di belakang Stela cleaning service di lantai dua, sedangkan Faijah berada di sebelahku di belakang Tina.Aku terkesiap tatkala melihat bos, apalagi ketika mendengar suaranya. Yakinlah aku jika dia adalah ayah dari anakku. Aku menunduk dan bersembunyi di belakang Stela. Aku tak mendengar lagi apa yang dikatakannya. Pikiranku melayang, rasanya aku ingin berlari dan keluar dari gedung ini."Coba yang di belakang maju ke depan." Oh Tuhan itu suara Azhar, aku semakin tertunduk dalam. Faijah segera maju kedepan. "Yang satu lagi maju." Stela menengok ke belakang, "Kau maju."Aku berjalan ke depan sambil menunduk, sebisa mungkin aku menghindar dari tatapan pria yang pernah mengisi relung hatiku yang paling dalam itu.Aku bersyukur di dalam hati, karena dia tak memperhatikan aku. Namun aku salah.Saat aku mendongak tak sadar mata kami saling bersirobok. Wajahku seketika memanas, kulihat juga wajahnya yang seketika memucat dan mundur beberapa langkah ke belakang."Bos.., apakah kau sakit ?" seru asisten yang segera menangkap lengan Azhar.Aku kembali menunduk, tak sadar air mata ini jatuh ke lantai. Entah Azhar melihatnya atau tidak, biarlah dia tahu jika sekarang aku hanyalah seorang cleaning service demi menghidupi buah hati kami.Sekuat tenaga aku menguatkan hatiku, aku tak boleh lemah di hadapannya. Kini aku sadar mengapa dia meninggalkan aku tanpa pesan.Azhar menatapku tak berkedip, aku pura-pura tak melihatnya dan menatap lurus ke depan.Faijah menyenggol lenganku dan berbisik, "Bos sepertinya terus memperhatikanmu."Aku hanya tersenyum sinis, biarlah dia melihat cibiranku ini. Biarlah dia tahu jika aku sangat membencinya. Cinta yang dulu pernah ada telah hilang di telan waktu.Azhar memilih ďuduk dikursi yang disodorkan asistennya, mungkin kehadiranku membuatnya sedikit shock sehingga asistennya yang mengambil alih apel sore ini. Dan dia hanya terus menatapku tak berkedip.Aku tak perduli, aku harus tetap bersikap profesional. Aku tak akan mengundurkan diri, sebisa mungkin aku menghadapi kenyataan ini. Rupanya dia meninggalkanku karena menikahi anak konglomerat. Aku mengatupkan rahangku dengan kuat."Teman-teman semua, saya perkenalkan pemilik perusahaan yang baru. Beliau bernama Muhammad Azhar dan mempunyai seorang isteri bernama Alena Saputri. Besar harapan kami teman-teman bisa mengerjakan tugas dengan baik dan penuh rasa tanggung jawab. Kalian adalah bagian dari perusahaan ini, jadi marilah kita bekerja sama dengan baik" Asisten memperkenalkan bos perusahaan yang terlihat menyatukan kedua tangannya di depan dada. Lalu asisten itu kembali memberikan beberapa arahan setelah itu membubarkan barisan. Aku segera membalikkan badanku saat terdengar suara memanggilku. Aku berbalik, kulihat Azhar membisikkan sesuatu ke telinga asistennya."Mita Ariendy, harap keruang Ceo." Aku hanya mengangguk tanpa suara, lalu berjalan menuruni tangga. Aku tak tahu jika seorang cleaning service sempat memperhatikan aku.Setibanya di lantai tujuh aku tidak langsung ke ruang Ceo. Aku memilih masuk ke dalam lift dan turun ke lantai satu menuju ruangan. Tak kuhiraukan lagi pertanyaan Faijah, aku buru-buru mengambil tas ranselku di loker dan segera berjalan setengah berlari."Maaf aku harus ke rumah sakit."Mungkin Faijah dan Reza akan berpikir jika terjadi sesuatu pada anakku. Tak apa mereka berpikir begitu, yang penting sebisa mungkin aku keluar dari gedung ini secepatnya.Aku memanggil ojek yang biasa mangkal di depan gedung dan secepatnya berlalu dari tempat itu menuju rumah sakit. Aku bahkan tak perduli tatapan heran satpam karena aku keluar masih dengan seragam cleaning service. Kupejamkan mataku sesaat, terserah anggapan orang bagaimana. Aku sebisa mungkin menghindari mantan suamiku.Azhar POVPerusahaan ini kini resmi menjadi milikku setelah aku membelinya dari ayah mertuaku sendiri. Aku dulu hanyalah seorang karyawan yang dibayar diperusahaan induk di Jakarta. Namun kini perusahaan ini sudah berlepas diri dan menjadi milikku.Aku berusaha merubah pola manajemen yang berlaku selama ini, aku tak mau membeda-bedakan semua karyawan. Sebisa mungkin aku ingin menjadi sosok pemimpin yang ideal di perusahaanku.Sore itu aku sengaja mengadakan pertemuan dengan para cleaning service setelah paginya aku mengadakan meeting dengan para karyawan perusahaan. Perusahaanku bergerak di bidang real estate.Asisitenku datang melapor jika para cleaning service sudah berkumpul di atap gedung yang aku sulap sebagai tempat nongkrong yang indah, juga bisa digunakan sebagai tempat pendaratan helikopter."Para petugas kebersihan sudah siap di lantai atas bos," Erwin melongokkan kepalanya di pintu.Aku lalu bergegas keluar, dimana para manager dan asisten sudah menungguku di ujung tangga.
Mita POVSetelah menyelesaikan semua pekerjaan, kami mengganti seragam kembali dengan baju yang kami kenakan saat tiba di gedung. Reza menawarkan diri mengantarku pulang."Ayo aku antar," ajak Reza saat dia mengendarai motornya melewatiku di depan gedung.Tanpa pikir panjang aku mengiyakan. Hemat biaya tentunya.Suasana jalan raya tidak terlalu macet sehingga sepuluh menit saja kami tiba di rumah sakit."Gak mampir ?" tawarku pada Reza yang kulihat mulai menghidupkan motornya kembali."Lain kali saja, salam buat anakmu. Semoga dia cepat sembuh, " ucap Reza dengan tulus."Terima kasih," aku melambaikan tangan padanya. Pandanganku mengikuti berlalunya Reza sampai menghilang di tikungan jalan. Aku bergegas masuk menuju ruang perawatan kelas dua. Pekerjaaan hari ini sangat ringan sehingga aku tidak kelelahan.Aku berpapasan dengan beberapa perawat yang tersenyum ramah melihatku. Rumah Sakit Umum ini cukup bersih dan para tenaga medisnya sangat ramah dan sopan. Setelah melewati beberapa
Hari ini Tisa sudah diizinkan menjalani rawat jalan, pagi-pagi aku menyempatkan diri ke kantor walau aku sudah mengetahui jika pemilik perusahaan tempatku bekerja adalah ayah Tisa. Aku tetap berusaha untuk bersikap profesional, kukesampingkan semua kebencian yang terpendam lama di dalam dada ini.Setelah semua pekerjaanku selesai, aku meminta izin pulang dan tak balik lagi ke kantor, setelah membayar semua biaya perawatan anakku, kami bertiga tak pulang ke desa tetapi memilih ke rumah kakek dan nenek di desa durian. Dengan jarak tempuh empat puluh kilo dari rumah sakit memakan waktu sekitar satu jam perjalanan.Untunglah ibu tidak bertanya kenapa aku ingin membawa Mita ke rumah nenek, sehingga aku bisa bernafas lega. Aku melakukannya karena ingin menyembunyikan anakku. Aku yakin seratus persen Azhar pasti akan mencari keberadaan kami.Malam ini aku tidur dengan nyenyak. Semua beban yang menghimpit dipundak seakan terbang seiring dengan bunyi jengkerik yang bersahutan dan udara pada ma
Aku mengernyitkan keningku, ini bukan bagian dari tugasku, lalu mengapa nyonya memintaku membawakannya teh panas ? Aku mulai was-was, perasaanku tidak enak. Nyonya pasti hendak membuat perhitungan denganku. Tapi kenapa ? Apa karena kecemburuannya ?Aku mengambil alih nampan yang berisi teh panas itu, lalu keluar bersama Zaki menuju lantai tujuh.Aku masuk ke dalam ruangan dengan mengetuk pintu terlebih dahulu. Di ruangan itu terlihat bos dan asistennya sedang membicarakan masalah perusahaan sehingga tidak menyadari jika aku masuk ke ruangannya.Aku menghampiri nyonya Alisha dan menyuguhkan teh yang dimintanya. Aku berdiri membelakangi Azhar sehingga dia tidak akan bisa mengenaliku.Nyonya menyuruhku untuk terus berdiri di hadapannya. "Jangan pergi dulu, kau harus menunggu sampai teh ini kuhabiskan."Aku berdiri mematung, kulihat nyonya Alisha tersenyum licik. Tuhan, apa yang sedang dia rencanakan ? Belum habis rasa penasaranku tiba-tiba nyonya berdiri."Dasar pelayan tak tahu diri, a
Setelah lenganku diperban, Erwin menawarkan diri mengantarku pulang."Sebaiknya aku antar kau pulang, tak usah masuk kerja hari ini. Aku sudah memintakan izin di bagian personalia untukmu."Mungkin Erwin merasa iba melihat saat aku meringis ketika dokter mengobatiku, makanya setelah perban itu selesai dia menawarkan diri mengantarku."Maaf pak, rumah kami sangat jauh. Aku biar naik angkot saja," tolakku dengan halus. Kulihat Erwin tersenyum, bukannya menuruti permintaanku, dia malah menarik tanganku menuju lift. Aku merasa risih karena saat ini aku masih memakai pakaian seragam.Erwin menyadari kondisiku, akhirnya dia menemaniku ke ruangan ganti di lantai satu. Faijah yang melihatku memicingkan matanya, aku berusaha menyembunyikan perban di lenganku.Setelah menyapanya dan menceritakan alasanku pulang dia lalu tersenyum."Baiklah, titip salam untuk anakmu ya, kemarin kami tak sempat menjenguknya," ucap Faijah sambil menepuk bahuku.Yah alasan yang paling masuk akal dalam situasi ini
Azhar POVAku menunggu kedatangan Erwin dengan gelisah. Katanya dia pergi mengantar pelayan itu ke rumahnya. Katanya itu bukan Mita. Tapi aku tak percaya, Erwin memang suka mengerjaiku. Persahabatan kami walau terbilang singkat tapi kami sudah saling mengetahui dan memahami karakter masing-masing.Menurut Erwin dia dalam perjalanan pulang dari desa Durian. Aku pernah ingat jika Mita pernah bercerita padaku jika kakek dan neneknya tinggal di desa Durian. Aku semakin yakin yang diantarnya adalah Mita.Melihat lengannya tadi yang melepuh membuat hati ini teriris. Bagaimana mungkin dia berada begitu dekatnya denganku namun aku tidak mengenalinya. Apakah karena dosaku padanya sampai aku tak bisa merasakan kehadirannya ?Aku berdiri di jendela, kulihat mobil Erwin memasuki halaman gedung. Aku segera duduk di kursi kebesaranku. Aku ingin tahu apa yang sudah dilakukan asistenku itu. Selang beberapa saat, Erwin masuk ke ruanganku dengan seenaknya tanpa mengetuk pintu terlebih dahulu. Kulihat
Aku menatap cek kosong di tanganku, menurut Erwin, aku bisa menuliskan angka nominal satu milyar. Aku berpikir untuk membeli hunian di kota yang dekat dengan sekolah, aku ingin menjadi guru honorer, walau tak di gaji tapi setidaknya aku bisa memasukkan Tisa di sekolah itu. Pagi ini aku ke bank hendak mencairkan cek yang diberikan Erwin. Tak mungkin bagiku untuk membawa uang tunai yang cukup banyak, sehingga aku membuka tabungan dan mentransfer uangnya ke buku tabungan milikku. Aku hanya mengambil uang tunai lima puluh juta untuk keperluanku.Terpikir olehku untuk membeli ponsel baru untukku dan ibuku. Aku membeli ponsel android agar bisa menyimpan fotoku dan Tisa di dalam ponsel.Saat aku keluar dari mall, seseorang menyodorkan selebaran."Dilihat-lihat dulu mbak, perumahan yang cukup indah dan nyaman untuk di tinggali."Akhirnya aku berhenti dan menerima selebaran itu, aku lalu di tuntun ke konter tempat menawarkan hunian minimalis.Aku mengamati market hunian di dalam sebuah kaca,
Alisha POVAku terlahir kaya, karena ayahku adalah seorang pebisnis handal, sehingga aku tak merasakan yang namanya hidup susah. Ketika aku genap berusia dua puluh tahun aku dijodohkan dengan anak dari teman sekolah ayahku. Awalnya aku menolak karena aku ingin menikah dengan laki-laki yang minimal punya level yang sama denganku. Tetapi saat aku melihat pria yang dijodohkan denganku adalah sosok yang sangat tampan, akhirnya malah aku yang meminta untuk segera mempercepat pernikahannya.Bahkan ketika aku tahu dia telah berstatus duda tanpa anak, aku tetap menerimanya, hitung-hitung untuk memperbaiki keturunan. Aku sangat mencintainya, bahkan aku tak ingin ada wanita manapun yang dekat dengannya, bahkan itu karyawan. Menurut ibu mertuaku, jika mantan isterinya hanyalah seorang petani miskin yang tinggal di pedalaman, jadi aku tidak begitu mengkhawatirkannya. Lagian menurut cerita mertua jika pernikahan sebelumnya suamiku hanyalah sebuah kecelakaan, katanya wanita itu hamil di luar nikah
Ternyata tamu yang dimaksud Nabila adalah pemuda yang kulihat saat di sekolah Tisa. Mereka adalah orang suruhan suamiku yang memantau keberadaan kami dari jauh."Maaf atas kedatangan kami ini bu, seharusnya kami memberitahu ibu lebih dulu," seorang pria bertubuh tinggi menjabat tanganku."Tidak apa-apa, mari silakan duduk," ucapku sambil mempersilakan mereka duduk."Kenalkan nama saya Ivan dan ini teman saya namanya Jeck," Ivan yang bertubuh tinggi memperkenalkan diri. Aku mengingatnya karena dia yang terus-terusan memperhatikan aku di depan sekolah Tisa. Kami berbincang panjang lebar, kurasa upaya suamiku untuk melindungi kami terlalu berlebihan, terpikir olehku untuk menyambangi Alisha sekedar bersilaturahmi karena dia dalam keadaan sakit. Aku ingin membawakannya makanan atau bingkisan yang tentunya membuat orang yang di besuk merasa senang."Terima kasih sudah menjaga kami, sepertinya kalian terlalu berlebihan melindungi kami," ucapku."Maaf bu, kami hanya menjalankan perintah, ta
Aku memilih untuk memendam sendiri apa yang kualami hari ini, aku tak ingin membuat heboh seisi rumah dengan ceritaku."Tadi ayah Tisa menelpon, katanya nomor ponselmu sejak tadi dihubungi tidak aktif," Salsa menyampaikan pesan ayah Tisa padaku.Aku merogoh tas tanganku, kulihat ponselku ternyata off. Mungkin aku tak sengaja memencet tombolnya."Oh ternyata ponselku mati!" kataku sambil mengajak Tisa masuk ke dalam kamar.Aku mengganti baju sekolah Tisa dengan pakaian rumah. "Tisa mau makan ?""Aku masih kenyang ma ntar lagi, aku mau menggambar lagi," jawab Tisa.Aku hanya mengiyakan saja, menggambar bukanlah pekerjaan yang berat tapi aku harus mendampinginya agar tak kelelahan.Tak berapa lama setelah ponsel ku nyalakan, tiba-tiba berdering, aku tak perlu melihat lagi siapa penelponnya karena aku sudah menaruh nada dering khusus untuk suamiku."Hallo, iya maaf aku baru tiba di rumah, tadi ponselku kehabisan baterai," kilahku saat Azhar menelpon dengan segudang protesnya."Aku baru s
Mita POVSuasana kompleks perumahan sudah di ramaikan dengan pedagang keliling yang menjalankan dagangannya. Aku berdiri di tepi jalan menanti kedatangan Tisa yang di jemput Salsa. Awalnya aku merasa ragu untuk mengizinkan Tisa menginap di rumah Alisha, namun demi alasan kemanusiaan aku mengizinkannya.Dari kejauhan aku melihat mobil Salsa memasuki area kompleks, akhirnya hati ini tentram. Aku bernafas lega, tak berapa lama mobil itu berhenti tepat di sampingku."Mama....!" Teriak Tisa saat melihatku dari jendela mobil.Aku membukakan pintu untuknya dan segera memeluknya dengan erat. Aku membimbing Tisa masuk ke rumah. Aku telah menyiapkan buku catatan yang akan di bawanya ke sekolah. "Tisa sudah sarapan ?" tanyaku lalu memakaikan tas ransel sekolah di bahunya."Sudah !" Jawab Tisa."Ayo mama antar ke sekolah, ceritanya nanti pulang sekolah saja,," ucapku saat melihat Tisa yang ingin mengatakan sesuatu.Kemudian kami bergegas keluar dan berpamitan pada ibuku dan Salsa. Nabila tak ter
Aku tak tahu apa yang harus kulakukan sekarang, senyum sinis Alisha mengganggu pikiranku. Aku segera menekan pedal gas agar langsung tiba secepatnya di kantor.Ketika memasuki area parkiran gedung kantor kulihat mobil Erwin sudah terparkir lebih dulu. Aku bergegas menuju ke lantai tujuh. Sapaan para karyawan kubalas dengan anggukan kepala."Tuan Erwin sudah menunggu di dalam tuan," lapor sekretarisku.Aku hanya mengangguk lalu masuk ke dalam ruangan, kulihat Erwin sedang duduk menyilangkan kedua kakinya di kursi sofa. Aku menaruh tas kantor di meja lalu menghampiri Erwin."Sudah lama ?" tanyaku."Lumayan," jawab Erwin tersenyum."Ah kamu, jangan membohongiku. Bagaimana hasil pertemuanmu dengan dokter spesialis di Rumah Sakit ?" tanyaku dengan tak sabar."Maaf, aku hanya berbincang-bincang dengan adikku. Menurut penuturannya, terkadang pasien yang memiliki sakit seperti itu sulit terdeteksi kecuali pasien yang sakit itu datang berobat. Cobalah untuk mengajak isterimu berobat, penyakit i
Aku dan Tisa keluar dari kamar saat Alisha mengetuk pintu kamar, aku mengedipkan sebelah mataku pada Tisa. Rupanya Alisha sudah menyiapkan sarapan pagi. Aku berusaha melirik ke arah dapur, ingin memastikan apakah dia yang masak atau hanya sekedar menyiapkan di meja saja."Ayo sarapan pa," ajak Alisha."Ayo Tisa sarapan yuk," Alisha mengajak Tisa dan menggandengnya menuju meja makan."Maaf bunda, aku mau mandi dulu," tolak Tisa, dia lalu menoleh padaku."Oh ayo bunda mandiin," Alisha tak jadi menuju ruang makan dan berbalik menggandeng tangan Tisa menuju kamar mandi.Kesempatan itu aku gunakan untuk mandi juga, aku bergegas ke dalam kamar, mempersiapkan segala sesuatunya. Aku tak ingin berlama-lama di dalam kamar mandi, setelah memastikan tubuhku sudah bersih, aku segera keluar dari kamar mandi dengan handuk melilit di pinggang. Aku memakai pakaian kantor, rencanaku setelah sarapan langsung pergi ke kantor. Setelah rapi aku segera keluar kamar, kulihat Alisha dan Tisa juga baru keluar
Malam ini aku tertidur di samping Tisa, aku bahkan tak tahu jika mertuaku sudah pulang dan sempat menyaksikan diriku yang tidur memeluk erat puteri kecilku ini. Aku terbangun ketika merasakan sesorang menyelimuti kami berdua. Karena lampu masih menyala aku masih sempat melihat bayangan Alisha keluar dari kamar dan menutup pintu. Jika melihat gerakan Alisha sepertinya dia dalam keadaan segar bugar, aku ingin menghubungi Erwin dan memintanya untuk menyelidiki penyakit Alisha. Untunglah aku sempat membawa ponselku masuk ke dalam kamar, sehingga aku amsih bisa menghubungi Erwin tanpa sepengetahuan Alisha. Aku bangun perlahan dari tempat tidur dan mengunci pintu kamar. Aku tak ingin Alisha masuk lagi ke kamar ini, lalu kumatikan lampu. Biarlah kamar ini nampak gelap, aku yakin Tisa tak akan bangun.Aku mengecup kening puteriku lalu mengirim pesan pada Erwin. Tingkahku malam ini layaknya seorang kekasih yang sedang mencuri waktu untuk saling berkirim pesan. Pesanku terkirim lalu Erwin mene
Aku membawa Tisa ke rumah Alisha, percobaan pertama tidur sehari saja. Aku sudah mengatakan banyak hal pada Tisa, aku bahkan mampir ke konter untuk membelikannya ponsel khusus untuk anak yang aplikasinya berisi khusus permainan yang mendidik, dan kuisi nomor kontakku dan Mita."Jika Tisa memerlukan sesuatu atau kondisi yang mendesak, tekan nomor papa dan mama ya ?""Iya pa," jawab Tisa sambil menerima ponselnya."Tisa tau cara menggunakannya ?" tanyaku."Tau pa."Aku bersyukur Tisa bisa menggunakannya, bahkan ketika aku mencobanya, dia tertawa lalu dengan mimik lucunya dia mengangkat panggilanku. Aku tertawa, lalu kami meneruskan perjalanan menuju rumah Alisha. Di teras nampak Alisha menyambut kedatangan kami."Tisa...syukurlah kau mau tinggal di rumah bunda," Alisha berlari dan segera memeluk Tisa dengan erat.Aku pura-pura tak melihat bagaimana Alisha berlari seperti orang yang sangat sehat. Aku cukup mencatatnya dalam hati, sampai aku tahu dia berbohong, maka aku akan segera mengak
Azhar PovAku benar-benar terkejut tatkala mengetahui Alisha mengidap penyakit kanker kandungan stadium empat. Lalu kemudian dia meminta Tisa dan Mita untuk tinggal di rumah bersama, sungguh di luar dari perkiraanku. Aku masih benar-benar sangsi dengan kejadian yang sangat tiba-tiba ini. Makanya aku harus mempertimbangkannya kembali dengan Mita. Aku takut Alisha merencanakan seauatu yang buruk pada Mita, apalagi sekarang Mita sedang hamil. Sangat tidak masuk akal seorang wanita yang pongah berubah baik hanya karena mengidap penyakit."Sayang, aku ke rumah Mita untuk memintanya tinggal di rumah ini ya ? Kuharap jika dia menolak, kita tidak boleh memaksanya," ucapku."Baiklah, jika Mita tidak bersedia. Setidaknya dia mengizinkan Tisa tinggal di rumah ini," pinta Alisha.Aku mengecup keningnya, lalu berpesan kepada maid untuk segera mengabariku jika sesuatu terjadi. Aku bukannya mengharapkan hal buruk terjadi pada Alisha, tapi bukankah kemungkinan itu bisa saja ada ?Aku segera meningga
Aku bersorak kegirangan karena Azhar sekarang berada dalam genggamanku. Aku akan membuat perhitungan dengan Mita. Kita lihat saja nanti, Azhar akan berpihak padaku atau Mita."Azhar, a..aku...!""Sudah jangan bicara lagi, kau harus istrahat ya ? Kau ingin apa, katakan padaku.""Aku tak mau apa-apa selain dirimu, hidupku tidak lama lagi Azhar, bisakah kau terus mendampingiku sampai aku mati ?" air mataku meleleh membasahi pipi.Azhar meraih tisu dan mengusap air mataku dengan lembut, rasanya aku ingin tertawa terpingkal-pingkal melihat tingkah Azhar hari ini. Wajahnya penuh dengan kekhawatiran, aku meringis sedikit saja dia segera mengusapku dengan lembutnya. Oh..duhai pujaan, kini kau harus berlutut di kakiku."Azhar, bolehkah aku meminta sesuatu ?""Katakan sayang ada apa ?""Ajaklah Mita dan Tisa tinggal di rumah kita."Azhar menatapku dengan tajam, dia ingin melihat keseriusanku. Mungkin aku harus banyak minum air agar air mataku tak cepat habis."Tidak mungkin sayang, Tisa itu tak