Bab405Pagi jam setengah 5 Erina membangunkanku, aku tertidur di bangku, di depan ruang ICU. Mas Arya, suamiku itu masih terbaring lemah di sana, dan aku tidak bisa menemaninya."Kak, sebaiknya Kakak pulang saja, biar aku yang menemani Kak Arya. Cinta dan Galih butuh Kakak.""Aku nggak mau, Er. Aku mau menemani suamiku meski di depan pintu, aku ingin dia sadar dan melihat aku di sini ada untuk dia.""Tapi Cinta dan Galih bagaimana, Kak? Kasihan mereka," ujar Erina."Kamu saja yang temani mereka ya, Er. Aku masih mau di sini, aku pengen lihat dia sadar," jawabku masih tetap pada pendirian."Baiklah," jawab Erina dengan lemah. Kemudian, dia pun pergi meninggalkan rumah sakit.Aku hanya terdiam, kemudian berdiri di depan pintu. Aku melihat suamiku dari kaca yang ada di pintu. Hatiku sangat sakit, melihat dia yang kini tidak begitu berdaya di sana."Mas, kamu harus kuat dan cepatlah untuk sehat lagi. Aku dan anak- anak sangat membutuhkan kamu, Mas," lirihku. Lagi- lagi aku ingin menangis,
Bab406Aku menunggu dengan gelisah, di kursi tunggu. Dokter membuka pintu dengan tatapan lesu, kemudian mengatakan hal yang tidak pernah ingin aku dengar."Kami sudah berusaha dengan sebaik- baiknya, tapi ...."Belum selesai dokter itu bicara, aku sudah histeris."Tidak, itu tidak mungkin." Aku mulai menangis, apalagi saat dokter tersebut menundukkan wajah dengan lesu dan berkata dengan lirih."Maaf."Rasa sulit aku percaya semua ini. Ini begitu cepat dan mendadak. Aku paham, setiap yang bernyawa pasti akan mati. Tapi, sungguh aku belum siap dengan kehilangan semacam ini.Aku tidak menampik kenyataan, bahwa kami memang sudah tidak muda lagi. Bahkan, mas Arya sudah nyaris kepala 5. Allahu akbar, berkali- kali kucubit tubuhku, memastikan semua ini bukan mimpi.Dan, berkali- kali juga aku meringis kesakitan, dari yang pelan, hingga yang keras kucubit tanganku. Nyatanya, aku tetap berada di rumah sakit ini, dan semua nyata.Kutatap wajah kaku suamiku, entah harus bagaimana aku menanggapi
Bab407"Bagaimana aku menghadapi anak- anak?" lirihku, "sedangkan aku saja sulit menerima kenyataan ini.""Kak, jangan begini, kasian Kak Arya. Ayo, dia sudah menunggu kita, kita harus segera membawanya pulang untuk di mandikan dan di persiapkan."Aku menunduk sambil menangis terisak. "Suamiku, kenapa kamu pergi begitu mendadak, bahkan aku belum sempat merawatmu," lirihku."Ayo, Kak." Zurnal kembali bersuara. Dengan perasaan hancur, aku turun dari ranjang, dituntun Erina yang terus terisak di sampingku."Na, aku bawa mobil, kamu temani Kak Elea di ambulan ya," pinta Zurnal pada istrinya itu.Erina hanya mengangguk, wajahnya pun terus basah. Sesekali terdengar tarikan berat napasnya.Kami berdua memasuki mobil ambulan, yang membawa jenazah mas Arya.Tiba- tiba tangisku pecah lagi, melihat tubuh yang terbujur kaku di depanku, meski keseluruhan tubuh itu, di tutup dengan kain putih."Suamiku, yang aku cintai, yang aku sayangi, yang akan selalu ada dalam hatiku. Kenapa kamu pergi begini,
Bab408Entah berapa lama aku tidak sadarkan diri, ketika membuka mata, rupanya aku sudah di kelilingi beberapa sanak keluarga yang berdatangan, terutama keluarga Kevin.Ada tante Helen, dan Kevin, juga anaknya, Jelita yang kini sudah cukup besar.Terlihat mereka duduk di dekat jenazah suamiku, sedang membacakan doa."Kamu sudah sadar, Nak." Suara bu RT menyapaku, aku mengangguk dengan tatapan sendu kepadanya."Mau bangun? Sini Ibu bantu," lanjutnya sambil meraih tubuhku yang sangat lemah."Kamu makan dulu ya, kamu sangat lemah dan juga pucat," ujarnya lagi begitu perhatian.Aku mengangguk, aku benar- benar merasa lapar dan gemetaran.Meskipun rasanya tidak berselera, aku tetap harus makan. Jika tidak, bagaimana aku bisa mengurus anak- anakku, jika aku malah sakit.Bu RT berdiri dan menuju ke belakang. Aku mengedarkan pandangan, mencari Cinta, Galih dan Erina. Namun, mereka tidak terlihat sama sekali. Di dekat Kevin hanya ada keluarganya, juga nampak Zurnal ikut duduk di sana."Kamu n
Bab409Langkah kakiku terasa berat, ketika mengantarkan jenazah mas Arya ke tempat peristirahatan terakhirnya.Sepanjang jalan, masih terdengar isakkan tangis Cinta. Hatiku makin tersayat- sayat, pedih sekali rasanya."El, kamu yang kuat ya," ucap bu RT, berjalan dengan memeluk lenganku.Aku mengangguk lemah. Cinta tidak mau aku dekati sama sekali, dia terus memeluk lengan tante Helen."Allah tahu kamu kuat, dan kamu harus kuat demi dirimu, juga demi kedua anakmu," lanjut bu RT. Prosesi penguburan semakin terasa sangat menyakitkan hati, ketika suara- suara kehilangan itu berkumandang dengan pilu."Papah, anakmu bahkan belum beranjak dewasa, belum menjadi kebanggaanmu, dan kau sudah tega meninggalkan gadis gendut ini di dunia, ya Allah, mengapa harus Papah," lirih Cinta, menangis di pelukan tante Helen.Aku menangis sesegukkan, mendengar kalimat- kalimat yang sangat pedih itu."Kenapa bukan gadis tidak berguna sepertiku ini saja yang pergi lebih dulu? Kenapa harus Papah, kenapa ...."
Bab410"Tidurlah, tidak ada gunanya meratapi kehilangan.""Tahu apa kamu tentang kehilangan? Tentang perasaanku. Bukan cuma hatiku yang hancur, tapi hati anak- anakku.""Jadi menurut kamu, kami nggak sedih, apa kami bahagia? Bukannya aku tidak mengerti perasaan kamu. Tapi lihatlah dirimu sendiri, berantakan sekali. Bahkan jam segini, kamu tetap memilih menangis, menyiksa diri.""Aku tidak perduli. Kenapa harus mas Arya? Kenapa tidak aku saja," lirihku. Aku kembali menangis, menutup wajahku dengan kedua tangan sambil sesegukkan."Rupanya umur bukan tolak ukur menjadi dewasa, tidak heran jika anaknya lemah. Sebab, Ibunya sendiri yang memberikan contoh," cibir Kevin, aku merasa kesal, mengapa dia harus melontarkan kata sekejam itu. Apakah dia pikir aku tidak akan sakit hati?Aku menyeka kasar air mataku."Seandainya perpisahan ini di dasari karena tidak adanya kecocokan lagi, mungkin aku tidak akan selemah ini, tidak akan sehancur ini. Tapi, ini perpisahan melalui kematian, aku tidak bi
Bab411Hingga pagi menjelang, aku tidak juga bisa tidur. Tubuhku teramat lemah, rasanya bukan hanya tenagaku yang hilang, tapi semangat ini juga ikutan hilang."Ya Allah, aku merindukannya." Aku bergumam seorang diri, sembari mengusap- usap tempat tidur yang biasa di rebahi suamiku. "Bagaimana kamu di sana, Mas? Apakah kamu sedang melihatku di sini? Maaf, jika aku menjadi lemah, cengeng dan pandai dalam mengeluh. Aku masih sulit berlapang dada, aku masih merasakan sesak dan sakitnya kehilangan. Maafkan aku, Mas," lirihku. Lagi- lagi air mata menganak sungai, ya Allah, betapa aku hambamu yang lemah.Tidak lama kemudian, pintu kamarku di ketuk dari luar."El ...." Suara tante Helen terdengar. Aku menoleh ke arah pintu."Kamu sudah bangun?" tanya tante Helen dari luar."Masuk, Tan. Pintu nggak aku kunci," jawabku dengan suara lemah. Aku bangun dan menyandarkan tubuh di dipan.Pintu kamar terbuka, tante Helen tersenyum padaku, dengan segelas susu putih di tangannya."Pagi, Nak. Ayo minum
Bab412"Maaf, El. Aku tahu ini berat buat kamu, maaf juga jika ...." Delima kembali menjeda kalimatnya, membuatku semakin bingung."Ada apa? Katakan saja, jangan ragu," ujarku mencoba meyakinkannya.Delima menunduk, dengan setetasan air mata, yang mulai membasahi pipi."Aku terlambat datang, karena saat kepergiannya, kondisiku tengah drop juga," lirih Delima.Aku tersenyum kecil."Tidak apa- apa, jangan risaukan hal itu, karena aku tidak mempermasalahkannya," jelasku.Wajah Delima masih menunduk."El, ada sesuatu yang harus kamu tahu, apakah kamu bisa berjanji padaku? Untuk tidak marah?" pintanya dengan suara serak.Ada apa sih? Kenapa tingkah Delima begitu membingungkan?"Delima, katakan saja, ada apa?" tanyaku lagi, sembari memegang tangannya yang terasa dingin.Delima mengangkat wajahnya yang sedari tadi menunduk, dia mulai menatapku dengan tatapan penuh kegetiran."El, maafkan aku dan Arya, ya ....""Hah? Maksudnya gimana sih ini? Bisa nggak kamu memperjelasnya, jangan begini, aku
Bab689"Selamat malam," ujar Abizar lagi."Ngapain kamu kemari? Setelah kamu membuat anak saya menderita, berani- beraninya kamu menampakkan batang hidung seolah tanpa dosa," bentak Kevin, yang langsung berdiri dengan emosi."Papah, sabar," pinta Elea, sambil memegang tangan Kevin."Manusia tidak tahu malu ini, dia datang ke rumah Galih dengan nyali besar, setelah menyia- nyiakan anak- anakku, aku tidak akan mengampuninya," pekik Kevin."Maaf, Pah. Saya datang kemari, hanya ingin kalian tahu, saya dan Cinta saling mencintai, kami ingin kalian restui hubungan kami lagi dan jangan menentang hubungan kami, cuma itu ...." "Apa?" Seluruh keluarga memekik.Cinta pun sangat syok, mendengar ucapan berani Abizar. Tiba- tiba Jelita tersandar, mendengar ucapan Abizar. "Jelita," pekik Abel. Wanita yang biasanya membenci Jelita itu, langsung memeluk Jelita yang nampak syok sekali."Brengsek!!" Cinta bangkit dari duduknya, menghampiri Abizar dan menampar keras wajah lelaki tidak tahu malu itu."D
Bab688Melihat begitu banyak panggilan telepon dari Bagus, Cinta pun memutuskan, untuk menghubungi balik nomor Bagus.Dan lelaki itu dengan cepat menjawab telepon Cinta."Assalamualaikum, Tante ....""Wa'alaikumsallam, Gus.""Maaf Tan, saya mau tanya, Tante ada bicara apa sama Ibu? Sampai- sampai Ibu pingsan.""Maafkan Tante, Gus. Tadi ada berita buruk, yang sempat mengguncang perasaan kami semua. Kejadian siang tadi cukup mengejutkan, pesawat menuju Bandung mengalami kecelakaan. Dan Nenek, juga Kakek ke Bandung hari ini, itu yang Tante sampaikan sama Ibu kamu ....""Inalillahi, jadi bagaimana kabarnya, Tan. Maaf Bagus tidak tahu apa- apa.""Kuasa Allah, Gus. Rupanya mereka selamat, karena Kakek pingsan, sebelum mereka naik pesawat. Nenek membawa Kakek ke rumah sakit, dan mereka ketinggalan pesawat, Gus. Luar biasa, diluar dugaan kami semua, Allah masih memberi kita kesempatan, untuk berbakti kepada mereka berdua," jelas Cinta."Alhamdulilah, Allahu akbar, masya Allah, luar biasa, Tan
Bab687"Allahu akbar, Abel, Kak Cinta ...." Galih menjerit, membuat orang yang kini di depannya jadi bingung.Mendengar jeritan Galih, mereka yang duduk di ruang keluarga pun berhamburan keluar menyusul Galih."Astagfirullah ...." pekikkan mereka semua terdengar bersamaan. Galih terlalu syok, membuatnya nyarus pingsan."Kalian jangan mengira Mamah setan ya," bentak Elea dengan kesal."Ini Mamah beneran?" Abel bertanya. Semua menjadi bingung, bahkan beberapa dari mereka terus- menerus mengusap mata dan wajah, memastikan yang di lihatnya adalah nyata, bukan halusinasi."Mamah sudah tahu, apa yang ada di dalam otak kalian. Jangan heran, jika Mamah datang dengan wajah acak- acakkan begini, bahkan tanpa menggunakan tas sama sekali. Mending bayarin taksi Mamah sana, orangnya dah nunggu," titah Elea."Ini Mamah kita," pekik Cinta yang langsung menghambur ke pelukan Elea, disusul Raisa dan lainnya memeluk Elea."Aduh ...." Elea pun memekik, melihat tingkah mereka semua yang langsung memelukny
Bab686"Jelita belum tahu kabar duka ini, tadi aku sudah coba hubungi, tapi belum juga dia jawab panggilan teleponku," lirih Cinta."Aku juga bingung, Kak. Apa yang harus aku katakan sama dia, entah bagaimana reaksi Jelita, jika tahu Mamah dan Papah sudah tiada. Pesawat itu terbakar, sebelum benar- benar jatuh," ujar Galih kembali menangis. Bayangan wajah tua kedua orang tuanya menari- nari di pikiran mereka semua."Pantas Mamah memelukku berulang kali, mengingatkan kita terus- menerus, bahwa sesama keluarga harus saling menyayangi dan tolong- menolong. Mereka juga selalu berbicara tentang kematian, yang aku sendiri tidak tahu, bahwa itu adalah pertanda, mereka berdua akan pulang bersama- sama, untuk selamanya."Cinta menangis kuat, Kamila memeluk Ibunya dengan erat, begitu juga Raisa, memeluk Abel dan menangis di pelukan Ibunya."Rasanya tidak pernah sesakit ini, kehilangan yang begitu mengejutkan, membuat hati ini tidak siap. Berpuluh tahun hidup bersama dengan keduanya, hingga Rai
Bab685"Nanti saja ah, malas. Lagian kita lagi makan gini, masa di gangguin hal- hal yang tidak jelas begitu," ujar Cinta, mengabaikan ucapan Galih tadi."Cinta, sudah 1 tahun kita bersama, tapi kenapa, kamu nggak pernah mau pertemukan aku dengan anak kita, Kamila?" tanya lelaki itu."Mas, tidak semudah itu. Kamila akan tahu segalanya, bahwa kamu pernah menikahi Jelita juga. Dan Enggar, juga Bagus, bagaimana tanggapan mereka pada kita? Kamu meninggalkan mereka, lepas tanggung jawab, dan malah bersamaku. Tentu saja, bukan cuma mereka yang akan kecewa sama kita, tapi Kamila juga.""Kemudian Mamah dan Papah, bisa- bisa aku mereka kutuk, Mas ....""Tapi mau sampai kapan, kita kucing- kucingan seperti ini? Aku juga ingin diakui, dan dianggap bagian keluarga kamu, Cin.""Belum waktunya, Mas.""Kapan waktunya, Ta? Aku dan Jelita, itu hanyalah kesalahan. Sedangkan aku sama kamu, itu cinta yang tulus. Aku mohon, pikirkan ini baik- baik, aku hanya ingin di akui, dan Kamila juga harus tahu, bahw
Bab684Perjalanan panjang Bagus lalui bersama Jelita, Ibu yang kini sangat dia sayangi, dan dia utamakan kebahagiaannya."Pulang dari umrah, kita ke rumah Nenek saja ya, Gus.""Terserah Ibu saja, Bagus ngikut saja. Bagus tidak punya siapa- siapa untuk di bahagiakan, jadi segala waktu dan apapun yang Ibu mau, asal Ibu bahagia, Bagus akan selalu turuti, insya Allah," ujarnya.Jelita terharu dan menatap penuh kasih sayang pada Bagus. Sementara Bagus dan Jelita melaksanakan ibadah umrah, rupanya rumah mewah Elea, sudah terjual sesuai kesepakatan dengan pembelinya.Penjualan rumah, di saksikan Galih, karena hasil dari penjualan rumah mewah tersebut, 50% milik Galih, 30% milik Cinta dan sisanya barulah milik Elea dan Kevin.Setelah semua beres, Elea dan Kevin, memutuskan untuk tinggal di hotel. Sebelum rumah impian mereka di desa selesai di bangun.Hanya sisa 10% saja, rumah di desa itu akan selesai dan bisa mereka tempati.Galih sudah menyarankan, agar Elea dan Kevin mau tinggal di rumah m
Bab683"Kenapa kamu terlambat?" tanya atasan Bagus, yang ada dibagian divisinya."Maaf pak Rahmat, saya menabrak orang tadi di jalan."Pak Rahmat, yang merupakan pengawas divisi pemasaran, tidak begitu berani bersikap keras pada Bagus, tapi dia tetap berusaha profesional, agar tidak terlalu nampak membeda- bedakan karyawan."Lain kali berhati- hati di jalan, Gus. Dan tolong jangan ulangi lagi, keterlambatan datang seperti ini. Hari ini saya maklumi, tapi kalau terulang lagi, saya akan berikan sangsi pemotongan gaji," jelas pak Rahmat memberi peringatan."Baik, Pak." Hanya itu jawaban Bagus. Sadar diri akan kesalahannya, Bagus tidak berani banyak bicara.Pak Rahmat meninggalkan divisi pemasaran, menuju ruangannya, untuk memeriksa laporan penjualan kemarin.Sementara Bagus duduk di meja kerjanya, dengan pikiran yang mulai tidak fokus. Bagus mulai memikirkan wanita yang di tolongnya tadi, dan itu sangat mengganggu kerjaannya.Tiba- tiba, HRD memasuki ruangan divisi pemasaran, bersama den
Bab682"Bu ...."Jelita menatap Bagus."Bagaimana kalau kita pergi umrah?"Jelita terpaku sejenak, mendengar usulan Bagus."Gimana, Bu?" tanya Bagus lagi, membuat Jelita tersadar dari keterkejutannya.Anak yang biasanya cuek, hanya memikirkan kesenangannya sendiri, kini mengajaknya pergi umrah. "Kamu serius pengen umrah, Gus?" tanya Jelita balik, memastikan keinginan Bagus."Iya, Bu. Mumpung kita ada rezeki lebih. Kita ajak Enggar dan Lina juga, mana tau mereka mau. Tapi jika mereka menolak juga tidak apa- apa, kita berdua saja yang pergi ke sana, Ibu mau kan?""Tentu saja Ibu mau, Gus. Masya Allah, niat kamu baik sekali anakku, mana mungkin Ibu menolak."Bagus tersenyum. Dan niat mereka pun, di sampaikan kepada Enggar dan Lina, ketika mereka makan malam bersama."Dalam waktu dekat ini belum bisa, Bu, Mas. Enggar masih harus fokus ke perusahaan," jawab Enggar.Wajar sih, belum ada 1 tahun dia bekerja, masih tidak enak hati jika terus izin libur, untuk urusan pribadi.Sebagai calon pe
Bab681"Tugas kita sudah selesai, nampaknya anak, cucu dan cicit tidak ada masalah, dengan pembagian harta warisan kita," ujar Elea, ketika dia dan Kevin merebahkan diri di atas kasur mereka."Kuharap juga begitu, agar kita berdua bisa menjalani kehidupan yang tenang," jawab Kevin."Kulihat Abel juga tidak membuat masalah lagi." Elea merasa lega, melihat sikap menantunya itu, yang semakin baik dari sebelumnya.Galih membelikan rumah yang cukup mewah, untuk dia tempati dan istrinya. Galih tidak ingin menyatukan istrinya lagi sama Ibunya. Karena bagi Galih, jika keadaan sudah tidak nyaman, dan terus di paksakan, maka mereka akan saling menyakiti.Demi menjaga rumah tangga dan hati orang tuanya, Galih memutuskan untuk memiliki rumah sendiri.Tetapi dia tetap memperhatikan kedua orang tuanya, meskipun mereka tidak satu rumah.______>_______Karena perjalanan yang cukup jauh, Jelita mulai jatuh sakit. Badannya meriang, nyaris semalaman, Lina tidak bisa tidur, karena khawatir dengan kond